Cari Blog Ini

Senin, 31 Agustus 2015

Tentang WANITA MENGELUARKAN SISA MANI DARI VAGINANYA SETELAH MANDI

Bagaimana hukumnya bila seorang istri saat shalat mengeluarkan sisa mani dari farjinya? Dikarenakan sebelumnya dia berjima’ dengan suaminya. Apakah dia harus membatalkan shalatnya. Dan apakah itu membatalkan wudhu?

Dijawab Oleh:
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari

Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa mani yang keluar dari dzakar (penis) lelaki dan farji (vagina) wanita dalam keadaan terjaga (bukan mimpi) bentuknya ada dua.
Pertama, yang keluar (karena syahwat, red.) dengan memancar, disertai rasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemahnya badan). Inilah yang dinamakan inzal, seperti yang terjadi saat mencapai puncak hubungan suami istri (orgasme).
Kedua, keluar tanpa disertai sifat-sifat di atas (atau tanpa syahwat, red.).
Menurut pendapat yang rajih (kuat), yang menimbulkan hadats akbar (besar)—disebut janabah—dan mewajibkan mandi adalah bentuk yang pertama. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Jika kalian junub, maka hendaknya kalian bersuci dengan mandi.” (al-Maidah: 6)
Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Ali bin Abu Thalib yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan kepadanya:
إِذَا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفاً فَلاَ تَغْتَسِلْ
“Jika kamu memancarkan mani, maka hendaknya kamu mandi karena janabah. Dan jika keluar tanpa memancar maka jangan mandi.” (Hadits ini disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 125)
Adapun mani yang keluar dengan bentuk yang kedua hanya menimbulkan hadats ashghar (kecil) dan membatalkan wudhu. Ini adalah mazhab jumhur, seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah. Adapun pendapat asy-Syafi’i bahwa kedua bentuk ini mewajibkan mandi menurut kami adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/158, karya an-Nawawi, Majmu’ Fatawa, 21/296 dan asy-Syarhul Mumti’, 1/278—279)
Jadi apa yang dialami oleh wanita sebagaimana pertanyaan di atas, merupakan hadats kecil yang membatalkan wudhu dan shalat, meskipun yang keluar tersebut mani suaminya yang tertampung ketika jima’ (berhubungan dengan suaminya). Ini sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, az-Zuhri, Qatadah, al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah, serta dipilih oleh kalangan asy-Syafi’iyyah (para pengikut mazhab al-Imam asy-Syafi’i).
Adapun pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa mani suami yang keluar dari farji istrinya bukan hadats, merupakan pendapat yang lemah. Karena mani tersebut keluar melalui farjinya ditambah lagi bahwa tentunya mani tersebut tidak lepas dari percampuran dengan ruthubah (cairan farji wanita) itu sendiri. Bahkan apabila sang istri pun mengalami inzal ketika jima’ maka berarti kedua mani tersebut telah bercampur dan keluar bersama-sama. Hal ini dikatakan oleh sebagian ulama asy-Syafi’iyyah. (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/172, karya an-Nawawi, Jami’ Ahkamin Nisa, 1/77—78)
Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 005

Minggu, 30 Agustus 2015

Tentang SUJUD TILAWAH

1. Apa yang Dimaksud dengan Sujud Tilawah?

Jawab:
Sujud yang dilakukan karena membaca atau menyimak (bukan sekedar mendengar) ayat-ayat sujud (sajdah) dalam al-Quran. Sujud tilawah bisa dilakukan di dalam maupun di luar sholat.

2. Apakah Hukum Sujud Tilawah?

Jawab:
Hukumnya sunnah bukan kewajiban. Zaid bin Tsabit pernah membacakan di hadapan Nabi surat anNajm yang terdapat ayat sujud, namun Nabi tidak sujud (H.R al-Bukhari). Demikian juga Umar pernah berkhutbah Jumat dan membaca surat anNahl, ketika sampai ayat sujud beliau turun dari mimbar kemudian sujud, dan para Sahabat lain juga sujud. Jumat berikutnya, beliau membaca lagi ayat sujud, tapi beliau tidak sujud. Beliau berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kita melewati (ayat) sujud. Barangsiapa yang sujud maka ia mendapat pahala, dan barangsiapa yang tidak sujud maka tidak ada dosa baginya (H.R al-Bukhari)

3. Apakah Keutamaan Khusus Sujud Tilawah?

Jawab:
Sujud tilawah menghinakan syaithan (musuh utama kita) dan menyebabkan mereka menangis. Kita diperintah untuk membuat syaithan sengsara dan tidak gembira.
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ يَا وَيْلَهُ (وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ) يَا وَيْلِي أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِي النَّارُ
Jika anak Adam membaca ayat sajdah kemudian sujud syaithan akan menyingkir dan menangis. Ia berkata: Duhai celaka, (dalam riwayat Abu Kuraib: Duhai celaka aku), Anak Adam diperintah sujud ia mau sujud sehingga baginya surga, dan aku diperintah sujud menolak, maka bagiku neraka (H.R Muslim dari Abu Hurairah).
Sedangkan keutamaan lain adalah keutamaan umum sujud, yaitu perintah Nabi untuk memperbanyak sujud bagi orang yang ingin dekat dengan beliau nanti di surga (H.R Muslim dari Robiah bin Ka’ab al-Aslamy), demikian juga dengan keutamaan satu kali sujud menghapus satu dosa dan meningkatkan satu derajat (H.R Muslim dari Tsauban).

4. Apakah yang Dibaca dalam Sujud Tilawah?

Jawab:
Pendapat yang lebih tepat, adalah tidak ada bacaan khusus dalam sujud tilawah. Bacaan dalam sujud tilawah adalah bacaan yang dibaca untuk sujud dalam sholat, sebagaimana pendapat al-Imam Ahmad. Seperti bacaan : Subhaana robbiyal a’la, bisa dibaca dalam sujud tilawah juga.
Sedangkan bacaan: sajada wajhiya lilladzi… adalah bacaan yang dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nataaijul Afkaar (2/110) dengan melihat penguat dari hadits Ali untuk sujud secara mutlak (bukan khusus sujud tilawah). Karena itu bisa juga dibaca dalam sujud tilawah dan sujud-sujud biasa dalam sholat.
(dinukil dari buku 'Fiqh Bersuci dan Sholat', Abu Utsman Kharisman)

5. Apa Saja Ayat-ayat Sujud (Sajdah) dalam AlQuran?

Jawab:
Ada 14 tempat dalam alQuran, yaitu:
1. Al-A’raaf ayat 206
2. Ar-Ra’ad ayat 15
3. anNahl ayat 49-50
4. Al-Israa’ ayat 109
5. Maryam ayat 58
6. Al-Hajj ayat 18
7. Al-Hajj ayat 77
8. Al-Furqaan ayat 60
9. anNaml ayat 25
10. as-Sajdah ayat 15
11. Fusshilat ayat 37-38
12. anNajm ayat 62
13. Al-Insyiqaaq ayat 20-21
14. Al-’Alaq ayat 19.
(berdasarkan asy-Syarhul Mumti’ alaa Zaadil Mustaqni’ libni Utsaimin (4/96-97))

6. Apakah Disyaratkan Saat Sujud Tilawah Harus Suci dari Hadats dan Menghadap Kiblat?

Jawab:
Untuk sujud tilawah di luar sholat, tidak ada ketentuan khusus berdasarkan dalil yang shahih akan keharusan suci dari hadats dan menghadap kiblat, menurut pendapat al-Imam asy-Syaukany, namun tentunya jika bisa suci dari hadats dan menghadap kiblat lebih utama.
(dinukil dari buku 'Fiqh Bersuci dan Sholat, Abu Utsman Kharisman)

WA Al Istifadah
WALIS

Tentang PUASA SUNAH TIGA HARI SETIAP BULAN, SALAT DHUHA SETIAP HARI, DAN SALAT WITIR SETIAP SEBELUM TIDUR

1.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: Kekasihku (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal: Puasa tiga hari tiap bulan, dua rokaat di waktu Dhuha, dan berwitir sebelum aku tidur. (H.R al-Bukhari dan Muslim)

2.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةٍ لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَبَدًا أَوْصَانِي بِصَلَاةِ الضُّحَى وَبِالْوَتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku insyaAllah tidak akan meninggalkannya selama-lamanya. Ia mewasiatkan kepadaku dengan sholat Dhuha dan witir sebelum tidur dan puasa 3 hari pada setiap bulan. (H.R anNasaai, dishahihkan al-Albany)

3.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku tidak akan meninggalkannya sepanjang hidupku: Puasa 3 hari tiap bulan, sholat Dhuha, dan agar aku tidak tidur hingga aku melakukan witir. (H.R Muslim)

Sabtu, 29 Agustus 2015

Tentang ZIKIR SETELAH SALAT DHUHA

Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat Dhuha kemudian mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Allaahummaghfirlii wa tub alayya innaka antat tawwaabur rohiim
(Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku sesungguhnya engkau Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang)
sebanyak 100 kali.

(H.R anNasaai dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod dan dishahihkan al-Albany)

Tentang TETAP DUDUK DI TEMPAT SALAT SETELAH SALAT SUBUH DAN BERZIKIR HINGGA TERBIT MATAHARI KEMUDIAN SALAT SUNAH DUA RAKAAT

FATWA LAJNAH DAIMAH
(Fatwa no. 17.597)

Pertanyaan: 
رجل يجلس في المسجد بعد صلاة الفجر حتى تطلع الشمس يقرأ القرآن ومن ثم يصلي ركعتين ولكن أناسًا أنكروا عليه ذلك وقالوا إنه لا يجوز؛ لأنه فعل عباد الشمس أفتونا في ذلك مأجورين؟
Ada seorang yang tetap duduk di masjid setelah shalat subuh hingga terbit matahari membaca Al-Quran dan dari sana dia shalat dua rakaat. Akan tetapi orang- orang mengingkari hal itu dan mereka megatakan: Hal itu tidak boleh, karena itu adalah perbuatannya para penyembah matahari. Maka berikan kami fatwa dalam perkara ini semoga Anda semua mendapatkan pahala?

Jawaban:
من جلس في مصلاه بعد أداء صلاة الفجر واشتغل بقراءة القرآن والأذكار المشروعة حتى يخرج وقت النهي بارتفاع الشمس قيد رمح ثم قام فصلى ركعتين أو ما تيسر فهو على خير عظيم، وفعله هو الموافق للسنة ويؤجر على ذلك إن شاء الله تعالى، ويدل لذلك ما رواه أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله:  من صلى صلاة الصبح في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة (الجزء رقم: 6، الصفحة رقم: 147) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  تامة تامة تامة، رواه الترمذي وقال حديث حسن غريب، وفي رواية عن سهل بن معاذ عن أبيه رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:  من قعد في مصلاه حين ينصرف من صلاة الصبح حتى يسبح ركعتي الضحى لا يقول إلا خيرًا غفرت له خطاياه وإن كانت أكثر من زبد البحر، رواه الإمام أحمد وأبو داود وفي رواية: وجبت له الجنة، وفي رواية البيهقي مثله إلا أنه قال في آخره:  لم تمس جلده النار، والحديث له شواهد كثيرة تقويه ويؤيده ما رواه جابر بن سمرة رضي الله عنه قال:  كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صلى الفجر تربع في مجلسه حتى تطلع الشمس حسنًا  أي: طلوعًا حسنًا، رواه الإمام مسلم في (صحيحه) وأبو داود والترمذي والنسائي، وأما إنكار بعض الناس على هذا الرجل في فعله المذكور وهو لم يأت بمناف للشرع فهو إنكار باطل لا أصل له في الشرع ولا يصدر إلا من جاهل فلا يلتفت إليه (الجزء رقم: 6، الصفحة رقم: 148)
Barangsiapa yang tetap duduk di tempat shalatnya setelah menunaikan shalat subuh, dan meyibukkan dengan membaca Al-Quran dan dzikir-dzikir yang disyariatkan sampai habis waktu terlarang shalat, denga naiknya matahari sepenggalah tombak, lalu dia menunaikan shalat dua rakaat atau yang mudah baginya maka dia ada dalam kebaikan yang agung. Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah dan akan dapat pahala insya Allah taala. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahualaihi wasallam:
Barangsiapa yang subuh berjamaah lalu dia tetap duduk berdzikir mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu dia mengerjakan shalat dua rakaat maka dia mendapat seperti pahala haji dan umrah. Anas berkata: Nabi bersabda: Sempurna, sempurna, sempurna. (HR. At-Tirmidzy beliau berkata hadits hasan gharib)
Dalam riwayat lain dari Sahl bin Muadz dari bapaknya Radhiyallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda:
Barang siapa yang tetap duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat subuh sampai dia shalat dua rakaat dhuha dia tidak mengucapkan kecuali kebaikan, akan diampuni kesalahan-kesalahannya walaupun lebih banyak dari buih di lautan. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam riwayat lain: Maka wajib baginya masuk sorga.
Dalam riwayat Al-Baihaqi semisal itu hanya saja di akhirnya beliau bersabda: Kulitnya tidak akan tersentuh api neraka.
Dan hadits ini memiliki syawahid (saksi) yang banyak yang menguatkannya. Dan di dukung oleh hadits Jabir bin Samurah radhiyallahuanhu berkata:
Dahulu Nabi shallallahualaihi wasallam jika selesai shalat subuh, beliau duduk bersila di tempat duduk beliau hingga terbit matahari dengan baik, yakni telah muncul dengan baik. (HR. Muslim dalam shahihnya, Abu Dawud, At-Tirmidzy dan An-Nasaai)
Dan adapun pengingkaran sebagian manusia terhadap orang ini dalam perbuatannya tersebut, dalam keadaan dia tidak melakukan perkara yang dinafikan syariat, maka itu adalah pengingkaran yang batil yang tidak ada dasarnya dalam syariat dan tidaklah muncul kecuali dari orang bodoh, maka tidak perlu diperdulikan.
Hanya Allahlah yang memberikan taufiq. Semoga Shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan shahabatnya.
Dewan tetap untuk Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz.
Wakil ketua: Abdul Aziz Alu Asy- Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzaan, Bakr Abu Zaid

Sumber:
www .alifta .net/Fatawa

Alih bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary hafizhahullah

Forum Salafy Indonesia

###

FATWA LAJNAH DAIMAH
(Fatwa no. 20.123)

Pertanyaan:
إذا كان الإنسان في مصلاه يذكر الله بعد الفجر حتى الشروق ليصلي الضحى ولكنه أحدث وذهب للوضوء، هل يعتبر هنا خرج من المسجد وليس له أجر الحجة والعمرة إذا رجع وصلى الضحى كما في الحديث؟
Jika seorang terus tetap berada di tempat shalatnya, dia berdzikir mengingat Allah setelah shalat fajar hingga terbit matahari untuk shalat dhuha. Akan tetapi dia berhadats (batal wudhunya) dan pergi berwudhu. Apakah di sini dia tergolong keluar dari masjid dan tidak mendapatkan pahala haji dan umrah jika kembali (ke masjid lagi) dan menunaikan shalat dhuha seperti yg disebutkan dalam hadits?

Jawaban:
من جلس في مصلاه بعد أداء صلاة الفجر يذكر الله حتى طلعت الشمس ثم أحدث فخرج من المسجد ليتوضأ ثم رجع بعد وضوئه لمصلاه من قريب ولم يطل مكثه خارج المسجد فصلى ركعتين بعد ارتفاع الشمس قدر رمح، فإن خروجه ذلك لا يؤثر ولا يمنع من حصوله على الثواب العظيم المترتب على تلك العبادة إن شاء الله تعالى وهو إدراك حجة وعمرة تامتين والفوز بجنته، ويدل لذلك ما رواه أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  من صلى الصبح في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له أجر حجة وعمرة (الجزء رقم: 6، الصفحة رقم: 151) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تامة تامة تامة  أخرجه الترمذي في (الجامع) وقال: حديث حسن غريب، وروى الطبراني نحوه بإسناد جيد
Barang siapa yang tetap duduk di tempat shalatnya setelah menunaikan shalat subuh, berdzikir mengingat Allah hingga terbit matahari, kemudian dia batal wudhunya lalu dia keluar dari masjid untuk berwudhu. Kemudian ia kembali setelah berwudhu ke tempat shalatnya dalam waktu sebentar saja, dia tidak lama tinggal di luar masjid lalu dia shalat dua rakaat setelah matahari naik sepenggalah tombak.
Maka sesungguhnya keluarnya tersebut tidak berpengaruh dan tidak menghalangi untuk mendapatkan pahala yang besar yang dihasilkan dari ibadah tersebut insya Allah taala, yakni meraih pahala haji dan umrah sempurna dan kemenangan dengan surgaNya.
Dan hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah keudian dia duduk berdzikir mengingat Allah hingga terbit matahari kemudian ia mengerjakan shalat dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah.
Anas berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
Sempurna, sempurna, sempurna. (HR. At-Tirmidzy dalam Al- Jaami, beliau berkata hadits hasan gharib dan Ath-Thabrani meriwayatkan semisal itu dengan sanad yang bagus)
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Hanya Allahlah yang memberikan taufiq. Semoga Shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan shahabatnya.
Dewan tetap untuk Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz.
Wakil ketua: Abdul Aziz Alu Asy- Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzaan, Bakr Abu Zaid

Sumber:
www .alifta .net/Fatawa

Alih bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary hafizhahullah

Forum Salafy Indonesia

Tentang SALAT DHUHA DUA RAKAAT, EMPAT RAKAAT, ENAM RAKAAT, ATAU DELAPAN RAKAAT

Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى إِلَّا أَوَّاب
Tidaklah ada yang menjaga sholat Dhuha kecuali Awwaab (seorang yang senantiasa kembali kepada Allah). (H.R atThobarony, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan dihasankan al-Albany)

Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
Pada pagi hari setiap persendian anak Adam perlu dikeluarkan shodaqohnya. Setiap tasbih adalah shodaqoh. Setiap tahmid adalah shodaqoh. Setiap tahlil (ucapan Laa Ilaha Illallah) adalah shodaqoh. Setiap takbir adalah shodaqoh. Memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemunkaran adalah shodaqoh. Yang demikian itu dicukupi dengan sholat Dhuha 2 rokaat. (H.R Muslim dari Abu Dzar)

Dalam hadis qudsi:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ
Dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dari Allah Azza Wa Jalla bahwasanya Dia berfirman: Wahai anak Adam, ruku’lah empat rokaat di awal siang niscaya Aku akan cukupi engkau hingga akhir siang. (H.R atTirmidzi, dishahihkan Ibn Hibban dan al-Albany)

Dalam hadis yang lain:
عَنْ أَبي الدَّرْدَاء رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ صَلَّى الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ وَمَنْ صَلَّى أَرْبَعًا كُتِبَ مِنَ الْعَابِدِيْنَ وَمَنْ صَلَّى سِتًّا كُفِيَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَمَنْ صَلَّى ثَمَانِيًا كَتَبَهُ اللهُ مِنَ الْقَانِتِيْنَ وَمَنْ صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَة بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat Dhuha dua rokaat, tidak tercatat sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang sholat Dhuha 4 rokaat, tercatat sebagai orang yang ahli ibadah. Barangsiapa yang sholat 6 rokaat, akan dicukupi hari itu. Barangsiapa yang sholat 8 rokaat, Allah catat sebagai orang yang banyak taat. Barangsiapa yang sholat 12 rokaat Allah bangunkan baginya rumah di Surga. (H.R atThobarony, Abu Nuaim dalam Ma’rifatus Shohaabah, al-Baihaqy, dinyatakan para perawinya terpercaya oleh al-Mundziri)
Catatan: Hadits ini dilemahkan Syaikh al-Albany, namun dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam bentuk pendalilannya dalam kitab Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholaatit Tathowwu’.
Salah satu perawi dalam hadits tersebut riwayat atThobarony yaitu Musa bin Ya’qub diperselisihkan oleh para Ulama. Dia dinilai tsiqoh (terpercaya) oleh Yahya bin Main dan Ibnu Hibban, namun dilemahkan oleh Ibnul Madini. (Majmauz Zawaaid lil Haytsami). Namun hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan yang diharapkan bisa sampai pada derajat hasan. Wallaahu A’lam.

###

Ustadz Abu Utsman Kharisman

PERTANYAAN:
Bolehkah kita melakukan sholat dhuha 4 rakaat dgn satu salam?

JAWABAN:
Jumhur Ulama berpendapat bahwa sholat sunnah di siang hari lebih utama dilakukan dua rokaat-dua rokaat. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Ahmad, dan asy-Syafii.
Namun, tidak mengapa sholat sunnah 4 rokaat dengan satu salam di waktu siang. Sebagaimana Nabi pernah sholat 4 rokaat setelah zawal dengan satu tasyyahhud akhir dan mengatakan bahwa dengan sholat tersebut terbuka pintu langit. (H.R atTirmidzi, dinyatakan sanadnya shahih oleh Syaikh al-Albaniy)
Demikian juga boleh sholat 4 rokaat langsung di sholat dhuha, namun yang lebih utama adalah dua rokaat dua rokaat.
Wallaahu A'lam.

WA Al Istifadah
WALIS

Tentang MEMAKAI PAKAIAN WARNA HITAM DALAM RANGKA BERKABUNG

Syaikh al Allamah Ibnu 'Utsaimin rahimahullah

Tanya:
هل يجوز لبس الثوب الأسود حزناً على المتوفى وخاصة إذا كان الزوج؟
Bolehkah memakai pakaian hitam sebagai bentuk rasa sedih atas meninggalnya seseorang terlebih lagi suami?

Jawab:
لبس السواد عند المصائب شعار باطل لا أصل له... والإنسان عند المصيبة ينبغي له أن يفعل ما جاء به الشرع فيقول: إنا لله وإنا إليه راجعون ، اللهم أجرني في مصيبتي ، وأخلف لي خيراً منها ، فإذا قال ذلك بإيمان واحتساب فإن الله سبحانه وتعالى يؤجره على ذلك ويبدله بخير منها، أما ارتداء لبس معين كالسواد وما شابهه؛ فإنه لا أصل له، وهو أمر باطل ومذموم
Memakai pakaian hitam ketika tertimpa musibah–musibah adalah syiar yang batil, tidak ada tuntunannya.
Hendaknya seseorang bila tertimpa musibah untuk melakukan sebagaimana apa yang dituntunkan oleh syariat, maka dia ucapkan,
إِنَّا لِلّٰهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ، اللّٰــهُمَّ أَجُــرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَ اخْلُفْ لِيْ خَيْراً مِنْهَا
"Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepadanya lah kita kembali. Ya Allah berilah aku pahala didalam musibah yang menimpaku, dan gantikan untukku dengan yang lebih baik darinya."
Jika dia mengucapkan (doa) tersebut dengan keimanan dan harapan (kepada Allah) maka sungguh Allah subhanahu wa ta'ala akan memberikan pahala kepadanya atas apa yang menimpanya tersebut dan akan menggantikan untuknya dengan susuatu lebih baik dari apa yang menimpanya.
Adapun memakai pakaian hitam atau yang semisalnya, maka hal itu tidak ada tuntunannya, dan itu adalah perkara batil dan tercela.

Abdurrahman Harun

F A W A I D I L M I Y Y A H

WA Al Istifadah
WALIS

Tentang PENGOBATAN DENGAN THIBBUN NABAWI

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)

Abdullah bin Mas’ud mengabarkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)

Jabir membawakan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
“Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim no. 5705)

Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang ini. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-‘Iraqi)

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memung-kinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pen-cegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.”
Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara peng-obatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)

Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadi-kannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah lewat lisan Rasul-Nya. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/uji coba. (Fathul Bari, 10/210)

Contoh Pengobatan Nabawi

1. Pengobatan dengan madu
Allah berfirman tentang madu yang keluar dari perut lebah:
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyem-buhkan bagi manusia.” (An-Nahl: 69)

2. Pengobatan dengan habbah sauda` (jintan hitam)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya habbah sauda` ini merupakan obat dari semua penyakit, kecuali dari penyakit as-samu”. Aisyah bertanya: “Apakah as-samu itu?” Beliau menjawab: “Kematian.” (HR. Al-Bukhari no. 5687 dan Muslim no. 5727)

3. Pengobatan dengan susu dan kencing unta
Anas menceritakan: “Ada sekelompok orang ‘Urainah dari penduduk Hijaz menderita sakit (karena kelaparan atau keletihan). Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah tempat kepada kami dan berilah kami makan.’ Ketika telah sehat, mereka berkata: ‘Sesungguhnya udara kota Madinah tidak cocok bagi kami (hingga kami menderita sakit).’ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menempatkan mereka di Harrah, di dekat tempat pemeliharaan unta-unta beliau (yang berjumlah 3-30 ekor). Beliau berkata: ‘Minumlah dari susu dan kencing unta-unta itu.’
Tatkala mereka telah sehat, mereka justru membunuh penggembala unta-unta Nabi shallallahu alaihi wasallam (setelah sebelumnya mereka mencungkil matanya) dan menggiring unta-unta tersebut. Nabi shallallahu alaihi wasallam pun mengirim utusan untuk mengejar mereka, hingga mereka tertangkap dan diberi hukuman dengan dipotong tangan dan kaki-kaki mereka serta dicungkil mata mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5685, 5686 dan Muslim no. 4329)

4. Pengobatan dengan berbekam (hijamah)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
“Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.” (HR. Al-Bukhari no. 5680)

5. Pengobatan dengan ruqyah
Allah Subhanahu wa taala menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/ penyembuh) sebagaimana firman-Nya:
“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

FAEDAH:
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, terkadang sebagian orang yang menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut.
Contoh yang paling tampak/ jelas dalam hal ini adalah Al-Qur`an, yang merupakan obat penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada. Meskipun demikian, ternyata sebagian manusia tidak mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang ada dalam dadanya, karena kurangnya keyakinan dan penerimaannya. Bahkan bagi orang munafik, tidak menambah kecuali kotoran di atas kotoran yang telah ada pada dirinya, dan menambah sakit di atas sakit yang ada.
Dengan demikian thibbun nabawi tidak cocok/ pantas kecuali bagi tubuh-tubuh yang baik, sebagaimana kesembuhan dengan Al-Qur`an tidak cocok kecuali bagi hati-hati yang baik. (Fathul Bari, 10/210)

Sumber: Asy syariah edisi 024

Tentang LONCENG

Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah, ia memberitakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لاَ تَصْحَبُ الْمَلاَئِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلاَ جَرَسٌ
“Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan, pen.).” (HR. Muslim no. 5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat menjauhi lonceng? Ada yang mengatakan karena jaras/lonceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena lonceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-lonceng itu digantungkan di leher hewan peliharaan. Dari lonceng tersebut keluarlah suara berirama bila hewan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung lonceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.

Sumber: Asy syariah edisi 056
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

Tentang SALAT MENGHADAP JENAZAH

Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadii rahimahullah

Pertanyaan:
ﺇﺫﺍ ﻭﺿﻌﺖ ﺟﻨﺎﺯﺓ ﻓﻲ ﻗﺒﻠﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﺣﺎﻥ ﻭﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﻓﻬﻞ ﻟﻠﻤﺼﻠﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻮﺍ ﻭﺍﻟﺤﺎﻝ ﻫﺬﻩ ؟
Apabila jenazah diletakan di arah kiblat masjid, kemudian datang waktu shalat wajib, apakah boleh mereka shalat dalam keadaan seperti ini (yaitu jenazah berada dihadapan mereka)?

Jawab:
ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻣﺎﻧﻌﺎً ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ، ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﻓﻲ ﻣﻘﺪﻣﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﻳﺼﻠﻮﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﻔﺮﻭﺿﺔ ﺛﻢ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ، ﻭﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ ﻭﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﺈﻧﻪ ﻗﺎﻝ : ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﺮ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﻓﻬﺬﺍ ﺃﻣﺮ ، ﻭﺍﻷﻣﺮ ﺍﻵﺧﺮ : ﻟﻤﺎ ﻳﺨﺸﻰ ﻣﻦ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺸﺮﻙ ﻻ ﻣﺎ ﻳﺨﺸﻰ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﻣﻴﺖ
Aku tidak melihat ada larangan dalam hal ini, yaitu jenazah berada di kiblat masjid, kemudian mereka shalat wajib lalu dilanjutkan shalat jenazah.
Adapun hadits-hadits yang melarang shalat diatas kuburan dan menghadapnya, maka sesungguhnya beliau bersabda: “Menghadap ke kuburan”, bukan menghadap ke jenazah, ini yang pertama, kemudian perkara yang lain adalah (larangan tersebut) karena dikuatirkan dari najisnya kesyirikan, bukan karena dikuatirkan menghadap mayat.

Sumber:
Kitab Qam’ul Ma’anid 2/369

http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=1694

Syabab Ashhabus Sunnah
http://www.ittibaus-sunnah.net
ASHHABUS SUNNAH

Hanya Sedikit Faedah

Tentang UCAPAN: AMIN YA RABBAL 'ALAMIN

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
ولا يستحب أن يصل آمين بذكر آخر مثل أن يقول : آمين يا رب العالمين، لأنه لم تأت به السنة هذا قول أصحابنا
Tidak disenangi untuk menyambungkan kalimat "Aamin" dengan kalimat yang lain, semisal "Aamin ya Rabbal Alamin". Hal ini karena tidak ada sunnahnya. Ini merupakan pendapat shahabat-shahabat kami (ulama-ulama dari mazhab Hambali). (Fathul Baary 4/389)

FSS

Tentang BERBOHONG KEPADA ANAK KECIL

Dari Abdullah bin 'Amir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;
أَتَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِنَا وَأَنَا صَبِيٌّ، قَالَ: فَذَهَبْتُ أَخْرُجُ لِأَلْعَبَ، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا عَبْدَ اللهِ تَعَالَ أُعْطِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيَهُ؟ قَالَتْ: أُعْطِيهِ تَمْرًا، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تَفْعَلِي كُتِبَتْ عَلَيْكِ كَذْبَةٌ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kami di rumah kami, waktu itu saya masih kecil. Lalu saya pergi keluar untuk bermain. Lalu ibuku berkata; “Wahai Abdullah, kemarilah, saya akan memberikan sesuatu.”
Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada ibuku, “Apakah yang hendak kau berikan kepadanya?” Ibuku menjawab, “Saya akan memberikan kurma.” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada ibuku, “Jika kau tidak melakukannya maka itu akan dicatat sebagai kedustaan.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

Tentang ISTRI MINTA CERAI KARENA SUAMI INGKAR JANJI

Pertanyaan:
Saya sudah menikah selama 7 bulan, belum dikaruniai anak. Yang menjadi masalah adalah, saya menikah dengan warga negara Cina. Pernikahan dilangsungkan di Indonesia dan secara Islam, karena dia mau untuk diislamkan dan berjanji akan menaati syariat Islam.Tapi pada kenyataannya dia sama sekali tidak mau belajar bahkan menjalankan hidupnya seperti sebelum dia memeluk Islam. Saya merasa tertipu, apalagi ini adalah hal prinsip dan seumur hidup. Yang ingin saya tanyakan adalah, bisakah saya membatalkan pernikahan saya?
Masih mungkinkah saya membatalkannya? Terima kasih dan mohon penjelasannya. Wassalam.

Dijawab oleh:
Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Yang pertama, harus dibedakan dulu antara nikah itu batal dan gugur. Karena membatalkan nikah harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi atau harus ada pada pernikahan itu, sehingga dianggap batal. Nah, sekarang permasalahan yang ditanyakan di sini, anda sudah menikah selama 7 bulan. Kalau memang pernikahan itu pada awalnya adalah pernikahan yang syar’i, maka tidak ada lagi istilah batal. Yang ada adalah bagaimana supaya anda bisa berpisah dari suami, yaitu dengan cara khulu’. Jadi di sini bukan lagi membatalkan pernikahan itu karena sudah terjadi, tetapi bagaimana caranya berpisah dari suami.
Kalau memang keadaan suami masih demikian, yaitu kufur kepada Allah I, maka istri boleh meminta untuk di-khulu’. Sekali lagi, kalau memang pernikahan itu syar’i, sesuai dengan aturan-aturan agama Islam. Bila istri minta di-khulu’ maka ia harus siap untuk membayar mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Sebaliknya, di pihak suami tidak boleh untuk menekan istrinya agar melebihkan pembayaran semula (membayar lebih mahal dari mahar yang telah diberikan).
Jika sudah terjadi khulu’ maka gugurlah pernikahan itu, bukan lagi cerai atau talak. Barakallahu fi kum (semoga Allah memberkahi anda).

Sumber: Syariah Edisi 2

Tentang MENCELA MAKANAN

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ طَعَامًا قَطٌّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَـــرَكَهُ
"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau suka maka beliau memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya." (Muttafaqun 'alaihi)

Abu Hilmy Shofwan

F A W A I D I L M I Y Y A H

Tentang MENULIS DENGAN TANGAN KIRI

Asy Syaikh bin Baz rahimahullah

Tanya:
ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺃﻛﺘﺐ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ؛ ﻷﻧﻲ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺃﻥ ﺃﻛﺘﺐ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ؟
"Apakah boleh aku menulis Asma Allah dengan tangan kiri , karena aku tidak bisa menulis kecuali dengan tangan kiri?"

Jawab:
ﻻ ﺣﺮﺝ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ؛ ﻷﻧﻚ ﻣﻌﺬﻭﺭﺓ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺴﻠﻴﻢ ﻓﺎﻟﺴﻨﺔ ﺃﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﺑﺎﻟﻴﻤﻨﻰ
"Tidak mengapa hal itu karena engkau mendapat udzur adapun yang selamat (tidak cacat) maka yang disunahkan adalah dengan tangan kanan."

Sumber:
http://www.binbaz.org.sa/mat/9188

###

Asy Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah

Tanya:
ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺑﺎﻟﻴد ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ؟
"Apa hukumnya menulis dengan tangan kiri?"

Jawab:
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎً ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻭ ﻛﺎﻧﺖ ﻳﺪﻩ ﻣﺘﻌﻮﺩﺓ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﺑﺎﻟﻴﻤﻨﻰ، ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻣﻊ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ
"Jika seseorang membutuhkan hal itu (menulis dengan tangan kiri , pent-) atau tangannya terbiasakan seperti itu tidak mengapa (susah menulis dengan tangan kanan, pent-) jika dia mampu menulis dengan tangan kanan maka tidak sepantasnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya bisa."

Sumber:
(Syarh Sunan Abi Daud (464))

Penerjemah: Abul hasan Al Wonogiri

WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)

Tentang PERGI KE MASJID UNTUK MENUNTUT ILMU

Dari shahabat Abi Umamah dari Nabi ﷺ Beliau bersabda :
من غدا إلى المسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه كان له كأجر حاج تاما حجته
“Barangsiapa berpagi-pagi menuju Masjid tidak lain tujuannya adalah mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, (maka) pahalanya seperti seorang yang menunaikan haji secara sempurna.”
[Diriwayatkan oleh Al Imam Thobroni di dalam kitab Al Kabiir dengan sanad Laa basa bihi]

Sumber:
Dinukil dari Kitab Shahih at-Targhib wat Tarhib lis Syaikh Albaniy

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Muhammad Hasan (Jember) -hafidzahullah- [FBF-2]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | http://www.alfawaaid.net

Hanya Sedikit Faedah

Jumat, 28 Agustus 2015

Tentang KOPI LUWAK

PERTANYAAN:
Bismillah.. Afwan ustadz izin bertanya. Apa hukum mengkonsumsi kopi luwak? Jazaakumullahu khair.

JAWABAN:
[Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman]
Mengkonsumsi kopi luwak, insyaAllah tidak mengapa berdasarkan kaidah Ulama Syafiiyyah, bahwa sesuatu yang tertelan oleh binatang kemudian dikeluarkan lagi dalam keadaan utuh, bisa dikonsumsi jika sudah dibersihkan/dicuci.
Wallaahu A'lam.

WA Al Istifadah
WALIS

Tentang MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI SEBELUM BERANGKAT SALAT JUMAT

Dari Aus bin Aus Radliallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan memandikan istri (menyebabkan istri mandi karena menyetubuhinya), lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR.Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits penyebutan mandi adalah “ghosal” bermakna mencuci kepala, sedangkan “ightasal” berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan didalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi 3:3.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim didalam Kitab Zaadul Ma’ad,
قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع
Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian pula yg ditafsirkan oleh Waki’.

Dan tafsiran di atas disebutkan pula didalam Tuhfatul Ahwadzi 3:3. Dan sdh tentu jima’ menjadikan seseorang wajib untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud jima’ disini adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama, dan mereka (para ulama) tidak memahaminya pada malam Jum’at.
وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة
Imam As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik, menguatkan hadits tersebut dan berkata: “Apakah kalian lemas (karena) menyetubuhi istri kalian pada setiap Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen).
Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala:
(1) pahala mandi Jum’at,
(2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi)”.

Hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan tentunya sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Silahkan periksa Al Majmu’, 1: 326)

Intinya, bersetubuh pada malam Jum’at adalah pemahaman keliru yang tersebar di masyarakat. Yang tepat dan yang dianjurkan, adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, dan bukan di malam hari.

Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka.

Semoga kita selalu mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala dan Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

Sumber:
Pesan ini disebarluaskan oleh BB Da’wah Ahlussunnah

Turut mempublikasikan :
WA Tim Medis Salafy

Hanya Sedikit Faedah

###

PERTANYAAN
Afwan Ustadzah ana mau tanya, ada yang mengatakan terdapat keutamaan jika kita jima' di malam Jumat, apakah benar yang demikian.
Jazakumullah khayran atas jawaban Ustadzah.

JAWABAN
Na'am benar, ada keutamaan jima di hari jum'at (bukan di malam jum'at).
Berdalilkan hadits riwayat An-Nasaa'i, dalam Sunan An-Nasaa'i (3/105) ll pada bab keutamaan mandi hari Jum'at:
عن أوس بن أوس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من غسل واغتسل وغدا وابتكر ودنا من الإمام ولم يلغ، كان له بكل خطوة عمل سنة سيامها وقيامها
"Dari Aus bin Aus dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa jima lalu mandi dan segera (ke masjid), lalu mendekat pada imam dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya pada setiap langkahnya sama seperti puasa dan qiyamul lail selama setahun."
Makna "ghassala" (dengan tasydid) yaitu menjima'i istrinya.
Sedangkan makna "ightasala" (tanpa tasydid) yakni mandi.
Barakallahu fiyk.

Jum'at, 6 Dzulqa'dah 1436 H / 21 Agustus 2015

Dijawab oleh Al - Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah

Tentang BERSUNGGUH-SUNGGUH BERZIKIR DAN BERDOA DI WAKTU ASAR PADA HARI JUMAT

Thowus bin Kaisan rohimahullohu ta'ala, ketika beliau (telah selesai) sholat 'ashr di hari jumat, beliau menghadap kiblat (fokus berdzikir atau berdoa) dan tidak berbicara kepada seorangpun sampai terbenamnya matahari.
(Tarikh Wasith)

Demikian pula yang datang dari Sa'id bin Jubair rohimahullohu ta'ala, ketika beliau (telah selesai) sholat 'ashr di hari jumat, beliau tidak berbicara kepada seorangpun sampai terbenamnya matahari.

Al-Mufadhdhol bin Fadholah rohimahullohu ta'ala, ketika (telah selesai) sholat 'ashr di hari jum'at, beliau menyendiri di pojok masjid dan senantiasa berdoa sampai terbenamnya matahari.
(Akhbaar al-Qudhot)

Sumber: Bithaqah Miratsul Anbiya' (www.miraath.net)

Alih Bahasa: Abu 'Abdillah MCN حفظه اللّٰه

WA Riyadhul Jannah As-Salafy

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Bagaimana pendapat yang rajih mengenai waktu mustajabah pada hari jum’at, disertai dengan dalilnya?

Jawaban:
Pendapat yang paling rajih, bahwa waktu tersebut dimulai tatkala imam keluar sampai selesainya shalat jum’at. Yaitu tatkala imam datang (masuk ke masjid) dan naik ke mimbar, dimulai dari waktu itu sampai selesainya shalat jum’at.
Dikarenakan (pendapat ini -pent) sebagaimana yang telah tetap dalam shahih Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, dan ini juga lebih mencocoki untuk dikabulkannya do’a.
Dikarenakan manusia ketika itu berkumpul untuk melaksanakan sebuah kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah, dan dikabulkannya do’a manusia yang banyak lebih memungkinkan untuk dikabulkan dibanding tatkala mereka sendiri.
Kemudian waktu yang lainnya yang lebih dekat untuk dikabulkan do’a seseorang adalah setelah shalat Ashr, dikarenakan telah datang penyebutannya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara khusus dari setelah shalat Ashr.
AKAN TETAPI PENDAPAT YANG PERTAMA LEBIH KUAT.
Maka seyogianya bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam berdo’a pada waktu ditegakannya shalat jum’at, begitu juga setelah shalat Ashr (dalam rangka) menjamak antara dua pendapat yang ada.

Sumber artikel: Silsilah Liqa’at babil Maftuh -Shalat Jumu’ah (Liqa’ 87)

Arsip WSI || http://forumsalafy.net/waktu-mustajab-pada-hari-jumat/

Tentang TEBUSAN KARENA MELANGGAR SUMPAH

Tanya:
Apa kaffarahnya bila seseorang melanggar sumpahnya? Dan apakah dibolehkan mengganti kaffarah tersebut dengan uang?

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` menjawab:

Kaffarah sumpah diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kaffarah bila sumpah tersebut dilanggar adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka sebagai kaffarahnya ia harus puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah dan ternyata melanggarnya.” (Al-Ma`idah: 89)
Memberi makan yang disebutkan dalam ayat sebagai kaffarah sumpah dilakukan dengan cara memberikan kepada setiap orang miskin setengah sha’ dari bahan makanan yang biasa dimakan di negeri tersebut, baik berupa kurma kering ataupun selainnya. Atau ia memberikan makan siang atau makan malam sesuai dengan hidangan yang biasa ia berikan kepada keluarganya. Adapun pakaian, maka masing-masing orang miskin diberi sebuah pakaian yang mencukupinya untuk dipakai shalat, seperti gamis (baju panjang/jubah), atau sarung dan pakaian atas bila memang mereka terbiasa memakai pakaian tersebut.
Dalam kaffarah sumpah ini tidaklah mencukupi kalau menggantinya dengan uang (yang senilai dengan makanan atau pakaian).” (Fatwa no. 2307 dan 16827, dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`, 23/5-6)

Sumber : Asy Syariah Edisi 035

Kamis, 27 Agustus 2015

Tentang BERGAUL DENGAN NON-MUSLIM

Allah subhanahu wa taala berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al Mumtahanah: 8—9)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi seluruh jenis aliran dan agama karena Allah menyebutkan secara umum meliputi siapa pun yang tidak memerangi dan tidak mengusir kaum mukminin, tidak ada pengkhususan. Ayat ini tidaklah dihapuskan hukumnya (mansukh), karena seorang mukmin tidak diharamkan atau tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir harbi, baik yang ada hubungan nasab kekerabatan maupun tidak, jika hal itu tidak mengakibatkan mereka menyingkap rahasia kaum muslimin atau menguatkan mereka dengan kuda-kuda perang atau senjata.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini adalah menjelaskan siapa saja yang diperbolehkan untuk diperbuat baik kepadanya. Juga menjelaskan bahwa tentang diperbolehkannya memberi hadiah atau tidak kepada orang musyrik, tidak dapat dihukumi secara umum (mutlak). Di antara ayat yang serupa dengan ayat ini adalah:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Berbuat baik (berbakti), menyambung hubungan kekerabatan, dan berbuat ihsan (kebaikan) tidak mengharuskan terjadinya saling mencintai dan berkasih sayang karena hal ini dilarang oleh syariat, sebagaimana dalam firman Allah:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al Mujadilah: 22)
Ayat ini berlaku umum, meliputi orang kafir yang memerangi (kaum mukminin karena agama) ataupun tidak. Wallahu a’lam. (lihat al-Fath 5/261)

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, ayat ini bermakna bahwa Allah tidak melarang kamu (wahai kaum mukminin) untuk berbuat baik, menyambung hubungan kekerabatan, dan memberi hadiah dengan baik, serta berlaku adil terhadap orang-orang musyrik dari kerabat kalian ataupun bukan, selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian. Sikap semacam ini tidak membahayakan dan tidak pula menimbulkan mafsadah (kerusakan). Seperti firman Allah tentang kedua orang tua yang musyrik, jika anaknya muslim (untuk berbuat baik kepada keduanya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Adapun ayat Allah, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”
Makna larangan berloyal atau menjadikan mereka sebagai teman adalah larangan memberikan kasih sayang dan menolong mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Adapun bakti dan perbuatan baik kalian yang tidak menimbulkan sikap loyal kepada orang-orang musyrik, Allah tidak melarangnya. Bahkan, hal ini termasuk dalam keumuman perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan yang lainnya, dari manusia maupun yang lain.
Adapun makna “Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”, yaitu kezaliman sebatas loyalitas yang dilakukan. Jika loyalitasnya penuh (total), bisa mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika tidak penuh, ada tingkatannya, ada yang parah dan ada yang di bawahnya. (Lihat Taisir Karim ar-Rahman, pada tafsir surat al-Mumtahanah: 8—9)

Dalam Tafsir Ayat Ahkam, Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Wallahu a’lam, dikatakan bahwa sebagian kaum muslimin merasa berdosa karena hubungan yang terjadi dengan kaum musyrikin. Saya kira, hal itu karena turunnya perintah jihad (perang) dan diputusnya hubungan mereka dengan kaum musyrikin, dan turunlah ayat al-Mujadilah ayat 22 (yang berisi larangan mencintai dan berkasih sayang dengan kaum musyrikin). Mereka khawatir bahwa menjalin hubungan dengan harta akan dianggap sebagai bentuk berkasih sayang dengan mereka. Maka dari itu, turunlah ayat al-Mumtahanah ayat 8—9. Menjalin hubungan melalui harta, kebaikan, berlaku adil, lunak/halus dalam berbicara, surat-menyurat tentang hukum Allah, tidak termasuk dalam larangan berloyal dengan orang-orang yang dilarang, dan tidak termasuk membantu mereka untuk memusuhi kaum muslimin. Allah membolehkan berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang musyrik yang tidak membantu memusuhi muslimin. Hal ini tidak diharamkan. Allah menyebut orang-orang yang membantu dalam permusuhan terhadap kaum muslimin dan melarang berloyal dengan mereka. Berloyal dengan mereka berbeda dengan berbuat baik dan berbuat adil.”

###

Berikut ini beberapa bentuk muamalah yang boleh dilakukan bersama mereka dan tidak dianggap melanggar prinsip al-wala’ wal bara’.

1. Menyambung hubungan silaturahim.

Dalam satu riwayat, Asma bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anha berkata,
“Ibuku datang kepadaku dalam keadaan musyrik. Ketika itu Quraisy terikat perjanjian (dengan kaum msulimin). Akupun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ibuku datang ingin bertemu. Apakah boleh aku sambung hubungan silaturahmi dengannya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sambunglah hubungan silaturahmi dengan ibumu.” (HR. Muslim no. 1003)

2. Menjawab salam mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبْدَؤُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
“Janganlah kalian mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)
Dalam hadits lain,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُواوَعَلَيْكُمْ
Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah, “Untuk kalian juga.” (HR. Muslim no. 2163)

3. Menjenguk mereka yang sakit, jika diharapkan keislamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda Yahudi yang sedang sakit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengajaknya masuk Islam. Pemuda itu pun masuk Islam sebelum meninggalnya.

4. Tetap menjaga perjanjian selama mereka tidak mengingkari/membatalkannya.

Di dalam surat at-Taubah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧
“Selama mereka terus menjaga perjanjian dengan kalian maka terus penuhi perjanjian dengan mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang bertakwa.” (at-Taubah: 7)

5. Terjaganya darah kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’min.

Ketika menerangkan bahwa ayat Allah ‘azza wa jalla,
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ
“Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan dibunuh kecuali dengan sebab yang benar.” (al-An’am: 151)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jiwa yang diharamkan adalah jiwa muslim, kafir dzimmi, kafir mu’ahad dan kafir musta’min.

Sumber: Asy Syariah Edisi 106

Tentang SALAT SUNAH EMPAT RAKAAT DI WAKTU DHUHA DAN EMPAT RAKAAT SEBELUM SALAT ZUHUR

Dari Abu Musa Radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa shalat Dhuha empat raka’at dan sebelum (shalat) yang pertama (yakni Zhuhur) empat raka’at, maka akan dibangunkan untuknya istana di jannah.”

Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (1/59), Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihah (no.2349), “Sanadnya Hasan.”

Tentang MEMBACA SURAT AL IKHLASH SEPULUH KALI

Membaca Surat Al-Ikhlas Sebanyak Sepuluh Kali (dalam sehari)

Dari Mu’adz bin Anas Radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membaca Qul Huwallahu Ahad hingga menyelesaikannya sebanyak sepuluh kali, maka akan Allah bangunkan untuknya sebuah istana di jannah.”

Diriwayatkan Ahmad (no.155788) dan Al-Albani berkata di dalam Ash-Shahihah (no.589), “Hasan dengan syawahid (penguat)nya.”

Tentang BERZIKIR KETIKA MEMASUKI PASAR

Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari bapaknya Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berkata di pasar,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(artinya: tidak ada sesembahan yang hak diibadahi selain Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Maha menghidupkan dan Maha mematikan, Dia hidup tidak mati, di tangan-Nya lah segala kebaikan. Dan Dia Maha mampu atas segala sesuatu), maka Allah akan menuliskan untuknya satu juta kebaikan dan menghapuskan darinya satu juta kejelekan, dan akan dibangunkan baginya sebuah istana di jannahh.”

Diriwayatkan at-Tirmidzi (no.3429) dan dihasankan Al-Albani. Berkata Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/539), “Hadits shahih.”

Tentang SEPATU BERHAK TINGGI

al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Berbusana modis ala zaman ‘sesuai anggapan mereka’ lengkap dengan sepatu berhak tinggi merupakan pemandangan yang terlalu sering dan sangat biasa terlihat di luar sana. Seakan-akan semua itu merupakan penampilan yang harus diikuti oleh perempuan modern.

Sepatu berhak tinggi yang dianggap kelayakan dari sebuah penampilan ini sungguh merupakan musibah, karena terlalu banyak perempuan (baca: muslimah) yang tergoda untuk memakainya. Padahal kalau mau dirunut, budaya memakai alas kaki “kelebihan hak” ini bukanlah dari Islam. Lantas, budaya dari mana? Kita pun teringat dengan perempuan Bani Israil atau Yahudi, bagaimana mereka mengada-ada dalam berhias sehingga terjatuh dalam pelanggaran syariat.

Sebagai contoh, akan kita bawakan beberapa kabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat tentang hal tersebut.

Sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisah,
كَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ قَصِيْرَةٌ تَمْشِي مَعَ امْرَأَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ، فَاتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ وَخَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ مُغْلَقٍ مُطْبَقٍ، ثُمَّ حَشَتْهُ مِسْكًا وَهُوَ أَطْيَبُ الطِّيْبِ، فَمَرَّتْ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ فَلَمْ يَعْرِفُوْهَا
“Ada seorang wanita bertubuh pendek dari kalangan Bani Israil berjalan bersama dua wanita yang berpostur tinggi. Yang bertubuh pendek memakai dua kaki dari kayu (semacam sandal atau sepatu untuk menambah tingginya) dan mengenakan cincin dari emas yang digantung, yang ditutup. Kemudian dia memenuhinya dengan misik yang merupakan minyak wangi paling harum. Lalu dia lewat di antara dua wanita yang tinggi sementara mereka tidak mengenalinya.” (HR. Muslim, kitab al-Alfazh, no. 5842)

Said ibnul Musayyab rahimahullah, tokoh ulama tabi’in, berkata, “Muawiyah radhiallahu ‘anhu datang ke Madinah, lalu berkhutbah dan mengeluarkan gelungan rambut[1].
Beliau pun berkata,
مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُهُ إِلاَّ الْيَهُوْدُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَلَغَهُ فَسَمَّاهُ الزُّوْرَ
‘Semula aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang melakukannya[2] selain Yahudi. Sesungguhnya telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (berita) tentang menyambung rambut, maka beliau menamakannya dengan kedustaan’.” (HR. Muslim, kitab al-Libas, no. 5545)

Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah, alim dari negeri Yaman pada masanya, membawakan riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang berkata,
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ أَرْجُلاً مِنْ خَشَبٍ يَتَشَرَّفْنَ لِلرِّجَالِ فِي الْمَسَاجِدِ، فَحَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِنَّ الْمَسَاجِدَ وَسُلِّطَتْ عَلَيِهْنَّ الْحَيْضَةُ
“Dahulu para perempuan Bani Israil mengenakan kaki-kaki dari kayu agar mereka terlihat lebih tinggi oleh para lelaki di masjid-masjid. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengharamkan bagi mereka mendatangi masjid dan ditimpakan kepada mereka haid.” (Mushannaf Abdur Razzaq 3/149)

Kata Ibnu Hajar rahimahullah, “Sanadnya sahih.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Walaupun hadits ini mauquf (ucapan sahabat, yaitu Aisyah radhiallahu ‘anha), tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sebab, urusan seperti ini tidak bisa dikatakan bersumber dari pendapat sendiri atau akal-akalan. Maksud ‘ditimpakan kepada mereka haid’ dalam hadits di atas adalah masa haid perempuan Bani Israil panjang. Mereka harus menjalani waktu yang lama untuk sampai kepada masa suci. Hal ini termasuk hukuman yang ditimpakan akibat perbuatan mereka yang disebutkan dalam hadits.” (Fathul Bari, 2/407)

Maksud ‘kaki-kaki dari kayu’ menjadi lebih jelas dengan atsar dari sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahuyah rahimahullah dalam Musnadnya (2/147),
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ قَوَالِبَ
Kata قَوَالِب adalah bentuk jamak dari قاَلِبٌ , artinya ‘sandal dari kayu’. (Lisanul ‘Arab, maddah qalaba, 1/689)

Berita tentang perbuatan perempuan Yahudi dan kerusakan yang mereka adaadakan adalah bukti bahwa sumber mayoritas kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini adalah mereka, bangsa Yahudi.

Kita tidak heran dengan ulah bangsa yang dimurkai[3] dan dilaknat ini[4] karena mereka memang cinta kerusakan dan membenci perbaikan, cinta kekafiran dan benci kepada keimanan berikut ahlul iman[5], kecuali mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan mendapat petunjuk.[6]

Karena ulah kaum perempuan Yahudi tersebut, kaum lelaki mereka tergoda. Kita pun teringat dengan hadits yang menyatakan bahwa bencana pertama yang menimpa Bani Israil bersumber dari kaum perempuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوْا الدُّنْيَا وَاتَّقُوْا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيِلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah dari wanita[7], karena sesungguhnya awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah pada godaan wanita.” (HR. Muslim, kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, no. 6883)

Nah, sepatu tinggi ternyata diadopsi dari kaki kayu yang dibuat oleh perempuan Yahudi untuk mengesankan tubuhnya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kita katakan seperti ini karena merekalah yang pertama kali berhias dan tampil di hadapan lelaki dengan model seperti itu, sebagaimana tersebut dalam hadits.

Jadi, memakai sandal atau sepatu tinggi berarti bertasyabbuh (menyerupai atau meniru) dengan Yahudi, padahal mereka adalah orang-orang kafir penghuni neraka. Tasyabbuh dengan ashabun nar (penghuni neraka) dalam hal yang merupakan kekhususan mereka adalah terlarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam haditsnya,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, kitab al-Libas, no. 4031. Dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’, 2/1059)

Menyerupai orang kafir secara lahiriah akan mengantarkan kepada penyerupaan secara batin. Tasyabbuh dengan orang yang buruk adalah keburukan dan sebaliknya tasyabbuh dengan orang yang baik adalah kebaikan.

Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana apabila perempuan yang mengenakan sepatu tinggi tersebut tidak berniat tasyabbuh sama sekali?”

Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya, al-Iqtidha’, berikut ini adalah jawabannya. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ialah melakukan sesuatu yang asalnya merupakan perbuatan mereka.

Berdasarkan hal ini, wanita yang memakai sepatu tinggi berarti ber-tasyabbuh dengan wanita kafir, walaupun tujuannya bukan meniru mereka. Hanya saja, karena asal perbuatan tersebut diambil dari mereka, jadilah yang berbuat terjatuh dalam tasyabbuh.

Ternyata, bukan hanya kerusakan tasyabbuh yang dihindari dari pemakaian sepatu berhak tinggi ini. Namun, ada kerusakan atau pelanggaran lain pada pemakaiannya. Apakah itu? Perempuan yang keluar rumah memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi telah melanggar salah satu adab syar’i bagi muslimah saat keluar rumah.

Adab yang dimaksud adalah tidak bersengaja memperdengarkan suara langkah kaki atau apa yang tersembunyi di baliknya dari perhiasan yang dikenakan, seperti suara gelang kaki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….” (an-Nur: 31)

Apabila perempuan bersepatu tinggi melangkah, satu, dua, tiga langkah, dan seterusnya…. Apakah Anda mendengar suara sepatunya? Ya…. tuk…tuk…tuk atau suara semacam itu. Belum lagi apabila dia mengenakan gelang kaki, tentu lebih ramai lagi suaranya.

Kata Ummu Abdillah al-Wadi’iyah hafizhahallah, seorang penuntut ilmu senior dari negeri Yaman, putri al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I rahimahullah, “Kita ditimpa bencana di zaman ini dengan al-ka’bul ‘ali (alas kaki bertumit tinggi). Kita dapati perempuan mengenakannya. Saking tingginya sandal tersebut, sampai memiliki suara (saat dipakai melangkah). Kadang si perempuan bertingkah genit ketika berjalan.[8]

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Jika dia keluar rumah, setan memerhatikannya dan menghiasinya (dalam pandangan lelaki[9]).” (HR. at-Tirmidzi, kitab ar-Radha’, no. 1173, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykat no. 3109 dan al-Irwa’ no. 273. Lihat Nashihati lin Nisa’, hlm. 99)

Ada lagi satu madarat ketika perempuan mengenakan alas kaki yang tinggi. Si perempuan menghadapkan dirinya kepada bahaya, yaitu bisa saja terpeleset jatuh saat berjalan karena hak tinggi yang dikenakannya. Apalagi ketika dia berjalan terburu-buru.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ ketika ditanya tentang hukum memakai sepatu hak tinggi bagi wanita memberikan jawaban sebagai berikut.
“Memakai sepatu hak tinggi tidak diperbolehkan. Sebab, perempuan yang memakainya bisa terjatuh. Sementara itu, syariat ini memerintah manusia untuk menjauhi segala yang berbahaya, semisal keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (al- Baqarah: 195)
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (an-Nisa: 29)
Selain itu, sepatu ini menampakkan perawakan si perempuan lebih dari yang semestinya (tampak lebih tinggi) sehingga ada unsur tadlis (menipu, menampakkan kepalsuan).
Di samping itu, mengenakan sepatu tinggi berarti memperlihatkan sebagian perhiasaan perempuan mukminah (di hadapan lelaki yang tidak halal melihatnya)[10]. Hal ini dilarang berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah mereka (para perempuan) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, mertua lelaki mereka, anak-anak lelaki mereka, anak-anak lelaki dari suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki mereka (keponakan), anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka.” (an-Nur: 31) (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 475)

Yang jelas, seorang muslimah yang taat bukanlah pengikut setiap gaya dan mode yang ditawarkan di luar sana. Seorang muslimah sejati bukanlah seseorang yang latah atau ikut-ikutan dengan manusia di sekitarnya.

Dia adalah seseorang yang selalu berpegang dan terikat dengan aturan agamanya. Dia selalu memerhatikan, apakah sesuatu itu sesuai dengan ketentuan agamanya atau tidak? Adakah pelanggaran ataukah tidak? Apabila ternyata melanggar dan berbahaya, dia tidak merasa berat untuk meninggalkannya.

Nasihat untuk muslimah, jadilah seorang yang memerhatikan perhiasan untuk negeri akhiratmu, beroleh keridhaan sang Rabb. Sebab, sebentar lagi akan tiba hari perjumpaan dengan-Nya.

Janganlah perhatian diri hanya tertuang untuk berhias di negeri dunia hingga tidak peduli, apakah melanggar aturan Rabb atau tidak. Agama kita tidak melarang berhias dan berpenampilan, namun tentu dengan sesuatu yang tidak melanggar syariat dan mengandung dosa.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[1] Rambut palsu ini biasa dipakai oleh wanita untuk disambungkan dengan rambut aslinya.

[2] Menyambung rambut.

[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan doa orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya ash-shirathal mustaqim dan berlindung dari jalan Yahudi,
“… bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai….” (al-Fatihah)

[4] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil lewat lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling melarang terhadap perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu lihat kebanyakan dari mereka berloyalitas dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam azab.” (al-Maidah: 78—80)

[5] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh-sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling sengit permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (al-Maidah: 82)

[6] Di antara orang-orang Yahudi yang beroleh kemuliaan dengan petunjuk tersebut ialah Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha dan sahabat yang mulia, Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.

[7] Maknanya, hindarilah, jangan sampai kalian para lelaki tergoda dengan perempuan. (al-Minhaj, 17/58)

[8] Karena sepatu yang tinggi mendorong pemakainya berlenggak-lenggok ketika berjalan, dan ini bisa kita buktikan.

[9] Akibatnya lelaki tergoda dengannya.

[10] Dalam hal ini sepatu tinggi tersebut merupakan perhiasan si perempuan yang sengaja dipakainya untuk memberi nilai lebih atau menambah indah penampilannya.

Sumber: Asy syariah edisi 102

Rabu, 26 Agustus 2015

Tentang MENINGGALKAN PERSENGKETAAN

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, beliau berkata:
Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أنا زعيم ببيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقاً، وبيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحاً، وبيت في أعلى الجنة لمن حَسَّن خلُقه
Aku pastikan sebuah rumah di pinggiran surga bagi siapa yang meninggalkan persengketaan walaupun dia merupakan pihak yang benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi siapa yang meninggalkan dusta walaupun dalam keadaan senda gurau, dan sebuah rumah di bagian surga yang tinggi bagi siapa yang baik akhlaqnya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4800).
Al-Albani berkata dalam As-Shohihah (273): "Hadits ini hasan dengan penguat-penguatnya."

Tentang MEMBUNUH SERANGGA DAN HEWAN YANG MENGGANGGU

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan :
ﺍﻟﺤﺸﺮﺍﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻮﺟﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻨﻤﻞ ﻭﺍﻟﺼﺮﺍﺻﻴﺮ ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻗﺘﻠﻬﺎ ﺑﺎﻟﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﺑﺎﻟﺤﺮﻕ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻓﻤﺎﺫﺍ ﻧﻔﻌﻞ؟
Serangga yang ada di rumah seperti semut, kecoa dan yang semisalnya, apakah boleh dibunuh dengan air atau dibakar? Jika tidak boleh dibunuh maka apa yang harus kami lakukan?

Jawaban :
ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺸﺮﺍﺕ ﺇﺫﺍ ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻷﺫﻯ ﺗﻘﺘﻞ ﻟﻜﻦ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻣﻦ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﻤﺒﻴﺪﺍﺕ، ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (( ﺧﻤﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻭﺍﺏ ﻛﻠﻬﻦ ﻓﻮﺍﺳﻖ ﻳﻘﺘﻠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻞ ﻭﺍﻟﺤﺮﻡ ﺍﻟﻐﺮﺍﺏ ﻭﺍﻟﺤﺪﺃﺓ ﻭﺍﻟﻔﺄﺭﺓ ﻭﺍﻟﻌﻘﺮﺏ ﻭﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻌﻘﻮﺭ )) ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻵﺧﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺤﻴﺔ
Jika serangga-serangga ini mengganggu maka boleh dibunuh akan tetapi tidak dengan jenis pembunuh serangga yang berupa api, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam :
Lima jenis hewan yang semuanya fasiq dan boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram : burung gagak, elang, tikus, kalajengking, dan anjing buas (dan dalam hadits lain yang shohih ada penyebutan ular).
ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻗﺘﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻭﻣﺎ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﺫﻳﺎﺕ ﻛﺎﻟﻨﻤﻞ ﻭﺍﻟﺼﺮﺍﺻﻴﺮ ﻭﺍﻟﺒﻌﻮﺽ ﻭﺍﻟﺬﺑﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﺒﺎﻉ ﺩﻓﻌﺎ ﻷﺫﺍﻫﺎ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﻤﻞ ﻻ ﻳﺆﺫﻱ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﺘﻞ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﻗﺘﻞ ﺍﻟﻨﻤﻠﺔ ﻭﺍﻟﻨﺤﻠﺔ ﻭﺍﻟﻬﺪﻫﺪ ﻭﺍﻟﺼﺮﺩ، ﻭﺫﻟﻚ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺆﺫ ﺷﻲﺀ ﻣﻨﻬﺎ
Dan hadits shohih ini dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam menunjukkan disyariatkannya membunuh hewan-hewan yang disebutkan dan yang semakna dengannya yang berupa hewan yang mengganggu seperti semut, kecoak, nyamuk, lalat, dan binatang buas untuk menyingkirkan gangguannya.
Adapun jika semut itu tidak mengganggu maka ia tidak boleh dibunuh, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang membunuh semut, lebah, burung hud-hud, dan burung shurod, yang demikian jika mereka tidak mengganggu.
ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﺫﻯ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﺨﻤﺲ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﻲ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ
Adapun jika mereka mengganggu maka mereka sama dengan lima jenis hewan yang telah disebutkan dalam hadits. Wallohu waliyyut taufiiq.

www.binbaz.org.sa/node/175

Syabab Ashhabus Sunnah

http://www.ittibaus-sunnah.net

ASHHABUS SUNNAH

Hanya Sedikit Faedah

Selasa, 25 Agustus 2015

Tentang ISTRI BERHIAS DAN BERDANDAN KETIKA SUAMINYA TIDAK ADA

Hadits:
ﻋﻦ ﻓَﻀَﺎﻟَﺔُ ﺑْﻦُ ﻋُﺒَﻴْﺪٍ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ﻟَﺎ ﺗَﺴْﺄَﻝْ ﻋَﻨْﻬُﻢ … ﻭَﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻏَﺎﺏَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺎﻫَﺎ ﻣُﺆْﻧَﺔَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﺘَﺒَﺮَّﺟَﺖْ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺴْﺄَﻝْ ﻋَﻨْﻬُﻢْ
Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda:
“Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa) … adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj (berhias) setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR. Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)

PENJELASAN:

Maksudnya adalah:
Sang suami ini telah berbuat baik kepada istrinya dengan kebaikan yang bermacam-macam hingga sang suami melayaninya, memuliakan istrinya, membuat nyaman dirumahnya. Sang istri berada pada puncak kemuliaan yang diberikan sang suami.
Namun ketika sang suami tidak berada disisinya, diapun bersolek.
Sang istri telah berkhianat kepada suami jika dia tidak menjaga hak-hak suami, dan mengerti keutamaan sang suami atasnya.
Berhias diri ketika suami tidak ada merupakan bagian dari mengkufuri hak suami.
Kenapa dia dikatan mengkufuri hak suaminya?
Dikarenakan dia menampakkan mendengar dan patuh kepada suami hanya ketika sang suami berada disisinya, namun ketika sang suami tidak ada, diapun berhias diri.
Sama saja hukumnya apakah dia berhias diri untuk:
- pergi ke pasar
- bekerja
- pertemuan-pertemuan
- berkunjung
- untuk mengundang orang masuk ke rumahnya tanpa izin dari suaminya kemudian dia berhias diri karena mereka,
atau
- menampakkan dirinya berhias diri meskipun sekedar dari atap rumah atau dari jendela.

Dan Rasul telah menjelaskan kepada kita sabda beliau:
فلا تسأل عنهم
"Janganlah engkau bertanya lagi tentang mereka"
Dengan hadist:
بقوله: يا معشر النساء تصدقن وأكثرن الاستغفار فإني رأيتكن أكثر أهل النار إنكن تكثرن اللعن وتكفرن العشير
"Wahai segenap wanita, bersedekahlah kalian dan banyaklah beristighfar, karena aku melihat kalian termasuk kebanyakan penduduk neraka. Sesungguhnya kalian banyak melaknat dan mengingkari suami." [Riwayat Muslim]
ومن حديث زينب امرأة عبد الله بن مسعود قالت: قال رسول الله: يا معشر النساء تصدقن ولو من حليكن فإنكن أكثر أهل جهنم يوم القيامة
Dan dari hadist Zainab istri Abdullah bin Mas'ud berkata, Rasulullah bersabda:
"Wahai segenap wanita, bersedekahlah kalian meskipun dengan perhiasan kecil kalian. Karena sesungguhnya kalian termasuk kebanyakan penghuni neraka Jahannam pada hari kiamat."

[Diambil dari website Forum Addinul Qoyyim]

Alih bahasa:
Tim WBF