Cari Blog Ini

Kamis, 27 Agustus 2015

Tentang BERGAUL DENGAN NON-MUSLIM

Allah subhanahu wa taala berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al Mumtahanah: 8—9)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi seluruh jenis aliran dan agama karena Allah menyebutkan secara umum meliputi siapa pun yang tidak memerangi dan tidak mengusir kaum mukminin, tidak ada pengkhususan. Ayat ini tidaklah dihapuskan hukumnya (mansukh), karena seorang mukmin tidak diharamkan atau tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir harbi, baik yang ada hubungan nasab kekerabatan maupun tidak, jika hal itu tidak mengakibatkan mereka menyingkap rahasia kaum muslimin atau menguatkan mereka dengan kuda-kuda perang atau senjata.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini adalah menjelaskan siapa saja yang diperbolehkan untuk diperbuat baik kepadanya. Juga menjelaskan bahwa tentang diperbolehkannya memberi hadiah atau tidak kepada orang musyrik, tidak dapat dihukumi secara umum (mutlak). Di antara ayat yang serupa dengan ayat ini adalah:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Berbuat baik (berbakti), menyambung hubungan kekerabatan, dan berbuat ihsan (kebaikan) tidak mengharuskan terjadinya saling mencintai dan berkasih sayang karena hal ini dilarang oleh syariat, sebagaimana dalam firman Allah:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al Mujadilah: 22)
Ayat ini berlaku umum, meliputi orang kafir yang memerangi (kaum mukminin karena agama) ataupun tidak. Wallahu a’lam. (lihat al-Fath 5/261)

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, ayat ini bermakna bahwa Allah tidak melarang kamu (wahai kaum mukminin) untuk berbuat baik, menyambung hubungan kekerabatan, dan memberi hadiah dengan baik, serta berlaku adil terhadap orang-orang musyrik dari kerabat kalian ataupun bukan, selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian. Sikap semacam ini tidak membahayakan dan tidak pula menimbulkan mafsadah (kerusakan). Seperti firman Allah tentang kedua orang tua yang musyrik, jika anaknya muslim (untuk berbuat baik kepada keduanya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Adapun ayat Allah, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”
Makna larangan berloyal atau menjadikan mereka sebagai teman adalah larangan memberikan kasih sayang dan menolong mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Adapun bakti dan perbuatan baik kalian yang tidak menimbulkan sikap loyal kepada orang-orang musyrik, Allah tidak melarangnya. Bahkan, hal ini termasuk dalam keumuman perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan yang lainnya, dari manusia maupun yang lain.
Adapun makna “Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”, yaitu kezaliman sebatas loyalitas yang dilakukan. Jika loyalitasnya penuh (total), bisa mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika tidak penuh, ada tingkatannya, ada yang parah dan ada yang di bawahnya. (Lihat Taisir Karim ar-Rahman, pada tafsir surat al-Mumtahanah: 8—9)

Dalam Tafsir Ayat Ahkam, Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Wallahu a’lam, dikatakan bahwa sebagian kaum muslimin merasa berdosa karena hubungan yang terjadi dengan kaum musyrikin. Saya kira, hal itu karena turunnya perintah jihad (perang) dan diputusnya hubungan mereka dengan kaum musyrikin, dan turunlah ayat al-Mujadilah ayat 22 (yang berisi larangan mencintai dan berkasih sayang dengan kaum musyrikin). Mereka khawatir bahwa menjalin hubungan dengan harta akan dianggap sebagai bentuk berkasih sayang dengan mereka. Maka dari itu, turunlah ayat al-Mumtahanah ayat 8—9. Menjalin hubungan melalui harta, kebaikan, berlaku adil, lunak/halus dalam berbicara, surat-menyurat tentang hukum Allah, tidak termasuk dalam larangan berloyal dengan orang-orang yang dilarang, dan tidak termasuk membantu mereka untuk memusuhi kaum muslimin. Allah membolehkan berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang musyrik yang tidak membantu memusuhi muslimin. Hal ini tidak diharamkan. Allah menyebut orang-orang yang membantu dalam permusuhan terhadap kaum muslimin dan melarang berloyal dengan mereka. Berloyal dengan mereka berbeda dengan berbuat baik dan berbuat adil.”

###

Berikut ini beberapa bentuk muamalah yang boleh dilakukan bersama mereka dan tidak dianggap melanggar prinsip al-wala’ wal bara’.

1. Menyambung hubungan silaturahim.

Dalam satu riwayat, Asma bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anha berkata,
“Ibuku datang kepadaku dalam keadaan musyrik. Ketika itu Quraisy terikat perjanjian (dengan kaum msulimin). Akupun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ibuku datang ingin bertemu. Apakah boleh aku sambung hubungan silaturahmi dengannya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sambunglah hubungan silaturahmi dengan ibumu.” (HR. Muslim no. 1003)

2. Menjawab salam mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبْدَؤُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
“Janganlah kalian mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)
Dalam hadits lain,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُواوَعَلَيْكُمْ
Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah, “Untuk kalian juga.” (HR. Muslim no. 2163)

3. Menjenguk mereka yang sakit, jika diharapkan keislamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda Yahudi yang sedang sakit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengajaknya masuk Islam. Pemuda itu pun masuk Islam sebelum meninggalnya.

4. Tetap menjaga perjanjian selama mereka tidak mengingkari/membatalkannya.

Di dalam surat at-Taubah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧
“Selama mereka terus menjaga perjanjian dengan kalian maka terus penuhi perjanjian dengan mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang bertakwa.” (at-Taubah: 7)

5. Terjaganya darah kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’min.

Ketika menerangkan bahwa ayat Allah ‘azza wa jalla,
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ
“Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan dibunuh kecuali dengan sebab yang benar.” (al-An’am: 151)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jiwa yang diharamkan adalah jiwa muslim, kafir dzimmi, kafir mu’ahad dan kafir musta’min.

Sumber: Asy Syariah Edisi 106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar