Cari Blog Ini

Selasa, 23 September 2014

Tentang MENJAMA' SHALAT JUM'AT DENGAN SHALAT ASHAR

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Ada beberapa orang melakukan safar, lalu mereka menjama’ shalat Jum’at dengan shalat Ashar, kemudian mereka bertanya kepada salah seorang penuntut ilmu tentang hal tersebut, maka dia menjawab: “Saya tidak mengetahui ada yang melarang hal tersebut?” Maka hukum hal tersebut berkaitan dengannya dan dengan mereka? Apakah di sana ada pendapat sebagian ulama yang menyatakan bolehnya hal tersebut?

Asy-Syaikh:
Ini merupakan pendapat yang lemah. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh menjama’ shalat Ashar dengan shalat Jum’at. Dan tidak ada riwayat dari Salaf satu huruf pun yang menyebutkan bahwa mereka menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar, tidak ada riwayat semacam ini. Yang ada hanya pendapat yang lemah dari sebagian pengikut madzhab Asy-Syafi’i. Adapun jumhur berpendapat sebaliknya. Bahkan siapa yang menjama’ shalat Ashar dengan shalat Zhuhur (maksudnya Jum’at) maka dia wajib mengulang, wajib atasnya untuk mengulang shalat Ashar.

Penanya: Kalau telah lewat?

Asy-Syaikh:
Walaupun telah berlalu 100 tahun dia harus mengulangi shalat Ashar.

Penanya: Kalau dia mengerjakan shalat Zhuhur dan tidak menghadiri shalat Jum’at?

Asy-Syaikh:
Yang tidak ada adalah menjama’ dengan shalat Jum’at. Gambarannya seseorang mengerjakan shalat Jum’at bersama manusia, dan tatkala mereka selesai dari shalat Jum’at dia bangkit mengerjakan shalat Ashar.

Penanya: (Suara kurang jelas)

Asy-Syaikh:
Tidak tepat, tidak boleh menjama’ dan waktunya belum datang. Shalat Ashar dikerjakan pada waktunya yaitu waktu Ashar.

Penanya: Bagaimana dengan orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at apakah boleh mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjama’?

Asy-Syaikh:
Jika dia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar di … (suara kurang jelas) hal ini mungkin, seperti seorang musafir yang tidak menghadiri shalat Jum’at bersama orang-orang yang mukim lalu dia mengerjakan shalat Zhuhur dan menjama’nya dengan shalat Ashar maka tidak mengapa. Karena pembicaraan kita berkaitan dengan menjama’ shalat Ashar dengan shalat Jum’at.

Tentang MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DAN ZAKAT MAL DALAM BENTUK UANG

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits. An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya:‘Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”
Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat pertama itulah yang kuat. Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.

Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya. Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa.”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Soal:
Mengapa zakat fitrah tidak boleh dengan uang? Bagaimana dengan zakat mal?

Jawab:
Menurut pendapat yang rajih, zakat fitrah dengan uang tidak sah. Adapun zakat mal boleh, apabila ada tuntutan hajat atau maslahat. Lihat Majalah Asy-Syari’ah edisi ‘Muslim Taat Bayar Zakat.’ (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

###

Apa Yang Dikeluarkan Sebagai Zakat Fitrah?

Yang dikeluarkan sebagai zakat fitr adalah yang menjadi makanan pokok manusia yang ada di negeri tersebut. Adapun makanan pokok yang ada di negeri kita (Indonesia) adalah beras, sehingga beraslah yang dikeluarkan sebagai zakat fitr.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Said Al-Khudri Radiyallahu anhu, berkata:
“Kami mengeluarkan (zakat) hari fitr di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, satu sha’ dari makanan.” Lalu berkata Abu Said: “Makanan kami ketika itu adalah gandum, kismis, susu beku (semisal keju), dan kurma.” (HR.Bukhari: 1439)

Adapun mengeluarkan zakat fitr dengan uang, hal ini tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat dari para ulama, dengan beberapa alasan:

1) Hadits- hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, menunjukkan bahwa yang dikeluarkan adalah makanan pokok, bukan makanan yang lain, bukan barang, dan bukan pula uang.

2) Tidak dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau menganjurkan mengeluarkan zakat fitr dengan dinar atau dirham, tidak seperti halnya Beliau memerintahkan mengeluarkan zakat harta (bukan zakat fitr) dengan dinar dan dirham. Kalau seandainya membayar dengan dirham diperbolehkan pada zakat fitr, tentu Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam telah menerangkannya.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:
“Tidak halal bagi seseorang mengeluarkan zakat fitr dengan dirham (uang maksudnya), atau pakaian, atau kasur. Namun yang wajib adalah mengeluarkannya dengan apa yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan tidak teranggap apa yang dianggap baik oleh manusia, sebab syariat ini tidaklah mengikuti pendapat orang, namun ia berasal dari yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dan Allah Subhaanahu wata’aala, Maha Mengetahui dan Maha Bijak, sehingga apabila telah diwajibkan melalui lisan Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam satu sha’ dari makanan, maka tidak boleh melanggar hal itu meskipun akal-akal kita menganggapnya baik, namun yang wajib bagi seseorang jika ia menganggap baik sesuatu yang menyelisihi syariatnya, agar hendaknya ia menuduh akal dan pendapatnya.”
(Majmu’ fatawa Ibnu Utsaimin: 18/280)

Pendapat yang tidak membolehkan membayar zakat fitr dengan uang adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Syafi’i, dan yang lainnya.

Oleh:
Abu Muawiyah Askary bin Jamal
14 ramadhan 1433 H

http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/92-tuntunan-ringkas-tentang-zakat-fitrah

TIS

WA Lintas Ilmu Shiyam
WALIS

###

BAHAYANYA MENGANGGAP BAHWA ZAKAT FITRAH DENGAN MENGGUNAKAN UANG ITU LEBIH UTAMA

Oleh: Asy-Syaikh Al-'Allaamah Muhammad bin Nashiruddin al-Albaniy -rahimahullah-

Beliau rahimahullah berkata:
ﺣﻴﻨﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻭﻳﻘﻮﻝ: ﻻ!! ﻧﺨﺮﺝ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻫﺬﺍ ﺃﻧﻔﻊ ﻟﻠﻔﻘﻴﺮ!! ﻫﺬﺍ ﻳﺨﻄﺊ ﻣﺮﺗﻴﻦ
Tatkala seseorang datang dan berucap:
"TIDAK! Kami akan mengeluarkan nilai uang (pengganti bahan makanan), (karena uang) ini yang lebih bermanfaat bagi orang fakir!"
Orang ini telah keliru dua kali.
ﺍﻟﻤﺮﺓ ﺍﻷﻭﻟﻰ: ﺃﻧﻪ ﺧﺎﻟﻒ ﺍﻟﻨﺺ، ﻭﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺗﻌﺒُّﺪﻳﺔ، ﻫﺬﺍ ﺃﻗﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺎﻝ
PERTAMA: Dia telah menyelisihi nash.
Sedangkan permasalahannya adalah ta'abbudiyah (penghambaan dan tunduk kepada syari'at). Ini paling minimal untuk disebutkan.
ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺧﻄﻴﺮﺓ ﺟﺪﺍً؛ ﻷﻧﻬﺎ ﺗﻌﻨﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺎﺭِﻉ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ -ﺃﻻ ﻭﻫﻮ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ- ﺣﻴﻨﻤﺎ ﺃﻭﺣﻰ ﺇﻟﻰ ﻧﺒﻴﻪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻣﺔ ﺇﻃﻌﺎﻡ ﺻﺎﻉ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻃﻌﻤﺔ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻌﺮﻑ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ ﻛﻤﺎ ﻋﺮﻓﻬﺎ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﺑﺄﻥ ﺇﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﺃﻓﻀﻞ
Namun sisi KEDUA sangatlah berbahaya karena ucapannya itu bermakna:
Bahwa Pembuat Syari'at Yang Maha Bijaksana -yaitu Allah Rabb dari alam semesta- ketika mewahyukan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk mewajibkan atas umatnya memberi satu sha' dari jenis makanan (dianggap) TIDAK MEMAHAMI kemaslahatan bagi orang-orang fakir dan miskin sebagaimana mereka -orang-orang yang menyangka bahwa mengeluarkan nilai uang lebih utama (daripada jenis makanan)- telah mengetahuinya.

Sumber:
Kaset Silsilatul Huda wan Nuur, Kaset ke-274

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya Al-Maidany (Solo) hafidzahullah [FBF-5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Tentang KUTEKS

Pertanyaan: Sahkah wudhu wanita yang di kukunya terdapat kuteks?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menjawab:

“Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/sisa cat yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila ia hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Karena Allah berfirman:
“…Maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.” (Al-Ma’idah: 6)
Kuteks yang dipakai oleh seorang wanita pada kukunya akan menghalangi air mengenai kuku/jarinya sehingga tidak bisa dikatakan ia telah mencuci tangannya. Dengan begitu ia telah meninggalkan satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban wudhu atau mandi. Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini.

Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir. Karena alasan ini maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir.

Aku pernah mendengar sebagian orang berfatwa bahwa memakai kuteks bisa dikiaskan dengan memakai khuf (sementara ada pensyariatan mengusap di atas khuf dan ada ketentuan waktunya), dengan begitu seorang wanita boleh memakainya sehari semalam bila ia sedang tidak safar/bepergian dan tiga hari tiga malam bila ia musafir. Namun ini fatwa yang salah. Karena tidak setiap yang menutupi tubuh seseorang disamakan dengan memakai khuf. Kalau khuf dibolehkan oleh syariat untuk mengusapnya karena umumnya ada kebutuhan. Kedua telapak kaki ini butuh dihangatkan dan butuh ditutup karena keduanya langsung bersentuhan dengan tanah, kerikil, rasa dingin, dan selainnya, maka syariat pun mengkhususkan pengusapan di atas keduanya.

Terkadang mereka juga mengkiaskannya dengan sorban dan ini pun tidak benar. Karena sorban itu tempatnya di kepala, sementara kepala dari asalnya memang diringankan. Kepala hanya wajib diusap dalam amalan wudhu, beda halnya dengan tangan, kedua tangan harus dicuci. Karena itulah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperkenankan wanita mengusap kaos tangannya ketika wudhu, padahal kaos tangan tersebut menutupi tangannya. Ini menunjukkan tidak bolehnya seseorang mengkiaskan segala penghalang/penutup yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu dengan sorban dan khuf.

Yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah mencurahkan segala kesungguhan dan upayanya untuk mengetahui al-haq serta janganlah berfatwa melainkan dalam keadaan ia menyadari bahwa Allah kelak akan menanyakan kepadanya tentang fatwa tersebut (meminta pertanggung jawabannya), karena ia memberikan penggambaran tentang syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Allah lah yang memberi taufik, yang membimbing kepada ash-shirath al-mustaqim."

[Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/148-149]

————————————————————
Sumber : Majalah Asy Syariah Online

Tentang MENGGANGGU ORANG LAIN DI DALAM MASJID

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menasihati seorang badui yang kencing di masjid, “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak boleh dikencingi dan dikotori. Ia tidak lain (tempat) untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (Shahih Muslim no. 285 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa dahulu ada seorang lelaki masuk ke masjid pada hari Jum’at dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang menyampaikan khutbahnya. Orang tersebut melangkahi para manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadanya, “Duduklah kamu! Kamu telah menyakiti dan telah terlambat datang.” (Shahih Sunan Ibni Majah no. 923)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya lalu ia duduk padanya. Namun, berilah kelapangan!” (Muttafaqun ‘alaih)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Ketahuilah bahwa setiap kalian sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Maka dari itu, janganlah sebagian kalian menyakiti yang lain dan janganlah mengeraskan bacaan atas yang lain.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)

Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki masuk masjid dengan membawa anak panah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan orang tersebut untuk memegang bagian yang runcing dari anak panah itu.” (lihat Shahih al-Bukhari no. 451)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﻛَﻞَ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺒَﻘْﻠَﺔِ ﺍﻟﺜُّﻮْﻡِ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﻞِ ﻭَﺍﻟْﻜُﺮَّﺍﺙِ، ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻘْﺮَﺑَﻨَّﺎ ﻓِﻲ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪِﻧَﺎ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔَ ﺗَﺘَﺄَﺫَّﻯ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺘَﺄَﺫَّﻯ ﻣِﻨْﻪُ ﺑَﻨُﻮْ ﺁﺩَﻡَ
“Barang siapa memakan sayuran ini: bawang putih, bawang merah, dan seledri, janganlah mendekati kami di masjid-masjid kami. Sebab, para malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia.” (HR. Muslim)

###

Asy-Syaikh Al-‘allamah Sholeh al Fauzan -hafidzahullah-

P E R T A N Y A A N:
ﻛﺜﺮﺓ ﺃﺣﻴﺎﻧﺎ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﺭﻭﺍﺋﺢ ﻛﺮﻳﻬﺔ ﻛﺎﻟﺜﻮﻡ ﻭﺍﻟﺒﺼﻞﻭﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻷﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﻨﻈﺎﻓﺔ ﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﻭﺗﻌﻈﻴﻢ ﺷﻌﻴﺮﺓ ﺍﻟﺼﻼﺓﻭﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺃﻳﻀًﺎ ﺍﻟﻤﺼﻠﻴﻦ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻮﺟﻴﻬﻜﻢ ﺑﺎﺭﻙ ﺍﻟﻠﻪﻓﻴﻜﻢ؟
Sering didapati aroma tidak sedap (dari badan sebagian orang) di beberapa masjid — seperti bau bawang putih, bawang merah, bau asap rokok, tidak memperhatikan kebersihan pakaian, dan tidak memuliakan keagungan sholat dan mesjid serta jama’ah sholat dari hamba-hamba Alloh, mohon bimbingan Anda Baarokallaahu fiikum?

J A W A B A N:
ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺣﻴﻨﻤﺎ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻃﻴﺐ ﺍﻟﺮﺍﺋﺤﺔ ﻭﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺛﻴﺎﺑﻪ ﻧﻈﻴﻔﺔ ﻷﻧﻪ ﻣﺘﻮﺟﻪ ﺇﻟﻰ ﺑﻴﺖ ﻣﻦ ﺑﻴﻮﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻳﺨﺘﻠﻂ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﻴﻦ ﻓﻼ ﻳﺆﺫﻳﻬﻢ ﺑﺎﻟﺮﻭﺍﺋﺢ ﺍﻟﻜﺮﻳﻬﺔ ﻓﻤﻬﻤﺎ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﺮﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﻜﺮﻳﻬﺔ ﺃﻭ ﻳﺨﻔﻔﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻗﻞ ﻓﺈﻧﻪﻳﺘﻌﻴﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻟﻚ
Diwajibkan bagi seorang Muslim manakala dia menuju ke masjid untuk beraroma harum dan berpakaian bersih dikarenakan dia akan mendatangi satu rumah dari rumah-rumah Alloh dan akan berbaur dengan jama’ah sholat lainnya.
Maka janganlah ia menggangu mereka dengan aroma tidak sedap -selagi dia mampu untuk menghilangkan bau yang tidak sedap tersebut atau setidaknya meminimalkannya- maka sesungguhnya hal itu wajibnya.

Sumber:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/15747

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Muhammad Hasan (Jember) -hafidzahullah- [FBF-2]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | http://www.alfawaaid.net

Hanya Sedikit Faedah

###

Al Ustadz Abdul Haq Balikpapan hafizhahullah

Tanya:
Bagaimana ustadz, tentang bau keringat? Seringkali sebelum shalat anak-anak tidak mandi. Padahal mereka sebelumnya bermain-main. Sehingga seringkali ketika shalat tercium bau tidak sedap. Apakah ini termasuk kotoran? Mengingat tubuh mereka menjadi berbau.

Jawab:
Iya, ini gangguan. Dan kita dilarang untuk mengganggu kaum muslimin. Rasulullah 'alaihi shalatu wasalam melarang melarang seseorang yang memakan bawang putih, bawang merah yang mentah untuk masuk masjid. Kenapa? Baunya, yang mengganggu kaum muslimin. Dari sendawanya, dari aromanya. Dimana para malaikat akan terganggu dengan bau busuknya, sebagaimana jama'ah terganggu.
من أكل من هذه الشجرة المنتنة فلا يقربن مسجدنا فإن الملائكة تأذى مما يتأذى منه الإنس
"Barangsiapa yang memakan tanaman yang busuk baunya ini, maka janganlah mendekati masjid kami. Karena malaikat rahmat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu." (Diriwayatkan oleh Muslim no. 563)
Barang siapa yang makan bawang putih, bawang merah mentah, kecuali sudah dimasak, disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dikecualikan apabila sudah dimasak akan mengurangi baunya, tidak mengapa. Namun apabila seorang makan bawang putih, bawang merah mentah, kata Nabi 'alaihi shalatu wasalam jangan sekali-sekali mendekati masjid kaum muslimin untuk ibadah, untuk shalat berjama'ah. Kenapa? Karena malaikat terganggu dari bau busuknya, bau tidak sedapnya. Na'am sebagaimana jama'ah terganggu dari bau busuknya.
Oleh karena itu para ulama menjelaskan hadits ini, bahwa ini juga masuk ke dalam semua bau-bau yang menimbulkan gangguan di tengah jama'ah, di tengah kaum muslimin, seperti apa? Keringat. Jadi yang disebutkan dalam hadits ini bawang putih, bawang merah. Tapi bukan hanya itu, termasuk pula misalkan makanan yang bisa menimbulkan bau yang tidak sedap, seperti apa? Jengkol, pete, durian, atau yang lainnya. Soto, rawon (sendawanya), artinya dijaga.
Termasuk keringat, bau rokok, baunya luar biasa, mengganggu sekali. Ini hendaknya dijaga, dibersihkan, pakai minyak wangi, mandi. Apalagi anak-anak, jangan dibiarkan. Kita sebagai wali, sebagai orang tua, bertanggung jawab. Jangan sampai anak kita dibiarkan, dari kecil biasa kemproh. Tahu kemproh? Jorok, bau dibiarkan.
"Tidak apa-apa, anak salafy, anak ahlussunnah, biasa kotor, yang penting hatinya bersih."
Janganlah, jangan berlebihan, jangan ekstrim. Tetap islam membimbing kita. Anda ahlussunnah iya? Terapkan sunnah, apa sunnahnya? Jaga kesehatan, jaga kebersihan. Kondisikan anak kita wangi terus, sebagaimana kita. Sehingga yang seperti ini hendaknya dihindari. Anak-anak apalagi habis main, kalau bisa suruh mandi, suruh mandi. Terkadang karena keringatnya banyak keluar, meskipun dikasih minyak wangi, tambah jadi kan baunya? Sehingga bagaimana solusinya? Ya pakaiannya diganti misalkan, pakaian yang kering atau yang semisalnya. Wallahu ta'ala a'lam bishawab.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Tentang MENGANGKAT TANGAN DI SETIAP TAKBIR PADA SHALAT JENAZAH DAN SHALAT 'ID

Pada daurah ilmiah di ‘Adn yang diisi oleh asy-Syaikh ‘Arafat ditujukan soal sebagai berikut:

Soal:
Apakah hukum mengangkat tangan di setiap takbir pada shalat jenazah dan shalat ‘id?

Beliau menjawab: Hal itu adalah sunnah.

Mengangkat tangan telah dikerjakan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dan ini juga merupakan amalan mayoritas sahabat sebagaimana dikatakan oleh al-Imam at-Tirmidzi dalam “al-Jami”. Tapi, hal ini dilakukan pada shalat jenazah.

Adapun pada shalat ‘id, tidak ada satu pun riwayat yang sahih bahwa hal itu dilakukan oleh para sahabat. Meskipun imam mazhab yang empat berpendapat mengangkat tangan (kecuali al-Imam Malik sebagaimana dalam al-Mughni 3/272-273 Dar ‘alimil kutub, Riyadh), akan tetapi hal itu tidak sahih.

Adapun pada shalat jenazah, telah ada riwayat dari Ibnu Umar dengan sanad yang sahih. Bahkan asy-Syaikh Rabi’, asy-Syaikh bin Baz, dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabi semuanya mensahihkan hadits (secara marfu’) yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah. Oleh karena itu, asy-Syaikh Rabi’ dalam “Majmu’ Rasail” nya menyebutkan/berpendapat hal ini. Bahkan asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah Ta’ala berkata, “Aku berjumpa dengan asy-Syaikh al-Wushabi di rumahku. Lalu kami berdiskusi ilmiah, dan membahas hadits (tentang mengangkat tangan pada shalat jenazah). Maka, tatkala membahasnya, sampailah kami pada kesimpulan bahwa hadits tersebut adalah sahih.” Demikianlah, keduanya bersepakat atas sahihnya hadits tersebut.

Demikian pula asy-Syaikh bin Baz dalam ta’liqnya terhadap Fathul Bari mengatakan, “Sungguh telah sahih riwayat tersebut secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan dia termasuk ziyadah tsiqah.

(Fawaid dari daurah ilmiah di ‘Adn, Masjid Jami’ al-Iman pada hari Senin, 19 Rabi’ul Awwal 1435 H/20 Januari 2014)

Abu Umar Ibrahim

###

Fatawa Lajnah Daimah

Soal keempat dari Fatwa no. 6719

Soal:
Apakah boleh melakukan shalat jenazah tanpa mengangkat tangan pada setiap takbir?

Jawab:
Boleh melakukan shalat jenazah tanpa mengangkat tangan, karena yang wajib baginya adalah melakukan beberapa takbir (bukan mengangkat tangan), membaca al-Fatihah, mendoakan kebaikan untuk mayyit, dan salam.
Akan tetapi, mengangkat tangan di setiap takbir adalah SUNNAH.

Fatawa Lajnah Daimah
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

Sumber: Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta', Riyadh, Mamlakah al-'Arabiyyah as-Su'udiyyah, jilid 5, Kitab al-Janaiz

###

Faedah
Ibnu Juraij berkata: aku bertanya kepada Atha’, "Apakah seorang imam mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir tambahan dalam shalat ‘iedul fithri?" Beliau menjawab: “Iya, dan manusia (para makmum) juga mengangkatnya.” (Riwayat Abdurrazzaq (3/5699), Al-Baihaqi (3/293), dengan sanad yang shahih)

Tentang HAK ASUH ANAK

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Saya berharap kepada Fadhilatus Syaikh, untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengasuhan anak, karena banyak yang tidak kami ketahui, dan telah terjadi perselisihan yang buruk antara saya dengan suami saya dalam hal pengasuhan anak-anak, dia mencerai saya dalam keadaan saya memiliki anak-anak yang berbeda-beda usianya, ada yang 6 tahun, 5 tahun, 4 tahun, dan 2 tahun. Saya mengharapkan rincian masalah tersebut dalam syariat Islam.

Asy-Syaikh:

Masalah pengasuhan luas pembahasannya. Jika terjadi perselisihan antara suami istri dalam masalah tersebut maka diangkat permasalahannya ke pengadilan syariat. Pengasuhan maknanya adalah merawat atau mengurusi anak yang masih kecil, melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan melindunginya dari hal-hal yang membahayakannya. Jika seorang istri dicerai dalam keadaan memiliki anak laki-laki yang masih kecil, maka dia lebih berhak mengasuhnya selama dia belum menikah dengan suami yang lain, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika anak tersebut telah mencapai usia 7 tahun yaitu usia mumayyiz (bisa membedakan baik dan buruk dalam hal-hal yang sederhana), maka dia diberi kebebasan untuk memilih; apakah ingin mengikuti ayahnya atau ibunya, dengan catatan anak tersebut laki-laki. Namun jika anaknya perempuan maka ayahnya yang mengasuhnya hingga menikahkannya, dengan tujuan agar ayahnya menjaga dan melindunginya.

###

Tanya: Sepasang suami-istri bercerai, sementara mereka memiliki dua anak yang masih balita. Ketika awal perceraian, kedua anak tersebut mengikuti ibunya. Namun sekarang ayahnya ingin mengambil keduanya untuk diasuhnya. Pertanyaan kami: di dalam syariat Islam, siapa sebenarnya yang lebih berhak terhadap dua anak tersebut, ibunya ataukah ayahnya? Apakah ada syarat yang ditetapkan bagi pihak yang mengasuh anak tersebut? Jazakumullah khairan atas jawabannya.

Jawab:

Istri (ibu) adalah pihak yang paling berhak untuk mengasuh anaknya yang masih kecil apabila ia berpisah dengan suaminya. Namun sang ibu harus memenuhi beberapa syarat seperti yang ditetapkan oleh fuqaha (ahli fiqih). Bila si ibu tidak memiliki syarat yang telah ditentukan tersebut maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam, tidak boleh ibu yang kafir diserahi pengasuhan anak
2. Berakal
3. Baligh
4. Mampu untuk mendidik dan mengurusi anak tersebut
5. Belum menikah lagi dengan pria lain
(Zadul Ma’ad, 4/132)

Dari kasus yang ditanyakan di atas, maka yang berhak mengasuh anak tersebut adalah ibunya selama ia belum menikah atau memenuhi syarat-syarat di atas. Ketika ada seorang wanita mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, dulunya perutku menjadi tempat tinggal bagi anakku ini. Air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat meringkuknya. Ayah anak ini kemudian menceraikan aku dan dia ingin merebut anak ini dariku.” Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻧْﺖِ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﻜِﺤِﻲ
“Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad 2/182, Abu Dawud no. 2276, dan selainnya. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ no. 2187)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan apabila si ibu menikah, gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Demikian pendapat jumhur ulama.”
Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat ulama yang kami hafal dari mereka akan hal ini.”
Beliau juga menyinggung kedudukan hadits ini, bahwasanya hadits ini diterima dan diamalkan oleh para imam, seperti al-Bukhari, Ahmad, Ibnul Madini, al-Humaidi, Ishaq bin Rahuyah, dan semisal mereka, sehingga tidak perlu menoleh pada orang yang menganggap hadits ini cacat.
(Subulus Salam, 3/353—354)

Demikian pula jawaban yang diberikan asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh rahimahullah dalam Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (11/219), sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa al-Mar’ah (2/874). Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم شيخنا، السؤال الثامن في هذا اللقاء؛ يقول: امرأة طَلَّقها زوجها الأول ولها منه ولد عمره سنة واحدة، وهي الآن ستتزوج من رجلٍ آخر، فلمن تكون حضانة هذا الطفل بعد زواجها؟ للأب أم للأم؟
Semoga Allah memberkahi anda, wahai syaikh kami.
Pertanyaan kedelapan pada pertemuan ini:
Ada seorang wanita yang dicerai suaminya yang pertama, dan dia memiliki satu anak dari suaminya tersebut yang baru berumur satu tahun. Dan sekarang si wanita telah menikah dengan laki-laki lain. Siapakah yang mendapat hak asuh anak setelah wanita ini menikah? Apakah ayah atau ibunya? 

Jawaban:
هذه مردُّها يا بنتي إلى الحاكم الشرعي هو الذي ينقل الحضانة، إلا إذا رَضِي زوجك الثاني وقَبِل يبقى معك. إذن، أولًا: حال المصافاة والملاطفة واللين، فلابُدّ أولًا من موافقة أبيه وهو زوجك الأول، فإن وافق لابُدَّ من موافقة الزوج الثاني فهل يستطيع أو لا يستطيع، يقبل أو لا يقبل. أما حال المُشاحّة، فالأمر إلى الحاكم الشرعي، هو الذي يفصل في الموضوع
Wahai anakku, perkara ini dikembalikan keputusannya kepada hakim syari, dialah yang memutuskan hak asuh anak kepada siapa.
Kecuali suamimu yang kedua ridho dan mau menerima anakmu tersebut. Kalau demikian, maka ada dua cara.
Yang pertama: dengan cara damai dan lemah lembut, yaitu dengan meminta persetujuan suami yang pertama, dan kalau dia setuju, maka minta lagi persetujuan suami kedua, apakah dia sanggup dan mau menerima anak tersebut.
Jika kedua pihak saling ngotot dalam hak asuh, maka dalam kondisi seperti ini dikembalikan kepada hakim syari, dialah yang memutuskan perkaranya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11278

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MENIRU DAN MENGIKUTI ORANG KAFIR

Tasyabbuh adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hal aqidah, ibadah, perayaan, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri, dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, atsar, dan pengalaman, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyariatkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473)

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
ﺃَﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻥِ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻥ ﺗَﺨْﺸَﻊَ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻟِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﺰَﻝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻞُ ﻓَﻄَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟْﺄَﻣَﺪُ ﻓَﻘَﺴَﺖْ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ۖ ﻭَﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al- Hadid: 16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “ Kalimat: Dan jangan mereka seperti ahli kitab, ini adalah larangan yang bersifat mutlak dalam hal meniru mereka. Ayat ini lebih khusus menekankan larangan menyerupai mereka dalam hal kekerasan hati. Kerasnya hati adalah salah satu buah kemaksiatan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 81)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan,
ﻟَﺘَﺘَّﺒِﻌُﻦَّ ﺳَﻨَﻦَ ﻣَﻦْ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﺑِﺸِﺒْﺮٍ ﻭَﺫِﺭَﺍﻋًﺎ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﻮْ ﺳَﻠَﻜُﻮﺍ ﺟُﺤْﺮَ ﺿَﺐٍّ ﻟَﺴَﻠَﻜْﺘُﻤُﻮﻩُ ﻗُﻠْﻨَﺎ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﻦْ؟
“Sungguh, kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Kalaupun mereka menempuh jalur lubang dhab (binatang sejenis biawak), niscaya kalian akan menempuhnya.” Kami mengatakan, “Ya Rasulullah, apakah jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 4822 dari sahabat Abu Sa’id al- Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Di dalam riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻡُ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺄْﺧُﺬَ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺑِﺄَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻘُﺮُﻭﻥِ ﻗَﺒْﻠَﻬَﺎ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﺑِﺸِﺒْﺮٍ ﻭَﺫِﺭَﺍﻋًﺎ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉٍ. ﻓَﻘِﻴﻞَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻛَﻔَﺎﺭِﺱَ ﻭَﺍﻟﺮُّﻭﻡِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻭَﻣَﻦِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ؟
“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengambil langkah generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” Lalu dikatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah bangsa Persi dan Romawi?” Beliau bersabda, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 6774)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Berita ini menggambarkan sebuah kenyataan yang akan terjadi sekaligus sebagai celaan atas orang yang mengerjakannya. Beliau pun memberitakan apa yang akan dilakukan oleh manusia mendekati hari kiamat, berupa tanda-tanda kedatangannya berikut segala perkara yang diharamkan. Maka dari itu, diketahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya mencela umat ini apabila menyerupai Yahudi, Nasrani, Persi, dan Romawi. Inilah faedah yang dicari.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 44)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Penyebutan lafadz jengkal, hasta, dan liang dhabb, adalah sebagai kinayah tentang kuatnya penyerupaan umat ini terhadap Yahudi dan Nashara. Sedangkan penyerupaan di sini dalam hal kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran syar’i, bukan dalam hal kekafiran.” (Syarh Shahih Muslim 16/436)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika menerangkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu anhu (HR. At-Tirmidzi, no. 2180), “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian," beliau berkata:
"Perkataan ini bukanlah persetujuan dari Rasul, bahkan merupakan peringatan dari beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena sebagaimana dimaklumi, cara/jalan orang-orang sebelum kita (Yahudi dan Nashara) yang diikuti oleh umat ini adalah jalan yang sesat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/202)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Karena Al Qur’an dan As Sunnah telah menerangkan pula bahwasanya akan selalu ada pada umat ini sekelompok kecil yang berpegang teguh dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hingga hari kiamat, dan umat ini tidak akan bersatu padu (secara keseluruhan) di atas kesesatan. Maka dengan adanya larangan dari perbuatan tasyabbuh akan memperbanyak kelompok kecil yang selalu dibela oleh Allah ini, mengokohkan dan menambah keimanan mereka. Semoga Allah, Dzat Yang Maha Mengabulkan, menjadikan kita bagian dari mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/170-171)

Allah Subhanahu wata’ala telah melarang keras kaum muslimin meniru mereka, sebagaimana firman-Nya,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ {} ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻓَﺮَّﻗُﻮﺍ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢْ ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺷِﻴَﻌًﺎ ۖ ﻛُﻞُّ ﺣِﺰْﺏٍ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺪَﻳْﻬِﻢْ ﻓَﺮِﺣُﻮﻥَ
“Dan janganlah kalian seperti orang musyrik. Orang-orang yang telah memecah belah agama mereka sehingga mereka berkeping-keping dan setiap kelompok menyombongkan diri atas yang lain." (ar-Rum: 31—32)

Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berdoa agar tidak termasuk golongan mereka dalam banyak ayat. Di antaranya,
ﺍﻫْﺪِﻧَﺎ ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢَ {} ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤَﻐْﻀُﻮﺏِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻀَّﺎﻟِّﻴﻦَ
“Tunjukilah kami ke jalan Engkau yang lurus. Jalan orang-orang yang Engkau telah beri nikmat atas mereka dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan sesatkan.” (al-Fatihah: 6-7)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika membawakan hadits,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk dari mereka.”
Setelah menjelaskan kondisi para perawi haditsnya, beliau mengatakan,
“Hukum yang paling ringan (dalam meniru orang kafir) di dalam hadits ini adalah keharaman, kendatipun lahiriah haditsnya menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَﻮَﻟَّﻬُﻢ ﻣِّﻨﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ۗ
“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah: 51)
Ini semakna dengan ucapan Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
“Barang siapa tinggal di negeri kaum musyrikin dan melakukan hari ulang tahun mereka, pesta besar mereka, dan meniru mereka sampai meninggal dunia, dia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat.”
Terkadang, hal ini dibawa kepada hukum tasyabuh (meniru orang kafir) yang bersifat mutlak, yaitu tasyabuh (meniru orang kafir) yang menyebabkan seseorang kafir dan sebagiannya mengandung hukum haram. Bisa juga dibawa pada makna bahwa dia seperti mereka sebatas apa yang dia tiru. Jika yang dia tiru itu dalam hal kekafiran (dia menjadi kafir), dan jika maksiat, (ia telah bermaksiat). Jika dalam hal syiar kekufuran mereka atau syiar kemaksiatan mereka, hukumnya semisal itu.” (Lihat al-Iqtidha hlm. 82-83)

Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara zhahir antara umat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5.  Lebih dari itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyatakan:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia  termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)

Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/model, ataupun tingkah laku.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu (HR. Muslim no. 302), “Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian yang sedang haid) kecuali nikah (jima’),” beliau berkata:
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah syariatkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau shallallahu alaihi wasallam menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka (orang-orang Yahudi) berkomentar: ‘Orang ini (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/214-215, lihat pula 1/365)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)

Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyariatkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syariat mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/tuntunan yang berbeda dengan mereka, seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyariatkan dalam agama mereka namun kemudian di-mansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek dari menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek dari menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya.
(Diringkas dari Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/437-477)

Adapun memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/48 dengan beberapa tambahan)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan umat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupaan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki).” (Majmu’ Durus wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)

Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula 1/219-220, 226-227, dan 272).

Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi umat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah

Karena meniru mereka dalam berpakaian, berbicara dan lain sebagainya menunjukkan kecintaan terhadap yang ditiru. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.”
HR. Abu Dawud, Kitab Al Libas, Bab fi Libasu Asy Syahruh, 4031.
Oleh karena itu tidak diperbolehkan menyerupai kaum kafir dalam perkara yang merupakan ciri khas mereka seperti adat kebiasaannya, ibadahnya, kepribadian maupun kelakuannya, semisal mencukur jenggot dan memanjangkan kumis, atau berbicara dengan bahasa mereka kecuali jika sangat dibutuhkan. Demikian juga dalam cara (gaya, model) mereka berpakaian, makan, minum, dan lain-lainnya.

(Al Wala` wal Bara` Fil Islam lisy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

F.I.S Forum Ikhwah Salafiyyin

Tentang KESENANGAN DI DUNIA BUKAN UKURAN KEMULIAAN DI SISI ALLAH

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, "Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Rabbku menghinakanku.” (al-Fajr: 15-16)

Itulah sebagian watak asli manusia yang sangat jahil lagi zalim. Manusia itu menyangka bahwa kemuliaan dan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya di dunia ini menunjukkan kemuliaan dirinya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala dan kedekatan kepada-Nya. Akan tetapi jika; (Dia [Allah] membatasi rezekinya); maksudnya, menyempitkannya, sekadar menjadi makanan pokoknya, tidak ada sisa yang disimpan, menurut dia, berarti Allah Subhanahu wa ta’ala menghinakannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala membantah sangkaan mereka ini dengan firman-Nya, (Sekali-kali tidak). Seolah-olah Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa tidaklah setiap orang yang Aku beri nikmat di dunia ini, maka dia adalah mulia di sisi-Ku. Tidak pula setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, berarti dia hina di hadapan-Ku. Tetapi kaya, miskin, kelapangan, dan kesempitan adalah ujian dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini agar Allah Subhanahu wa ta’ala melihat siapa yang bersyukur kepada-Nya dan bersabar, sehingga Dia memberinya balasan yang besar atas sikap sabar dan syukur ini.
(Tafsir as-Sa'di)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu 'anhu berkata:
ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﺛَﺮَ ﺍﻟْـﺤَﺼِﻴﺮِ ﻓِﻲ ﺟَﻨْﺒِﻪِ ﻓَﺒَﻜَﻴْﺖُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﺎ ﻳُﺒْﻜِﻴﻚَ؟ ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥَّ ﻛِﺴْﺮَﻯ ﻭَﻗَﻴْﺼَﺮَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻫُﻤَﺎ ﻓِﻴﻪِ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ. ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺃَﻣَﺎ ﺗَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻟَـﻬُﻢُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻟَﻨَﺎ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu:
ﻓَﺎﺑْﺘَﺪَﺭَﺕْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻱَ. ﻗَﺎﻝَ: ﻣَﺎ ﻳُﺒْﻜِﻴﻚَ، ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ؟ ﻗُﻠْﺖُ: ﻳَﺎ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻟِﻲ ﻟَﺎ ﺃَﺑْﻜِﻲ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْـﺤَﺼِﻴﺮُ ﻗَﺪْ ﺃَﺛَّﺮَ ﻓِﻲ ﺟَﻨْﺒِﻚَ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺧِﺰَﺍﻧَﺘُﻚَ ﻟَﺎ ﺃَﺭَﻯ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺃَﺭَﻯ، ﻭَﺫَﺍﻙَ ﻗَﻴْﺼَﺮُ ﻭَﻛِﺴْﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜِّﻤَﺎﺭِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﻬَﺎﺭِ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺻَﻔْﻮَﺗُﻪُ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺧِﺰَﺍﻧَﺘُﻚَ
“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata kepada Nabinya:
ﺍﺩْﻉُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﻠْﻴُﻮَﺳِّﻊْ ﻋَﻠَﻰ ﺃُﻣَّﺘِﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻓَﺎﺭِﺱَ ﻭَﺍﻟﺮُّﻭﻡَ ﻭُﺳِّﻊَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﺃُﻋْﻄُﻮﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ. ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻣُﺘَّﻜِﺌًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺃَﻭَﻓِﻲ ﺷَﻚٍّ ﺃَﻧْﺖَ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ، ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻋُﺠِّﻠَﺖْ ﻟَـﻬُﻢْ ﻃَﻴِّﺒَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْـﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup) mereka di dalam kehidupan dunia.” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

###

Syaikh Zaid ibn Muhammad ibn Hadi al Madkhali rahimahullah

Terkadang seseorang mendapat azab yang disegerakan (di dunia) dalam keadaan azab yang tertunda kelak akan mengiringinya juga (dia mendapat azab juga nanti di hari kiamat, pent).

Kadang juga seseorang mendapat azab yang tertunda (di dunia tidak diazab, pent) adalah sekadar untuk memberi tangguh orang yang bermaksiat.

Orang yang bermaksiat tersebut dipuaskan segala kenikmatan-kenikmatan. Dilimpahkan kesehatan, kekayaan, keamanan dan kenyamanan.

Semua di atas menyatu di dalam kemaksiatan kepada Allah.

Keadaan itu semua hanya sebagai penunjukkan bahwa keadaan dunia di sisi Allah adalah hina.

Tapi kelak orang yang bermaksiat akan kembali kepada Allah.

Maka Allah tidaklah memutuskan suatu keadaan manusia kecuali dengan perkara yang adil.

Allah tidak menghisab (azab) mereka kecuali karena kezhaliman dan kelaliman mereka sendiri.

Maka kepada-Mu lah yaa Allah selamatkanlah kami, selamatkanlah kami.

(Terjemah bebas dari Thariqul Wushul ila Idhahi Tsalatsatil Ushul-Syaikh Zaid al Madkhali, hal. 57, cet. Mirats Nabawi/Darul Mustaqbal 2012)

Tentang AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Maidah: 63)
Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak mencegah kemungkaran sama halnya dengan pelaku kemungkaran itu sendiri. Ayat ini juga sekaligus sebagai celaan bagi para ulama yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78-79)
Ibnu Katsir berkata, "Inilah akibat tidak saling mengingatkan dan mencegah kemungkaran yang dilakukan. Allah Subhanahu wa ta’ala mencela mereka, agar (siapa pun) berhati-hati dari melakukan hal yang sama." (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Ijma’ sudah ditetapkan bahwa mencegah kemungkaran adalah wajib bagi yang mampu dan aman dari bahaya yang mengancam diri serta kaum muslimin secara umum. Namun, jika dikhawatirkan ada bahaya (mudarat), mengingkarinya adalah dengan hati dan menjauh dari kemungkaran tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
As-Sa'di berkata, "Ayat di atas juga terkait dengan orang yang mendiamkan kemungkaran padahal mampu dan berwenang mencegahnya." (Tafsir Taisir Karimirrahman)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat serta Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-‘Araf: 165)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah memastikan akan selamatnya orang-orang yang mengingkari kemungkaran serta binasanya orang-orang yang zalim dan yang mendiamkannya, karena balasan yang akan diperoleh itu akan setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)

Allah berfirman:
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, melainkan sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 116—117)
Al-Hafizh dalam al-Fath menukil ucapan sebagian ahlul ilmi, “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang-orang mukmin yang sesungguhnya. Tidak akan dikirim azab bahkan kepada mereka. Karena merekalah Allah menjauhkan azab.”

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (Ali Imran: 21)
Ayat ini, menurut al-Imam al-Qurthubi, menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga wajib atas umat terdahulu. Beliau juga mengatakan, “Seperti yang telah disinggung oleh Ibnu Abdil Bar, kemungkaran itu wajib dicegah oleh siapa pun yang mampu.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Di dalam Shahih al-Bukhari dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala dan yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, yang sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka (yang di bawah) mencari air untuk minum mereka, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas. Mereka pun berkata, ‘Seandainya boleh, kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami, sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.’ Jika orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu, mereka akan binasa semuanya. Namun, jika mereka mencegah dengan tangan mereka, maka mereka akan selamat semuanya.” (HR. al-Bukhari no 2313, 2489, at-Tirmidzi no. 2099, Ahmad no. 17638, 17653)

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺻَﻨَﺎﺋِﻊُ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﺗَﻘِﻲ ﻣَﺼَﺎﺭِﻉَ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ، ﻭَﺻَﺪَﻗَﺔُ ﺍﻟﺴِّﺮِّ ﺗُﻄْﻔِﺊُ ﻏَﻀَﺐَ ﺍﻟﺮَّﺏِّ، ﻭَﺻِﻠَﺔُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻢِ ﺗَﺰِﻳﺪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌُﻤُﺮِ
“Penyeru kebaikan mencegah pengajak keburukan, sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabb, menyambung tali silaturahim akan menambah umur.” (HR. ath-Thabarani)

Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Jika tidak, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya, namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2095)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunnah-sunnah dan perintah-perintahnya. Kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang siapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisan, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad dengan hati melawan mereka, maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan (sebesar) biji sawi pun.” (HR. Muslim no. 71 bab “Bayan Kauni Nahyi ‘anil Mungkar minal Iman”)

Al-Imam an-Nawawi menjelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya pembahasan ini, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, telah sering diabaikan semenjak dahulu. Hanya sedikit yang tersisa. Kewajiban ini adalah urusan besar. Dengannya, urusan menjadi tegak dan kokoh, karena jika keburukan telah banyak menyebar, siksa akan dirasakan oleh orang baik dan orang jahat. Apabila mereka tidak mencegah perbuatan zalim, telah dekat masanya Allah Subhanahu wa ta’ala akan menurunkan siksa secara merata. Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya berhati-hati akan ditimpakan kepada mereka ujian atau azab yang pedih. Semestinya, para pencari akhirat dan pengejar ridha Allah Subhanahu wa ta’ala memerhatikan kewajiban ini karena manfaatnya sangat besar. Lebih-lebih saat sebagian besar amar ma’ruf nahi mungkar telah hilang. Hendaknya ia mengikhlaskan niat dan tidak merasa takut terhadap orang yang ia ingkari karena kedudukannya amat tinggi.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (al-Hajj: 40)
“Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar.dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (al-Ankabut: 2-3)
Ketahuilah, pahala yang diperoleh itu sesuai dengan kadar kesulitan. Hendaknya, ia tidak meninggalkan kewajiban ini dengan alasan persahabatan, hubungan kasih sayang, sengaja mengelak, mencari muka, atau mempertahankan kedudukan. Sebab, persahabatan dan hubungan kasih sayang menghadirkan kehormatan dan hak. Sebagai bentuk haknya, ia memberinya nasihat, membimbingnya kepada kemaslahatan akhirat, dan menyelamatkan dirinya dari mudarat. Teman dan kekasih adalah orang yang berusaha memperbaiki urusan akhiratnya meskipun menyebabkan dunianya berkurang. Adapun musuh adalah orang yang berupaya melenyapkan atau mengurangi urusan akhiratnya meskipun dengan itu ia memperoleh gambaran manfaat di dunia. Sesungguhnya, Iblis lah musuh kita, sedangkan para nabi adalah kekasih kaum mukminin karena usaha mereka untuk kemaslahatan akhirat dan hidayah mereka. Kita memohon, agar Allah Yang Mahamulia mencurahkan taufik kepada kita, orang-orang tercinta, dan kaum muslimin secara keseluruhan sehingga memperoleh keridhaan-Nya. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mencurahkan kedermawanan dan rahmat-Nya untuk kita. Wallahu a’lam. Pelaksana amar ma’ruf nahi mungkar sendiri semestinya bersikap lemah lembut agar lebih memungkinkan meraih tujuan. Al-Imam asy-Syafi’i pernah berpetuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberikan untuknya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka (di muka umum), ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.” Di antara bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang diremehkan oleh sebagian besar kaum muslimin adalah ketika seseorang menyaksikan orang lain menjual barang dagangan yang memiliki cacat atau semisalnya. Ia tidak mengingkarinya, tidak juga memberitahu si pembeli tentang cacat tersebut. Ini adalah kesalahan fatal. Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang mengetahuinya wajib mengingkari si penjual dan memberitahu si pembeli. Wallahu a’lam." (Syarah Shahih Muslim 2/24)

Berkata asy-Syaikh al-Alamah Rabi' bin Hadiy al Madkhaliy hafizhahullah:
أنت تكثر سواد أهل الضلال إذا كنت تراهم وتسكت عنهم، أنت مؤيد ومشجع لهم إذا كنت تراهم يعيثون في الأرض فسادا وتسكت
“Engkau memperbanyak jumlah ahlul dholal, apabila engkau mengetahui kesesatan mereka namun engkau diam (tidak mengingkarinya).
Engkau menolong dan mengokohkan mereka ahlul dholal, apabila engkau melihat mereka membuat kerusakan di muka bumi (dengan kesesatan mereka) namun engkau diam.”
(Al Majmu': 14/280)

###

Berkata Al-‘Allaamah al-Mufassir asy-Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah di dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayaan, ketika menjelaskan firman Allah ‘azza wa jalla;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian (saja); tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (Al-Ma’idah 105)

Sebagian orang yang bodoh telah menyangka bahwa yang zhohir dari ayat ini menunjukkan tidak adanya kewajiban “amar ma’ruf dan nahi mungkar” menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, akan tetapi di dalam ayat itu sendiri mengisyaratkan bahwa yang demikian apabila orang tersebut telah berusaha (amar ma’ruf nahi mungkar) dan belum diterima darinya apa yang telah ia perintahkan. Yang demikian dipahami dari firman Allah ‘azza wa jalla {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} (artinya:) “apabila kalian telah mendapat petunjuk”, karena barangsiapa yang meninggalkan “amar ma’ruf nahi mungkar” tidak dikatakan ia telah mendapat hidayah. Dan di antara yang mengatakan seperti ini adalah Hudzaifah, Sa’id ibnul Musayyib, seperti yang dinukilkan dari keduanya oleh Al-Alusy didalam tafsirnya dan Ibnu Jarir. Juga dinukilkan oleh Al-Qurthuby dari Sa’id ibnul Musayyib dan Abu ‘Ubaid Al-Qosim bin Sallaam. Demikian pula yang semisalnya oleh Ibnu Jarir dari sekelompok para sahabat, di antaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhuma.

Dan di antara sebagian ulama ada yang mengatakan; {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} yaitu apabila kalian memerintahkan kemudian mereka tidak mau mendengarkan. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa menyeru kepada kebaikan termasuk didalam makna kata الاهتداء di dalam ayat. Dan ini sangat jelas, tidak boleh berpaling darinya bagi mereka yang adil.

Dan di antara yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan “amar ma’ruf” bukanlah orang yang mendapat petunjuk, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah bersumpah bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi. Di dalam firman-Nya;
وَالْعَصْرِ, إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: "Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."

Maka yang benar “amar ma’ruf nahi mungkar” adalah perkara yang wajib. Seseorang yang menyeru kepada kebaikan (kebenaran), setelah melakukan kewajibannya, maka tidak akan memudharatkannya kesesatan orang yang tersesat. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan di banyak ayat, seperti firman Allah ta’ala;
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
Artinya: "Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu."

Demikian pula hadits-hadits yang menyatakan apabila manusia telah meninggalkan “amar ma’ruf nahi mungkar”, Allah akan menimpakan kepada mereka adzab yang merata.
Di antaranya adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim didalam shahih keduanya dari Ummul Mu’minin Ummul Hakam Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha;
أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها فزعاً مرعوباً يقول: “لا إله إلا الله، ويل للعرب من شر قد اقترب، فتح اليوم من ردم يأجوج ومأجوج، مثل هذه” وحلق بإصبعيه الإبهام، والتي تليها فقلت: يا رسول الله أنهلك وفينا الصالحون؟ قال: نعم إذا كثر الخبث
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadanya dengan gemetar sambil berkata: “Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?” Beliau menjawab: “Ya, benar jika keburukan telah merajalela.”
وعن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مثل القائم في حدود الله، والواقع فيها، كمثل قوم استهموا على سفينة، فصار بعضهم أعلاها، وبعضهم أسفلها، وكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم، فقالوا: لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقاً، ولم نؤذ من فوقنا فإن تركوهم وما أرادوا، هلكوا جميعاً، وإن أخذوا على أيديهم نجوا، ونجوا جميعاً
Dan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata; “Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.” Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)
وعن أبي بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا أيها الناس إنكم تقرؤون هذه الآية {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ}، وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن رأى الناس الظالم فلم يأخذوا على يده، أو شك أن يعمهم الله بعقاب منه
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, beliau berkata; “Wahai manusia sekalian, kalian telah membaca ayat ini, (namun kalian tidak meletakkannya sebagaimana mestinya): ‘Jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk.‘ (Al Maidah: 105)
(Abu Bakar berkata;) “Kami mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang melihat kezhaliman kemudian tidak mencegah dengan tangannya, maka sangat dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara merata.” (Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أول ما دخل النقص على بني إسرائيل، أنه كان الرجل يلقى الرجل فيقول: يا هذا اتق الله، ودع ما تصنع، فإنه لا يحل لك ثم يلقاه من الغد وهو على حاله، فلا يمنعه ذلك أن يكون أكيله وشربيه وقعيده، فلما فعلوا ذلك ضرب الله قلوب بعضهم ببعض، ثم قال: {لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ, كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ, تَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ, وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيراً مِنْهُمْ فَاسِقُونَ} ، ثم قال: كلا والله لتأمرن بالمعروف، ولتنهون عن المنكر ولتأخذن على يد الظالم، ولتأطرنه على الحق أطراً، ولتقصرنه على الحق قصراً، أو ليضربن الله قلوب بعضكم ببعض ثم ليلعننكم كما لعنهم
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemaksiatan pertama kali yang terjadi pada bani Isra’il adalah ketika seorang laki-laki berjumpa seorang laki-laki lain, ia berkata, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, tinggalkan apa yang telah engkau lakukan, karena itu tidak halal untuk kamu lakukan.” Kemudian keesokan harinya ia berjumpa lagi dengannya, namun perbuatan maksiat yang ia larang (kepada temannya) tidak mencegah dirinya untuk menjadikannya sebagai teman makan dan minum serta duduknya (yakni ikut bersama dalam kemaksiatan), maka ketika mereka melakukan hal itu, Allah menghitamkan hati sebagian mereka karena sebab sebagian yang lain. Kemudian beliau membaca: (Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam) hingga firmannya: (orang-orang yang fasik). Kemudian beliau bersabda; “Demi Allah hendaklah kalian benar-benar memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan mencabutnya dari tangan orang zhalim lalu mengembalikannya (membelokkannya) kepada kebenaran serta konsisten terhadap kebenaran itu. Atau (jika tidak) Allah benar-benar akan menutup hati kalian karena (tutupnya) sebagian yang lain, kemudian melaknat kalian sebagaimana telah melaknat mereka (orang-orang bani Israil).”
(Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan, dan ini adalah lafadz Abu Dawud)
Adapun lafadz At-Tirmidzi;
لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي، نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وواكلوهم وشاربوهم فضرب الله قلوب بعضهم ببعض ولعنهم على لسان داود وعيسى ابن مريم ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون، فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان متكئاً، فقال: لا والذي نفسي بيده حتى يأطروهم على الحق أطرا
“Saat Bani Isra`il bergelimang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, maka para ulama mereka melarang mereka, namun mereka tidak juga jera. Lalu para ulama mereka menemani mereka di majlis-majlis mereka, turut makan dan minum bersama mereka, lalu Allah mencampur adukkan hati mereka satu sama lain dan melaknat mereka melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam, itu karena mereka durhaka dan melanggar (QS Al Ma`idah; 78). Ibnu Mas’ud berkata; Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk bersandar kemudian bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, hingga mereka benar-benar membelot di atas kebenaran.”
Dan makna تأطروهم adalah membelokkan, sedangkan makna تقصرونه adalah menutupnya.

Dan hadits-hadits dalam permasalahan ini sangat banyak, yang di dalamnya terdapat petunjuk yang jelas bahwa “amar ma’ruf nahi mungkar” termasuk didalam makna ayat {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} . Didukung pula oleh ayat-ayat yang banyak yang menunjukkan wajibnya “amar ma’ruf nahi mungkar” seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."

###

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan syarat-syarat dan ketentuan amar ma’ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran). Beliau menjabarkan 6 syarat. Sungguh penjelasan yang gamblang dan menyejukkan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kaum muslimin.

Berikut adalah terjemahan dari nukilan penjelasan beliau dalam Syarh al-Aqiidah al-Washithiyyah:

Syarat pertama:
Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut. Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran yang datang kepadamu. (Q.S al-Maaidah ayat 48)
Dan firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk dipertanggung jawabkan pada hari kiamat). (Q.S al-Israa’ ayat 36)
Dan firman Allah:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung. (Q.S an-Nahl ayat 116)
Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu, secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat). Kalau seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat memang memerintahkannya.

Syarat kedua:
Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar mukallaf atau tidak).

Syarat ketiga:
Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan kepadanya.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan lakukan dengan ringkas. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)
Telah sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata:
Haram merekam (bacaan) al-Quran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar! Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu) bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah.
Sedangkan dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya).

Syarat yang keempat:
Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian. (Q.S atTaghobuun ayat 16)
Dan firman Allah:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya. (Q.S al-Baqoroh ayat 286)
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu.
Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad.
Sebagaimana seseorang yang memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah. Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah. Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.

Syarat kelima:
Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4 hal:
Pertama: Kemunkaran hilang, atau
Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih ringan, atau
Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi seimbang, atau
Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar.
Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau menguranginya.
Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan hal yang mustahab (disukai).
Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara zhalim tanpa ilmu. Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S al-An’aam ayat 108)
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara zhalim tanpa ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu dalam kondisi tersebut.
Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.

Syarat yang keenam:
Orang yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44)
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya. Karena itu seorang penyair berkata:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار عليك إذا فعلت عظيم
Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan yang semisalnya
Aib besar bagimu jika melakukan hal itu
Ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat beda dengan pendapat itu.
Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan. Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama: mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran. Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan gugurnya kewajiban yang lain.

(Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah (2/330-335))

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Sumber: WA al-I’tishom

Salafy .or .id