Cari Blog Ini

Selasa, 23 September 2014

Tentang AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Maidah: 63)
Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak mencegah kemungkaran sama halnya dengan pelaku kemungkaran itu sendiri. Ayat ini juga sekaligus sebagai celaan bagi para ulama yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78-79)
Ibnu Katsir berkata, "Inilah akibat tidak saling mengingatkan dan mencegah kemungkaran yang dilakukan. Allah Subhanahu wa ta’ala mencela mereka, agar (siapa pun) berhati-hati dari melakukan hal yang sama." (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Ijma’ sudah ditetapkan bahwa mencegah kemungkaran adalah wajib bagi yang mampu dan aman dari bahaya yang mengancam diri serta kaum muslimin secara umum. Namun, jika dikhawatirkan ada bahaya (mudarat), mengingkarinya adalah dengan hati dan menjauh dari kemungkaran tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
As-Sa'di berkata, "Ayat di atas juga terkait dengan orang yang mendiamkan kemungkaran padahal mampu dan berwenang mencegahnya." (Tafsir Taisir Karimirrahman)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat serta Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-‘Araf: 165)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah memastikan akan selamatnya orang-orang yang mengingkari kemungkaran serta binasanya orang-orang yang zalim dan yang mendiamkannya, karena balasan yang akan diperoleh itu akan setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)

Allah berfirman:
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, melainkan sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 116—117)
Al-Hafizh dalam al-Fath menukil ucapan sebagian ahlul ilmi, “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang-orang mukmin yang sesungguhnya. Tidak akan dikirim azab bahkan kepada mereka. Karena merekalah Allah menjauhkan azab.”

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (Ali Imran: 21)
Ayat ini, menurut al-Imam al-Qurthubi, menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga wajib atas umat terdahulu. Beliau juga mengatakan, “Seperti yang telah disinggung oleh Ibnu Abdil Bar, kemungkaran itu wajib dicegah oleh siapa pun yang mampu.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Di dalam Shahih al-Bukhari dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala dan yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, yang sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka (yang di bawah) mencari air untuk minum mereka, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas. Mereka pun berkata, ‘Seandainya boleh, kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami, sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.’ Jika orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu, mereka akan binasa semuanya. Namun, jika mereka mencegah dengan tangan mereka, maka mereka akan selamat semuanya.” (HR. al-Bukhari no 2313, 2489, at-Tirmidzi no. 2099, Ahmad no. 17638, 17653)

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺻَﻨَﺎﺋِﻊُ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﺗَﻘِﻲ ﻣَﺼَﺎﺭِﻉَ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ، ﻭَﺻَﺪَﻗَﺔُ ﺍﻟﺴِّﺮِّ ﺗُﻄْﻔِﺊُ ﻏَﻀَﺐَ ﺍﻟﺮَّﺏِّ، ﻭَﺻِﻠَﺔُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻢِ ﺗَﺰِﻳﺪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌُﻤُﺮِ
“Penyeru kebaikan mencegah pengajak keburukan, sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabb, menyambung tali silaturahim akan menambah umur.” (HR. ath-Thabarani)

Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Jika tidak, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya, namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2095)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunnah-sunnah dan perintah-perintahnya. Kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang siapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisan, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad dengan hati melawan mereka, maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan (sebesar) biji sawi pun.” (HR. Muslim no. 71 bab “Bayan Kauni Nahyi ‘anil Mungkar minal Iman”)

Al-Imam an-Nawawi menjelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya pembahasan ini, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, telah sering diabaikan semenjak dahulu. Hanya sedikit yang tersisa. Kewajiban ini adalah urusan besar. Dengannya, urusan menjadi tegak dan kokoh, karena jika keburukan telah banyak menyebar, siksa akan dirasakan oleh orang baik dan orang jahat. Apabila mereka tidak mencegah perbuatan zalim, telah dekat masanya Allah Subhanahu wa ta’ala akan menurunkan siksa secara merata. Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya berhati-hati akan ditimpakan kepada mereka ujian atau azab yang pedih. Semestinya, para pencari akhirat dan pengejar ridha Allah Subhanahu wa ta’ala memerhatikan kewajiban ini karena manfaatnya sangat besar. Lebih-lebih saat sebagian besar amar ma’ruf nahi mungkar telah hilang. Hendaknya ia mengikhlaskan niat dan tidak merasa takut terhadap orang yang ia ingkari karena kedudukannya amat tinggi.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (al-Hajj: 40)
“Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar.dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (al-Ankabut: 2-3)
Ketahuilah, pahala yang diperoleh itu sesuai dengan kadar kesulitan. Hendaknya, ia tidak meninggalkan kewajiban ini dengan alasan persahabatan, hubungan kasih sayang, sengaja mengelak, mencari muka, atau mempertahankan kedudukan. Sebab, persahabatan dan hubungan kasih sayang menghadirkan kehormatan dan hak. Sebagai bentuk haknya, ia memberinya nasihat, membimbingnya kepada kemaslahatan akhirat, dan menyelamatkan dirinya dari mudarat. Teman dan kekasih adalah orang yang berusaha memperbaiki urusan akhiratnya meskipun menyebabkan dunianya berkurang. Adapun musuh adalah orang yang berupaya melenyapkan atau mengurangi urusan akhiratnya meskipun dengan itu ia memperoleh gambaran manfaat di dunia. Sesungguhnya, Iblis lah musuh kita, sedangkan para nabi adalah kekasih kaum mukminin karena usaha mereka untuk kemaslahatan akhirat dan hidayah mereka. Kita memohon, agar Allah Yang Mahamulia mencurahkan taufik kepada kita, orang-orang tercinta, dan kaum muslimin secara keseluruhan sehingga memperoleh keridhaan-Nya. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mencurahkan kedermawanan dan rahmat-Nya untuk kita. Wallahu a’lam. Pelaksana amar ma’ruf nahi mungkar sendiri semestinya bersikap lemah lembut agar lebih memungkinkan meraih tujuan. Al-Imam asy-Syafi’i pernah berpetuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberikan untuknya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka (di muka umum), ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.” Di antara bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang diremehkan oleh sebagian besar kaum muslimin adalah ketika seseorang menyaksikan orang lain menjual barang dagangan yang memiliki cacat atau semisalnya. Ia tidak mengingkarinya, tidak juga memberitahu si pembeli tentang cacat tersebut. Ini adalah kesalahan fatal. Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang mengetahuinya wajib mengingkari si penjual dan memberitahu si pembeli. Wallahu a’lam." (Syarah Shahih Muslim 2/24)

Berkata asy-Syaikh al-Alamah Rabi' bin Hadiy al Madkhaliy hafizhahullah:
أنت تكثر سواد أهل الضلال إذا كنت تراهم وتسكت عنهم، أنت مؤيد ومشجع لهم إذا كنت تراهم يعيثون في الأرض فسادا وتسكت
“Engkau memperbanyak jumlah ahlul dholal, apabila engkau mengetahui kesesatan mereka namun engkau diam (tidak mengingkarinya).
Engkau menolong dan mengokohkan mereka ahlul dholal, apabila engkau melihat mereka membuat kerusakan di muka bumi (dengan kesesatan mereka) namun engkau diam.”
(Al Majmu': 14/280)

###

Berkata Al-‘Allaamah al-Mufassir asy-Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah di dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayaan, ketika menjelaskan firman Allah ‘azza wa jalla;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian (saja); tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (Al-Ma’idah 105)

Sebagian orang yang bodoh telah menyangka bahwa yang zhohir dari ayat ini menunjukkan tidak adanya kewajiban “amar ma’ruf dan nahi mungkar” menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, akan tetapi di dalam ayat itu sendiri mengisyaratkan bahwa yang demikian apabila orang tersebut telah berusaha (amar ma’ruf nahi mungkar) dan belum diterima darinya apa yang telah ia perintahkan. Yang demikian dipahami dari firman Allah ‘azza wa jalla {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} (artinya:) “apabila kalian telah mendapat petunjuk”, karena barangsiapa yang meninggalkan “amar ma’ruf nahi mungkar” tidak dikatakan ia telah mendapat hidayah. Dan di antara yang mengatakan seperti ini adalah Hudzaifah, Sa’id ibnul Musayyib, seperti yang dinukilkan dari keduanya oleh Al-Alusy didalam tafsirnya dan Ibnu Jarir. Juga dinukilkan oleh Al-Qurthuby dari Sa’id ibnul Musayyib dan Abu ‘Ubaid Al-Qosim bin Sallaam. Demikian pula yang semisalnya oleh Ibnu Jarir dari sekelompok para sahabat, di antaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhuma.

Dan di antara sebagian ulama ada yang mengatakan; {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} yaitu apabila kalian memerintahkan kemudian mereka tidak mau mendengarkan. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa menyeru kepada kebaikan termasuk didalam makna kata الاهتداء di dalam ayat. Dan ini sangat jelas, tidak boleh berpaling darinya bagi mereka yang adil.

Dan di antara yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan “amar ma’ruf” bukanlah orang yang mendapat petunjuk, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah bersumpah bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi. Di dalam firman-Nya;
وَالْعَصْرِ, إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: "Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."

Maka yang benar “amar ma’ruf nahi mungkar” adalah perkara yang wajib. Seseorang yang menyeru kepada kebaikan (kebenaran), setelah melakukan kewajibannya, maka tidak akan memudharatkannya kesesatan orang yang tersesat. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan di banyak ayat, seperti firman Allah ta’ala;
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
Artinya: "Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu."

Demikian pula hadits-hadits yang menyatakan apabila manusia telah meninggalkan “amar ma’ruf nahi mungkar”, Allah akan menimpakan kepada mereka adzab yang merata.
Di antaranya adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim didalam shahih keduanya dari Ummul Mu’minin Ummul Hakam Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha;
أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها فزعاً مرعوباً يقول: “لا إله إلا الله، ويل للعرب من شر قد اقترب، فتح اليوم من ردم يأجوج ومأجوج، مثل هذه” وحلق بإصبعيه الإبهام، والتي تليها فقلت: يا رسول الله أنهلك وفينا الصالحون؟ قال: نعم إذا كثر الخبث
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadanya dengan gemetar sambil berkata: “Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?” Beliau menjawab: “Ya, benar jika keburukan telah merajalela.”
وعن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مثل القائم في حدود الله، والواقع فيها، كمثل قوم استهموا على سفينة، فصار بعضهم أعلاها، وبعضهم أسفلها، وكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم، فقالوا: لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقاً، ولم نؤذ من فوقنا فإن تركوهم وما أرادوا، هلكوا جميعاً، وإن أخذوا على أيديهم نجوا، ونجوا جميعاً
Dan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata; “Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.” Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)
وعن أبي بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا أيها الناس إنكم تقرؤون هذه الآية {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ}، وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن رأى الناس الظالم فلم يأخذوا على يده، أو شك أن يعمهم الله بعقاب منه
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, beliau berkata; “Wahai manusia sekalian, kalian telah membaca ayat ini, (namun kalian tidak meletakkannya sebagaimana mestinya): ‘Jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk.‘ (Al Maidah: 105)
(Abu Bakar berkata;) “Kami mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang melihat kezhaliman kemudian tidak mencegah dengan tangannya, maka sangat dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara merata.” (Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أول ما دخل النقص على بني إسرائيل، أنه كان الرجل يلقى الرجل فيقول: يا هذا اتق الله، ودع ما تصنع، فإنه لا يحل لك ثم يلقاه من الغد وهو على حاله، فلا يمنعه ذلك أن يكون أكيله وشربيه وقعيده، فلما فعلوا ذلك ضرب الله قلوب بعضهم ببعض، ثم قال: {لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ, كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ, تَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ, وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيراً مِنْهُمْ فَاسِقُونَ} ، ثم قال: كلا والله لتأمرن بالمعروف، ولتنهون عن المنكر ولتأخذن على يد الظالم، ولتأطرنه على الحق أطراً، ولتقصرنه على الحق قصراً، أو ليضربن الله قلوب بعضكم ببعض ثم ليلعننكم كما لعنهم
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemaksiatan pertama kali yang terjadi pada bani Isra’il adalah ketika seorang laki-laki berjumpa seorang laki-laki lain, ia berkata, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, tinggalkan apa yang telah engkau lakukan, karena itu tidak halal untuk kamu lakukan.” Kemudian keesokan harinya ia berjumpa lagi dengannya, namun perbuatan maksiat yang ia larang (kepada temannya) tidak mencegah dirinya untuk menjadikannya sebagai teman makan dan minum serta duduknya (yakni ikut bersama dalam kemaksiatan), maka ketika mereka melakukan hal itu, Allah menghitamkan hati sebagian mereka karena sebab sebagian yang lain. Kemudian beliau membaca: (Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam) hingga firmannya: (orang-orang yang fasik). Kemudian beliau bersabda; “Demi Allah hendaklah kalian benar-benar memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan mencabutnya dari tangan orang zhalim lalu mengembalikannya (membelokkannya) kepada kebenaran serta konsisten terhadap kebenaran itu. Atau (jika tidak) Allah benar-benar akan menutup hati kalian karena (tutupnya) sebagian yang lain, kemudian melaknat kalian sebagaimana telah melaknat mereka (orang-orang bani Israil).”
(Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan, dan ini adalah lafadz Abu Dawud)
Adapun lafadz At-Tirmidzi;
لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي، نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وواكلوهم وشاربوهم فضرب الله قلوب بعضهم ببعض ولعنهم على لسان داود وعيسى ابن مريم ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون، فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان متكئاً، فقال: لا والذي نفسي بيده حتى يأطروهم على الحق أطرا
“Saat Bani Isra`il bergelimang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, maka para ulama mereka melarang mereka, namun mereka tidak juga jera. Lalu para ulama mereka menemani mereka di majlis-majlis mereka, turut makan dan minum bersama mereka, lalu Allah mencampur adukkan hati mereka satu sama lain dan melaknat mereka melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam, itu karena mereka durhaka dan melanggar (QS Al Ma`idah; 78). Ibnu Mas’ud berkata; Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk bersandar kemudian bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, hingga mereka benar-benar membelot di atas kebenaran.”
Dan makna تأطروهم adalah membelokkan, sedangkan makna تقصرونه adalah menutupnya.

Dan hadits-hadits dalam permasalahan ini sangat banyak, yang di dalamnya terdapat petunjuk yang jelas bahwa “amar ma’ruf nahi mungkar” termasuk didalam makna ayat {إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} . Didukung pula oleh ayat-ayat yang banyak yang menunjukkan wajibnya “amar ma’ruf nahi mungkar” seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."

###

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan syarat-syarat dan ketentuan amar ma’ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran). Beliau menjabarkan 6 syarat. Sungguh penjelasan yang gamblang dan menyejukkan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kaum muslimin.

Berikut adalah terjemahan dari nukilan penjelasan beliau dalam Syarh al-Aqiidah al-Washithiyyah:

Syarat pertama:
Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut. Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran yang datang kepadamu. (Q.S al-Maaidah ayat 48)
Dan firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk dipertanggung jawabkan pada hari kiamat). (Q.S al-Israa’ ayat 36)
Dan firman Allah:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung. (Q.S an-Nahl ayat 116)
Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu, secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat). Kalau seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat memang memerintahkannya.

Syarat kedua:
Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar mukallaf atau tidak).

Syarat ketiga:
Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan kepadanya.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan lakukan dengan ringkas. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)
Telah sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata:
Haram merekam (bacaan) al-Quran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar! Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu) bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah.
Sedangkan dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya).

Syarat yang keempat:
Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian. (Q.S atTaghobuun ayat 16)
Dan firman Allah:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya. (Q.S al-Baqoroh ayat 286)
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu.
Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad.
Sebagaimana seseorang yang memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah. Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah. Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.

Syarat kelima:
Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4 hal:
Pertama: Kemunkaran hilang, atau
Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih ringan, atau
Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi seimbang, atau
Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar.
Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau menguranginya.
Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan hal yang mustahab (disukai).
Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara zhalim tanpa ilmu. Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S al-An’aam ayat 108)
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara zhalim tanpa ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu dalam kondisi tersebut.
Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.

Syarat yang keenam:
Orang yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44)
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya. Karena itu seorang penyair berkata:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار عليك إذا فعلت عظيم
Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan yang semisalnya
Aib besar bagimu jika melakukan hal itu
Ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat beda dengan pendapat itu.
Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan. Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama: mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran. Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan gugurnya kewajiban yang lain.

(Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah (2/330-335))

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Sumber: WA al-I’tishom

Salafy .or .id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar