Cari Blog Ini

Selasa, 23 September 2014

Tentang HAK ASUH ANAK

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Saya berharap kepada Fadhilatus Syaikh, untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengasuhan anak, karena banyak yang tidak kami ketahui, dan telah terjadi perselisihan yang buruk antara saya dengan suami saya dalam hal pengasuhan anak-anak, dia mencerai saya dalam keadaan saya memiliki anak-anak yang berbeda-beda usianya, ada yang 6 tahun, 5 tahun, 4 tahun, dan 2 tahun. Saya mengharapkan rincian masalah tersebut dalam syariat Islam.

Asy-Syaikh:

Masalah pengasuhan luas pembahasannya. Jika terjadi perselisihan antara suami istri dalam masalah tersebut maka diangkat permasalahannya ke pengadilan syariat. Pengasuhan maknanya adalah merawat atau mengurusi anak yang masih kecil, melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan melindunginya dari hal-hal yang membahayakannya. Jika seorang istri dicerai dalam keadaan memiliki anak laki-laki yang masih kecil, maka dia lebih berhak mengasuhnya selama dia belum menikah dengan suami yang lain, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika anak tersebut telah mencapai usia 7 tahun yaitu usia mumayyiz (bisa membedakan baik dan buruk dalam hal-hal yang sederhana), maka dia diberi kebebasan untuk memilih; apakah ingin mengikuti ayahnya atau ibunya, dengan catatan anak tersebut laki-laki. Namun jika anaknya perempuan maka ayahnya yang mengasuhnya hingga menikahkannya, dengan tujuan agar ayahnya menjaga dan melindunginya.

###

Tanya: Sepasang suami-istri bercerai, sementara mereka memiliki dua anak yang masih balita. Ketika awal perceraian, kedua anak tersebut mengikuti ibunya. Namun sekarang ayahnya ingin mengambil keduanya untuk diasuhnya. Pertanyaan kami: di dalam syariat Islam, siapa sebenarnya yang lebih berhak terhadap dua anak tersebut, ibunya ataukah ayahnya? Apakah ada syarat yang ditetapkan bagi pihak yang mengasuh anak tersebut? Jazakumullah khairan atas jawabannya.

Jawab:

Istri (ibu) adalah pihak yang paling berhak untuk mengasuh anaknya yang masih kecil apabila ia berpisah dengan suaminya. Namun sang ibu harus memenuhi beberapa syarat seperti yang ditetapkan oleh fuqaha (ahli fiqih). Bila si ibu tidak memiliki syarat yang telah ditentukan tersebut maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam, tidak boleh ibu yang kafir diserahi pengasuhan anak
2. Berakal
3. Baligh
4. Mampu untuk mendidik dan mengurusi anak tersebut
5. Belum menikah lagi dengan pria lain
(Zadul Ma’ad, 4/132)

Dari kasus yang ditanyakan di atas, maka yang berhak mengasuh anak tersebut adalah ibunya selama ia belum menikah atau memenuhi syarat-syarat di atas. Ketika ada seorang wanita mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, dulunya perutku menjadi tempat tinggal bagi anakku ini. Air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat meringkuknya. Ayah anak ini kemudian menceraikan aku dan dia ingin merebut anak ini dariku.” Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻧْﺖِ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﻜِﺤِﻲ
“Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad 2/182, Abu Dawud no. 2276, dan selainnya. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ no. 2187)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan apabila si ibu menikah, gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Demikian pendapat jumhur ulama.”
Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat ulama yang kami hafal dari mereka akan hal ini.”
Beliau juga menyinggung kedudukan hadits ini, bahwasanya hadits ini diterima dan diamalkan oleh para imam, seperti al-Bukhari, Ahmad, Ibnul Madini, al-Humaidi, Ishaq bin Rahuyah, dan semisal mereka, sehingga tidak perlu menoleh pada orang yang menganggap hadits ini cacat.
(Subulus Salam, 3/353—354)

Demikian pula jawaban yang diberikan asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh rahimahullah dalam Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (11/219), sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa al-Mar’ah (2/874). Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم شيخنا، السؤال الثامن في هذا اللقاء؛ يقول: امرأة طَلَّقها زوجها الأول ولها منه ولد عمره سنة واحدة، وهي الآن ستتزوج من رجلٍ آخر، فلمن تكون حضانة هذا الطفل بعد زواجها؟ للأب أم للأم؟
Semoga Allah memberkahi anda, wahai syaikh kami.
Pertanyaan kedelapan pada pertemuan ini:
Ada seorang wanita yang dicerai suaminya yang pertama, dan dia memiliki satu anak dari suaminya tersebut yang baru berumur satu tahun. Dan sekarang si wanita telah menikah dengan laki-laki lain. Siapakah yang mendapat hak asuh anak setelah wanita ini menikah? Apakah ayah atau ibunya? 

Jawaban:
هذه مردُّها يا بنتي إلى الحاكم الشرعي هو الذي ينقل الحضانة، إلا إذا رَضِي زوجك الثاني وقَبِل يبقى معك. إذن، أولًا: حال المصافاة والملاطفة واللين، فلابُدّ أولًا من موافقة أبيه وهو زوجك الأول، فإن وافق لابُدَّ من موافقة الزوج الثاني فهل يستطيع أو لا يستطيع، يقبل أو لا يقبل. أما حال المُشاحّة، فالأمر إلى الحاكم الشرعي، هو الذي يفصل في الموضوع
Wahai anakku, perkara ini dikembalikan keputusannya kepada hakim syari, dialah yang memutuskan hak asuh anak kepada siapa.
Kecuali suamimu yang kedua ridho dan mau menerima anakmu tersebut. Kalau demikian, maka ada dua cara.
Yang pertama: dengan cara damai dan lemah lembut, yaitu dengan meminta persetujuan suami yang pertama, dan kalau dia setuju, maka minta lagi persetujuan suami kedua, apakah dia sanggup dan mau menerima anak tersebut.
Jika kedua pihak saling ngotot dalam hak asuh, maka dalam kondisi seperti ini dikembalikan kepada hakim syari, dialah yang memutuskan perkaranya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11278

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar