Cari Blog Ini

Kamis, 16 Oktober 2014

Tentang SUNNAH SAAT DUDUK TASYAHUD

1. Duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)

2. Jika dalam shalat ada dua kali duduk tasyahud, maka duduk iftirasy (duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan) pada rakaat kedua dan duduk tawarruk (mengedepankan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan serta duduk di atas pantat) pada rakaat yang terakhir

Sahabat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu menyatakan,
ﺃَﻧَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺣْﻔَﻈُﻜُﻢْ ﻟِﺼَﻼَﺓِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺟَﻠَﺲَ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﺟْﻠِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻭَ ﻧَﺼَﺐَ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَ ﺇِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺔِ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﻗَﺪَّﻡَ ﺭِﺟْﻠَﻪُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻭَ ﻧَﺼَﺐَ ﺍ ﺧْﺄﻟََﺮَﻯ ﻭَ ﻗَﻌَﺪَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻘْﻌَﺪَﺗِﻪِ
“Aku paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.” Dan dalam hadits tersebut Abu Humaid mengatakan, “Apabila duduk dalam rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki yang kanan. Apabila beliau duduk pada rakaat yang terakhir, beliau mengedepankan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan) serta duduk di atas pantat beliau.” (HR. al-Bukhari no. 828)

3. Meletakkan telapak tangan kiri di antara paha kiri dan lutut kiri, dan meletakkan ujung lengan kanan di atas paha kanan

Wa’il bin Hujr radhiallahu anhu berkata, “Aku melihat cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aku melihat beliau shallallahu alaihi wasallam berdiri untuk shalat, kemudian takbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Lantas beliau shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas telapak kirinya, juga di atas pergelangan tangannya, dan meletakkannya di atas lengannya. Ketika hendak ruku’ beliau shallallahu alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya sama seperti tadi (sejajar dengan kedua telinganya). Beliau shallallahu alaihi wasallam meletakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian mengangkat kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya, sejajar dengan kedua telinganya, kemudian sujud dan meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya, kemudian duduk di atas kaki kiri. Beliau juga meletakkan telapak tangan kiri di antara paha dan lutut kiri. Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam meletakkan ujung lengan kanan di atas paha kanan. Kemudian ia menggenggam dua jarinya serta membentuk lingkaran, lantas mengangkat jarinya. Aku melihat beliau shallallahu alaihi wasallam menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya.”
HR. an Nasai (889), Ibnu Majah (1/354), Ibnu Hibban (5/170), dan dishahihkan oleh al Albani di dalam kitab Irwa al Ghalil (367).

4. Boleh juga dengan meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan

Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu anhuma berkata,
ﻭَﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻛْﺒَﺘِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻭَﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺨِﺬِﻩِ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﺃَﺷَﺎﺭَ ﺑِﺈِﺻْﺒَﻌِﻪِ
“Beliau shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)

5. Boleh juga dengan meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya

Dari Nafi’ beliau berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺇِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻰ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﺷَﺎﺭَ ﺑِﺈِﺻْﺒَﻌِﻪِ ﻭَﺃَﺗْﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑَﺼَﺮَﻩُ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ‏« ﻟَﻬِﻰَ ﺃَﺷَﺪُّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺪِ ‏». ﻳَﻌْﻨِﻰ ﺍﻟﺴَّﺒَّﺎﺑَﺔَ
Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ini lebih keras bagi syetan daripada besi," yaitu jari telunjuk.” (HR. Ahmad, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

6. Tangan kanan menggenggam dua jarinya (yakni jari manis dan kelingking), serta membentuk lingkaran (dengan jempol dan jari tengah), lantas mengangkat jarinya (yakni jari telunjuk)

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:
ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻟﻠﻤﺼﻠﻲ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺃﻥ ﻳﻘﺒﺾ ﺃﺻﺎﺑﻌﻪ ﻛﻠﻬﺎ ﺃﻋﻨﻲ ﺃﺻﺎﺑﻊ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﻳﺸﻴﺮ ﺑﺎﻟﺴﺒﺎﺑﺔ ﻭﻳﺤﺮﻛﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺗﺤﺮﻳﻜﺎ ﺧﻔﻴﻔﺎ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﻟﻠﺘﻮﺣﻴﺪ ﻭﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﻗﺒﺾ ﺍﻟﺨﻨﺼﺮ ﻭﺍﻟﺒﻨﺼﺮ ﻭﺣﻠﻖ ﺍﻹﺑﻬﺎﻡ ﻣﻊ ﺍﻟﻮﺳﻄﻰ ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺑﺎﻟﺴﺒﺎﺑﺔ ﻛﻠﺘﺎ ﺍﻟﺼﻔﺘﻴﻦ ﺻﺤﺘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
(Majmu Fatawa Syaikh Bin Baz 11/185)

7. Memberikan isyarat dengan menunjukkan jari telunjuknya ke kiblat dan mengarahkan pandangan ke jari tersebut atau ke sekitarnya semenjak awal duduk

Dalam sebuah hadist disebutkan:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺭَﺃَﻯ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﻳُﺤَﺮِّﻙُ ﺍﻟْﺤَﺼَﻰ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﺎ ﺗُﺤَﺮِّﻙْ ﺍﻟْﺤَﺼَﻰ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﺍﺻْﻨَﻊْ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺼْﻨَﻊُ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼْﻨَﻊُ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻮَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺨِﺬِﻩِ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﺃَﺷَﺎﺭَ ﺑِﺄُﺻْﺒُﻌِﻪِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻠِﻲ ﺍﻟْﺈِﺑْﻬَﺎﻡَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻭَﺭَﻣَﻰ ﺑِﺒَﺼَﺮِﻩِ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻫَﻜَﺬَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺼْﻨَﻊُ
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dia melihat seorang laki-laki menggerak-gerakkan kerikil dengan tangannya saat shalat. Setelah selesai, Abdullah berkata kepadanya, “Janganlah kamu menggerak-gerakkan kerikil saat shalat, sesungguhnya itu perbuatan setan. Berbuatlah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” la berkata, “Bagaimana cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya?” Aku menjawab, “Beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, lalu menunjukkan jari telunjuknya ke kiblat dan mengarahkan pandangan ke jari tersebut atau ke sekitarnya.” Kemudian ia berkata, “Begitulah cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya.”
HR. An Nasa’i (1160), Ibnu Khuzaimah (1/355), Ibnu Hibban (5/273), dan dishahihkan oleh al Albani di dalam Shahih an Nasa’i.

Berkata Al-Mubarakfuri,
ﻇَﺎﻫِﺮُ ﺍﻟْﺄَﺣَﺎﺩِﻳﺚِ ﻳَﺪُﻝُّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﺷَﺎﺭَﺓِ ﻣِﻦْ ﺍِﺑْﺘِﺪَﺍﺀِ ﺍﻟْﺠُﻠُﻮﺱِ
“Dhahir hadist-hadist menunjukkan.bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/185, Darul Fikr)

8. Menggerak-gerakkan jari telunjuk saat berdoa pada tasyahud

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa menggerakkan telunjuk dikerjakan pada saat berdoa, bukan pada semua tasyahud. Apabila berdoa maka jari telunjuk digerakkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits. Dan tempat berdoa ketika tasyahud adalah ketika membaca:
ﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺮﻛﺎﺗﻪ
ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ
Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkah-Nya
Semoga keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang sholih
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ
Ya Allah, berilah sholawat atas Muhammad dan keluarganya
Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya
ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻋﺬﺍﺏ ﺟﻬﻨﻢ
ﻭﻣﻦ ﻋﺬﺍﺏ ﺍﻟﻘﺒﺮ
ﻭﻣﻦ ﻓﺘﻨﺔ ﺍﻟﻤﺤﻴﺎ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺕ
ﻭﻣﻦ ﻓﺘﻨﺔ ﺍﻟﻤﺴﻴﺢ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ
Aku berlindung kepada Allah dari adzab Jahannam;
Dari siksa kubur;
Dari fitnah saat hidup dan mati;
Dari fitnah al-Masih ad-Dajjal.
Juga jika berdoa dengan doa lainnya maka hendaklah ia menggerakkan jarinya, karena kaidahnya hendaknya menggerakkan jari saat berdoa.
(Lihat Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no. 254)

Tentang NIKAH MELANGKAHI KAKAK PEREMPUAN

Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan hafizhahullah

Pertanyaan: Ada seorang pemuda yang melamar anak perempuan saya yang lebih muda, tetapi saya menolaknya sampai saya meminta pendapat kepada anak perempuan saya yang besar. Maka apa nasehat Anda dan apakah saya berdosa, dan apakah mendahulukan anak yang lebih muda atas kakaknya padanya terdapat sikap menyelisihi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ataukah hal itu hanya semata-mata adat istiadat?

Jawaban:
Tidak masalah ada pria yang melamar anak yang lebih muda dan tidak melamar kakaknya terlebih dahulu, selama yang lebih muda tersebut setuju untuk menikah dengannya. Ini merupakan rezeki yang Allah karuniakan kepada yang muda tersebut, sambil tetap menunggu Allah memberikan jodoh bagi kakaknya yang sesuai untuknya.
Dan tidak halal bagi sang ayah atau ibunya atau walinya untuk menghalanginya menikah dengan pria yang melamarnya jika dia adalah seorang yang pantas dan sekufu dengannya, jika hanya semata-mata karena kakak perempuannya belum menikah. Sepantasnya bagi kakaknya tersebut untuk ikut merasa senang dan tidak mempermasalahkannya. Dan tidak halal baginya untuk menjadi penghalang bagi kebaikan yang dikaruniakan kepada adiknya. Tetapi yang hendaknya dia lakukan adalah dengan memohon keutamaan kepada Rabbnya Jalla wa Ala.
Jadi nasehat saya jika pria yang melamar tersebut adalah seseorang yang pantas dan sekufu, hendaknya engkau segera menikahkannya selama anak perempuanmu yang dilamar tersebut menerimanya. Dan mohonlah kepada Rabbmu agar memberikan jodoh yang lebih baik bagi kakaknya.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang BERSEDEKAP SAAT I'TIDAL

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dari hadits Sahl ibnu Sa’d radhiallahu anhu, ia berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻳُﺆْﻣَﺮُﻭْﻥَ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻊَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟْﻴَﺪَ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺫِﺭَﺍﻋِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ
“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 740)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.
Mengapa demikian? Karena dimaklumi, saat rukuk kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Ketika sujud, kedua tangan diletakkan di atas tanah, sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Saat duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahhud, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan dua lutut, sesuai dengan perincian yang diterangkan dalam as-Sunnah. Masalah yang tersisa sekarang hanyalah saat berdiri, di manakah tangan diletakkan? Berdasar hadits di atas, maka tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (bersedekap), sama saja baik saat berdiri sebelum rukuk maupun setelah bangkit dari rukuk karena tidak ada dalil yang tsabit (sahih) dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang membedakan dua berdiri ini.
Dalam hadits Wa’il radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih disebutkan, saat berdiri shalat, Nabi shallallahu alaihi wasallam memegang dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)

###

asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, pernah ditanya tentang pendapat yang kuat terkait dengan peletakan kedua tangan pada saat berdiri i’tidal. Beliau rahimahullah menjawab, “Dalam masalah ini urusannya mudah karena tidak ada dalil yang sahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan irsal dan yang menunjukkan sedekap. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan yang ini bid’ah dan tidak bisa pula mengatakan yang itu sunnah. Akan tetapi, ini adalah masalah ijtihad. Siapa yang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu meletakkannya di atas dadanya setelah bangkit dari rukuk berarti ia telah mengambil keumuman dalil yang ada. Adapun yang melepas kedua tangannya (irsal) berarti ia juga telah mengambil dalil hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim yang kesimpulan maknanya menunjukkan Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan beliau yang kanan di atas tangan kiri beliau, tanpa ada penyebutan di atas dada. Kemudian dinyatakan, tatkala ingin rukuk, beliau melepas kedua tangan beliau dan tidak ada penyebutan beliau mengembalikan kedua tangan (ke posisi sedekap) setelah rukuk. Hadits yang lain dalam Musnad Ahmad menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata tentang rukuk, ‘hingga setiap anggota kembali kepada persendiannya’, atau ucapan yang semakna dengan ini.
Adapun saya sendiri memilih posisi irsal, melepas kedua tangan setelah rukuk tanpa menganggap posisi sedekap sebagai bid’ah dan tidak mengingkari orang yang mengamalkannya. Dalam masalah ijtihad yang di dalamnya tidak ada dalil, urusannya mudah. Wallahul musta’an.” (Ijabatus Sa’il ala Ahammil Masa’il, hlm. 500)

###

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan, masalah sedekap sebelum atau setelah rukuk adalah perkara sunnah dalam shalat, bukan wajib. Dengan demikian, apabila ada orang yang shalat tidak bersedekap sebelum atau setelah rukuk, shalatnya tetap sah. Hanya saja dia telah meninggalkan perkara yang afdal dalam shalat.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak pantas menjadikan perbedaan dalam masalah yang seperti ini sebagai sebab pertikaian, boikot, dan perpecahan. Bahkan, meskipun amalan tersebut dianggap wajib, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar.
Yang wajib dilakukan oleh seluruh kaum muslimin adalah mencurahkan seluruh upaya untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan, menerangkan al-haq dengan dalil, disertai semangat untuk membersihkan hati serta menyelamatkannya dari rasa dengki dan hasad terhadap sesama. Di samping itu, kaum muslimin juga wajib menjauhi sebab perpecahan dan saling boikot karena Allah mewajibkan semuanya untuk berpegang dengan tali-Nya dan tidak berpecah belah.
“Berpeganglah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺮْﺿﻰ ﻟَﻜُﻢْ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﻳَﻜْﺮَﻩُ ﻟَﻜُﻢْ ﺛَﻼَﺛًﺎ: ﻓَﻴَﺮْﺿَﻰ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭْﻩُ ﻭَﻻَ ﺗُﺸْﺮﻛِﻮُﺍْ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga hal dan membenci dari kalian tiga hal pula. Dia ridha untuk kalian agar kalian beribadah dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun, kalian berpegang dengan tali Allah semuanya, dan tidak berpecah belah.” (HR. Muslim no. 4456)
Ada beberapa kejadian di kalangan sebagian kaum muslimin —misalnya di Afrika— yang sampai bermusuhan serta saling mendiamkan karena masalah sedekap dan irsal ini. Peristiwa seperti ini jelas merupakan kemungkaran yang tidak boleh sampai terjadi. Yang semestinya, mereka saling menasihati dan berusaha saling memahami dalam mengetahui al-haq beserta dalilnya, dalam keadaan tetap menjaga rasa cinta, kasih sayang, dan ukhuwah imaniah di antara mereka. Dahulu, para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ulama setelah mereka juga pernah berselisih dalam masalah-masalah furu’. Namun, perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka berpecah belah dan saling boikot karena tujuan mereka adalah ingin sampai kepada al-haq dengan dalilnya. Ketika al-haq itu tampak dan jelas bagi mereka, mereka pun bersepakat di atasnya. Ketika al-haq itu tersembunyi bagi sebagian mereka, pihak yang satu tidak sampai menganggap saudaranya sesat sehingga tidak menyebabkannya memboikot saudaranya, memutus hubungan dengannya, dan tidak mau shalat di belakangnya.
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib bertakwa kepada Allah dan berjalan di atas jalan salaf yang saleh dalam berpegang dengan al-haq, menjaga ukhuwah imaniah, dan tidak saling memutus hubungan serta saling boikot karena masalah furu’ yang terkadang tersembunyi dalilnya bagi sebagian orang sehingga ijtihad yang dilakukannya membawanya menyelisihi saudaranya dalam masalah hukum.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/141—143)