Cari Blog Ini

Rabu, 10 September 2014

Tentang MENYINGKAP AURAT WANITA OLEH TENAGA MEDIS

Kami mengharapkan jawaban tentang hukum Islam terhadap mahasiswa kedokteran yang ketika masa.kuliahnya melakukan praktikum bedah mayat. Selain itu mereka harus menyingkap aurat wanita atau sebagiannya. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dalam rangka mempelajari kedokteran dan harus dilakukan agar mereka tidak menjadi dokter yang bodoh (tentang anatomi) dan tidak bisa mengobati penyakit yang diderita wanita. Apabila ini terjadi, tentulah para wanita muslimah akan ditangani oleh dokter-dokter Nasrani atau yang lain.

Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:

Pertama; tentang operasi bedah mayat, telah keluar ketetapan dari Haiah Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Arab Saudi yang garis besarnya sebagai berikut. Masalah ini terbagi tampak memiliki tiga keadaan:
a. Bedah mayat (otopsi) untuk meneliti sebuah kasus kriminalitas.
b. Otopsi untuk meneliti sebuah penyakit yang mewabah dalam rangka menemukan prosedur perlindungan (masyarakat) dari penyakit tersebut.
c. Bedah mayat untuk kepentingan ilmu pengetahuan, yakni kegiatan belajar dan mengajar. Setelah komisi yang terkait bertukar pikiran, beradu argumentasi, dan mempelajari masalah di atas, forum mengeluarkan ketetapan sebagai berikut. Tentang dua keadaan yang pertama (yakni poin a dan b), forum memandang bahwa pembolehannya bisa mewujudkan banyak maslahat dalam bidang keamanan dan pengadilan, serta perlindungan masyarakat dari penyakit yang mewabah. Efek negatif tindakan otopsi tersebut akan tertutup oleh sekian banyak maslahat yang nyata dan berdampak luas. Oleh karena itu, forum sepakat menetapkan bolehnya pembedahan mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat tersebut terlindungi (oleh hukum syariat -pent) maupun tidak.
Adapun terkait dengan jenis bedah mayat yang ketiga, yaitu untuk kepentingan ilmiah, dengan mempertimbangkan bahwa:
• syariat Islam membawa terwujudnya maslahat dan memperbanyaknya,
• syariat Islam mencegah mafsadat dan mempersedikitnya,
• bolehnya dilakukan sebuah tindakan yang lebih kecil kerusakannya untuk menghilangkan hal yang kerusakannya lebih besar,
• apabila dua hal yang bermaslahat ternyata kontradiktif, dipilih yang lebih banyak efek positifnya,
• pembedahan terhadap hewan tidak bisa menggantikan pembedahan mayat,
• operasi bedah mayat berefek positif terhadap kemajuan berbagai bidang ilmu kedokteran; maka forum memandang bolehnya operasi bedah mayat manusia secara global. Di sisi lain, forum mempertimbangkan:
• perhatian syariat Islam terhadap kemuliaan seorang muslim yang telah meninggal sebagaimana saat hidupnya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻛَﺴْﺮُ ﻋَﻈْﻢ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻛَﻜَﺴْﺮِﻩِ ﺣَﻴًّﺎ
“Mematahkan tulang mayat (hukumnya) seperti mematahkannya saat ia hidup.”
• pembedahan mayat mengandung perendahan terhadap kemuliaan seorang muslim,
• kebutuhan operasi bedah mayat muslim bisa diganti dengan mayat yang tidak dilindungi (oleh syariat);
maka forum memandang hendaknya dicukupkan dengan operasi bedah terhadap mayat yang semacam ini dan tidak melakukannya terhadap mayat yang dilindungi (oleh syariat), dalam keadaan yang telah disebutkan.
Wallahul muwaffiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Haiah KibarulUlama

Kedua; tentang menyingkap aurat wanita, apabila ada wanita lain yang bisa melakukannya, seorang lelaki tidak boleh melakukannya. Apabila tidak ada wanita yang bisa melakukannya—sementara ada faktor yang mengharuskan aurat si wanita disingkap—seorang lelaki muslim boleh melakukannya sekadarnya, dalam rangka mengetahui penyakit si wanita. Apabila mayatnya adalah wanita nonmuslim atau yang tidak dilindungi (oleh syariat), tidak ada halangan auratnya disingkap dalam rangka kegiatan belajar mengajar dan mengetahui penyakit-penyakit yang diderita wanita sekaligus cara penyembuhannya, berdasarkan ketetapan Haiah Kibarul Ulama yang disebutkan di atas.

##########################
Wabillahi at-taufiq, wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq Afifi
Anggota:
Abdullah bin Ghudayyan,
Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa al-Lajnah 25/93—95, pertanyaan ke-4 dari fatwa no. 3685)

Sumber Artikel: Majalah Asy Syariah online

Tentang MEMAKAI TUTUP KEPALA

Ada sebuah wejangan yang berharga yang disampaikan oleh Syaikh Robi’ kepada anak-anak beliau dari kalangan penuntut ilmu dalam sebuah pertemuan di perpustakaan yang ada di rumah beliau di Makkah al Mukarromah. Pesan asy-Syaikh hafizhahullaah:

“Selamat datang kepada kalian semua. Dan sebelum pembahasan hadits dimulai, aku sampaikan sebuah nasehat terlebih dahulu kepada para ikhwan dan anak-anakku.
Aku melihat banyak kepala yang tersingkap (tidak memakai penutup), ini adalah gaya hidup yang diambil dari orang Barat. Dan wajib atas salafy untuk menyelisihi musuh-musuh Allah, salafy adalah orang yang menegakkan agama di atas penyelisihan terhadap mereka, dan menentang adat dan sikap taklid kepada orang Barat yang merusak. Maka janganlah kita taklid kepada mereka pada hal-hal yang nampak ini dan hal-hal yang lainnya.
Banyak muslimin yang menyerupai orang Barat, Yahudi, Nasrani, Komunis dan Syiah dengan penyerupaan yang sempurna. Hingga engkau temukan pada sebagian negara, tidak bisa dibedakan antara muslim dengan Yahudi dan Nasrani dari segi pakaian.
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari golongannya.”
Maka janganlah menyerupai musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla dalam berbagai hal, jangan menyerupai mereka dalam aqidah, ibadah, adat kebiasaan, dan sebagainya. Baarokallaahufiik. Ini adalah masalah yang wajib diperhatikan oleh salafiyun secara khusus.
Dan jangan pula mengikuti orang-orang yang awam dan jahil. Wajib bagi salafiyun untuk menyelisihi mereka yang masih jahil dan mengajari mereka cara hidup yang islami dalam masalah ini dan masalah yang lainnya.
Masalah kedua,
Aku menyangka, wallaahu a’lam dan aku berharap sangkaanku ini salah, banyak pemuda salafy yang menggampangkan (bermudah-mudahan) terhadap sunnah. Dalam hal sholat sunnah setelah sholat-sholat wajib, apakah kalian sudah sholat sunnah setelah maghrib? Karena begitu cepatnya kalian hadir di tempat ini. Sudahkah kalian sholat sunnah maghrib? Aku bertanya pada kalian. Ha…!?
Janganlah kalian menggampangkan sunnah, janganlah kalian menggampangkan sunnah. Janganlah kalian menggampangkan sholat sunnah ba’da maghrib, jangan pula ba’da isya’. Janganlah menyia-nyiakan sunnah-sunnah yang lain. Janganlah kalian menggampangkannya karena sikap menggampangkan sunnah akan menggiring pada sikap menggampangkan yang wajib.
Maka jagalah sunnah-sunnah ini karena ini adalah tutup penghalang terhadap wajah syaithan, baarokallaahu fiikum, dan pencegah yang menghalangi syaithan dari menguasai kita untuk menggampangkan hal-hal yang fardhu dan wajib. Semoga Allah memberi taufik pada kalian dan meluruskan kesalahan kalian.
Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa sunnah, agama tidak akan sempurna. Gigitlah dengan gigi geraham. Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.
Aku minta setiap salafy berjanji untuk berpegang teguh dengan sunnah, petunjuk dan akhlaq Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang muslim tidak disyari’atkan untuk membiarkan kepalanya tanpa penutup kecuali ketika haji dan umroh. Adapun selain itu, tidak. Baarokallaahufiikum, selain itu, tidak disyariatkan.
Semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan mengokohkan kami dan kalian di atas sunnah.“

Dikirim oleh: Abu Ishaq Hidayat-
hafizhohullah- dari Solo.

WA Salafy Lintas Negara

###

Al Ustadz Abdul Haq Balikpapan hafizhahullah

Tanya:
Apa hukum orang yang tidak memakai peci dalam shalat? Apakah hal itu mengurangi kesempurnaan shalat?

Jawab:
Ma'asyaral muslimin rahimakumulah, satu hal yang dianjurkan bahkan diperintahkan didalam mengerjakan shalat adalah akhdzu zinah, mengambil perhiasan, tajammul, berhias. Bahkan termasuk syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Meskipun sebagian para ulama, mereka menyebutkan bahwa ungkapan mengambil perhiasan, berhias ketika seorang hendak mengerjakan shalat, itu lebih afdhal. Kenapa? Karena yang diperintahkan di dalam islam ketika seorang hendak shalat, itu bukan hanya sekedar menutup auratnya, tapi juga sekaligus berhias semampunya.
Sebagaimana firman Allah Jalla Wa 'Alla:
خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Hendaklah kalian mengambil perhiasan-perhiasan kalian pada saat kalian mendatangi masjid (QS Al-A'raf: 31)
Untuk ibadah, untuk shalat. Mau shalat jama'ah jum'at, cari pakaian yang paling bagus, tidak mesti mahal, kasih wewangian semampunya. Demikian pula termasuk zinah, hal-hal yang mendukungnya. Seorang tampak rapih ketika memakai peci, atau di Arab sana imamah, atau qutrah (yang biasa dikenakan diatas kepala tanpa diikat, seperti kerudung di Indonesia), termasuk zinah (perhiasan).
Sehingga tentunya seorang muslim selama dia mampu dan bisa untuk berhias, seperti memakai peci untuk shalat, maka itu yang sepatutnya. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab.

TIS

###

SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Pertanyaan:
ﻳﻘﻮﻝ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﻌﻤﺎﻣﺔ ﻫﻞ ﻫﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﺍﻟﻤﺆﻛﺪﺓ؟
Apakah mengenakan imamah merupakan sunnah muakkadah (yang ditekankan)?

Jawaban:
ﻟﺒﺲ ﺍﻟﻌﻤﺎﻣﺔ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﻻ ﺍﻟﻤﺆﻛﺪﺓ ﻭﻻ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻛﺪﺓ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﻠﺒﺴﻬﺎ ﺍﺗﺒﺎﻋﺎ ﻟﻠﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺰﻣﻦ ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﺄﺕ ﺣﺮﻑ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﻬﺎ ﻓﻬﻲ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﻌﺎﺩﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺇﻥ ﺍﻋﺘﺎﺩﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻠﻴﻠﺒﺴﻬﺎ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻟﺌﻼ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻟﺒﺎﺳﻪ ﺷﻬﺮﺓ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﺘﺪﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻼ ﻳﻠﺒﺴﻬﺎ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻤﺎﻣﺔ
Mengenakan imamah bukan termasuk sunnah, bukan sunnah muakkadah bukan pula sunnah yang lainnya.
Dikarenakan Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu beliau memakai imamah karena mengikuti kebiasan manusia pada saat itu.
Oleh karena inilah, tidak ada satu hurufpun dari sunnah Rasul memerintahkan memakainya.
Imamah adalah termasuk salah satu dari kebiasan yang dahulu manusia membiasakan diri memakainya.
Maka seseorang memakainya agar tidak keluar dari kebiasaan masyarakat, sehingga memakainya untuk menjaga reputasi.
Jika masyarakat tidak menjadikan kebiasaan, maka tidaklah dianjurkan memakainya.
Ini adalah pendapat yang rojih (terpilih) dalam hukum memakai imamah.

Fatawa Nur 'ala Darb Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah

WA Fawwaz Al Madkhaly

Tentang BERSIKAP ADIL KEPADA ANAK-ANAK

Bagi orang tua, sikap adil haruslah mendasari setiap perhatian kepada anaknya.
Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak rela (dengan pemberian ini) sampai engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya aku memberi sesuatu kepada salah seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah. 'Amrah menuntutku untuk meminta Anda sebagai saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti yang engkau berikan kepada anak itu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻓَﺎﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﻋْﺪِﻟُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻭْﻟَﺎﺩِﻛُﻢْ
‘Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil di antara anak-anak kalian!'
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587‏)

Sikap adil wajib diwujudkan di antara anak-anak. Jika Anda memberi satu real kepada salah seorang di antara mereka, berikan juga senilai itu kepada yang lain. Jika engkau memberi dua real kepada anak laki-laki, berikanlah satu real kepada anak perempuan. Jika engkau memberikan satu real kepada anak laki-laki, berikanlah setengah real kepada anak perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap adil di antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Demikian juga dalam hal berbicara, jangan sampai Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar, sedangkan kepada anak yang lain dengan nada yang lembut.

Sumber: Majalah Asy-Syariah

###

Soal:
Telah datang dalam sebuah hadits: "Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil lah di antara anak-anak kalian."
Apakah yang dimaksud adil (dalam pemberian) itu harus sama rata ataukah anak laki-laki bagiannya dua kali lipat dari bagian anak perempuan seperti dalam warisan. Dalam hadits ana kira maknanya: 'Apakah setiap anak dikasih sama?' karena kalimat "Mitslu" memberikan isyarat persamaan secara mutlak ataukah (yang benar) itu hanya berbicara tentang anak laki-laki saja?

Jawaban al-Allaamah Ibnu Baz rahimahullah:

Haditsnya memang shahih. Telah diriwayatkan oleh dua syaikh (al-Bukhari dan Muslim) dari an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma, bahwa bapaknya memberikan dia seorang budak, maka ibunya berkata:  "Aku tidak rela sampai kamu mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Maka pergilah Basyir bin Sa'ad menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengkabarkan apa yang dia perbuat. Kemudian Beliau bertanya kepadanya:
"Apakah semua anakmu kamu beri hadiah seperti apa yang telah kamu berikan kepada an-Nu'man?"
Dia menjawab:
"Tidak."
Beliau bersabda:
"Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian."

Hadits ini menunjukan bahwa tidak boleh mengutamakan pemberian kepada sebagian anak-anak, tanpa yang lainnya, karena semuanya adalah anak-anaknya, yang mana mereka semua diharapkan baktinya kepada orang tua. Tidak boleh mengkhususkan sebagian anak dalam suatu pemberian.
Para ulama berselisih dalam dua pendapat, apakah disama ratakan (dalam pemberian), sehingga anak laki-laki sama (bagiannya) dengan anak perempuan, ataukah melebihkan laki-laki atas perempuan seperti (hitungan) warisan.

Pendapat yang terpilih adalah pemberian hukumnya sama dengan warisan. Persamaan (dalam pemberian) di sini menjadikan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan, karena sesungguhnya inilah yang Allah jadikan dalam (hitungan) warisan. Allah Ta'ala Maha Bijaksana dan Adil, sehingga seorang mu'min hendaknya dalam pemberiannya kepada anak-anaknya seperti itu pula.
Sebagaimana dia tinggalkan (hartanya) untuk mereka setelah dia meninggal;
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
"Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." [QS. An-Nisaa: 11]

Demikian pula apabila dia memberikan anak-anaknya di masa hidupnya, bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Inilah keadilan terkait dengan (hak-hak) mereka.

Terkait dengan ibu dan bapak, maka wajib bagi mereka untuk memberikan anak-anak mereka bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Dengan ini, diperolehlah keadilan dan persamaan, sebagaimana Allah jadikan keadilan dalam hak warisan dari bapak dan ibunya.

Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasaail Syaikh Ibnu Baz: 6/377

Alih bahasa: Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy

WA FORUM KIS