Cari Blog Ini

Jumat, 28 November 2014

Tentang TAKUT KEPADA SELAIN ALLAH

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat ini akan menjaga pemiliknya untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amalan hati seperti tawakal, takut, berharap, dan sejenisnya serta sabar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama.” (al-Ikhtiyarat, hlm. 85)

Kedudukan Takut dalam Agama
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Ighatsatul Lahafan (1/30) berkata, “Termasuk tipu daya musuh Allah subhanahu wa ta’ala adalah menakut-nakuti orang beriman dengan balatentara dan wali-wali mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan mencegah mereka dari kebajikan. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Tatkala iman seorang hamba kuat, maka akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Tatkala imannya melemah, akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka dari itu, ayat ini (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala termasuk syarat iman.”

Takut Kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah Ibadah
Di samping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain, sungguh sangat jelas bahwa takut (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan, “Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti islam, iman, dan ihsan, juga termasuk berdoa, takut, berharap, tawakal, cinta, rahbah (salah satu jenis takut), khasyah (juga salah satu jenis takut), khusyuk, bertaubat, meminta pertolongan, meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, semuanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata berdasarkan firman-Nya,
“Dan bahwasanya masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Barang siapa memalingkannya sedikit saja kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia seorang musyrik dan kafir."
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau Fathul Majid mengatakan, “Takut berkedudukan tinggi dan mulia di dalam agama serta termasuk jenis ibadah yang banyak cakupannya, yang wajib hanya diberikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Dalil Takut adalah Ibadah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (an-Nahl: 50)
“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39)
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Baqarah: 150)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang takut.

Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba (laki-laki) yang ‘diajak’ oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku. Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam ash-Shahihah no. 742)

Macam-Macam Takut
Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu,
Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah tersebut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa memberikannya kepada selain Allah  subhanahu wa ta’ala, dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti memberikannya kepada orang mati, dukun-dukun, atau wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudarat, dsb.
Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah serta hartanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas.
Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa ‘alaihis salam,
“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (al-Qashash: 21)

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala?
Jawabannya harus dirinci.
Jika takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala menyebabkan seseorang menghinakan diri di hadapannya (selain Allah subhanahu wa ta’ala tersebut) dan mengagungkannya, ini termasuk syirik.
Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban, takut ini termasuk maksiat dan berdosa.
Jika takutnya adalah takut tabiat, seperti takut pada air deras yang bisa menghanyutkan diri, harta, atau anaknya, takut yang demikian itu adalah boleh.
Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:
1.    al-Qur’an
2.    al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
3.    Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
4.    al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani
5.    al-Ushuluts Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 001

Tentang KEMUNAFIKAN

Nifaq atau kemunafikan berasal dari bahasa Arab (نَافِقَاءُ) yang berarti salah satu liang binatang yarbu’, yaitu semacam tikus yang memiliki lebih dari satu liang, sehingga tatkala dia dikejar melalui satu liang akan lari menuju liang yang lain.

Dalam istilah syariat berarti perbuatan menampakkan keislaman dan kebaikan namun menyembunyikan kekafiran serta kejelekan. Diistilahkan demikian karena pelakunya masuk ke dalam agama Islam dari sebuah pintu dan keluar darinya melalui pintu lain. Dalam istilah bahasa Indonesia, nifaq sering disebut kemunafikan.

Macam-Macam Nifaq
1.    Nifaq i’tiqadi yakni kemunafikan yang bersifat keyakinan.
Ini merupakan nifaq besar, yaitu seseorang yang menyembunyikan keyakinan kafir lalu menampakkan keislaman, seolah-olah ia beriman padahal dalam hatinya menyimpan keyakinan kafir.
Nifaq i’tiqadi ada enam macam:
•    tidak memercayai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    tidak memercayai sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    membenci sebagian yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    merasa senang saat direndahkannya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    benci ketika menangnya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﺮَّﺗْﻪُ ﺣَﺴَﻨَﺘُﻪُ ﻭَﺳَﺎﺋَﺘْﻪ ُﺳَﻴِّﺌَﺘُﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ
“Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan kejelekannya menyusahkannya maka dia seorang mukmin.” (Shahih, HR Ath-Thabarani dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir)
2.    Nifaq ‘amali yakni kemunafikan yang bersifat amalan.
Bentuknya bisa berupa perbuatan yang biasa dilakukan orang munafik atau salah satu sifat mereka, yang dilakukan orang yang masih beriman dan tidak memiliki keyakinan-keyakinan kekafiran seperti di atas.
Misalnya, berkata dusta, ingkar janji, khianat terhadap yang memberi amanah kepadanya, atau berbuat curang tatkala bertikai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal yang barang siapa keempatnya ada pada dirinya maka dia seorang munafik yang murni dan barang siapa yang terdapat pada dirinya salah satunya berarti ada pada dirinya sebuah kemunafikan: jika dipercaya berkhianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika bertikai ia berbuat curang.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 207)

Sebagian orang memahami bahwa kemunafikan hanya ada satu macam yaitu nifaq i’tiqadi saja, sehingga dari sini timbul kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum. Misalnya dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 145,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari an-naar (neraka). Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.”
Mereka tetapkan hukum ini juga pada orang yang ‘sekadar’ punya sifat kemunafikan padahal dia masih beriman.

Sumber Bacaan:
1. Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 17—19
2. al-Haqiqatusy Syar’iyah, Muhammad ‘Umar Bazmul, hlm. 165
3. Tafsir as-Sa’di, edisi revisi cet. ar-Risalah, hlm. 944

Sumber: Asy Syariah Edisi 001

###

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ كُلَّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku mendapati 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, seluruhnya merasa takut terhadap nifak yang bakal menimpa dirinya.” (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Iman, Bab Khaufil Mu’min min an Yahbatha ‘Amaluhu wa Huwa La Yasy’uru)

Begitu pula dengan seorang sahabat mulia, Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu. Dirinya takut sikap nifak itu melekat padanya. Saat Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan secara rahasia nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu, timbul pada diri Umar kegalauan. Jiwanya merasa tidak tenang. Khawatir namanya termasuk dalam deretan orang-orang munafik yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka, untuk mengusir rasa galau di hati, menepis kekhawatiran yang bersemi, dan menambah ketenangan hati, Umar radhiallahu anhu menanyakan langsung kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu. Kata Umar radhiallahu anhu: “Wahai Hudzaifah, semoga Allah memuliakanmu. Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan namaku kepadamu bersama nama-nama orang munafik?” Jawab Hudzaifah: “Tidak. Tidak ada (nama) seorang pun yang terbersihkan setelah (nama)mu.” Apa yang diperbuat Umar radhiallahu anhu adalah guna menambah ketenangan dirinya. Padahal sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah mempersaksikan bahwa dia termasuk sahabat yang mendapatkan jannah (surga). (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 76, Thariqul Hijratain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, hal. 504)

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin -rahimahullah-

PERTANYAAN:
كثيرون هم من يتهمــون غيرهم بالنفــاق في هذا الزمـــان ويستدل بالآية:ـ وإذا قامــوا إلى الصلاة قامـــوا كسالى، وغيرهــا فما هو ضابط النفــــاق
Banyak orang yang menuduh orang lain dengan kemunafikan pada zaman sekarang ini, berdalil dengan ayat Al-Qur`an:
وإذا قامــوا إلى الصلاة قامـــوا كسالى
"Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas." (Q.S. An-Nisa ayat 142)
Dan ayat yang selainnya.
Apa parameter kemunafikan itu?

JAWABAN:
النفـــاق -بارك الله فيك- نوعــان: نفاق اعتقادي ونفاق عملي. فالنفاق الاعتقـــادي محلــه القلب ولا يعلم به إلا الله ولهذا بعض الصحــابة الذين حصل منهم المخالفة فقال عمر: [إنه نــافق] فعارضه الرسول
Kemunafikan itu -semoga Allah memberkahimu- ada dua jenis, yakni:
- Nifaq I'tiqadi (kemunafikan yang bersifat keyakinan), dan
- Nifaq 'Amali (kemunafikan yang bersifat perbuatan yang nampak).
Adapun NIFAQ I'TIQODIY TEMPATNYA ADALAH DI DALAM HATI dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Oleh karena itu sebagian para Shahabat yang ketika terjadi pada mereka suatu penyelisihan syariat maka Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya ia telah melakukan kemunafiqan." Maka Rasul shallallahu alaihi wasallam pun meluruskan Beliau Radhiyallahu 'anhu.
فالنفاق الاعتقادي محله القلب ولا يجوز أن يرمي الإنسان به أحدا من المسلمين وأهل الولاء لله ورسوله إلا ببينة واضحـــة
Sehingga Nifaq I'tiqadi tempatnya adalah di dalam hati (keyakinan hati) dan TIDAK BOLEH SESEORANG melemparkan VONIS KEMUNAFIKAN kepada seorang muslim dan orang-orang yang berloyalitas kepada Allah dan Rasulnya KECUALI dengan bukti-bukti yang jelas.
والنفــاق العملي: أن يأتي الإنسان خصلة من خصــال المنافقين فلا بأس أن تقــول: هذا منــافق لهذا الفعل فإذا رأينا الرجل يحدث ويكذب قلنا: هذا منافق نفاقا عمليا في هذه المسألة وإذا رأيناه قام إلى الصلاة وهو كسلان نقول: هذا فيه خصلة من خصال المنافقين لأنه أشبه بالمنافقين في قيامه إلى الصلاة على وجه الكسل
Sedangkan NIFAQ 'AMALI adalah seseorang melakukan suatu perilaku dari perilaku-perilaku orang-orang munafik. Sehingga tidak mengapa Anda mengatakan:
"Orang ini munafik karena melakukan perbuatan ini."
Apabila kita melihat seseorang berbicara lalu berdusta, maka kita mengatakan: "Orang ini munafiq dengan Nifaq amali dalam masalah ini." Dan apabila kita melihatnya berdiri untuk shalat dalam keadaan ia bermalas-malasan, maka kita katakan: Orang ini pada dirinya terdapat salah satu ciri-ciri orang munafik. KARENA ia menyerupai orang-orang munafiq yang menegakkan shalat dalam keadaan bermalas-malasan.
فالنفــاق العملي واسع فكـــل من وافــق المنافقين في خصلة من خصالهم فإنه منافــق في هذا العمل خاصـــة
Maka Nifaq Amali itu luas (pembahasannya). Sehingga setiap orang yang mencocoki orang-orang munafiq dalam salah satu perbuatan mereka maka sesungguhnya ia adalah munafik dalam amalan ini secara khusus.
وكمــا قال الــرسول: آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان، هذه علامـــة المنـــافق لكن هذه العلامــات قد يقوم بها أناس من المسلمين فنقول: هو منافق في هــذه المسألــة
Dan sebagaimana Sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam:
"Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga:
- Apabila berbicara ia berdusta,
- Apabila berjanji maka ia menyelisihi janjinya, dan
- Apabila ia diberikan amanah, ia berkhianat."
Inilah tanda-tanda orang munafik NAMUN tanda-tanda ini terkadang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka kita mengatakan: Dia munafik dalam masalah itu.

Sumber:
Rangkaian Pertemuan Terbuka (open house), pertemuan yang ke-32

Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_032_14 .mp3

Alih Bahasa:
Ayyub Wijaya (Balikpapan) Al Jawiy -hafidzahullah- [FBF-4 ]

Muroja'ah:
Al Ustadz Abu Yahya (Solo) Al Maidaniy -hafidzahullah- [FBF-5]

__________
Catatan:
1. NIFAQ I'TIQODIY, pelakunya keluar dari Islam sedang NIFAQ AMALIY TIDAK, hanya disebut muslim pelaku maksiat.
2. NIFAQ I'TIQODIY jika mati dalam keadaan demikian pelakunya kekal di Neraka adapun pelaku Nifaq Amaliy tidak.
Jika mereka - pelaku Nifaq Amaliy - masuk Neraka maka hanya sebatas menjalani hukuman atas kemaksiatan yang mereka lakukan di dunia dan kemudian akan masuk surga karena mereka masih muslim.

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Tentang MENYIKAPI BERITA YANG DATANG DARI ORANG FASIK

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal dengan perbuatannya itu.” (Al-Hujurat: 6)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi  orang yang  berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Azza wa Jalla melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)

Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, di antaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan di antaranya pula firman-Nya:
“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq: 2)
Lalu beliau berkata:
“Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)

Tentang MEMBERI SESAMA MUSLIM NASIHAT BILA DIA MEMINTA NASIHAT

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ. ﻗِﻴﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺤَﻚَ ﻓَﺎﻧْﺼَﺢْ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺴَﻤِّﺘْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﻓَﻌُﺪْﻩُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌْﻪُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam." Ditanyakan, “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya‏).” (HR. Muslim)