Cari Blog Ini

Senin, 29 September 2014

Tentang ADZAN DAN IQAMAH DI LIANG KUBUR

Pertanyaan: Apa hukum adzan dan iqamah di liang kubur ketika meletakkan mayat di dalamnya?

Jawab:
Tanpa diragukan bahwa itu adalah bid’ah. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menurunkan dalil dalam hal ini, karena perbuatan itu tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan segala kebaikan itu adalah ketika kita mengikuti mereka dan menelusuri jalan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At-Taubah: 100)
Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang bukan darinya maka itu tertolak.”
Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻭَﺷَﺮُّ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Dan sejelek-jelek urusan (agama) adalah yang diada-adakan, dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala berikan shalawat dan salam-Nya kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 1, judul: Al-Ijabah ‘an As`ilah Mutafarriqah]
—————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah

Tentang MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjawab beberapa pertanyaan berikut ini.

Pertanyaan: Ada saudara-saudara kami, kaum muslimin, yang menyelenggarakan perayaan ulang tahun untuk diri mereka dan anak-anak mereka. Apa sebenarnya pandangan Islam dalam masalah “ulang tahun” ini?

Jawab:
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, berdasar sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini padahal bukan bagian darinya maka amalan yang diada-adakan itu tertolak.”
Demikian pula sabdanya Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak."
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang diada-adakan dalam agama Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa pun tidak boleh dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan ini. Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad ibnu Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah dihafal berita dari beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi arahan kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, orang-orang yang paling afdhal dari umat ini setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun salah seorang dari mereka, semoga Allah Subhanahu wa.ta’ala meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk mereka dan mengikuti urusan yang lurus/tegak yang diperoleh dari madrasah Nabi mereka. Ditambah lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang kafir selain mereka dalam hal perayaan-perayaan yang mereka ada-adakan. Wallahul musta’an.
[Fatwa no. 2008]

Pertanyaan: Istri saya biasa mengadakan acara tahunan untuk putra saya bertepatan dengan hari kelahirannya yang diistilahkan hari ulang tahun. Dalam acara ini disediakan beraneka makanan dan diletakkan lilin (di atas kue tart) sejumlah umur si anak. Di awal acara, si anak diminta meniup semua lilin yang dinyalakan tersebut, setelahnya barulah acara dimulai. Apa hukum syariat dalam perbuatan semacam ini?

Jawab:
Tidak boleh membuat acara ulang tahun untuk seorang pun karena hal itu bid’ah, padahal telah pasti sabda.Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan/perintah/perkara kami ini apa yang bukan bagiannya maka yang diada-adakan itu tertolak.”
Juga karena acara ulang tahun itu tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, padahal Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
Wabillahi at-taufiq.
[Fatwa no. 5289]

Tentang ANAK KECIL LEWAT DI DEPAN ORANG SHALAT

Pertanyaan: Apakah seorang ibu harus menahan anaknya yang masih kecil lewat di hadapannya saat ia sedang shalat, padahal itu terjadi berulang-ulang di tengah shalat? Tentunya berulang-ulangnya mencegah si anak lewat dapat menghilangkan kekhusyukan dalam shalat. Sementara jika si ibu shalat sendirian tanpa menempatkan si anak di dekatnya, si ibu (tentu) mengkhawatirkan anaknya (karena tidak ada yang menjaganya).

Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:
“Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini dikatakan ahlul ilmi rahimahumullah. Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, hendaknya memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak asyik dengan benda/mainan tersebut) sementara si anak berada di sekitar/dekat dengan ibunya. Karena bila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain. Namun bila si anak terus menggelayuti ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makan atau memberi minum). Setelah itu ia menghadapkan dirinya kepada amalan shalatnya.”

(Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151-152)

Sumber: Asy Syariah Edisi 056

Tentang MENGHILANGKAN RAMBUT YANG TUMBUH DI BADAN

Pertanyaan: Bolehkah seseorang menghilangkan rambut yang tumbuh di kedua lengan dan kakinya?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab, “Bila rambut yang tumbuh itu banyak/di luar kewajaran, tidak apa-apa menghilangkannya, karena keberadaannya menjelekkan penampilan seseorang. Kalau rambut itu biasa/masih wajar maka sebagian ahlul ilmi ada yang berpendapat tidak boleh menghilangkannya, karena termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan boleh dihilangkan karena termasuk perkara yang didiamkan Allah, sementara Rasulullah bersabda:
ﻣﺎَ ﺳَﻜَﺖَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﻔْﻮٌ
“Apa yang Allah diamkan berarti pemaafan.”
Maksudnya tidak diharuskan bagi kalian dan tidak pula haram. Mereka ini mengatakan, “Rambut-rambut yang tumbuh di badan terbagi tiga macam:
-> Pertama: Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan.
-> Kedua: Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan.
-> Ketiga: Rambut yang didiamkan.
Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan, tidaklah boleh dihilangkan, seperti jenggot bagi laki-laki, mencabut rambut alis bagi wanita dan lelaki.
Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan maka harus dihilangkan, tidak boleh dibiarkan, seperti rambut ketiak, rambut kemaluan, dan kumis bagi laki-laki.
Apa yang didiamkan, tidak dilarang dan tidak pula ada perintah untuk menghilangkannya, berarti perkaranya dimaafkan. Karena bila Allah tidak menghendaki keberadaannya, niscaya Dia perintahkan untuk dihilangkan. Bila Allah menginginkan rambut itu tetap ada, niscaya Dia akan memerintahkan untuk membiarkannya. Tatkala Allah diam, tidak menyebut salah satunya, berarti pekaranya kembali pada keinginan/pilihan manusia, bila mau ia hilangkan dan bila mau ia biarkan.
Allah lah yang memberi taufik.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/134)

Tentang ASTROLOGI, HOROSKOP, ZODIAK, DAN SHIO

Astrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara fenomena-fenomena, posisi dan pergerakan benda-benda langit (planet, bulan, dan matahari) dengan kejadian-kejadian dan nasib manusia. Kata astrologi berasal dari bahasa Latin yang artinya ilmu perbintangan. Ilmu ini sudah dikenal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan nama ilmu nujum.

Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan, planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada waktu kelahiran atau pada waktu-waktu tertentu lainnya. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengamati waktu.

Horoskop seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi (zodiak). Dalam berbagai majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.

Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21 Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius (Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran antara 23 November sampai dengan 18 Desember.

Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umat perihal ilmu nujum atau ilmu perbintangan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨُّﺠُﻮﻡِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﺷُﻌْﺒَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴِّﺤْﺮِ ﺯَﺍﺩَ ﻣَﺎ ﺯَﺍﺩَ
“Barangsiapa mempelajari salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/536)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir. Sungguh Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman, "Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang." (Thaha: 69)
Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)

Ilmu nujum ada dua macam. Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:
1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan. Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah 'Azza wa Jalla.
2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya. Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap dirinya mengetahui hal ghaib.
3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
(Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)

Jenis ilmu nujum yang pertama (ilmu at-ta’tsir) itulah yang dilarang.
Seorang shahabat, Zaid bin Khalid radhiyallahu 'anhu, berkata:
Kami shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Allah berfirman: ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena nau’ [1] ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. Al-Bukhari, 2/433-434 dan Muslim, no. 71)
Diriwayatkan dari Thawus rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah 'Azza wa Jalla.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)

Sedangkan jenis ilmu nujum yang kedua (ilmu at-tasyir) itulah yang diperbolehkan untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1018)

Footnote
[1] An-Nau adalah bentuk
tunggal dari al-Anwa yang berarti
bintang, dan dahulu orang-orang jahiliyah menisbatkan hujan turun kepada bintang ini, atau bintang itu.