Cari Blog Ini

Senin, 29 September 2014

Tentang ASTROLOGI, HOROSKOP, ZODIAK, DAN SHIO

Astrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara fenomena-fenomena, posisi dan pergerakan benda-benda langit (planet, bulan, dan matahari) dengan kejadian-kejadian dan nasib manusia. Kata astrologi berasal dari bahasa Latin yang artinya ilmu perbintangan. Ilmu ini sudah dikenal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan nama ilmu nujum.

Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan, planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada waktu kelahiran atau pada waktu-waktu tertentu lainnya. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengamati waktu.

Horoskop seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi (zodiak). Dalam berbagai majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.

Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21 Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius (Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran antara 23 November sampai dengan 18 Desember.

Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umat perihal ilmu nujum atau ilmu perbintangan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨُّﺠُﻮﻡِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﺷُﻌْﺒَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴِّﺤْﺮِ ﺯَﺍﺩَ ﻣَﺎ ﺯَﺍﺩَ
“Barangsiapa mempelajari salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/536)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir. Sungguh Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman, "Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang." (Thaha: 69)
Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)

Ilmu nujum ada dua macam. Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:
1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan. Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah 'Azza wa Jalla.
2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya. Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap dirinya mengetahui hal ghaib.
3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
(Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)

Jenis ilmu nujum yang pertama (ilmu at-ta’tsir) itulah yang dilarang.
Seorang shahabat, Zaid bin Khalid radhiyallahu 'anhu, berkata:
Kami shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Allah berfirman: ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena nau’ [1] ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. Al-Bukhari, 2/433-434 dan Muslim, no. 71)
Diriwayatkan dari Thawus rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah 'Azza wa Jalla.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)

Sedangkan jenis ilmu nujum yang kedua (ilmu at-tasyir) itulah yang diperbolehkan untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1018)

Footnote
[1] An-Nau adalah bentuk
tunggal dari al-Anwa yang berarti
bintang, dan dahulu orang-orang jahiliyah menisbatkan hujan turun kepada bintang ini, atau bintang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar