Cari Blog Ini

Senin, 22 September 2014

Tentang HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN KETIKA BERPUASA

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushaby hafizhahullah

Hal-hal yang diperbolehkan ketika berpuasa:
1. Mencium (istri atau budak wanita) bagi orang yang mampu menguasai dirinya
2. Bersenang-senang (dengan istri atau budak wanita) selain berhubungan badan bagi orang yang mampu menguasai dirinya
3. Bangun tidur ketika Shubuh dalam keadaan junub setelah melakukan hubungan badan di malam hari, dan yang lebih utama adalah mandi di malam hari
4. Mandi
5. Menggunakan sabun atau sampo
6. Menggunakan pasta gigi
7. Berkumur
8. Memasukkan air ke hidung (ketika wudhu) tanpa berlebihan
9. Menggunakan minyak wangi
10. Menggunakan minyak rambut
11. Menggunakan pacar atau inai
12. Menyelimutkan kain basah di badan
13. Menggunakan pembersih telinga
14. Menelan air liur
15. Mencicipi makanan jika membutuhkan, namun tidak boleh menelan liur dari mencicipi tersebut
16. Mencium dalam-dalam bau harum raihan (ada di Yaman, semacam daun kemangi yang harum baunya) yang masih basah.
17. Menyemprotkan penghilang bau mulut (sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ibnu Baz dari kitab Silsilah Kitab Ad-Da’wah, II/164)
18. Menggunakan obat semprot bagi penderita sesak nafas atau asma
19. Mencabut atau menambal gigi geraham
20. Mengobati luka
21. Donor darah, jika bisa mengakhirkannya hingga malam hal itu lebih utama (sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ikhwan, karya Ibnu Baz)
22. Suntikan selain yang berfungsi menggantikan makanan
23. Pengobatan dengan sistem enema, yaitu memasukkan obat cair ke dalam kolon (usus) melalui anus (dubur) (sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ikhwan, karya Ibnu Baz)
24. Mencabut bulu ketiak
25. Mencukur kumis
26. Mencukur habis rambut kemaluan
27. Memotong kuku
28. Menyisir rambut
29. Mencukur gundul rambut kepala bagi pria
30. Menggunakan obat untuk mencegah haidh sebelum puasa dengan syarat tidak membahayakan
31. Meneruskan puasa dari sahur ke sahur, hanya saja yang afdhal adalah meninggalkannya

Sumber artikel:
Mudzakkirah Fii Ahkamis Shiyam

Alih bahasa: Abu Almass

###

PEMBATAL-PEMBATAL PUASA YANG PALING BANYAK DITANYAKAN TENTANG (HUKUM) NYA

1. Suppositoria (obat berbentuk peluru yang dimasukkan ke dalam anus atau yang semisalnya)
Tidak membatalkan puasa. Menurut pendapat asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

2. Tetes mata
Tidak membatalkan puasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumulloh.

3. Celak
Tidak membatalkan puasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin.

4. Tetes telinga
Tidak membatalkan puasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumulloh.

5. Tetes hidung
Jika sampai masuk ke lambung maka membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.
Adapun asy-Syaikh Ibnu Baz berpendapat tetes hidung tidak boleh bagi orang yang berpuasa. Dan barang siapa yang mendapati rasanya di tenggorokannya, maka wajib baginya untuk mengqodho’ (yakni batal puasanya).

6. Sprayer (semprot) asma
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Baz, aay-Syaikh Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Daimah rahimahumulloh.

7. Suntikan Nutrisi
Membatalkan puasa.
Adapun suntikan otot, pembuluh darah atau kulit maka tidak membatalkan.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh.

8. Suntik Pinichilin
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

9. Suntik Insulin bagi penderita diabetes
Tidak membatalkan puasa.
al-Lajnah ad-Daimah.

10. Suntik bius (anastesi) pada gigi, menambal dan membersihkannya
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahulloh.

11. Menghirup bukhur (asap gaharu) dengan sengaja dalam keadaan tahu
Membatalkan puasa.
Adapun sekedar mencium aroma bukhur tanpa sengaja menghirupnya, maka tidak membatalkan.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

12. Memakai minyak wangi dan menghirupnya
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh.

13. Pelembab bibir
Tidak membatalkan puasa, dengan syarat tidak ada yg tertelan sedikitpun darinya.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

14. Make up
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

15. Muntah dengan sengaja
Membatalkan puasa.
Adapun jika tidak sengaja maka tidak membatalkan.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

16. Epistaksis (mimisan), cabut geraham disertai keluarnya darah
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh.

17. Diambil darah untuk diperiksa
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

18. Ihtilam (mimpi basah)
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh.

19. Berenang dan menyelam
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

20. Obat kumur (semisal listerin)
Tidak membatalkan puasa.
Dengan syarat tidak ada yang tertelan sedikitpun darinya.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.

21. Siwak
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh.

22. Pasta gigi (gosok gigi)
Tidak membatalkan puasa selama tidak sampai ke lambung.
(Akan tetapi) yang lebih utama tidak menggunakannya, karena memiliki pengaruh (rasa) yang kuat.

23. Menelan dahak
Tidak membatalkan puasa.
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh.
Adapun asy Syaikh ibnu Baz rahimahulloh berpendapat dahak/riak (النخامة) tidak boleh ditelan dan wajib dibuang (tambahan dari pent).

24. Mencicipi makanan
Tidak membatalkan puasa, akan tetapi tidak boleh menelannya, dan tidak melakukannya kecuali memang dibutuhkan.

25. Koyo nikotin
Membatalkan puasa.
al-Lajnah ad-Daimah.

Dari: Tanbiihaat Syahri Ramadhon

Alih Bahasa: al Ustadz Syafi’i al Idrus Hafidhohulloh

Faedah dari Majmu’ah Manaabir al-Kitab was Sunnah dengan sedikit perubahan

Forum Ahlussunnah Ngawi

Hanya Sedikit Faedah

###

Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan —cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf— yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in. Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim)
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426—428)
Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
ﻣَﻦْ ﺫَﺭَﻋَﻪُ ﻗَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺻَﺎﺋِﻢٌ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻋـَﻠﻴَﻪِ ﻗَﻀَﺎﺀٌ، ﻭَﺇِﻥِ ﺍﺳْـﺘَﻘَﺎﺀَ ﻓَﻠْﻴَـﻘْﺾِ
“Barang siapa yang muntah karena.tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin berkata dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan.”
b. “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa.”
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya).” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510—511)

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya, “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻳَﺪَﻉُ ﺷَﻬْﻮَﺗَﻪُ ﻭَﻃَﻌَﺎﻣَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﻠِﻲ
“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah).” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
ﺩَﻉْ ﻣَﺎ ﻳَﺮِﻳْﺒُﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺮِﻳْﺒُﻚَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935)

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus.
Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)

Sumber: Asy Syariah Edisi 003

Tentang HAL-HAL YANG DIANJURKAN BAGI YANG BERPUASA

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushaby hafizhahullah

Hal-hal yang dianjurkan bagi orang-orang yang berpuasa dan selain mereka:
1. Berusaha melihat hilal
2. Berdoa ketika melihat hilal
3. Memperbanyak doa
4. Mendoakan kebaikan bagi kaum Muslimin
5. Selalu menyebarkan salam
6. Menyambung silaturahmi walaupun dengan telpon
7. Memperbanyak berbuat baik kepada orang-orang yang memiliki hubungan darah
8. Memperbanyak sedekah
9. Tersenyum di hadapan saudaramu
10. Memperbanyak berbuat baik kepada tetangga
11. Memperbanyak berbuat baik kepada orang-orang yang lemah, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim
12. Selalu mengucapkan perkataan yang baik
13. Memperbanyak dzikir
14. Memperbanyak taubat dan istighfar sebanyak ratusan kali
15. Memperbanyak mengucapkan “laa ilaha illallah”
16. Memperbanyak mengucapkan “laa haula wa laa quwwata illa billah”
17. Memperbanyak mengucapkan “subhanahullah wabihamdihi, subahanallahul azhim”
18. Memperbanyak mengucapkan shalawat bagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
19. Memperbanyak menuntut ilmu
20. Memperbanyak usaha mendakwahkan agama Allah
21. Mengharapkan pahala ketika memberi nafkah keluarga
22. Menjaga wudhu
23. Bersiwak
24. Menjaga agar bau badan tetap harum
25. Mengerjakan shalat dua rakaat sebelum maghrib
26. Menjaga shalat-shalat sunnah rawatib
27. Semangat untuk mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib di rumah
28. Memperbanyak shalat sunnah
29. Bersegera mendatangi shalat
30. Selalu berusaha agar mendapatkan shaf pertama
31. Menunggu shalat setelah selesai shalat
32. Berusaha memanfaatkan waktu dikabulkannya doa pada hari Jum’at
33. Berusaha memanfaatkan waktu dikabulkannya doa pada malam hari
34. Semangat untuk tinggal di masjid hingga terbitnya matahari
35. Duduk bersama orang-orang yang suka berdzikir di pagi dan petang hari
36. Menjaga dzikir pagi dan petang
37. Menghadiri taman-taman surga (mejelis ilmu dan dzikir)
38. Mempelajari Al-Qur’an Al-Karim
39. Memperbagus suara ketika membaca Al-Qur’an
40. Melakukan sujud tilawah ketika membaca ayat yang dianjurkan untuk melakukan sujud padanya
41. Memperbanyak membaca Al-Qur’an
42. Semangat untuk mengkhatamkan Al-Qur’an
43. Berdoa ketika mengkhatamkan Al-Qur’an
44. Menjenguk orang sakit
45. Ziyarah kubur
46. Mengingat kematian, akherat, surga, dan neraka
47. Merenungkan ayat-ayat Allah dan makhluk ciptaan-Nya
48. Bersikap zuhud di dunia
49. Bersikap zuhud terhadap apa-apa yang di tangan manusia
50. Mengumpulkan empat hal berikut:
dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ؟
“Siapa diantara kalian yang hari ini berpuasa?”
Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau bertanya lagi:
ﻓَﻤَﻦْ ﺗَﺒِﻊَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓً؟
“Siapa diantara kalian yang hari ini mengikuti jenazah?”
Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau bertanya lagi:
ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﻃْﻌَﻢَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻣِﺴْﻜِﻴْﻨًﺎ؟
“Siapa diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?”
Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Beliau bertanya lagi:
ﻓَﻤَﻦْ ﻋَﺎﺩَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻣَﺮِﻳْﻀًﺎ؟
“Siapa diantara kalian yang hari menjenguk orang sakit?”
Abu Bakr menjawab: “Saya.”
Maka beliau berkata:
ﻣَﺎ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌْﻦَ ﻓِﻲْ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ .
“Tidaklah perkara-perkara tersebut terkumpul pada seseorang kecuali dia pasti masuk surga.”(HR. Muslim no. 1028)

Sumber:
Mudzakkirah Fii Ahkamis Shiyam

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MELEPAS SANDAL KETIKA MASUK KUBURAN

Pertanyaan:
Apakah melepas sandal waktu di kuburan itu sunnah atau bid’ah?

Jawab:

Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua sandalnya, berdasarkan apa yang.diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan:
Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:
ﻳَﺎ ﺻَﺎﺣِﺐَ ﺍﻟﺴَﺒْﺘِﻴَّﺘَﻴْﻦِ ﺃَﻟْﻖِ ﺳَﺒْﺘِﻴَّﺘَﻴْﻚَ
“Hai pemakai dua sandal tanggalkan kedua sandal kamu!”
Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud)

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang.”
Penghalang yang dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.

Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.

Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan:
هل نزع النعل إذا دخلت المقبرة عند الدفن؛ هل هو مستحب أم واجب؟
Apakah melepaskan sendal ketika masuk area pemakaman hukumnya sunnah atau wajib?

Jawaban:
الظاهر هذا يختلف باختلاف الأحوال، إذا كان يطأ على القبور نزعه لحرمة القبور، أما إذا كان لا يطأ على القبور في السِّكة المُعَدَّة- أرجو أنه لا بأس بذلك، لاختلاف الروايات
Yang nampak bahwa hukumnya adalah berbeda-beda, sesuai keadaan.
Jika dikhawatirkan dia akan menginjak permukaan kuburan, maka wajib baginya melepas sendalnya, dikarenakan kehormatan yang ada pada kuburan.
Adapun kalau dia tidak menginjak kuburan, dan bisa berjalan disela-sela lorong kecil, maka saya berharap ini tidak mengapa -dia menggunakan sendal-. Dikarenakan adanya beberapa perbedaan riwayat hadits.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=152469

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMBACA AL-QURAN SECARA BERSAMA-SAMA

Pertanyaan: Apa hukumnya membaca Al-Qur’an secara bersama-sama?

Jawab:

Membaca Al-Qur’an adalah ibadah dan termasuk amalan yang paling utama yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hukum asal cara membaca Al-Qur’an adalah seperti cara yang dulunya dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Dalam hal ini tidak ada keterangan yang pasti dari beliau dan juga para sahabat beliau bahwa mereka membaca Al-Qur’an secara bersama-sama dengan satu suara. [1]

Justru yang ada adalah semua mereka membaca sendiri-sendiri (tidak bersama-sama), atau salah seorang dari mereka membaca dan orang yang hadir mendengarkan bacaannya. Telah pasti berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱْ
“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidun setelahku.”
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, “Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu bertolak.”
Sabdanya pula, “Siapa yang mengamalkan amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.”
Telah datang berita kepada kita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Abdullah ibnu Mas’ud untuk memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada beliau. Ibnu Mas’ud berkata:
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺃَﺃَﻗْﺮَﺃُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺃُﻧْﺰِﻝَ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻧِّﻲ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﺃَﺳْﻤَﻌَﻪُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِﻱْ
“Apakah aku membacakan Al-Qur’an untukmu padahal Al-Qur’an ini turun kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.”

(Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatul Walid asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah dengan wakil asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Fatwa no. 4394)

Catatan Kaki

[1] Dalam fatwa no. 3302 disebutkan bahwa membaca Al-Qur’an secara bersama-sama jika tujuannya adalah untuk pengajaran/taklim, diharapkan hal itu tidak mengapa, dengan maksud mereka membaca secara bersama-sama guna menghafal atau mempelajarinya. Selain itu, yang disyariatkan adalah satu orang yang membacanya, sementara yang lain mendengarkan. Atau masing-masing membaca secara sendiri-sendiri tanpa menyengaja menjadikannya satu suara/berbarengan dengan yang lain sementara yang lain mendengarkan. Atau masing-masing membaca secara sendiri-sendiri tanpa menyengaja menjadikannya satu suara/berbarengan dengan yang lain.

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

Tentang MEMISAHKAN TEMPAT TIDUR ANAK-ANAK

Pertanyaan:
Apakah anak laki-laki yang telah baligh boleh tidur bersama ibunya atau saudara perempuannya?

Jawab:
Anak-anak laki-laki yang telah baligh atau telah mencapai usia sepuluh tahun, tidak boleh lagi tidur bersama ibu atau saudara perempuan mereka di kamar tidur atau di kasur mereka. Hal ini demi menjaga kemaluan dan menjauhkan dari kobaran fitnah serta menutup celah yang mengantarkan kepada kejelekan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintah umatnya untuk memisah tempat tidur anak-anak mereka apabila usia mereka telah genap sepuluh tahun. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣُﺮُﻭﺍ ﺃَﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﻫُﻢْ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀُ ﺳَﺒْﻊِ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﺿْﺮِﺑُﻮْﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀُ ﻋَﺸْﺮ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﻓَﺮِّﻗُﻮْﺍ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ
"Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka bila enggan mengerjakannya pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud no. 495, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan Abi Dawud) [1]

Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar anak-anak yang belum baligh meminta izin ketika masuk rumah/kamar pada tiga waktu yang aurat biasanya tersingkap dan tampak. Allah subhanahu wa ta’ala menekankan hal tersebut dengan menamakan tiga waktu itu adalah aurat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kalian miliki dan anak-anak yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian (bila hendak masuk ke tempat kalian) tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian luar kalian di tengah hari dan setelah shalat Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian.” (an-Nur: 58)

Anak yang telah baligh diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk meminta izin setiap akan masuk rumah/kamar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apabila anak-anak kalian telah sampai usia baligh, hendaklah mereka meminta izin (di setiap waktu ketika hendak masuk ke tempat kalian) seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (an-Nur: 59)

Semua itu dimaksudkan untuk mecegah gangguan/godaan, menjaga kehormatan, dan menutup celah yang mengantarkan kepada kejelekan. Adapun anak laki-laki yang berusia di bawah sepuluh tahun masih boleh tidur bersama ibu atau saudara perempuannya di tempat tidurnya, karena adanya kebutuhan untuk menjaganya dan mencegah bahaya darinya bersamaan dengan aman dari fitnah. Ketika aman dari fitnah, mereka boleh tidur sama-sama di satu tempat/kamar walaupun sudah mencapai usia baligh, hanya saja masing-masing tidur di kasurnya sendiri. Wa billahi at-taufiq.

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta
Ketua: Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz
Wakil ketua: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi
Anggota: asy-Syaikh Abdullah ibn Ghudayyan, asy-Syaikh Abdullah ibn Qu’ud

Catatan kaki
[1] Karena bila anak-anak tersebut satu tempat tidur dimungkinkan aurat-aurat mereka tersingkap sehingga yang satu bisa melihat aurat yang lain. Juga mungkin terjadi sentuhan tubuh di antara mereka sehingga dapat membangkitkan syahwat, khususnya di antara anak lelaki yang sudah baligh dengan anak perempuan yang sudah baligh, bahkan di antara sesama anak lelaki ataupun sesama anak perempuan yang sudah baligh.
Al-Munawi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Maksudnya pisahkanlah anak-anak kalian pada tempat pembaringan mereka yang mereka biasa tidur di situ bila mereka telah mencapai usia sepuluh tahun dalam rangka menghindari bergeloranya syahwat, walaupun mereka itu sesama anak perempuan.” Ath-Thibi berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara perintah shalat dengan perintah memisahkan anak-anak pada tempat tidur mereka di masa kecil mereka dalam rangka mendidik mereka, menjaga seluruh perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengajarkan mereka bagaimana cara bergaul di antara sesama makhluk. Di samping itu, agar mereka tidak berada pada posisi di mana mereka bisa dituduh jelek atau pada keadaan yang bisa menjerumuskan mereka kepada fitnah. Dengan tarbiyah di masa kecil ini, mereka pun akan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan.” (Faidhul Qadir Syarhu Al-Jami’ Ash-Shaghir, 5/521) __________________________________ Sumber: Majalah Asy Syariah online

###

Mungkin sebagian kita masih bingung dan belum tahu, mengapa Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan para orangtua agar memisah tempat tidur anak-anaknya semenjak kecil.
Beliau tidak memperkenankan seseorang tidur satu ranjang atau satu selimut antara seorang anak dengan saudara atau saudarinya.
Maka berikut para kibar ulama dalam Lajnah Da`imah - semoga Allah memberkahi ilmu mereka - menjelaskan akan hikmah larangan tersebut:
نهى - صلى الله عليه وسلم - عن نوم الأخ والأخت في فراش ولحاف واحد بقوله صلى الله عليه وسلم : مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع
لأن في هذا السن يبدأ ميل الذكر إلى الأنثى وميل الأنثى إلى الذكر مع قصور في العقل فيكون ذلك وسيلة لاستجرار الشيطان لهما إلى ما لا يحل
Rasululloh Shallallaahu alaihi wasallam melarang seorang saudara tidur bersama saudarinya dalam satu tempat tidur ataupun satu selimut berdasarkan Sabda beliau Shallallaahu alaihi wasallam:
مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربو عليهم لعشر و فرقوا بينهم في المضاجع
Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berumur 7 tahun, pukullah mereka (apabila tidak mengerjakan sholat) ketika berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.
Hal ini dikarenakan pada umur-umur ini 'ketertarikan' laki-laki terhadap perempuan mulai muncul, begitu juga 'ketertarikan' perempuan terhadap laki-laki mulai muncul. Padahal akal-akal mereka masih dangkal.
Maka hal tersebut bisa menjadi perantara syaithon untuk menyeret mereka pada perkara yang tidak halal.

Sumber:
Fatawaa Lajnah Daaimah 26/336

Alih Bahasa:
Abu Mas'ud Surabaya حفظه الله [FBF-7]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

Tentang ANAK ANGKAT

Secara tidak sengaja kami menemukan bayi perempuan yang baru saja dilahirkan (anak buangan). Kami mengasuh dan memelihara bayi tersebut. Sekarang usianya mencapai sekitar lima tahun. Akta kelahirannya memuat nama ayah dan ibu yang memungutnya. Anak itu sekarang tinggal bersama kami. Saya sendiri memiliki tiga saudara laki-laki. Kami harapkan kesediaan Anda memberikan penjelasan tentang cara mendidik anak tersebut dengan tarbiyah Islamiyah. Apakah saudara-saudara lelaki saya menjadi mahram baginya sehingga mereka tidak boleh menikahinya?

Jawab:

Anak pungut/anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada orang yang mengasuhnya. [1] Ayah angkatnya bukan mahramnya, kecuali apabila si anak pernah menyusui kepada istri ayah angkatnya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh ayah angkatnya secara nasab atau sebab lain yang mubah, seperti ibunya, saudara perempuannya, istri ayahnya (ibu tiri) dan semisalnya, dengan lima kali penyusuan atau lebih, pada usia (di bawah) dua tahun.
Tidak disangsikan bahwa perbuatan mengasuh anak pungut dan berbuat baik kepadanya akan mendapat pahala yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, apabila orang yang melakukannya benar niatnya. Akan tetapi, sekali lagi, orang yang memungutnya bukan mahram bagi si anak pungut, melainkan apabila terpenuhi syarat yang telah kami sebutkan.

(Fatwa no. 17455, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 17/394—395)

Ketua: Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz
Wakil ketua: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi
Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, asy-Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh, asy-Syaikh Bakr Abu Zaid

Catatan Kaki

[1] Misalnya, ayah yang memungutnya bernama Abdullah. Si anak tidak boleh disebut Fulanah bintu Abdullah karena Abdullah bukan ayah kandungnya. Seseorang hanya boleh bernasab kepada orang tua kandungnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Jika kalian tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.” (al-Ahzab: 5)

Sumber: Majalah Asy Syariah online

###

Al Lajnah Ad Daimah

Seorang anak wanita yang dijadikan anak angkat tidak menjadi anak secara haqiqi bagi orang yang menjadikannya anak angkat, sebagaimana yang terjadi di zaman jahiliyyah.
Tujuan dari (mengambil anak angkat) adalah untuk berbuat baik, mendidik anak itu, dan memberikan penghidupan yang layak kepadanya sampai dia tumbuh dewasa dan berakal sehingga dia nantinya bisa mandiri di dalam kehidupannya.
Tetapi dia bukan bapak dari anak wanita tersebut, dan BUKAN MAHROM denganmu, maka wajib kamu BERHIJAB darinya (yaitu dari bapak angkatnya), engkau bukan mahrom dengannya seperti orang yang lainnya yang bukan mahrom.
Tetapi atas engkau untuk membalas kebaikannya dengan tetap berhijab dan tidak berkholwat (berduaan) dengannya.

Sumber: Fatawa Al Lajnah Ad Daimah yang diketuai Asy Syeikh Bin Baaz: 20/360

Alih bahasa: Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy

Berbagi ilmu agama

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau, “Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut. Adalah Zaid bin Haritsah, maula Nabi, di masa sebelum beliau diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:

1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah : “Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah menerangkan bahwa ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung. Dan Allah memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.

2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas. [1] Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah menurunkan ayat: “Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat, sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham dan ‘ashabah. [2] Allah subhanahu wa ta’ala meniadakan adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam bentuk wasiat.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57)

3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya. Hal ini tampak dengan Allah subhanahu wa ta’ala menikahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu yang dulunya merupakan anak angkat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya: “Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi: “…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah bercerai).

4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab).” Nabi pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu). [3]

5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺮْﻏَﺒُﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺁﺑَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛُﻔْﺮٌ ﺑِﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺮْﻏَﺒُﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺁﺑَﺎﺋِﻜُﻢْ
"Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab, beliau berkata:
ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﻘْﺮَﺃُ: ﻭَﻻَ ﺗَﺮْﻏَﺒُﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺁﺑَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛُﻔْﺮٌ ﺑِﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺮْﻏَﺒُﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺁﺑَﺎﺋِﻜُﻢْ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
ﻣَﻦِ ﺍﺩَّﻋَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﻓَﺎﻟْﺠَﻨَّﺔُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
"Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217)

Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut ini:

Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah (dishahihkan Al-Imam Al-Albani) dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
ﻗَﺪَّﻣَﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃُﻏَﻴْﻠِﻤَﺔَ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻠِﺐِ ﻋَﻠَﻰ ﺣُﻤُﺮَﺍﺕٍ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺟَﻤْﻊٍ، ﻓَﺠَﻌَﻞَ ﻳَﻠْﻄَﺦُ ﺃَﻓْﺨَﺎﺫَﻧَﺎ ﻭَﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﺃُﺑَﻴْﻨـِﻲَّ – ﺗَﺼْﻐِﻴﺮُ ﺍﺑْﻨِﻲ – ﻻَ ﺗَﺮْﻣُﻮﺍ ﺍﻟْﺠُﻤْﺮَﺓَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit) di atas keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.”
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.

Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi bahwa tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/80)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 889-89)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

Catatan Kaki

[1] Allah berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab: “Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin.”

[2] Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan. Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
Sedangkan ‘ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua harta si mayit.

[3] Mengenai hukum menyusui orang dewasa, ada perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang rajih adalah bahwa susuan yang terjadi setelah dua tahun tidak bisa menyebabkan terjadinya mahram, sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama. Mereka menyatakan bahwa hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyebutkan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim yang sudah dewasa tersebut hanya khusus untuk Salim saja, dan tidak boleh diterapkan kepada yang lain. Wallahu a'lam.

Tentang HADIAH DAN SUAP

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Tanya:
Apa hukumnya seseorang memberikan barang berharga dengan menyebutnya sebagai hadiah kepada orang yang menjadi pimpinannya dalam sebuah pekerjaan?
(Pertanyaan di atas diajukan di akhir ceramah beliau yang disampaikan di rumah sakit an-Nur, di Makkah al-Mukarramah, tanggal 27/7/1412 H.

Jawab:
Ini adalah kesalahan dan sebuah perantara kepada kejelekan yang besar. Seorang pemimpin seharusnya tidak menerima hadiah karena terkadang hadiah tersebut adalah suap dan dapat mengantarkannya kepada sikap mudahanah (basa-basi) dan khianat. Lain halnya jika orang yang diberi hadiah tersebut menerimanya kemudian menyerahkannya ke rumah sakit dan untuk kemaslahatan rumah sakit, bukan keuntungan pribadinya. Ia memberitahu si pemberi hadiah bahwa hadiah tersebut untuk kemaslahatan rumah sakit, “Saya tidak mengambilnya untuk diri saya pribadi.”
Namun, yang lebih hati-hati, ia mengembalikannya, tidak menerimanya untuk pribadinya atau untuk rumah sakit, karena hal ini dapat menyeretnya untuk mengambil hadiah tersebut untuk dirinya sendiri. Selain itu, terkadang orang akan berburuk sangka kepadanya. Terkadang pula, pemberi hadiah menjadi lancang terhadapnya dan menuntutnya agar memberikan muamalah yang terbaik kepadanya, lebih dari yang diterima oleh orang selainnya.
Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para petugas beliau (amil zakat) untuk mengumpulkan zakat, salah seorang dari mereka berkata, “Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan kepadaku.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari hal tersebut. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia seraya berkata:
ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻧَﺴْﺘَﻌْﻤِﻠُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ: ﻫَﺬَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺃُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻲ؛ ﺃَﻵ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺖِ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﺑَﻴْﺖِ ﺃُﻣِّﻪِ ﻓَﻴَﻨْﻈُﺮَ ﻫَﻞْ ﻳُﻬْﺪَﻯ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
“Kenapa ada seseorang dari kalian yang kami pekerjakan dia untuk mengurusi satu perkara dari perintah Allah, ia berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, lalu ia lihat apakah ada yang memberi hadiah kepadanya?” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang pegawai, karyawan, pekerja, atau petugas, dalam bidang pekerjaan apa pun, semestinya menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang diurusnya. Jika ternyata ia telanjur menerimanya, hendaknya ia menyerahkan ke baitul mal. Ia tidak boleh mengambilnya untuk pribadinya berdasarkan hadits yang sahih di atas. Di samping itu, hadiah yang diberikan itu merupakan perantara kepada kejelekan dan cacatnya penunaian amanat. La haula wala quwwata illa billah.”

[Dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/65—66]

###

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah

Pertanyaan:
Bolehkah seorang guru menerima hadiah dari murid-muridnya? Jika tidak boleh, bagaimana bila hadiah itu diberikan setelah selesai tahun ajaran dan setelah hasil belajar (rapor) diserahkan? Kalau tidak boleh juga, bagaimana dengan hadiah yang diberikan oleh murid setamatnya dia dari sekolah tersebut atau ingin pindah ke sekolah yang lain?

Jawab:
Seorang guru semestinya tidak menerima hadiah-hadiah dari murid/wali muridnya. Alasannya, hadiah tersebut terkadang menyeretnya untuk berbuat tidak adil dan tidak mau memberi perhatian lebih kepada murid yang tidak memberi hadiah, sementara murid yang memberi hadiah kemudian diberi perhatian istimewa. Selain itu, si guru juga terdorong berlaku curang. Yang wajib, seorang guru tidak menerima hadiah dari murid-muridnya karena hadiah itu terkadang mengantarkan kepada akibat yang tidak terpuji. Seorang mukmin dan mukminah seharusnya menjaga agamanya dan menjauhi sebab-sebab yang mengundang keraguan, tuduhan, dan mudarat.
Adapun jika hadiah itu diberikan oleh si murid setelah ia pindah ke sekolah yang lain, tidak menjadi masalah bagi guru untuk menerimanya karena ketika itu keraguan/tuduhan telah berakhir dan aman dari mudarat. Demikian pula, jika hadiah diberikan setelah selesai dari suatu pekerjaan atau setelah pensiun, tidak apa-apa diterima.

(Dikutip dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/63—64)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم شيخنا، يقول السائل: أنا طبيبٌ في مستشفىً حكومي ويهدي إليّ بعض المرضى بعد شفائهم هدايا؛ هل يجوز لي أخذها، وماذا أفعل بما أُهدي إلي سابقًا إن لم يَجُزْ ذلك، وأتحرّجُ من ردِّهم؟
Semoga Allah memberkahi anda wahai Syaikh kami, penanya mengatakan: Saya seorang dokter di sebuah rumah sakit negara. Dan sebagian pasien memberiku hadiah-hadiah setelah kesembuhannya. Apakah boleh saya mengambil hadiah tersebut dan apa yang harus saya lakukan terhadap hadiah-hadiah yang telah diberikan kepada saya dahulu bila memang hal itu tidak diperbolehkan sedangkan saya bingung untuk mengembalikannya?

Jawaban:
ما أخذتَه سابقًا، فلا حرج عليك فيه إن شاء الله، ويظهر لي أنَّك أخذتَه عن جهل بالحكم، قال تعالى
Hadiah yang kamu ambil sebelumnya maka tidak mengapa insya Allah. Yang tampak bagi saya bahwa engkau mengambilnya karena jahil (tidak tahu) tentang hukumnya, sedangkan Allah taala telah berfirman:
فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف
Barang siapa yang mendapatkan peringatan dari Rabb-Nya kemudian ia berhenti, maka baginya apa yang telah ia peroleh dahulu.
الـمُعوَّل عليه الآن، لا يحل لكَ أخذ هذه الهدايا أبدًا إلا إذا انتقلتَ من هذا المستشفى، أو مثلًا استقلتَ أو كنت متعاقدًا فانتهى عقدُك وأرادوا أن يودِّعوك بعدما تنهي إجراءات السفر، فلا بأس بذلك إن شاء الله
Namun yang dijadikan pegangan saat ini, tidak halal bagimu mengambil hadiah ini selama-lamanya kecuali bila engkau telah pindah dari rumah sakit tersebut, atau engkau mengundurkan diri misalnya, atau engkau dahulunya terikat kontrak lalu telah selesai masa kontrakmu dan mereka ingin mengucapkan salam perpisahan denganmu setelah engkau merampungkan berbagai prosedur tertulis, maka ini tidak mengapa insya Allah.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11375

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi as-Salafy

Sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash pernah mendengar Rasulullah bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Allah telah melaknat penyuap dan penerima suap.
 
Kasus suap memang sedang menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan masyarakat. Dan beritanya pun telah menghiasi halaman berbagai surat kabar serta media massa lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut jelas-jelas merugikan berbagai pihak. Padahal rasul kita yang mulia yaitu Muhammad jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dari bahaya perbuatan tersebut. Yakni akan menuai berbagai kesengsaraan pada para pelakunya baik berupa celaan, hujatan dan hukuman dari manusia maupun laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh sangat disayangkan, kebanyakan mereka telah tertipu dengan kenikmatan semu yang hanya sesaat dan sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran darinya.

Penjelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al Hakim, Al Baghawi, Al Baihaqi, Ibnu Hibban dan sejumlah ulama lainnya di dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini dishahihkan oleh At Tirmidzi, Al Hakim, Ibnu Hibban dan para pakar hadits lainnya.
Sementara itu dalam riwayat lain yang shahih juga disebutkan:
Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap.
Dalam 2 lafazh hadits tersebut secara jelas menerangkan tentang bencana yang akan menimpa kepada para pelaku perbuatan suap baik sebagai penyuap maupun penerima suap, yaitu keduanya akan mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itulah praktek suap termasuk dari perbuatan maksiat. Para ulama menerangkan bahwa apabila laknat yang tertuju kepada si pelaku maksiat berasal dari Allah artinya adalah si pelaku maksiat dijauhkan dari rahmat (kasih sayang) Allah. Dan apabila laknat tersebut berasal dari makhluk artinya adalah celaan dan doa kejelekan kepada si pelaku maksiat.
Kalau ada seorang yang bertanya: Atas dasar apa mereka berhak mendapatkan laknat?
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan: Karena dalam perbuatan yang dilakukan oleh keduanya mengandung berbagai kerusakan yang besar, menggugurkan hak-hak manusia dan ada unsur penipuan di dalamnya.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Makna suap (risywah) secara bahasa adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu maksud yang diinginkan.
Adapun makna suap secara syari adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu tujuan yang tidak benar atau untuk menggugurkan suatu hak. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Al Imam Ash Shanani mengatakan: Perbuatan suap hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama, sama saja apakah diberikan kepada hakim (atau jaksa) atau petugas yang menarik shadaqah dan selain keduanya. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang tidak benar dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, dalam keadaan kamu mengetahui. (Al Baqarah: 188) (Subulus Salam 2/577)

Mengapa perbuatan suap diharamkan?
Perbuatan suap adalah diharamkan, dengan alasan sebagai berikut:
Berdasarkan hadits yang shahih disebutkan bahwasanya Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap. (Ini merupakan hukuman yang sangat keras,) oleh karena itulah perbuatan suap digolongkan ke dalam dosa besar.
Perbuatan suap akan merusak norma kehidupan manusia. Seorang yang memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi maka dialah yang akan mendapatkan kemudahan. Sehingga setiap orang akan bersaing untuk memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi dari pihak lawannya.
Perbuatan suap yang dilakukan oleh seseorang akan mendorongnya untuk melakukan perubahan terhadap hukum Allah. Suap yang diterima oleh seorang hakim, akan mendorongnya untuk memberi putusan yang tidak sesuai dengan hukum Allah (keadilan). Dengan demikian ia telah melakukan perubahan terhadap hukum Allah.
Perbuatan suap merupakan tindak kezhaliman. Hakim yang menerima suap akan memberi putusan (menguntungkan) bagi si penyuap melalui jalan yang tidak benar. Berarti ia telah berbuat zhalim (tidak adil) terhadap lawan si penyuap.
Perbuatan suap adalah tindakan memakan harta orang lain melalui jalan yang tidak benar.
Perbuatan suap adalah perbuatan menyia-nyiakan amanah (khianat).
(Asy Syarhul Mumthi ala Zaadil Mustaqni 15/306)
Apa hikmah didahulukannya kata penyuap daripada penerima suap, sebagaimana disebut dalam hadits diatas?
Al Allamah As Sindi menjelaskan beberapa kemungkinan:
Si penyuap adalah pihak yang menjadi penyebab awal terjadinya kasus suap. Si penyuap adalah orang yang paling berhak mendapatkan laknat Allah, karena di samping menanggung dosa atas perbuatannya sendiri yaitu memberi suap dan juga menjadi penyebab orang lain berdosa dengan perbuatannya yaitu menerima suap.
Si penyuap telah melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi kebiasaan. Menyelisihi apa yang biasa dilakukan oleh si penerima suap. Oleh karena itu dosanya pun lebih besar.
(Musnad Ahmad 11/392)

Pelajaran yang dapat kita petik dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
- Bolehnya melaknat penyuap dan penerima suap. Akan tetapi kebolehan melaknat di sini maksudnya adalah secara umum dan bukan kepada pribadi tertentu. Adapun melaknat kepada pribadi tertentu maka tidak diperbolehkan walaupun orang tersebut terbukti melakukan suap. Karena bisa jadi suatu saat nanti Allah memberinya hidayah sehingga ia pun selamat dari laknat Allah.
- Perbuatan suap adalah masalah besar dan merupakan bagian dari dosa besar. Hal ini dilihat dari sikap Rasulullah yang mendoakan laknat bagi penyuap dan penerima suap.
- Wajibnya menegakkan keadilan diantara manusia. Di dalam perbuatan suap, unsur ketidak adilan sangat mendominasi. Dilihat dari sisi, si penyuap lebih diutamakan (mendapat pelayanan) daripada selainnya. Atau mendapat putusan (yang menguntungkan) melalui jalan yang tidak benar padahal dalam keadaan sebagai pihak yang bersalah.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani meletakkan pembahasan suap pada bab riba dalam kitab Bulughul Maram.
Mengapa dimasukkan pada bab riba?
Karena antara suap dan riba ada sisi kesamaan. Perbuatan suap adalah memakan harta (orang lain) melalui jalan yang tidak benar dan ini mirip dengan riba. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)
 
Kasus Suap Di Berbagai Lembaga  
Kasus suap telah merambah berbagai lembaga baik hukum, legislatif, pendidikan, olahraga, dll. Dan kenyataan menunjukkan bahwa lembaga hukum merupakan lembaga yang di dalamnya banyak sekali diwarnai kasus suap.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: Dan kebanyakan kasus suap terjadi pada lembaga hukum, di mana salah satu pihak yang bermasalah akan menyuap hakim (atau jaksa) agar memberi putusan sesuai yang diinginkan. Kasus suap juga terjadi pada selain lembaga hukum, seperti seorang memberi suap kepada pimpinan atau direktur agar diterima sebagai pegawai padahal dia bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: Dan diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima suap, berdasarkan hadits Ibnu Umar, beliau berkata: Rasulullah melaknat penyuap dan penerima suap (HR. At Tirmidzi).
Kasus suap yang dilakukan oleh seorang hakim memiliki 2 bentuk:
(1) Seorang hakim mengambil suap dari salah satu pihak yang bermasalah untuk kemudian dimenangkan kasusnya melalui jalan yang tidak benar.
(2) Seorang hakim menolak memberi putusan yang adil kepada pihak yang benar, hingga pihak yang benar memberi suap kepadanya barulah sang hakim memberi putusan. Ini adalah bentuk kezhaliman yang besar.
(Al Mulakhash Al Fiqhi 2/626)
 
Praktek Suap Merupakan Kebiasaan Kaum Yahudi
Para pembaca yang kami hormati.
Praktek suap merupakan kebiasaan dari kaum yang dimurkai Allah yakni kaum Yahudi. Padahal dalam kitab mereka sendiri yaitu Taurat, perbuatan suap adalah diharamkan. Kebiasaan yang buruk ini kemudian diadopsi oleh sebagian manusia di zaman sekarang tanpa ada rasa takut kepada Allah. Allah telah menceritakan tentang keburukan akhlak kaum Yahudi di dalam firman-Nya:
Mereka itu (Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan sesuatu yang haram (suap). (Al Maidah : 42)
Abdullah bin Masud dan para ulama lain menafsirkan bahwa makna السُّحت dalam surat Al Maidah ayat 42 diatas adalah suap. (Tafsir Ath Thabari 10/319)
Al Imam Al Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kalangan hakim kaum Yahudi (di zaman Rasulullah) semacam Kab bin Al Asyraf dan yang semisalnya. Mereka dahulu biasa menerima suap dan memberi putusan (yang menguntungkan) kepada orang yang menyuap mereka. (Tafsir Al Baghawi 2/53)

Sebagai penutup, berikut kami nukilkan fatwa ulama kontemporer seputar permasalahan suap.
 
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Pertanyaan: Apa hukumnya secara syari mengenai perbuatan suap?
Jawab: Perbuatan suap hukumnya adalah haram berdasarkan ketetapan Al Quran dan hadits serta kesepakatan para ulama. Suap adalah memberi harta kepada seorang hakim dan selainnya dengan tujuan memalingkan dari kebenaran dan memberi putusan kepada pihak penyuap dengan perkara yang mencocoki hawa nafsunya. Telah datang hadits yang shahih dari nabi bahwasanya beliau melaknat penyuap dan penerima suap. Dan disebutkan dalam riwayat lain bahwa beliau juga melaknat orang yang menjadi perantara antara pihak penyuap dan penerima suap. Maka tidak ragu lagi bahwa ia pun ikut terkena dosa dan berhak mendapat celaan, cercaan serta hukuman. Karena ia telah membantu dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah telah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah: 2)
(Fatawa Islamiyah 4/347-348)

Fatwa Asy Syaikh Bin Baz
Pertanyaan: Apa dampak dari perbuatan suap terhadap akidah (keyakinan) seorang muslim?
Jawab: Perbuatan suap dan berbagai kemaksiatan yang lainnya akan menyebabkan kelemahan iman dan mendatangkan kemurkaan Allah serta akan menyebabkan syaithan dapat menguasai seorang hamba untuk kemudian dijatuhkan kedalam kemaksiatan yang lain. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk berhati-hati dari perbuatan suap dan semua bentuk kemaksiatan. Dan hendaklah mengembalikan harta suap kepada pemiliknya apabila memungkinkan baginya. Apabila tidak memungkinkan hendaklah ia mengeluarkan shadaqah sebesar harta suap yang ia terima kepada orang-orang miskin dan disertai pula dengan taubat yang benar, mudah-mudahan Allah menerima taubatnya. (Majmu Fatawa Ibnu Baz 23/233 no. 129)
 
Catatan:
Namun di sana ada bentuk suap yang diperbolehkan oleh para ulama. Gambarannya adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut dalam rangka mengambil haknya yang tertahan atau untuk melepaskan diri dari tindak kezhaliman. Kasus yang demikian memang kerap terjadi di masyarakat. Suatu urusan yang sebenarnya mudah untuk diselesaikan dalam waktu yang tidak lama namun pada prakteknya urusan tersebut berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Dan seseorang tidak akan mendapatkan kemudahan dalam urusan tersebut kecuali setelah memberikan sejumlah harta (suap) –uang pelicin– sebagai imbalan dari kemudahan yang diberikan. Maka dalam kondisi yang demikian, si pemberi harta tidak terkena dosa dan tidak terkena ancaman dari hadits di atas. Adapun si penerima harta, dialah yang akan menanggung dosa perbuatan tersebut dan tetap terkena ancaman dari hadits diatas.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: Akan tetapi kalau seseorang terhalang untuk mengambil haknya kecuali dengan memberikan beberapa dirham (uang), apakah yang demikian masuk ke dalam bentuk suap atau tidak? Kami katakan : Ya, ini adalah bentuk suap. Akan tetapi dosanya ditanggung oleh si penerima suap dan bukan si pemberi suap. Karena si pemberi suap hanya saja melakukan yang demikian semata-mata untuk mengambil haknya. Dan haknya tersebut akan tersia-siakan kalau dia tidak berbuat demikian. Sehingga laknat (Allah) hanya tertuju kepada si penerima harta. Dan para ulama telah menetapkan yang demikian. Para ulama juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang memberikan sesuatu (harta) dalam rangka untuk mengambil haknya (yang tertahan) maka tidak ada dosa baginya.
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin juga mencontohkan: Seperti seseorang yang dikuasai oleh orang yang jahat kemudian ia memberikan harta kepada orang yang jahat tersebut dalam rangka menolak tindak kejahatannya. Yang demikian ini adalah diperbolehkan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk bermudah-mudahan dalam melakukan yang demikian kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Sebab kalau seseorang bermudah-mudahan dalam melakukan yang demikian maka akan merusak tatanan yang sudah biasa berjalan normal sebelumnya. Kemudian setelah itu pekerjaan pun tidak akan berjalan sesuai dengan kewajibannya kecuali dengan pemberian suap. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)

Nurussunnah Tegal

###

Soal:
Apa boleh jika seseorang untuk memperoleh pekerjaan harus membayar uang kepada oknum di instansi tertentu?

Jawaban:
Membayar sejumlah uang kepada oknum di perusahaan atau semisal agar diterima sebagai karyawan merupakan risywah (suap) yang diharamkan. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 101

###

Soal:
Haramkah gaji orang yang mendapatkan pekerjaan dengan cara suap?

Jawab:
Suap yang haram adalah pemberian harta yang menjadikan benar sesuatu yang batil atau menjadikan batil suatu yang haq. Jika dengan itu sesuatu yang bukan haknya menjadi haknya (kezaliman), hasil yang didapatkan dari pekerjaan tersebut haram. Wallahu a’lam. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tentang TERSENYUM DAN BERWAJAH CERIA

Al-Imam Adz-Dzahaby rahimahullah berkata:

“Tertawa ringan dan tersenyum lebih utama. Adapun sebagian orang-orang yang berilmu yang meninggalkannya maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: menjadi sesuatu yang utama bagi orang yang meninggalkannya karena menjaga adab, takut kepada Allah, dan sedih terhadap keadaan dirinya.
Kedua: tercela bagi orang yang meninggalkannya karena pemarah, sombong dan dibuat-buat.

Namun orang yang banyak tertawa dia akan diremehkan oleh manusia. Dan tidak diragukan lagi bahwa tertawa pada pemuda lebih ringan urusannya dan lebih dimaklumi dibandingkan pada orang yang sudah tua.

Adapun tersenyum dan berwajah ceria maka jelas lebih mulia dibandingkan itu semua. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺗَﺒَﺴُّﻤُﻚَ ﻓِﻲْ ﻭَﺟْﻪِ ﺃَﺧِﻴْﻚَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ
“Senyumanmu di hadapan saudaramu merupakan shadaqah.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 353)

Jarir (bin Abdillah Al-Bajaly) radhiyallahu anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melihat diriku kecuali beliau selalu tersenyum.” (Al-Bukhary no. 6089 dan Muslim no. 2475)

Inilah akhlak Islam. Jadi yang paling utama adalah orang yang banyak menangis di malam hari, namun banyak tersenyum di siang hari. Tinggal di sini ada sedikit yang perlu diperhatikan, bagi siapa yang terlalu banyak tertawa dan tersenyum, hendaknya dia menguranginya dan mencela dirinya agar manusia tidak muak kepadanya. Sedangkan bagi yang suka cemberut dan bermuka masam hendaknya dia tersenyum, memperbaiki akhlaknya serta mencela dirinya atas keburukan akhlaknya. Segala sesuatu yang menyimpang dari sikap pertengahan maka hal itu tercela. Dan jiwa membutuhkan perjuangan dan latihan.”

(Siyar A’lamin Nubalaa’, terbitan Muassasah Ar-Risalah, 10/140-141)

Alih bahasa:
Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

###

Di antara petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam bermuamalah adalah berwajah ceria dan tersenyum ketika bertemu dengan saudara. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
ﻟَﺎ ﺗَﺤْﻘِﺮَﻥَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﻥْ ﺗَﻠْﻘَﻰ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺑِﻮَﺟْﻪٍ ﻃَﻠْﻖٍ
“Jangan kauremehkan satu kebaikan pun walau sekadar menjumpai saudaramu dengan wajah berseri.” (HR. Muslim no. 2626‏)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya seseorang menemui saudaranya dengan wajah yang berseri, perkataan yang baik agar mendapat pahala, cinta, dan persahabatan; serta menjauhi sikap takabur, merasa tinggi di atas para hamba Allah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 4/61‏)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Jaza’, disebutkan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling sering tersenyum. ‘Abdullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih sering tersenyum daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.” (HR. at-Tirmidzi no. 3641, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 2880‏)

Tentang SOFTWARE BAJAKAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, ini ada pertanyaan dari Aljazair yang saudara penanya tersebut mengatakan: “Saya bekerja di bidang (software) komputer bajakan yang pemilik hak ciptanya adalah Nashara, saya bekerja di bagian pengcopyan CD, sementara mereka tidak memperbolehkan untuk dicopy, tetapi kami mengcopynya untuk kepentingan menuntut ilmu?”

Jawaban:

Hal ini tidak boleh, karena ini termasuk hak mereka. Kita tidak boleh berbuat jahat terhadap mereka dan tidak boleh mengambil harta mereka. Kita tidak boleh mengambil harta mereka dengan dalih bahwa mereka adalah Nashara. Ini tidak boleh karena termasuk tindakan khianat. Ini termasuk hak mereka yang tidak boleh kita ambil selama mereka melarangnya. Itu merupakan hak mereka yang tidak boleh kita langgar walaupun dengan dalih untuk kepentingan dakwah. Tindakan seperti itu bukan termasuk dakwah, bahkan merupakan perbuatan yang mencoreng dakwah. Islam mengharamkan hal semacam ini, yaitu berbuat jahat terhadap harta manusia dan melanggar hak mereka, walaupun mereka adalah orang-orang kafir.

Tentang MAKAN DAGING KATAK

al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari

Alhamdulillah. Katak haram menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz). Dalilnya adalah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman at-Qurasyi Radhiyallahu ‘anhu:
ﺃَﻥَّ ﻃَﺒِﻴْﺒًﺎ ﺳَﺄَﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻋَﻦْ ﺿِﻔْﺪَﻉٍ ﻳَﺠْﻌَﻠُﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﺩَﻭَﺍﺀٍ ﻓَﻨَﻬَﺎﻩُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻋَﻦْ ﻗَﺘْﻠِﻬَﺎ .
“Seorang tabib bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang katak untuk dijadikan obat. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim. Hadits ini disahihkan oleh al-Albani) [1]

Kata al-Lajnah, “Ini adalah dalil haramnya makan katak. Larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membunuh makhluk hidup tidak lepas dari dua kemungkinan:
- kehormatan makhluk itu seperti manusia; atau
- keharaman memakannya, seperti katak.
Karena katak bukan makhluk terhormat, maka larangan membunuhnya tertuju kepada faktor haramnya dimakan.”

Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram [2], “Larangan membunuh suatu jenis binatang mengandung larangan memakannya karena tidak mungkin memakannya melainkan setelah disembelih atau dibunuh.” Ya, seandainya boleh memakannya, tidak mungkin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya.

Dengan demikian, tampaklah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa katak halal dengan alasan katak termasuk binatang air. Sebab, memakannya.berkonsekuensi membunuhnya, dan ini haram. Wallahu a’lam. [3]

Catatan Kaki:

[1] Lihat kitab Takhrij al-Misykah (no. 4545) dan Shahih al-Jami’ (no. 6971)

[2] Pada syarah hadits Ibnu ‘Abbas tentang larangan membunuh empat binatang.

[3] Lihat kitab al-Mughni (2/345-346), Fatawa al-Lajnah (22/322-324), dan Fath Dzil Jalali wal Ikram (syarah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi).
————————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah

Tentang JIMAT

Pertanyaan:
Apakah termasuk syirik, penulisan penangkal/jimat dari ayat Al-Qur`an dan lainnya, serta menggantungkannya di leher? [1]

Jawab:

Telah shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮُّﻗَﻰ ﻭَﺍﻟﺘَّﻤَﺎﺋِﻢَ ﻭَﺍﻟﺘِّﻮَﻟَﺔَ ﺷِﺮْﻙٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan tiwalah [2] itu termasuk perbuatan syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, dan beliau menshahihkannya)

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian juga Abu Ya’la dan Al-Hakim serta ia menshahihkanya dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻖَ ﺗَﻤِﻴْﻤَﺔً ﻓَﻠَﺎ ﺃَﺗَﻢَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻖَ ﻭَﺩَﻋَﺔً ﻓَﻼَ ﻭَﺩَﻉَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ
“Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka Allah tidak akan menyempurnakan baginya (urusannya), dan barangsiapa menggantungkan wad’ah [3] maka Allah tidak akan menentramkannya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkannya melalui jalan lain dari ‘Uqbah bin ‘Amir dengan lafadz:
ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻖَ ﺗَﻤِﻴْﻤَﺔً ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺷْﺮَﻙَ
“Barangsiapa menggantungkan tamimah/jimat maka ia telah berbuat syirik.”

Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Sedang tamimah itu maknanya adalah sesuatu yang digantungkan pada anak-anak atau.orang lain dengan tujuan menolak bahaya mata hasad, gangguan jin, penyakit, atau semacamnya. Sebagian orang menyebutnya hirzan/penangkal, sebagian lain menamainya jami’ah. [4]

Benda ini ada dua jenis, salah satunya yang terbuat dari nama-nama setan, dari tulang, dari rangkaian mutiara atau rumah kerang, paku-paku, simbol-simbol yaitu huruf-huruf yang terputus-putus atau semacam itu. Jenis ini hukumnya haram tanpa ada keraguan karena banyaknya dalil yang menunjukkan keharamannya. Dan itu merupakan salah satu bentuk syirik kecil berdasarkan hadits-hadits tadi serta berdasarkan hadits yang semakna dengannya. Bahkan bisa menjadi syirik besar bila orang yang menggantungkan/memakainya meyakini bahwa benda-benda itulah yang menjaganya atau menghilangkan penyakitnya tanpa izin Allah Subhanahu wa ta’ala serta kehendak-Nya.

Kedua, sesuatu yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan semacam itu dari doa-doa yang baik. Untuk jenis ini para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka membolehkannya dan mengatakan bahwa hal itu sejenis dengan ruqyah/jampi-jampi yang diperbolehkan. Sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa itu juga haram. Mereka berhujjah dengan dua hujjah:

Pertama, keumuman hadits-hadits yang melarang jimat-jimat dan yang memperingatkan darinya serta menghukuminya bahwa itu adalah perbuatan syirik. Sehingga tidak boleh mengkhususkan sebagian jimat untuk diperbolehkan, kecuali berdasarkan dalil syar’i yang menunjukkan kekhususan tersebut. Sementara, dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu.
Adapun tentang ruqyah, maka hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa jika dari ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang diperbolehkan, maka itu tidak apa-apa, bila dengan bahasa yang diketahui maknanya serta yang melakukan ruqyah tidak bersandar pada ruqyah itu, ia hanya meyakini itu sebagai salah satu sebab. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟﺮُّﻗَﻰ ﻣَﺎ ﻟَـﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺷِﺮْﻛﺎً
“Tidak mengapa dengan ruqyah selama itu tidak termasuk dari syirik.”
Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya serta sebagian sahabatnya juga pernah melakukannya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
ﻻَ ﺭُﻗْﻴَﺔَ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﻋَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺣُﻤَﺔٍ
“Tidak ada ruqyah melainkan dari (gangguan) mata hasad atau sengatan serangga berbisa.”
Dan hadits-hadits tentang hal ini banyak.
Adapun tentang tamimah/jimat, maka tidak ada sedikit pun dari hadits-hadits yang mengecualikan dari keharamannya. Sehingga, wajib mengharamkan semua jenis jimat/tamimah, dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang bersifat umum.

Kedua, menutup pintu-pintu menuju perbuatan syirik. Ini termasuk salah satu perkara penting dalam syariat. Dan sebagaimana diketahui, bila kita perbolehkan jimat-jimat dari ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang mubah, maka akan terbuka pintu syirik serta akan menjadi rancu antara tamimah yang boleh dan yang dilarang. Serta akan terhambat pemilahan antara keduanya, kecuali dengan rumit. Maka wajib menutup pintu ini dan menutup jalan menuju kesyirikan.

Pendapat inilah yang benar karena kuatnya dalilnya. Allah Subhanahu wa ta’ala -lah yang memberi taufiq.

[Diterbitkan di Majalah Jami’ah Islamiyyah edisi 4 tahun 6 bulan Rabi’ul Akhir tahun 1394 H hal. 175-182. Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah jilid II, Judul: Ijabah ‘an As`ilah Mutafarriqah, haula Kitabati At-Ta’awidz bil Ayat…]

Catatan Kaki:

[1] Atau di rumah, di toko, di mobil, di kantor, dan lain-lain.

[2] Jimat atau semacamnya yang dipakai untuk menumbuhkan rasa cinta seorang wanita kepada lelaki atau sebaliknya, semacam pelet.

[3] Sesuatu yang dikeluarkan dari laut, semacam rumah kerang yang berwarna putih, dipakai untuk tolak bala.

[4] Di masyarakat kita lebih dikenal dengan jimat.

Sumber : Majalah Asy Syariah

###

Asy Syaikh Sholeh Alu Syaikh حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم من يضع آية الكرسي في السيارة، أو يضع مجسم فيه أدعية، أدعية ركوب السيارة أو أدعية السفر وغيرها من الأدعية؟
Bagaimana hukum seseorang yang meletakkan ayat kursi di mobilnya atau meletakkan sebuah benda yang terdapat bacaan-bacaan doa padanya seperti doa naik kendaraan atau doa bepergian dan selainnya dari doa-doa?

Jawabannya:
هذا فيه تفصيل: فإن كان وضع هذه الأشياء ليتحفظها ويتذكر قراءتها فهذا جائز، كمن يضع المصحف أمام السيارة أو يضعه معه لأجل أنه إذا كانت فرصة هو أو من معه أن يقرأ فيه، فهذا جائز لا بأس به. لكن إن وضعها تعلقا لأجل أن تدفع عنه فهذا هو الكلام في مسألة تعليق التمائم من القرآن فلا يجوز ذلك على الصحيح ويحرم
Perkaranya dirinci:
Jika dia meletakkan perkara-perkara di atas dalam rangka untuk menghafalkannya dan untuk mengingat bacaannya, maka ini boleh. Seperti halnya yang meletakkan mushaf di depan mobilnya atau di dekatnya dalam rangka dia atau yang bersamanya akan membacanya jika ada kesempatan, maka ini boleh dan tidak mengapa.
Akan tetapi kalau dia menggantungkan perkara-perkara di atas dalam rangka menolak bala, maka pembahasannya kembali kepada hukum menjadikan Al-Quran sebagai jimat dan pendapat yang kuat tidak diperbolehkan dan diharamkan.

Sumber:
Syarh Kitab Tauhid (Bab: Termasuk Kesyirikan Menggunakan Kalung Jimat atau Benang-benang dan Selainnya)

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia