Cari Blog Ini

Senin, 22 September 2014

Tentang HADIAH DAN SUAP

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Tanya:
Apa hukumnya seseorang memberikan barang berharga dengan menyebutnya sebagai hadiah kepada orang yang menjadi pimpinannya dalam sebuah pekerjaan?
(Pertanyaan di atas diajukan di akhir ceramah beliau yang disampaikan di rumah sakit an-Nur, di Makkah al-Mukarramah, tanggal 27/7/1412 H.

Jawab:
Ini adalah kesalahan dan sebuah perantara kepada kejelekan yang besar. Seorang pemimpin seharusnya tidak menerima hadiah karena terkadang hadiah tersebut adalah suap dan dapat mengantarkannya kepada sikap mudahanah (basa-basi) dan khianat. Lain halnya jika orang yang diberi hadiah tersebut menerimanya kemudian menyerahkannya ke rumah sakit dan untuk kemaslahatan rumah sakit, bukan keuntungan pribadinya. Ia memberitahu si pemberi hadiah bahwa hadiah tersebut untuk kemaslahatan rumah sakit, “Saya tidak mengambilnya untuk diri saya pribadi.”
Namun, yang lebih hati-hati, ia mengembalikannya, tidak menerimanya untuk pribadinya atau untuk rumah sakit, karena hal ini dapat menyeretnya untuk mengambil hadiah tersebut untuk dirinya sendiri. Selain itu, terkadang orang akan berburuk sangka kepadanya. Terkadang pula, pemberi hadiah menjadi lancang terhadapnya dan menuntutnya agar memberikan muamalah yang terbaik kepadanya, lebih dari yang diterima oleh orang selainnya.
Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para petugas beliau (amil zakat) untuk mengumpulkan zakat, salah seorang dari mereka berkata, “Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan kepadaku.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari hal tersebut. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia seraya berkata:
ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻧَﺴْﺘَﻌْﻤِﻠُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ: ﻫَﺬَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺃُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻲ؛ ﺃَﻵ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺖِ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﺑَﻴْﺖِ ﺃُﻣِّﻪِ ﻓَﻴَﻨْﻈُﺮَ ﻫَﻞْ ﻳُﻬْﺪَﻯ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
“Kenapa ada seseorang dari kalian yang kami pekerjakan dia untuk mengurusi satu perkara dari perintah Allah, ia berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, lalu ia lihat apakah ada yang memberi hadiah kepadanya?” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang pegawai, karyawan, pekerja, atau petugas, dalam bidang pekerjaan apa pun, semestinya menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang diurusnya. Jika ternyata ia telanjur menerimanya, hendaknya ia menyerahkan ke baitul mal. Ia tidak boleh mengambilnya untuk pribadinya berdasarkan hadits yang sahih di atas. Di samping itu, hadiah yang diberikan itu merupakan perantara kepada kejelekan dan cacatnya penunaian amanat. La haula wala quwwata illa billah.”

[Dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/65—66]

###

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah

Pertanyaan:
Bolehkah seorang guru menerima hadiah dari murid-muridnya? Jika tidak boleh, bagaimana bila hadiah itu diberikan setelah selesai tahun ajaran dan setelah hasil belajar (rapor) diserahkan? Kalau tidak boleh juga, bagaimana dengan hadiah yang diberikan oleh murid setamatnya dia dari sekolah tersebut atau ingin pindah ke sekolah yang lain?

Jawab:
Seorang guru semestinya tidak menerima hadiah-hadiah dari murid/wali muridnya. Alasannya, hadiah tersebut terkadang menyeretnya untuk berbuat tidak adil dan tidak mau memberi perhatian lebih kepada murid yang tidak memberi hadiah, sementara murid yang memberi hadiah kemudian diberi perhatian istimewa. Selain itu, si guru juga terdorong berlaku curang. Yang wajib, seorang guru tidak menerima hadiah dari murid-muridnya karena hadiah itu terkadang mengantarkan kepada akibat yang tidak terpuji. Seorang mukmin dan mukminah seharusnya menjaga agamanya dan menjauhi sebab-sebab yang mengundang keraguan, tuduhan, dan mudarat.
Adapun jika hadiah itu diberikan oleh si murid setelah ia pindah ke sekolah yang lain, tidak menjadi masalah bagi guru untuk menerimanya karena ketika itu keraguan/tuduhan telah berakhir dan aman dari mudarat. Demikian pula, jika hadiah diberikan setelah selesai dari suatu pekerjaan atau setelah pensiun, tidak apa-apa diterima.

(Dikutip dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/63—64)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم شيخنا، يقول السائل: أنا طبيبٌ في مستشفىً حكومي ويهدي إليّ بعض المرضى بعد شفائهم هدايا؛ هل يجوز لي أخذها، وماذا أفعل بما أُهدي إلي سابقًا إن لم يَجُزْ ذلك، وأتحرّجُ من ردِّهم؟
Semoga Allah memberkahi anda wahai Syaikh kami, penanya mengatakan: Saya seorang dokter di sebuah rumah sakit negara. Dan sebagian pasien memberiku hadiah-hadiah setelah kesembuhannya. Apakah boleh saya mengambil hadiah tersebut dan apa yang harus saya lakukan terhadap hadiah-hadiah yang telah diberikan kepada saya dahulu bila memang hal itu tidak diperbolehkan sedangkan saya bingung untuk mengembalikannya?

Jawaban:
ما أخذتَه سابقًا، فلا حرج عليك فيه إن شاء الله، ويظهر لي أنَّك أخذتَه عن جهل بالحكم، قال تعالى
Hadiah yang kamu ambil sebelumnya maka tidak mengapa insya Allah. Yang tampak bagi saya bahwa engkau mengambilnya karena jahil (tidak tahu) tentang hukumnya, sedangkan Allah taala telah berfirman:
فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف
Barang siapa yang mendapatkan peringatan dari Rabb-Nya kemudian ia berhenti, maka baginya apa yang telah ia peroleh dahulu.
الـمُعوَّل عليه الآن، لا يحل لكَ أخذ هذه الهدايا أبدًا إلا إذا انتقلتَ من هذا المستشفى، أو مثلًا استقلتَ أو كنت متعاقدًا فانتهى عقدُك وأرادوا أن يودِّعوك بعدما تنهي إجراءات السفر، فلا بأس بذلك إن شاء الله
Namun yang dijadikan pegangan saat ini, tidak halal bagimu mengambil hadiah ini selama-lamanya kecuali bila engkau telah pindah dari rumah sakit tersebut, atau engkau mengundurkan diri misalnya, atau engkau dahulunya terikat kontrak lalu telah selesai masa kontrakmu dan mereka ingin mengucapkan salam perpisahan denganmu setelah engkau merampungkan berbagai prosedur tertulis, maka ini tidak mengapa insya Allah.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11375

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi as-Salafy

Sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash pernah mendengar Rasulullah bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Allah telah melaknat penyuap dan penerima suap.
 
Kasus suap memang sedang menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan masyarakat. Dan beritanya pun telah menghiasi halaman berbagai surat kabar serta media massa lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut jelas-jelas merugikan berbagai pihak. Padahal rasul kita yang mulia yaitu Muhammad jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dari bahaya perbuatan tersebut. Yakni akan menuai berbagai kesengsaraan pada para pelakunya baik berupa celaan, hujatan dan hukuman dari manusia maupun laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh sangat disayangkan, kebanyakan mereka telah tertipu dengan kenikmatan semu yang hanya sesaat dan sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran darinya.

Penjelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al Hakim, Al Baghawi, Al Baihaqi, Ibnu Hibban dan sejumlah ulama lainnya di dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini dishahihkan oleh At Tirmidzi, Al Hakim, Ibnu Hibban dan para pakar hadits lainnya.
Sementara itu dalam riwayat lain yang shahih juga disebutkan:
Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap.
Dalam 2 lafazh hadits tersebut secara jelas menerangkan tentang bencana yang akan menimpa kepada para pelaku perbuatan suap baik sebagai penyuap maupun penerima suap, yaitu keduanya akan mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itulah praktek suap termasuk dari perbuatan maksiat. Para ulama menerangkan bahwa apabila laknat yang tertuju kepada si pelaku maksiat berasal dari Allah artinya adalah si pelaku maksiat dijauhkan dari rahmat (kasih sayang) Allah. Dan apabila laknat tersebut berasal dari makhluk artinya adalah celaan dan doa kejelekan kepada si pelaku maksiat.
Kalau ada seorang yang bertanya: Atas dasar apa mereka berhak mendapatkan laknat?
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan: Karena dalam perbuatan yang dilakukan oleh keduanya mengandung berbagai kerusakan yang besar, menggugurkan hak-hak manusia dan ada unsur penipuan di dalamnya.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Makna suap (risywah) secara bahasa adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu maksud yang diinginkan.
Adapun makna suap secara syari adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu tujuan yang tidak benar atau untuk menggugurkan suatu hak. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Al Imam Ash Shanani mengatakan: Perbuatan suap hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama, sama saja apakah diberikan kepada hakim (atau jaksa) atau petugas yang menarik shadaqah dan selain keduanya. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang tidak benar dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, dalam keadaan kamu mengetahui. (Al Baqarah: 188) (Subulus Salam 2/577)

Mengapa perbuatan suap diharamkan?
Perbuatan suap adalah diharamkan, dengan alasan sebagai berikut:
Berdasarkan hadits yang shahih disebutkan bahwasanya Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap. (Ini merupakan hukuman yang sangat keras,) oleh karena itulah perbuatan suap digolongkan ke dalam dosa besar.
Perbuatan suap akan merusak norma kehidupan manusia. Seorang yang memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi maka dialah yang akan mendapatkan kemudahan. Sehingga setiap orang akan bersaing untuk memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi dari pihak lawannya.
Perbuatan suap yang dilakukan oleh seseorang akan mendorongnya untuk melakukan perubahan terhadap hukum Allah. Suap yang diterima oleh seorang hakim, akan mendorongnya untuk memberi putusan yang tidak sesuai dengan hukum Allah (keadilan). Dengan demikian ia telah melakukan perubahan terhadap hukum Allah.
Perbuatan suap merupakan tindak kezhaliman. Hakim yang menerima suap akan memberi putusan (menguntungkan) bagi si penyuap melalui jalan yang tidak benar. Berarti ia telah berbuat zhalim (tidak adil) terhadap lawan si penyuap.
Perbuatan suap adalah tindakan memakan harta orang lain melalui jalan yang tidak benar.
Perbuatan suap adalah perbuatan menyia-nyiakan amanah (khianat).
(Asy Syarhul Mumthi ala Zaadil Mustaqni 15/306)
Apa hikmah didahulukannya kata penyuap daripada penerima suap, sebagaimana disebut dalam hadits diatas?
Al Allamah As Sindi menjelaskan beberapa kemungkinan:
Si penyuap adalah pihak yang menjadi penyebab awal terjadinya kasus suap. Si penyuap adalah orang yang paling berhak mendapatkan laknat Allah, karena di samping menanggung dosa atas perbuatannya sendiri yaitu memberi suap dan juga menjadi penyebab orang lain berdosa dengan perbuatannya yaitu menerima suap.
Si penyuap telah melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi kebiasaan. Menyelisihi apa yang biasa dilakukan oleh si penerima suap. Oleh karena itu dosanya pun lebih besar.
(Musnad Ahmad 11/392)

Pelajaran yang dapat kita petik dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
- Bolehnya melaknat penyuap dan penerima suap. Akan tetapi kebolehan melaknat di sini maksudnya adalah secara umum dan bukan kepada pribadi tertentu. Adapun melaknat kepada pribadi tertentu maka tidak diperbolehkan walaupun orang tersebut terbukti melakukan suap. Karena bisa jadi suatu saat nanti Allah memberinya hidayah sehingga ia pun selamat dari laknat Allah.
- Perbuatan suap adalah masalah besar dan merupakan bagian dari dosa besar. Hal ini dilihat dari sikap Rasulullah yang mendoakan laknat bagi penyuap dan penerima suap.
- Wajibnya menegakkan keadilan diantara manusia. Di dalam perbuatan suap, unsur ketidak adilan sangat mendominasi. Dilihat dari sisi, si penyuap lebih diutamakan (mendapat pelayanan) daripada selainnya. Atau mendapat putusan (yang menguntungkan) melalui jalan yang tidak benar padahal dalam keadaan sebagai pihak yang bersalah.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani meletakkan pembahasan suap pada bab riba dalam kitab Bulughul Maram.
Mengapa dimasukkan pada bab riba?
Karena antara suap dan riba ada sisi kesamaan. Perbuatan suap adalah memakan harta (orang lain) melalui jalan yang tidak benar dan ini mirip dengan riba. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)
 
Kasus Suap Di Berbagai Lembaga  
Kasus suap telah merambah berbagai lembaga baik hukum, legislatif, pendidikan, olahraga, dll. Dan kenyataan menunjukkan bahwa lembaga hukum merupakan lembaga yang di dalamnya banyak sekali diwarnai kasus suap.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: Dan kebanyakan kasus suap terjadi pada lembaga hukum, di mana salah satu pihak yang bermasalah akan menyuap hakim (atau jaksa) agar memberi putusan sesuai yang diinginkan. Kasus suap juga terjadi pada selain lembaga hukum, seperti seorang memberi suap kepada pimpinan atau direktur agar diterima sebagai pegawai padahal dia bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut.
(Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: Dan diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima suap, berdasarkan hadits Ibnu Umar, beliau berkata: Rasulullah melaknat penyuap dan penerima suap (HR. At Tirmidzi).
Kasus suap yang dilakukan oleh seorang hakim memiliki 2 bentuk:
(1) Seorang hakim mengambil suap dari salah satu pihak yang bermasalah untuk kemudian dimenangkan kasusnya melalui jalan yang tidak benar.
(2) Seorang hakim menolak memberi putusan yang adil kepada pihak yang benar, hingga pihak yang benar memberi suap kepadanya barulah sang hakim memberi putusan. Ini adalah bentuk kezhaliman yang besar.
(Al Mulakhash Al Fiqhi 2/626)
 
Praktek Suap Merupakan Kebiasaan Kaum Yahudi
Para pembaca yang kami hormati.
Praktek suap merupakan kebiasaan dari kaum yang dimurkai Allah yakni kaum Yahudi. Padahal dalam kitab mereka sendiri yaitu Taurat, perbuatan suap adalah diharamkan. Kebiasaan yang buruk ini kemudian diadopsi oleh sebagian manusia di zaman sekarang tanpa ada rasa takut kepada Allah. Allah telah menceritakan tentang keburukan akhlak kaum Yahudi di dalam firman-Nya:
Mereka itu (Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan sesuatu yang haram (suap). (Al Maidah : 42)
Abdullah bin Masud dan para ulama lain menafsirkan bahwa makna السُّحت dalam surat Al Maidah ayat 42 diatas adalah suap. (Tafsir Ath Thabari 10/319)
Al Imam Al Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kalangan hakim kaum Yahudi (di zaman Rasulullah) semacam Kab bin Al Asyraf dan yang semisalnya. Mereka dahulu biasa menerima suap dan memberi putusan (yang menguntungkan) kepada orang yang menyuap mereka. (Tafsir Al Baghawi 2/53)

Sebagai penutup, berikut kami nukilkan fatwa ulama kontemporer seputar permasalahan suap.
 
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Pertanyaan: Apa hukumnya secara syari mengenai perbuatan suap?
Jawab: Perbuatan suap hukumnya adalah haram berdasarkan ketetapan Al Quran dan hadits serta kesepakatan para ulama. Suap adalah memberi harta kepada seorang hakim dan selainnya dengan tujuan memalingkan dari kebenaran dan memberi putusan kepada pihak penyuap dengan perkara yang mencocoki hawa nafsunya. Telah datang hadits yang shahih dari nabi bahwasanya beliau melaknat penyuap dan penerima suap. Dan disebutkan dalam riwayat lain bahwa beliau juga melaknat orang yang menjadi perantara antara pihak penyuap dan penerima suap. Maka tidak ragu lagi bahwa ia pun ikut terkena dosa dan berhak mendapat celaan, cercaan serta hukuman. Karena ia telah membantu dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah telah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah: 2)
(Fatawa Islamiyah 4/347-348)

Fatwa Asy Syaikh Bin Baz
Pertanyaan: Apa dampak dari perbuatan suap terhadap akidah (keyakinan) seorang muslim?
Jawab: Perbuatan suap dan berbagai kemaksiatan yang lainnya akan menyebabkan kelemahan iman dan mendatangkan kemurkaan Allah serta akan menyebabkan syaithan dapat menguasai seorang hamba untuk kemudian dijatuhkan kedalam kemaksiatan yang lain. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk berhati-hati dari perbuatan suap dan semua bentuk kemaksiatan. Dan hendaklah mengembalikan harta suap kepada pemiliknya apabila memungkinkan baginya. Apabila tidak memungkinkan hendaklah ia mengeluarkan shadaqah sebesar harta suap yang ia terima kepada orang-orang miskin dan disertai pula dengan taubat yang benar, mudah-mudahan Allah menerima taubatnya. (Majmu Fatawa Ibnu Baz 23/233 no. 129)
 
Catatan:
Namun di sana ada bentuk suap yang diperbolehkan oleh para ulama. Gambarannya adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut dalam rangka mengambil haknya yang tertahan atau untuk melepaskan diri dari tindak kezhaliman. Kasus yang demikian memang kerap terjadi di masyarakat. Suatu urusan yang sebenarnya mudah untuk diselesaikan dalam waktu yang tidak lama namun pada prakteknya urusan tersebut berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Dan seseorang tidak akan mendapatkan kemudahan dalam urusan tersebut kecuali setelah memberikan sejumlah harta (suap) –uang pelicin– sebagai imbalan dari kemudahan yang diberikan. Maka dalam kondisi yang demikian, si pemberi harta tidak terkena dosa dan tidak terkena ancaman dari hadits di atas. Adapun si penerima harta, dialah yang akan menanggung dosa perbuatan tersebut dan tetap terkena ancaman dari hadits diatas.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: Akan tetapi kalau seseorang terhalang untuk mengambil haknya kecuali dengan memberikan beberapa dirham (uang), apakah yang demikian masuk ke dalam bentuk suap atau tidak? Kami katakan : Ya, ini adalah bentuk suap. Akan tetapi dosanya ditanggung oleh si penerima suap dan bukan si pemberi suap. Karena si pemberi suap hanya saja melakukan yang demikian semata-mata untuk mengambil haknya. Dan haknya tersebut akan tersia-siakan kalau dia tidak berbuat demikian. Sehingga laknat (Allah) hanya tertuju kepada si penerima harta. Dan para ulama telah menetapkan yang demikian. Para ulama juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang memberikan sesuatu (harta) dalam rangka untuk mengambil haknya (yang tertahan) maka tidak ada dosa baginya.
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin juga mencontohkan: Seperti seseorang yang dikuasai oleh orang yang jahat kemudian ia memberikan harta kepada orang yang jahat tersebut dalam rangka menolak tindak kejahatannya. Yang demikian ini adalah diperbolehkan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk bermudah-mudahan dalam melakukan yang demikian kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Sebab kalau seseorang bermudah-mudahan dalam melakukan yang demikian maka akan merusak tatanan yang sudah biasa berjalan normal sebelumnya. Kemudian setelah itu pekerjaan pun tidak akan berjalan sesuai dengan kewajibannya kecuali dengan pemberian suap. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)

Nurussunnah Tegal

###

Soal:
Apa boleh jika seseorang untuk memperoleh pekerjaan harus membayar uang kepada oknum di instansi tertentu?

Jawaban:
Membayar sejumlah uang kepada oknum di perusahaan atau semisal agar diterima sebagai karyawan merupakan risywah (suap) yang diharamkan. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 101

###

Soal:
Haramkah gaji orang yang mendapatkan pekerjaan dengan cara suap?

Jawab:
Suap yang haram adalah pemberian harta yang menjadikan benar sesuatu yang batil atau menjadikan batil suatu yang haq. Jika dengan itu sesuatu yang bukan haknya menjadi haknya (kezaliman), hasil yang didapatkan dari pekerjaan tersebut haram. Wallahu a’lam. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tidak ada komentar:

Posting Komentar