Cari Blog Ini

Selasa, 30 September 2014

Tentang PEMANDIAN UMUM DAN SAUNA

Pertanyaan: Apa hukumnya kamar mandi uap (yang merupakan tempat pemandian umum bagi yang ingin mandi uap/sauna) yang sekarang banyak bermunculan? Apakah para wanita dan lelaki boleh masuk/mandi.di sana tanpa kain penutup tubuh? Berilah fatwa kepada kami tentang masalah ini, semoga antum mendapatkan pahala karenanya.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` menjawab: “Masuk pemandian umum yang berupa kamar mandi uap/sauna bagi lelaki tanpa kain penutup tubuh dilarang keras karena adanya sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari hadits Jabir:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan mengenakan kain penutup tubuh.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Al-Hakim, ia menshahihkannya di atas syarat Muslim, dan hadits ini memiliki syawahid (pendukung). [1]

Para wanita juga terlarang masuk ke tempat pemandian umum. Ummul Mukminin Aisyah pernah berkata kepada para wanita yang biasa masuk ke tempat pemandian umum:
ﺃَﻧْﺘُﻦَّ ﺍﻟﻼَّﺋِﻲ ﻳَﺪْﺧُﻠْﻦَ ﻧِﺴَﺎﺋُﻜُﻦَّ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻣَﺎﺕِ؟ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻣَﺎ ﻣِﻦِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗَﻀَﻊُ ﺛِﻴَﺎﺑَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺑَﻴْﺖِ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﻫَﺘَﻜَﺖِ ﺍﻟﺴِّﺘْﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺭَﺑِّﻬَﺎ
"Apakah kalian ini yang biasa membiarkan wanita-wanita kalian masuk ke tempat pemandian (umum)? Aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya (tanpa busana) di selain rumah suaminya melainkan ia telah mengoyak penutup antara dia dan Rabbnya.” [2]
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan ia menshahihkannya di atas syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan.Muslim) dan Adz-Dzahabi menyepakatinya. [3]

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad yang dihasankan sanadnya oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir disebutkan bahwa ‘Umar ibnul Khaththab berkata, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﻘْﻌُﺪْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﺋِﺪَﺓٍ ﻳُﺪَﺍﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺈِﺯَﺍﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﺗَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa (di antara kaum wanita) yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).” [4]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Ya’la Al-Mushili dan Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban dalam Shahih-nya yang disebut Al-Anwa’ wat Taqasim, dari hadits Muhammad bin Tsabit bin Syarahbil, dari Abdullah bin Yazid Al-Khuthami, dari Abu Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻣِﻦْ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻓَﻼَ ﺗَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara wanita-wanita kalian maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).”
Kata perawi: Aku mengatakan hal itu kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz dalam masa kekhilafahannya, maka ia menulis surat kepada Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm yang isinya, ‘Tanyakan kepada Muhammad bin Tsabit tentang haditsnya.’ Abu Bakr pun menanyakan kepada Muhammad, lalu ia menulis surat kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, maka ‘Umar melarang para wanita masuk ke kamar mandi umum. Demikianlah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz. Ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠُﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱْ
"Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing setelahku.”
Kaum muslimin seluruhnya sepakat bahwa ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullah termasuk para pemimpin yang mendapatkan petunjuk dan termasuk khalifah yang beroleh bimbingan, yang mana mereka itu memutuskan dengan al-haq (kebenaran) dan selalu menuju kepada kebenaran.” (Selesai ucapan Al-Hafizh Ibnu Katsir)

Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga tertuju kepada nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula untuk keluarga dan pada sahabatnya.

(Fatwa no. 19397, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`, 17/49)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online
__________________________________________
Keterangan:

1. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa`i.

2. Sebagian pensyarah hadits ini berkata, “Tidak diberikan keringanan (rukhshah) bagi wanita untuk masuk kamar mandi umum karena seluruh anggota tubuhnya adalah aurat, dan tidak dibolehkan membukanya kecuali dalam keadaan darurat (boleh baginya masuk kamar mandi umum). Misalnya ia sakit sehingga harus masuk kamar mandi tersebut untuk pengobatan. Atau ia selesai dari nifas dan ingin mandi suci, atau junub sementara hawa sangat dingin dan ia tidak dapat menghangatkan air dalam keadaan ia khawatir memudaratkannya bila menggunakan air dingin. Tidak boleh bagi laki-laki masuk ke kamar mandi umum ini tanpa mengenakan penutup tubuh yang dapat menutupi bagian pusar dan lutut.” (‘Aunul Ma’bud, kitabul Hammam, bab satu)
Dalam ‘Aunul Ma’bud juga disebutkan bahwa wanita diperintah untuk menutup tubuhnya dan menjaganya agar tidak terlihat oleh ajnabi (bukan mahram) sehingga tidak pantas baginya untuk membuka auratnya sekalipun dalam keadaan sendirian kecuali di sisi suaminya. Bila ia membuka anggota tubuhnya di kamar mandi umum tanpa darurat maka sungguh ia telah mengoyak penutup yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan.

3. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan selainnya.

4. Asy-Syaikh Ahmad Syakir mengatakan tentang hadits ini, “Sanadnya dhaif.” (Akan tetapi hadits berikut ini mendukungnya.)
Faedah: Al-Imam Al-Albani berkata, “Wajib bagi suami istri untuk membuat kamar mandi di rumah mereka, dan janganlah seorang suami memperkenankan istrinya untuk masuk/mandi di kamar mandi pasar, karena hal itu diharamkan. Dalam hal ini ada beberapa hadits:
Pertama: Dari Jabir radhiyAllahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺪْﺧِﻞْ ﺣَﻠِﻴْﻠَﺘَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟَﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺠْﻠِﺲْ ﻋَﻠﻰَ ﻣَﺎﺋِﺪَﺓٍ ﻳُﺪَﺍﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke kamar mandi (umum). Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr.” (HR. Al-Hakim dan ini lafadznya, At-Tirmidzi, dll)
Kedua: Dari Ummud Darda, ia berkata, “Aku keluar dari kamar mandi umum. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari mana engkau, wahai Ummud Darda`?” “Dari kamar mandi umum,” jawab Ummud Darda`. Rasulullah kemudian bersabda:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻣﺎَ ﻣِﻦِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗَﻀَﻊُ ﺛِﻴَﺎﺑَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺑَﻴْﺖِ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﻬَﺎﺗِﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻫَﺎﺗِﻜَﺔُ ﻛُﻞِّ ﺳِﺘْﺮٍ ﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ
"Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya di selain rumah salah seorang dari ibunya melainkan ia telah mengoyak setiap penutup antara dia dan Ar-Rahman.” (HR. Ahmad, dll)
Ketiga: Hadits Aisyah radhiyAllahu ‘anha yang telah disebutkan di atas.
(Lihat kitab Adabuz Zafaf, hal. 67-69)

Tentang BERHIJAB DI HADAPAN ANAK KECIL

Pertanyaan: Di hadapan anak lelaki usia berapakah seorang wanita ajnabiyyah harus berhijab? Apakah ketika si anak telah mencapai tamyiz ataukah saat ia baligh?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjawab: “Allah berfirman ketika menyebutkan orang-orang yang diperkenankan melihat.perhiasan wanita (atau seorang wanita boleh menampakkan perhiasannya di hadapan mereka):
“…Atau anak-anak lelaki yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang anak lelaki telah mengerti aurat wanita, yang membuatnya bisa menilai seorang wanita ketika memandangnya, dan ia banyak berbicara kepada si wanita (atau membicarakan wanita), maka tidak boleh wanita itu membuka perhiasannya di hadapan si anak (ia harus berhijab dari si anak). Adapun batas usianya, maka ini berbeda-beda pada setiap anak, ditinjau dari tabiatnya dan dengan siapa anak itu.biasa duduk-duduk (teman duduknya). Karena seorang anak kecil terkadang bisa mengerti perkara wanita bila ia biasa duduk dengan orang-orang yang banyak membicarakan tentang wanita. Seandainya ia tidak duduk atau tidak mendengar dari mereka, niscaya si anak tidak paham dan tidak akan peduli dengan wanita. Yang penting dalam perkara ini Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan batasan dengan firman-Nya. Selama si anak belum mengerti aurat wanita dan tidak ambil peduli dengan perkara wanita maka si wanita boleh tidak berhijab di hadapannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."

[Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah]

Tentang BERPUASA KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺃَﻣَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻴْﻚَ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺼُﻮْﻡَ
“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku Husain bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata, “Saya mendengar Jabir menceritakan, “Nabi shallallahu alaihi wasallam melewati seseorang yang membolak balik punggungnya karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang keadaan orang tersebut, lalu mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi Allah.” Maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas.

Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits ini memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-Shahihain dan selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa’ul Ghalil no. 925.

Di dalam hadits di atas terdapat dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa ketika safar jika hal itu akan membahayakan orang yang berpuasa. Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ
“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam Irwa’ul Ghalil no. 925: Muttafaqun alaih)
Juga sabdanya:
ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢْ ﺍﻟْﻌُﺼَﺎﺓُ
“Mereka (yang berpuasa ketika safar) adalah orang-orang yang bermaksiat.” (Shahih Muslim no. 1114)

Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang berpuasa) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa dan jika dia menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari hadits-hadits yang ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut. Walhamdulillah.

Sumber:
Silsilah Ash-Shahihah no. 2595

Alih bahasa: Abu Almass

###

Soal:
Manakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka ataukah terus berpuasa? Terutama pada safar (bepergian) yang tidak memberatkan, seperti dalam pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya?

Jawaban:
Yang lebih utama (afdhal) bagi orang yang berpuasa adalah berbuka saat safar, bagaimana pun keadaannya. Tetapi orang yang tetap berpuasa maka tidak ada dosa baginya, karena Rasulullah pernah melakukan keduanya, demikian pula para sahabatnya.
Namun, jika cuaca sangat panas dan rasa berat semakin bertambah, maka berbuka di saat itu sangat ditekankan bagi musafir dan justru dimakruhkan (dibenci) untuk tetap berpuasa.
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat seorang lelaki yang sedang safar sangat kelelahan karena cuaca yang sangat panas dan dia tetap berpuasa, beliau bersabda, "Bukan termasuk kebaikan, jika tetap berpuasa saat safar." (HR. al-Bukhari no. 1946, dan Muslim no. 1115)
Juga berdasarkan sabda beliau yang lain, "Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhshoh-Nya (keringanan hukum) diambil/dikerjakan, sebagaimana Dia membenci jika kemaksiatan dikerjakan." (HR. Ahmad no. 5866, shahih, lihat al-lrwa' no. 564)
Dalam lafazh lain, "Sebagaimana Dia menyukai jika perkara-perkara yang wajib dikerjakan."
Dan tidak ada perbedaan antara yang safar dengan mobil, unta, perahu, kapal ataupun pesawat, karena semuanya dihukumi sebagai safar, sehingga tetap berhak mendapatkan keringanan yang diberikan Allah kepada mereka. [Lihat Tuhfah al-lkhwan karya asy-Syaikh lbnu Baaz hal. 161]

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 32/VIII/XIII/1436 H

###

Orang yang melakukan safar baik safar tersebut menempuh jarak yang jauh atau pendek —demikian pula baik safar tersebut sifatnya insidental (tergantung keperluan) atau terus menerus seperti pilot pesawat dan sopir kendaraan angkutan (bis, travel dll)— maka yang demikian ini diberikan 2 pilihan: berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa).
Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (Muttafaq ‘alaih)
Yang utama bagi orang yang safar pada bulan Ramadhan adalah melakukan sesuatu yang paling mudah baginya apakah puasa atau berbuka. Apabila kondisinya sama dalam arti tidak ada yang lebih berat atau ringan antara puasa dan berbuka maka yang lebih utama adalah berpuasa dalam rangka agar bersegera dalam menunaikan kewajiban, lebih memberi semangat baginya berpuasa bersama manusia dan juga mencontoh nabi yang pernah berpuasa ketika melakukan safar. Apabila orang yang safar mengalami kepayahan karena berpuasa maka wajib baginya untuk berbuka dan haram hukumnya untuk berpuasa. Karena Rasulullah pernah marah kepada orang-orang yang demikian ini seraya berkata, “Mereka telah berbuat maksiat, mereka telah berbuat maksiat.” (HR. Muslim no. 1878)
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan dalil-dalil syar’i yang lebih utama bagi seorang musafir adalah berbuka secara mutlak baik safarnya terasa memberatkan atau tidak.

Apabila orang yang berpuasa melakukan safar di pertengahan hari dan dia kepayahan untuk menyempurnakan puasanya maka boleh baginya untuk berbuka apabila dia telah keluar dari daerahnya.
Sebagian ulama berpendapat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) sejak dari rumahnya sebelum berangkat untuk melakukan safar seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik.

Peringatan:
Yang mendapatkan keringanan bagi orang yang safar di sini adalah apabila dengan safarnya tersebut bukan bertujuan agar terbebas dari kewajiban puasa. Namun apabila safarnya adalah sekedar akal-akalan saja agar dapat keringanan untuk tidak berpuasa maka dia berdosa dan tetap terkena kewajiban puasa.

(Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238 dengan beberapa catatan)

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
من سافر بوسائل النقل المريحة هل يشرع له الفطر في رمضان؟
Seseorang melakukan perjalanan safar dengan menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman, apakah disyariatkan juga untuk berbuka di bulan Ramadhan?

Jawaban:
يقول الله تعالى: وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ؛ فأباح الله الفطر في السفر إباحة مطلقة، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: ((إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته))، والفطر في السفر سنة كما فعل ذلك النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، ولكن إذا علم بأن فطره في السفر سيثقل عليه القضاء فيما بعد، ويكلفه في المستقبل، ويخشى أن يشق عليه فصام ملاحظة لهذا المعنى فذلك خير، ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة. والله الموفق
Allah taala berfirman:
ومن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
Barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka hendaklah ia berpuasa sebanyak hari yang ia berbuka padanya pada hari-hari yang lain. (Surat al-Baqarah ayat 185)
Jadi, Allah membolehkan berbuka ketika safar dengan pembolehan yang mutlak. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil rukhsah (keringanan) Nya sebagaimana Allah benci bila didatangi kemaksiatan-Nya. (HR. Ahmad di dalam Musnad al-Muktsirin minash shahabah baqi Musnad Ibnu Umar no. 5600)
Berbuka ketika safar merupakan sunnah sebagaimana yang pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi was sallam dan para shahabatnya radhiyallahu anhum.
Akan tetapi bila ia tahu bahwa berbukanya ketika dalam perjalanan itu akan memberatkan pelaksanaan qadha puasa setelahnya, membebaninya di kemudian hari, dan dikhawatirkan akan menyulitkannya, maka tetap berpuasa dengan mempertimbangkan berbagai perkara ini, maka itu lebih baik dan tidak mengapa, sama saja menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman atau yang memberatkan karena dalil-dalil yang bersifat mutlak. Allah  jualah yang memberi taufik.

Sumber: 
ibnbaz .org/node/481

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MELAYAT ORANG NON-MUSLIM

Pertanyaan: Bolehkah seorang muslim berta’ziyah (melayat jenazah) orang kafir, bila jenazah itu adalah bapak atau ibunya, atau salah satu kerabatnya? Bila tidak berta’ziyah dan mengunjungi mereka, dia khawatir akan mendapatkan gangguan dari mereka, atau menjadi sebab menjauhnya mereka dari Islam.

Jawab:
Bila tujuan ta’ziyah tersebut adalah agar mereka tertarik kepada Islam, maka ini diperbolehkan. Ini termasuk maqashid syari’ah (tujuan syariat). Demikian pula bila dengan berta’ziyah itu dapat menghindarkan dirinya atau kaum muslimin dari gangguan mereka. Karena maslahat umum yang Islami menggugurkan sebagian mudarat yang ada pada perkara tersebut.
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa Al-Lajnah, 9/132, Pertanyaan kelima dari fatwa no. 1988)

Sumber: Asy-Syariah online

Tentang BERPUASA HARI ARAFAH MENGIKUTI PEMERINTAH SETEMPAT

Pertanyaan: Apabila berbeda penentuan Hari Arafah, sebagai konsekuensi perbedaan mathla’ hilal di masing-masing negeri, apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kita tinggal padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Saudi Arabia)?

asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab, "Permasalahan ini sangat terkait dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Apakah hilal itu satu, berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda sesuai perbedaan mathla’?
PENDAPAT YANG BENAR hilal itu berbeda-beda sesuai perbedaan mathla’ (yakni masing-masing negara berdasarkan ru’yah masing-masing). Misalnya, apabila hilal telah telihat di Makkah, dan hari itu (berdasarkan ru’yah tersebut) adalah hari ke-9; sementara di negeri lain hilal terlihat sehari sebelum Makkah, sehingga hari Arafah adalah hari ke-10 negeri tersebut. Maka mereka (penduduk negeri itu) TIDAK BOLEH BERPUASA pada hari tersebut, karena itu adalah Hari Raya (bagi penduduk negeri tersebut). Demikian pula kalau seandainya di sebuah negeri ru’yah-nya terlambat daripada Makkah. Sehingga tanggal 9 Makkah adalah masih tanggal 8 di negeri itu. Maka mereka berpuasa TANGGAL 9 MEREKA, yang BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 10 DI MAKKAH.
INI ADALAH PENDAPAT YANG KUAT. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kemudian apabila kalian melihat hilal (berikutnya) berhari rayalah.”
Hilal yang tidak terlihat di negeri mereka, berarti mereka tidak dikatakan “melihat hilal”. Sebagaimana manusia secara ijma memperhitungkan perbedaan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari di tiap-tiap tempat. Demikianlah waktu bulanan, seperti waktu harian.
(Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin 20/47)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:
ﻭﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺒﻠﺪﺍﻥ ﺗﺤﺖ ﺣﻜﻢ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﺃﻣﺮ ﺣﺎﻛﻢ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ، ﺃﻭ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺟﺐ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺃﻣﺮﻩ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺧﻼﻓﻴﺔ، ﻭﺣﻜﻢ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺍﻟﺨﻼﻑ .
ﻭﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻛﻤﺎ ﻳﺼﻮﻡ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻧﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﺳﻮﺍﺀ ﻭﺍﻓﻖ ﺑﻠﺪﻛﻢ ﺍﻷﺻﻠﻲ ﺃﻭ ﺧﺎﻟﻔﻪ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺍﺗﺒﻌﻮﺍ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻧﺘﻢ ﻓﻴﻪ .
✏ ﻛﺘﺒﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ
ﻓﻲ 28/8/1420 ﻫـ .
Apabila berbagai daerah itu di bawah satu hukum negara, dan pemerintah negara telah memutuskan puasa atau hari raya, maka WAJIB MELAKSANAKAN KEPUTUSAN TERSEBUT. Karena permasalahan ini (yakni apakah hilal itu satu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah masing-masing negara berdasarkan ru’yahnya sendiri-sendiri) adalah masalah khilafiyyah, sedangkan keputusan pemerintah menyelesaikan (menyudahi) perselisihan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka berpuasalah dan berhari-rayalah sebagaimana penduduk negeri yang antum ada di situ, baik mencocoki negeri aslimu ataukah tidak. DEMIKIAN PULA HARI ARAFAH, IKUTILAH NEGERI YANG ANTUM BERADA PADANYA.
Ditulis oleh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pada 28/8/1420 H
(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin 19/41)

Tentang BERKURBAN LEBIH DARI SATU EKOR

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya tentang berkurban lebih dari ekor bagi orang yang mampu, dengan dalil bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berkurban dengan dua ekor domba.

Beliau menjawab, “Yang lebih afdhal adalah seseorang tidak menambah lebih dari satu ekor domba untuk dia dan keluarganya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu berkurban dengan satu ekor domba untuk beliau dan keluarga beliau. Dan telah diketahui bersama bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah makhluk yang paling mulia, dan beliau adalah orang yang paling cinta dan mengangungkan peribadahan kepada Allah. Adapun apa yang disebutkan bahwa beliau pernah berkurban dengan dua ekor domba, maka domba yang kedua bukan untuk keluarga beliau tapi untuk umatnya. Atas dasar ini, maka yang lebih afdhal adalah berkurban dengan satu ekor untuk orang tersebut (yang berkurban) dan keluarganya. Dan barangsiapa memiliki kelebihan uang hendaknya ia sedehkankan sedikit (uang tersebut) atau dalam bentuk makanan atau yang semisalnya dan dikirim ke negeri lain yang membutuhkannya atau kepada orang yang membutuhkan di daerahnya, karena biasanya di daerahnya sendiri ada orang-orang yang membutuhkan."

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/46

Senin, 29 September 2014

Tentang ADZAN DAN IQAMAH DI LIANG KUBUR

Pertanyaan: Apa hukum adzan dan iqamah di liang kubur ketika meletakkan mayat di dalamnya?

Jawab:
Tanpa diragukan bahwa itu adalah bid’ah. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menurunkan dalil dalam hal ini, karena perbuatan itu tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan segala kebaikan itu adalah ketika kita mengikuti mereka dan menelusuri jalan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At-Taubah: 100)
Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang bukan darinya maka itu tertolak.”
Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻭَﺷَﺮُّ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Dan sejelek-jelek urusan (agama) adalah yang diada-adakan, dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala berikan shalawat dan salam-Nya kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 1, judul: Al-Ijabah ‘an As`ilah Mutafarriqah]
—————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah

Tentang MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjawab beberapa pertanyaan berikut ini.

Pertanyaan: Ada saudara-saudara kami, kaum muslimin, yang menyelenggarakan perayaan ulang tahun untuk diri mereka dan anak-anak mereka. Apa sebenarnya pandangan Islam dalam masalah “ulang tahun” ini?

Jawab:
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, berdasar sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini padahal bukan bagian darinya maka amalan yang diada-adakan itu tertolak.”
Demikian pula sabdanya Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak."
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang diada-adakan dalam agama Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa pun tidak boleh dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan ini. Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad ibnu Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah dihafal berita dari beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi arahan kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, orang-orang yang paling afdhal dari umat ini setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun salah seorang dari mereka, semoga Allah Subhanahu wa.ta’ala meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk mereka dan mengikuti urusan yang lurus/tegak yang diperoleh dari madrasah Nabi mereka. Ditambah lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang kafir selain mereka dalam hal perayaan-perayaan yang mereka ada-adakan. Wallahul musta’an.
[Fatwa no. 2008]

Pertanyaan: Istri saya biasa mengadakan acara tahunan untuk putra saya bertepatan dengan hari kelahirannya yang diistilahkan hari ulang tahun. Dalam acara ini disediakan beraneka makanan dan diletakkan lilin (di atas kue tart) sejumlah umur si anak. Di awal acara, si anak diminta meniup semua lilin yang dinyalakan tersebut, setelahnya barulah acara dimulai. Apa hukum syariat dalam perbuatan semacam ini?

Jawab:
Tidak boleh membuat acara ulang tahun untuk seorang pun karena hal itu bid’ah, padahal telah pasti sabda.Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan/perintah/perkara kami ini apa yang bukan bagiannya maka yang diada-adakan itu tertolak.”
Juga karena acara ulang tahun itu tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, padahal Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
Wabillahi at-taufiq.
[Fatwa no. 5289]

Tentang ANAK KECIL LEWAT DI DEPAN ORANG SHALAT

Pertanyaan: Apakah seorang ibu harus menahan anaknya yang masih kecil lewat di hadapannya saat ia sedang shalat, padahal itu terjadi berulang-ulang di tengah shalat? Tentunya berulang-ulangnya mencegah si anak lewat dapat menghilangkan kekhusyukan dalam shalat. Sementara jika si ibu shalat sendirian tanpa menempatkan si anak di dekatnya, si ibu (tentu) mengkhawatirkan anaknya (karena tidak ada yang menjaganya).

Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:
“Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini dikatakan ahlul ilmi rahimahumullah. Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, hendaknya memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak asyik dengan benda/mainan tersebut) sementara si anak berada di sekitar/dekat dengan ibunya. Karena bila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain. Namun bila si anak terus menggelayuti ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makan atau memberi minum). Setelah itu ia menghadapkan dirinya kepada amalan shalatnya.”

(Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151-152)

Sumber: Asy Syariah Edisi 056

Tentang MENGHILANGKAN RAMBUT YANG TUMBUH DI BADAN

Pertanyaan: Bolehkah seseorang menghilangkan rambut yang tumbuh di kedua lengan dan kakinya?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab, “Bila rambut yang tumbuh itu banyak/di luar kewajaran, tidak apa-apa menghilangkannya, karena keberadaannya menjelekkan penampilan seseorang. Kalau rambut itu biasa/masih wajar maka sebagian ahlul ilmi ada yang berpendapat tidak boleh menghilangkannya, karena termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan boleh dihilangkan karena termasuk perkara yang didiamkan Allah, sementara Rasulullah bersabda:
ﻣﺎَ ﺳَﻜَﺖَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﻔْﻮٌ
“Apa yang Allah diamkan berarti pemaafan.”
Maksudnya tidak diharuskan bagi kalian dan tidak pula haram. Mereka ini mengatakan, “Rambut-rambut yang tumbuh di badan terbagi tiga macam:
-> Pertama: Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan.
-> Kedua: Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan.
-> Ketiga: Rambut yang didiamkan.
Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan, tidaklah boleh dihilangkan, seperti jenggot bagi laki-laki, mencabut rambut alis bagi wanita dan lelaki.
Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan maka harus dihilangkan, tidak boleh dibiarkan, seperti rambut ketiak, rambut kemaluan, dan kumis bagi laki-laki.
Apa yang didiamkan, tidak dilarang dan tidak pula ada perintah untuk menghilangkannya, berarti perkaranya dimaafkan. Karena bila Allah tidak menghendaki keberadaannya, niscaya Dia perintahkan untuk dihilangkan. Bila Allah menginginkan rambut itu tetap ada, niscaya Dia akan memerintahkan untuk membiarkannya. Tatkala Allah diam, tidak menyebut salah satunya, berarti pekaranya kembali pada keinginan/pilihan manusia, bila mau ia hilangkan dan bila mau ia biarkan.
Allah lah yang memberi taufik.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/134)

Tentang ASTROLOGI, HOROSKOP, ZODIAK, DAN SHIO

Astrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara fenomena-fenomena, posisi dan pergerakan benda-benda langit (planet, bulan, dan matahari) dengan kejadian-kejadian dan nasib manusia. Kata astrologi berasal dari bahasa Latin yang artinya ilmu perbintangan. Ilmu ini sudah dikenal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan nama ilmu nujum.

Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan, planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada waktu kelahiran atau pada waktu-waktu tertentu lainnya. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengamati waktu.

Horoskop seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi (zodiak). Dalam berbagai majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.

Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21 Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius (Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran antara 23 November sampai dengan 18 Desember.

Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umat perihal ilmu nujum atau ilmu perbintangan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨُّﺠُﻮﻡِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻗْﺘَﺒَﺲَ ﺷُﻌْﺒَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴِّﺤْﺮِ ﺯَﺍﺩَ ﻣَﺎ ﺯَﺍﺩَ
“Barangsiapa mempelajari salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/536)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir. Sungguh Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman, "Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang." (Thaha: 69)
Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)

Ilmu nujum ada dua macam. Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:
1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan. Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah 'Azza wa Jalla.
2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya. Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap dirinya mengetahui hal ghaib.
3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
(Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)

Jenis ilmu nujum yang pertama (ilmu at-ta’tsir) itulah yang dilarang.
Seorang shahabat, Zaid bin Khalid radhiyallahu 'anhu, berkata:
Kami shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Allah berfirman: ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena nau’ [1] ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. Al-Bukhari, 2/433-434 dan Muslim, no. 71)
Diriwayatkan dari Thawus rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah 'Azza wa Jalla.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)

Sedangkan jenis ilmu nujum yang kedua (ilmu at-tasyir) itulah yang diperbolehkan untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1018)

Footnote
[1] An-Nau adalah bentuk
tunggal dari al-Anwa yang berarti
bintang, dan dahulu orang-orang jahiliyah menisbatkan hujan turun kepada bintang ini, atau bintang itu.

Minggu, 28 September 2014

Tentang ANGKA HOKI DAN ANGKA SIAL, HARI BAIK DAN HARI NAHAS, BULAN BAIK DAN BULAN SIAL

Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:

“Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻳَﻤْﺴَﺴْﻚَ ﺍﻟﻠﻪُُ ﺑِﻀُﺮٍّ ﻓَﻼَ ﻛَﺎﺷِﻒَ ﻟَﻪُ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ ﻭَﺇِﻥْ ﻳُﺮِﺩْﻙَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻓَﻼَ ﺭَﺍﺩَّ ﻟِﻔَﻀْﻠِﻪِ
“Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖِ ﺍْﻷُﻣَّﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻚَ، ﻭَﺇِﻥِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ، ﺭُﻓِﻌَﺖِ ﺍْﻷَﻗْﻼَﻡُ ﻭَﺟَﻔَّﺖِ ﺍﻟﺼُّﺤُﻒُ
“Seandainya umat berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻻَ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat:
ﻻَ ﻧَﻮْﺀَ ﻭَﻻَ ﻏُﻮْﻝَ
“Tidak ada nau` [1] dan tidak ada ghul [2].” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ( ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat.

Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”

Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.

Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
ﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﻌْﺒُﺪُ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻦُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
ﻓَﺎﻋْﺒُﺪْﻩُ ﻭَﺗَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺗَﻮَﻛَّﻠْﺖُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺃُﻧِﻴْﺐُ
“Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan."

(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, hal. 87-89.

Footnote:

[1] Nau` adalah bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya. Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh bintang ini.” Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/568)

[2] Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)

###

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
(Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa)
Kerajaan Saudi ‘Arabia

Pertanyaan:
Sungguh kami telah mendengar tentang keyakinan-keyakinan bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya. Kami memohon penjelasan dalam masalah tersebut sesuai bimbingan syari’at islam. Semoga Allah menjaga anda sekalian.

(Fatwa no. 10.775)

Jawab:
Keyakinan tersebut, yaitu tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya pada bulan Shafar merupakan salah satu bentuk  perbuatan menganggap sial bulan tersebut. Perbuatan menganggap sial bulan-bulan tertentu, hari-hari tertentu, burung atau hewan-hewan tertentu lainnya adalah perbuatan yang tidak boleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu  bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

###

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(Mufti Umum Kerajaan Saudi ‘Arabia)

Pertanyaan:
“Banyak orang berkata bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Sebagian orang awam menganggap sial bulan tersebut dalam banyak perkara. Contohnya mereka meyakini tidak boleh melakukan akad nikah pada bulan tersebut. Demikian sebagian orang meyakini bahwa dalam acara akad nikah tidak boleh mematahkan kayu, atau mengikat tali, atau menyilangkan jari-jemari, karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan kesialan pada pernikahan tersebut dan tidak akurnya kedua mempelai.
Karena permasalahan ini sangat terkait dengan aqidah, maka kami memohon nasehat dan penjelasan hukum syar’i.
Semoga Allah memberi taufiq kita semua kepada apa yang Ia cintai dan Ia ridhai.

Jawab:
Menganggap sial bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.
Demikian juga menganggap sial perbuatan menyilangkan jari-jemari, atau mematahkan kayu, atau semisalnya ketika akad nikah, merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya, tidak boleh meyakini hal tersebut. Bahkan itu merupakan keyakinan yang batil. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

(Dipublikasikan di majalah “Ad-Da’wah” edisi 1641, tanggal 18 Muharram 1419 H. Tercantum dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXVIII/356-357)

###

Maalisy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Anggota Majelis Tinggi Ulama Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia

Segala puji bagi Allah yang hanya milik-Nya lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Hanya milik-Nyalah segala pujian di akhirat, Dia Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nyalah kerajaan, hanya milik-Nyalah pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pembawa berita gembira sekaligus pembawa peringatan, sebagai cahaya yang sangat terang. Shalawat Allah atasnya, keluarga, para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan semoga Allah memberi keselamatan dengan sebenar-benarnya.
Wahai umat manusia,
Bertaqwalah kalian kepada Allah Taala. Gantungkan segala harapan kalian kepada Allah, bertawakkallah kepada-Nya, berharaplah akan pahala-Nya, dan takutlah kalian dari hukuman-Nya. Allah berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan beribadahlah kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kalian akan dikembalikan. [Al-'Ankabut: 17]

Di antara manusia ada yang menganggap sial keberadaan orang-orang tertentu, atau waktu-waktu tertentu. Mereka beranggapan bahwa dirinya akan tertimpa kejelekan darinya, dengan semata-mata sebab dzat orang atau waktu tertentu tersebut, bukan karena ketentuan taqdir Allah. Inilah bentuk thiyarah (anggapan sial) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dan beliau nyatakan sebagai perbuatan syirik. Karena orang yang melakukan thiyarah atau menganggap sial (sesuatu) meyakini bahwa kejelekan yang menimpanya tidak lain disebabkan kejelekan makhluk, baik waktu/zaman, tempat, maupun orang. Maka ia pun membenci orang tersebut, atau waktu/zaman tersebut, atau tempat tersebut, serta menghindar darinya dengan keyakinan bahwa itu bisa menimpakan kejelekan pada dirinya. Sementara ia lupa atau pura-pura bodoh bahwa sebenarnya segala yang menimpanya tidak lagi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, dan karena dosanya. Sebagaimana Allah sebutkan tentang umat yang kafir, bahwa mereka menganggap sial orang yang membawa kebaikan, baik para nabi maupun kaum mukminin. Allah Taala berfirman tentang kaum Firaun:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَه
Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. [Al-A'raf: 131]
Demikian juga kaum Tsamud, menganggap sial nabi mereka Shalih alaihis salam:
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ
Mereka menjawab: Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu. [An-Naml: 47]
Demikian juga kaum musyrikin arab, mereka menganggap sial Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, sebagaimana Allah berfirman tentang mereka:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).  [An-Nisa` : 78]
Maka Allah bantah mereka, bahwa segala yang menimpa mereka, berupa hukuman dan kesulitan, tidak lain dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, serta dengan sebab dosa-dosa mereka. Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisa` : 78-79]
Ini merupakan bentuk keterbalikan fitrah mereka, ketika mereka justru meyakini kejelekan pada orang yang menjadi sumber kebaikan dan perbaikan.

Wahai hamba-hamba Allah,
Di antara bentuk tasya`um (anggapan sial) adalah apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan tersebut bulan sial. Sehingga mereka tidak mau melakukan aktivitas mubah yang mereka biasa rutin melakukannya pada bulan-bulan lainnya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam membatalkan keyakinan tersebut dengan sabdanya:
لا عدوى، ولا هامة، ولا صفر
Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada burung hantu, tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ini merupakan bantahan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya, tanpa keyakinan adanya taqdir Allah dalam hal itu. Padahal Allah Taala telah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. [Al-Hadid : 22]
Sabda Nabi Shallahu alaihi wa Sallam: tidak ada (kesialan) pada burung hantu, maknanya penafian terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah padanya, yaitu apabila burung tersebut hinggap pada rumah salah seorang mereka, maka dia akan mendapat kesialan, seraya mengatakan: Burung ini membawa kabar buruk tentang aku, atau salah seorang penghuni rumahku.
Maka ia meyakini bahwa dirinya akan mati, atau salah satu anggota keluarganya akan mati, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menafikan dan membantah keyakinan tersebut.
Makna sabda Nabi: tidak ada (kesialan) pada bulan shafar, pendapat yang benar bahwa orang-orang jahiliyyah dulu menganggap sial bulan Shafar, mereka mengatakan bahwa bulan itu adalah bulan sial. Maka Nabi membantah keyakinan tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan jahiliyyah ini terus menerus ada pada sebagian orang hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa tidak harmonis/tidak cocok. Sebagaimana dulu orang-orang jahiliyyah menganggap sial bulan Syawwal, sehingga mereka tidak melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut. Sungguh Nabi Shallahu alaihi wa Sallam telah membatalkan keyakinan tersebut. Beliau menikah dengan Aisyah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal, demikian juga beliau menikah dengan Ummu Salamah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal.

Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya kebaikan dan kejelekan, nikmat dan musibah, semuanya terjadi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّه
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. [An-Nisa` : 78]
Dia-lah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki dan Dia berhak memilih. Segala yang menimpa hamba berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah-lah yang telah menentukannya atas mereka, dengan sebab dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan mereka.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. [Asy-Syura : 30]
Makhluk tidak punya andil untuk menentukan dan mewujudkannya. Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda:
واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف
Ketahuilah, kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan apa yang yang telah untuk tuliskan untukmu. Kalau seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu, maka mereka tidak akan mampu mencelakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan atasmu. Sungguh pena telah diangkat dan lembaran (catatan taqdir) telah kering (yakni sudah sempurna dan paten tertulis tidak bisa diubah lagi). [HR. At-Tirmidzi, dan berkata: hadits hasan shahih] [1]
 
Hal ini tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai sebab datangnya kebaikan atau kejelekan. Namun yang menyebabkan timbulnya kebaikan atau kejelekan tersebut bukan sebab-sebab itu sendiri. Hanyalah itu semua kembali kepada penyebab (pencipta) sebab-sebab tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Yang dituntut dari seorang hamba adalah dia berupaya mendatangkan sebab-sebab kebaikan, dan menghindari sebab-sebab kejelekan. Allah Taala berfirman :
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah : 195]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
"Pengkhususan anggapan sial untuk satu waktu tertentu tidak pada waktu lainnya, seperti bulan Shafar atau lainnya, maka itu tidak benar. Hanyalah zaman/waktu semuanya adalah ciptaan Allah Taala. Padanyalah terjadi amal perbuatan anak Adam. Setiap zaman/waktu, yang seorang mukmin mengisinya dengan ketaatan kepada Allah, maka itu merupakan zaman/waktu yang diberkahi atasnya. Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa mendatangkan kemarahan Allah Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat. Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Taala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan."
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan, harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr, "Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang telah menimpa mereka." [2]
Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan dan para pelakunya termasuk hijrah yang diperintahkan. Karena seorang muhajir sejati itu adalah orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang ingin bertaubat maka hendaknya ia keluar dari tempat-tempat kezhaliman dan meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang dulu bergaul dengannya." Yaitu para pelaku kemaksiatan.
Maka waspadailah dosa-dosa, karena itu merupakan sebab kesialan dan hukumannya sangat pedih. Tempat dan daerah pada asalnya adalah bersih dan suci, namun dosa-dosa manusia telah mengotori dan merusaknya dengan kesialan kemaksiatan. Zaman dan waktu sebenarnya digunakan untuk beramal kebajikan, namun hamba telah mengotorinya dengan perbuatan jelek. Sebagaimana dikatakan dalam syair :
نعيب زماننا والعيب فينا                  
وما لزماننا عيب سوانا
Kita mencela waktu-waktu kita padahal aib itu ada pada diri kita
Tidak ada pada zaman kita suatu kejelekan kecuali diri kita sendiri
 
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah.
Ramaikanlah rumah-rumah kalian dan waktu-waktu kalian dengan ketaatan kepada Allah. Gantungkanlah hati kalian kepada Allah, dalam bentuk takut, berharap, dan cinta kepada-Nya. Celalah diri kalian sendiri, dan ketahuilah bahwa apa yang menimpa kalian dari suatu yang kalian benci tidak lain itu adalah dengan sebab dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan zaman/waktu dan tempat. Itu tidak lain karena kejelekan amal perbuatan manusia. Barangsiapa yang menganggap sial salah satu bulan, atau salah satu waktu, atau salah satu jam, atau mencela salah satunya, maka sungguh berarti ia telah mencela Allah dan mengganggu-Nya. Sebagaimana dalam kitab Ash-Shahih dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, bahwa Allah Taala berfirman:
يؤذيني ابن آدم يسب الدهر وأنا الدهر أقلب الليل والنهار
Anak Adam mengganggu Aku, dia mencela zaman/waktu. Padahal Aku adalah pengatur dan pengendali zaman, Aku membolak-balikkan siang dan malam. [3]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر
Janganlah kalian mencela waktu, karena sesungguhnya Allah Dia adalah pengatur dan pengendali waktu. [4]
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah:
"Maknanya, bahwa bangsa arab dulu, di antara kebiasaannya adalah mencela waktu, yakni mencelanya ketika terjadi musibah. Karena mereka dulu menisbahkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami pada waktu. Mereka mengatakan, Kejelekan-kejelekan dan kerusakan-kerusakan zaman telah menimpa mereka. Maka apabila mereka menisbahkan segala musibah yang alami kepada waktu, berarti mereka telah mencela penciptanya. Sehingga celaan terhadap waktu itu kembalinya kepada Allah Azza wa Jalla, karena pada hakekat-Nya Dia-lah penyebab/pencipta. Segala kebaikan atau kejelekan yang terjadi pada waktu, maka  itu terjadi dengan kehendak Allah. Kebaikan merupakan fadhilah (keutamaan) dari Allah, sedangkan kejelekan dengan sebab dosa hamba dan kemaksiatan mereka.
Allah Taala berfirman:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا *مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu  hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Cukuplah Allah menjadi saksi.  Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sungguh berarti ia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. [An-Nisa` : 78-80]
 
(Dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah)

catatan kaki:

[1]  HR. At-Tirmidzi no. 2516. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 5302.

[2]  Dalam Shahih Muslim:
إن عبدالله بن عمر قال  : مررنا مع رسول الله على الحجر، فقال لنا رسول الله r لا تدخلوا مساكن الذين ظلموا أنفسهم، إلا أن تكونوا باكين حذرا أن يصيبكم مثل ما أصابهم، ثم زجر، فأسرع حتى خلفها
Abdullah bin Umar berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum Tsamud), maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada kami: Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka. Kemudian beliau menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]

[3] HR. Al-Bukhari 4862, Muslim 2446.

[4]  HR. Muslim 2446.

Sumber: Situs Resmi Mahad As-Salafy 2014

Tentang TAKUT SETAN

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﺎ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻟَﺎ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada tathayur, tidak ada hamah dan shafar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz Muslim:
ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻮْﺀَ ﻭَﻟَﺎ ﻏُﻮﻝَ
“Tidak ada nau’, tidak pula ghul.”

Berikut ini Ungkapan beberapa Ulama dan Ahli bahasa tentang ghul:
1. Ibnu Duraid berkata:
"Ghul menurut orang Arab adalah tukang Sihir dari kalangan Setan dan Jin. Inilah pendapat al Ashma'i. (jamharatul Lughah: 3/150)
2. Ibnul Manzhur berkata:
"Ghul adalah Penyihir dari Jin.." (Lisanul 'Arab: 11/510)
3. Ibnu Katsir berkata:
"Ghul dalam bahasa Arab artinya Jin yang tampak di malam hari..." (Tafsir al Qur'anul 'Azhim: 1/313)
4. Al Jahidz berkata:
"Ghul adalah Ungkapan untuk Jin yang mengganggu orang yang berpergian dan Menjelma dalam beberapa bentuk, baik jenis Pria atau Wanita..." (Al Hayawan: 6/442)

Imam an Nawawi rahimahullah berkata, "Mayoritas Ulama mengatakan, 'Bangsa Arab berkeyakinan bahwa hantu dari jenis Setan di Lembah-Lembah bisa menjelma dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan jalan mereka lalu membinasakan mereka'. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membatalkan hal itu.
Ulama lainnya mengatakan, 'Maksud Hadits ini bukanlah Peniadaan wujudnya hantu, melainkan maksudnya adalah membatalkan keyakinan orang Arab bahwa hantu bisa menjelma dalam berbagai bentuk lalu menyesatkan manusia..." (Syarh Shahih Muslim: 14/216)

Tentang makna Ghul berkata Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭ : ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏ ﺗَﺰْﻋُﻢ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻐِﻴﻠَﺎﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔَﻠَﻮَﺍﺕ ، ﻭَﻫِﻲَ ﺟِﻨْﺲ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦ ﺗَﺘَﺮَﺍﺀَﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺗَﺘَﻐَﻮَّﻝ ﻟَﻬُﻢْ ﺗَﻐَﻮُّﻟًﺎ ﺃَﻱْ ﺗَﺘَﻠَﻮَّﻥ ﺗَﻠَﻮُّﻧًﺎ ﻓَﺘَﻀِﻠّﻬُﻢْ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖ ﻓَﺘُﻬْﻠِﻜﻬُﻢْ ، ﻭَﻗَﺪْ ﻛَﺜُﺮَ ﻓِﻲ ﻛَﻠَﺎﻣﻬﻢْ ” ﻏَﺎﻟَﺘْﻪُ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ” ﺃَﻱْ ﺃَﻫْﻠَﻜَﺘْﻪُ ﺃَﻭْ ﺃَﺿَﻠَّﺘْﻪُ
Adapun Ghul, jumhur ulama berkata:
“Dahulu orang-orang arab berkeyakinan bahwa ghoilan berada di padang pasir. Ghoilan adalah jenis setan yang menjelma dan menampakkan dirinya di hadapan manusia dengan beragam bentuk untuk menyesatkan mereka dari jalan sehingga terjatuh pada kebinasaan. Dalam pembicaraan mereka sering terucap: “ ﻏَﺎﻟَﺘْﻪُ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ “ artinya “Setan telah membinasakannya.”

Dalam hal ini ada atsar dari ‘Umar yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (6/414):
Sesungguhnya Ghoilan disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata, “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”

Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)

Berkata Syaikh Sholih Fauzan:
“Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam bersabda:
ﻭﻻ ﻏﻮﻝ
“Tidak ada ghul.”
“Ghul” adalah kata tunggal dari “Ghoilan.” Ghoilan termasuk perbuatan-perbuatan syayatin di mana mereka menjelma di hadapan manusia di padang pasir (atau semisalnya) terlebih ketika manusia memiliki rasa takut, setan menjelma dengan bentuk-bentuk yang menyesatkannya dari jalan, bisa jadi menjelma di hadapan manusia dalam bentuk api yang berpindah-pindah, atau suara yang tersengar atau menjelma dalam bentuk lain. Oleh karenanya Rasulullah shallallohu ’alaihi wasallam bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺗﻐﻮّﻟﺖ ﺍﻟﻐﻴﻼﻥ ﻓﺒﺎﺩﺭﻭﺍ ﺑﺎﻷﺫﺍﻥ
“Jika Syaiton menampakkan (gangguannya) maka bersegeralah kalian adzan.” [1]
Makna hadits ini, jika setan ghul menjelma di hadapanmu segeralah berdzikir kepada Allah sebab dzikir kepada-Nya mengusir syaiton, maka jika engkau berdzikir kepada Allah atau engkau membaca Al-Quran hilanglah perbuatan setan tersebut. Nabi Shallallohu’alaihi wasallam dalam hadits ini juga meniadakan adanya ghul (maksudnya meniadakan keyakinan orang jahiliyah tentang ghul). Mereka di masa jahiliyah meyakini bahwasannya ghailan membuat kejelekan untuk mereka (dengan sendirinya) kemudian Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam meniadakan keyakinan tersebut dan berkata sesungguhnya ghul tidak ada, apa yang tampak berupa gangguan-gangguan adalah amalan-amalan syaitan yang tidak membahayakan seorang pun kecuali dengan izin Allah, lalu beliau menyebutkan obat ketika melihat gangguan-gangguan tersebut yaitu dzikir kepada Allah. (I’anatul Mustafid 2/11)

Catatan Kaki
[1] Syaikh Al-Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini karena inqitho’ (keterputusan sanad) antara Al-Hasan Al-Bashri dan Jabir bin Abdillah, dimana Al-Hasan tidak mendengar dari Jabir. Hadits ini memiliki syawahid namun tidak bisa menguatkan riwayat Hasan dari Jabir karena kelemahannya yang sangat. Silahkan rujuk pembahasan takhrij hadits ini dalam Silsilah Dhaifah (III/227 no.1140).
Jika hadits ini shahih maka makna adzan adalah dzikir kepada Allah ta’ala, sebagaimana disebutkan Ibnu Atsir dalam An-Nihayah, Ibnu Muflih dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah dan lainnya. Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang hadits ini:
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻰ: ﺃﻥ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻄﺮﺩﻫﺎ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺍﻟﺘﻌﻮﺫ ﺑﻜﻠﻤﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﺎﻣﺎﺕ ﻣﻦ ﺷﺮ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ، ﻳﻘﻲ ﻣﻦ ﺷﺮﻫﺎ ﻭﺷﺮ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻣﻊ ﺍﻷﺧﺬ ﺑﺎﻷﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﺘﻲ ﺟﻌﻠﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺳﺒﺎﺑﺎ ﻟﻠﻮﻗﺎﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮ
Maknanya: Dzikir kepada Allah akan mengusirnya, demikian pula berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhlukNya, melindungi dari kejelekan syaiton dan makhluk lainnya, tentu diiringi dengan menempuh sebab-sebab yang Allah jadikan sebagai sebab yang melindunginya dari semua kejelekan. (Majmu’ Fatawa bin Baz (25/93)
Sebagian ulama berpendapat disyariatkannya adzan ketika melihat Ghoilan. Diantara mereka adalah Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar. Allahuta’ala a’lam.