Cari Blog Ini

Selasa, 30 September 2014

Tentang BERPUASA KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺃَﻣَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻴْﻚَ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺼُﻮْﻡَ
“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku Husain bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata, “Saya mendengar Jabir menceritakan, “Nabi shallallahu alaihi wasallam melewati seseorang yang membolak balik punggungnya karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang keadaan orang tersebut, lalu mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi Allah.” Maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas.

Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits ini memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-Shahihain dan selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa’ul Ghalil no. 925.

Di dalam hadits di atas terdapat dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa ketika safar jika hal itu akan membahayakan orang yang berpuasa. Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ
“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam Irwa’ul Ghalil no. 925: Muttafaqun alaih)
Juga sabdanya:
ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢْ ﺍﻟْﻌُﺼَﺎﺓُ
“Mereka (yang berpuasa ketika safar) adalah orang-orang yang bermaksiat.” (Shahih Muslim no. 1114)

Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang berpuasa) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa dan jika dia menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari hadits-hadits yang ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut. Walhamdulillah.

Sumber:
Silsilah Ash-Shahihah no. 2595

Alih bahasa: Abu Almass

###

Soal:
Manakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka ataukah terus berpuasa? Terutama pada safar (bepergian) yang tidak memberatkan, seperti dalam pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya?

Jawaban:
Yang lebih utama (afdhal) bagi orang yang berpuasa adalah berbuka saat safar, bagaimana pun keadaannya. Tetapi orang yang tetap berpuasa maka tidak ada dosa baginya, karena Rasulullah pernah melakukan keduanya, demikian pula para sahabatnya.
Namun, jika cuaca sangat panas dan rasa berat semakin bertambah, maka berbuka di saat itu sangat ditekankan bagi musafir dan justru dimakruhkan (dibenci) untuk tetap berpuasa.
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat seorang lelaki yang sedang safar sangat kelelahan karena cuaca yang sangat panas dan dia tetap berpuasa, beliau bersabda, "Bukan termasuk kebaikan, jika tetap berpuasa saat safar." (HR. al-Bukhari no. 1946, dan Muslim no. 1115)
Juga berdasarkan sabda beliau yang lain, "Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhshoh-Nya (keringanan hukum) diambil/dikerjakan, sebagaimana Dia membenci jika kemaksiatan dikerjakan." (HR. Ahmad no. 5866, shahih, lihat al-lrwa' no. 564)
Dalam lafazh lain, "Sebagaimana Dia menyukai jika perkara-perkara yang wajib dikerjakan."
Dan tidak ada perbedaan antara yang safar dengan mobil, unta, perahu, kapal ataupun pesawat, karena semuanya dihukumi sebagai safar, sehingga tetap berhak mendapatkan keringanan yang diberikan Allah kepada mereka. [Lihat Tuhfah al-lkhwan karya asy-Syaikh lbnu Baaz hal. 161]

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 32/VIII/XIII/1436 H

###

Orang yang melakukan safar baik safar tersebut menempuh jarak yang jauh atau pendek —demikian pula baik safar tersebut sifatnya insidental (tergantung keperluan) atau terus menerus seperti pilot pesawat dan sopir kendaraan angkutan (bis, travel dll)— maka yang demikian ini diberikan 2 pilihan: berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa).
Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (Muttafaq ‘alaih)
Yang utama bagi orang yang safar pada bulan Ramadhan adalah melakukan sesuatu yang paling mudah baginya apakah puasa atau berbuka. Apabila kondisinya sama dalam arti tidak ada yang lebih berat atau ringan antara puasa dan berbuka maka yang lebih utama adalah berpuasa dalam rangka agar bersegera dalam menunaikan kewajiban, lebih memberi semangat baginya berpuasa bersama manusia dan juga mencontoh nabi yang pernah berpuasa ketika melakukan safar. Apabila orang yang safar mengalami kepayahan karena berpuasa maka wajib baginya untuk berbuka dan haram hukumnya untuk berpuasa. Karena Rasulullah pernah marah kepada orang-orang yang demikian ini seraya berkata, “Mereka telah berbuat maksiat, mereka telah berbuat maksiat.” (HR. Muslim no. 1878)
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan dalil-dalil syar’i yang lebih utama bagi seorang musafir adalah berbuka secara mutlak baik safarnya terasa memberatkan atau tidak.

Apabila orang yang berpuasa melakukan safar di pertengahan hari dan dia kepayahan untuk menyempurnakan puasanya maka boleh baginya untuk berbuka apabila dia telah keluar dari daerahnya.
Sebagian ulama berpendapat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) sejak dari rumahnya sebelum berangkat untuk melakukan safar seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik.

Peringatan:
Yang mendapatkan keringanan bagi orang yang safar di sini adalah apabila dengan safarnya tersebut bukan bertujuan agar terbebas dari kewajiban puasa. Namun apabila safarnya adalah sekedar akal-akalan saja agar dapat keringanan untuk tidak berpuasa maka dia berdosa dan tetap terkena kewajiban puasa.

(Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238 dengan beberapa catatan)

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
من سافر بوسائل النقل المريحة هل يشرع له الفطر في رمضان؟
Seseorang melakukan perjalanan safar dengan menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman, apakah disyariatkan juga untuk berbuka di bulan Ramadhan?

Jawaban:
يقول الله تعالى: وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ؛ فأباح الله الفطر في السفر إباحة مطلقة، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: ((إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته))، والفطر في السفر سنة كما فعل ذلك النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، ولكن إذا علم بأن فطره في السفر سيثقل عليه القضاء فيما بعد، ويكلفه في المستقبل، ويخشى أن يشق عليه فصام ملاحظة لهذا المعنى فذلك خير، ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة. والله الموفق
Allah taala berfirman:
ومن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
Barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka hendaklah ia berpuasa sebanyak hari yang ia berbuka padanya pada hari-hari yang lain. (Surat al-Baqarah ayat 185)
Jadi, Allah membolehkan berbuka ketika safar dengan pembolehan yang mutlak. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil rukhsah (keringanan) Nya sebagaimana Allah benci bila didatangi kemaksiatan-Nya. (HR. Ahmad di dalam Musnad al-Muktsirin minash shahabah baqi Musnad Ibnu Umar no. 5600)
Berbuka ketika safar merupakan sunnah sebagaimana yang pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi was sallam dan para shahabatnya radhiyallahu anhum.
Akan tetapi bila ia tahu bahwa berbukanya ketika dalam perjalanan itu akan memberatkan pelaksanaan qadha puasa setelahnya, membebaninya di kemudian hari, dan dikhawatirkan akan menyulitkannya, maka tetap berpuasa dengan mempertimbangkan berbagai perkara ini, maka itu lebih baik dan tidak mengapa, sama saja menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman atau yang memberatkan karena dalil-dalil yang bersifat mutlak. Allah  jualah yang memberi taufik.

Sumber: 
ibnbaz .org/node/481

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar