Cari Blog Ini

Kamis, 09 Oktober 2014

Tentang MELIHAT JIN DAN SETAN

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)

Mujahid dan Qatadah berkata, “(Bala tentara Iblis) adalah jin dan para setan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 7/120, Ma’alimut Tanzil 2/129)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian ulama berkata: ‘Dalam ayat ini terdapat dalil (bukti) bahwa jin itu tidak dapat dilihat’. Namun ada pula yang berpendapat mereka bisa dilihat. Karena jika Allah 'Azza wa Jalla berkehendak memperlihatkan mereka, Allah akan menyingkap (tabir yang menghalangi untuk melihat mereka) jasad-jasad mereka sehingga terlihat oleh mata. An-Nahas berpendapat dengan ayat ini bahwa jin tidak bisa terlihat mata manusia kecuali di masa kenabian sebagai bukti atas kenabian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Allah 'Azza wa Jalla menciptakan mereka dengan bentuk penciptaan yang tidak bisa terlihat. Mereka hanya bisa dilihat bila mereka berubah ke bentuk lain (bukan bentuk aslinya).” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 7/120)

Al-Imam Asy-Syafi`i menyatakan dalam Manaqib-nya, “Siapa yang mengaku melihat jin, maka kami batalkan persaksiannya (tidak menerima persaksiannya) terkecuali bila ia seorang nabi.”
Al-Hafizh mengomentari, “Ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i ini ditujukan kepada orang yang mengaku-ngaku melihat jin dalam bentuknya yang asli. Adapun kalau ada yang mengaku melihat jin setelah berubah ke berbagai bentuk hewan misalnya, maka tidaklah dianggap cacat persaksiannya. Sungguh banyak dan tersebar (mutawatir) berita-berita yang mengabarkan perubahan jin tersebut ke berbagai bentuk.” (Fathul Bari, 6/414)

Adapun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mustahil pernah melihat mereka dalam bentuk aslinya, sebagaimana beliau pernah melihat Jibril dalam wujud aslinya sebanyak dua kali. (Ruhul Ma’ani, 5/140)

Ulama ada yang mengatakan bahwa melihat setan dalam bentuk aslinya sebagaimana diciptakan merupakan kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun kalangan manusia selain beliau tidak dapat melihat setan dalam wujud aslinya, dengan dalil firman Allah: “Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27) (Fathul Bari, 1/718)

Namun ada pula yang berpendapat, bisa saja selain Nabi melihat setan bila Allah berkehendak untuk menampakkannya dalam wujud aslinya seperti kepada hamba-hamba-Nya yang diberi karamah [1], karena ayat bisa dipahami dengan dua makna:
Pertama: Dari sisi bahwa kalian tidak dapat melihat jasad-jasad mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak dapat melihat mereka.
Kedua: Dari sisi bahwa kalian tidak mengetahui makar dan fitnah mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak mengetahui/menyadari makar dan fitnah mereka. (Ruhul Ma’ani 5/141, An-Nukat wal ‘Uyun/Tafsir Al-Mawardi 2/216)

Al-Imam An-Nawawi berkata, “Jin itu ada, dan terkadang sebagian manusia dapat melihat mereka. Adapun firman Allah 'Azza wa Jalla: “Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Maka pemahamannya dibawa pada keumuman (yakni umumnya manusia memang tidak dapat melihat jin/setan), karena bila melihat mereka (jin/setan) itu suatu hal yang mustahil, niscaya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan mengatakan apa yang beliau katakan bahwa beliau melihat setan tersebut dan bahwa beliau berkeinginan untuk mengikat setan itu agar dapat disaksikan para shahabat beliau seluruhnya dan bisa dipermainkan anak-anak kecil di Madinah. [2]
Sementara Al-Qadhi berkata, "Dikatakan bahwa melihat jin dalam bentuk aslinya itu tidaklah mungkin berdasarkan zhahir ayat, kecuali para Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada mereka semuanya– dan juga orang yang diberi kemampuan di luar kebiasaan. Manusia hanya bisa melihat jin dalam bentuk yang bukan aslinya (bentuk penyamaran) sebagaimana keterangan yang disebutkan dalam atsar [3]."
Namun aku (Al-Imam An-Nawawi) katakan: Ini hanyalah sekedar dakwaan semata, dikarenakan bila dalil yang menjadi sandarannya tidak shahih maka dakwaan ini tertolak. Al-Imam Abu Abdillah Al-Mazari berkata, "Jin itu adalah jasad-jasad yang halus. Maka dimungkinkan ia berwujud dengan satu bentuk yang bisa diikat, kemudian ia tertahan untuk kembali ke bentuk aslinya hingga ia bisa dipermainkan, dan sesungguhnya hal-hal keluarbiasaan memungkinkan yang selain itu.”
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 5/32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Yang ada dalam Al-Qur`an, para jin itu melihat manusia sementara manusia tidak melihat mereka. Inilah yang benar, di mana mereka dapat melihat manusia dalam keadaan manusia ketika itu tidak melihat mereka. Namun ini tidaklah menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan manusia yang dapat melihat mereka, bahkan sebaliknya terkadang mereka terlihat oleh orang-orang shalih bahkan juga oleh orang yang tidak shalih, akan tetapi manusia tidak dapat melihat mereka dalam seluruh keadaan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 8/8)

Footnote:

[1] Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan, yang Allah 'Azza wa Jalla jalankan lewat tangan salah seorang wali-Nya dalam rangka membantunya pada perkara agama atau dunia, namun tidak disertai dengan nubuwwah (kenabian) bagi wali tersebut. Karena bila disertai dengan nubuwwah berarti mu’jizat bukan karamah. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang tertidur di gua selama ratusan tahun sementara tubuh mereka tetap terjaga, tidak rusak binasa. Seperti pula kisah Maryam, ibu Nabi ‘Isa 'alaihis salam, yang mendapatkan rizki dari Allah 'Azza wa Jalla berupa buah-buahan sementara ia beribadah dalam mihrabnya sehingga membuat heran Nabi Zakaria 'alaihis salam dengan pernyataannya: "Dari mana engkau mendapatkan buah-buahan ini." (Ali ‘Imran: 37) (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Muhammad Khalil Harras, hal. 253)

[2] Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Ifrit dari bangsa jin semalam mendatangiku dengan tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi mengucapkan kalimat yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah menjadikan aku dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak pantas didapatkan oleh seorang pun setelahku.”
Rauh (perawi hadits ini) berkata, “Nabi pun mengusirnya dengan hina.”
(HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 dari Abu Hurairah)
Al-Khaththabi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan pengikut Nabi Sulaiman dapat melihat jin-jin dalam bentuk dan penampilan mereka ketika jin-jin ini beraktivitas. Adapun tentang firman Allah: “Dia (iblis) dan bala.tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Maka, kata beliau, yang dimaukan adalah mayoritas atau dominannya keadaan anak Adam (manusia), mereka tidak dapat melihat jin.
Abu Ad-Darda` radhiallahu 'anhu pernah pula mengabarkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk mengerjakan shalat. Kami mendengar beliau berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Kemudian berkata tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah.” Beliau membentangkan tangannya seakan-akan menangkap sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tadi mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam shalat yang sebelumnya kami belum pernah mendengar engkau mengucapkannya dan kami melihatmu membentangkan tanganmu.” Beliau menjawab keheranan para sahabatnya dengan menyatakan, “Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang dengan bola api yang hendak dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau dapatkan”, tiga kali. Lalu aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudara kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan terikat hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.” (HR. Muslim no. 1211)

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebuah atsar dari ‘Umar radhiallahu 'anhu yang dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (6/414):
Sesungguhnya Ghilan (setan yang menjelma sehingga terlihat oleh manusia) disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata, “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”

###

asy-Syaikh al-Walid al-Allaamah Robi’ bin Hadi bin Umair al-Madkhaly hafizhahullah

Pertanyaan:
Firman Allah:
ﺇﻧّﻪ ﻳﺮﺍﻛﻢ ﻫﻮ ﻭﻗﺒﻴﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺮﻭﻧﻬﻢ
“Sesungguhnya Syaiton dan bala tentaranya itu bisa melihat kalian, dari tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf 26)
Apakah berarti manusia tidak bisa melihat syaitan secara mutlak, atau apakah memungkinkan bagi sebagian orang untuk bisa melihat syaitan pada sebagian keadaan?

Jawabannya:
Ya, ini terjadi. Yakni seperti dalam hadits, kisah Abu Hurairah bersama syaitan dan Rasulullah melihat syaitan ketika beliau shalat.
Dan saya -demi Allah- pernah melihatnya sendiri, saya pernah melihat syaitan-syaitan.
Saya pernah melihat kuda yang tidak ada bandingnya sepanjang hidup saya. Saya melihatnya bersama saudaraku di malam hari.
Kami sedang safar, kami melihat kuda aneh ini, ajaib, di tempat yang tidak ada padang rumput, tidak ada manusia seorang pun. Saya memahami kalau itu adalah syaitan dan saudaraku juga memahami kalau itu syaitan. Dia tidak bermaksud menakut-nakuti saya, dan saya juga tidak menakut-nakuti dia. Maka ketika kami menjauh darinya, saya tidak ingat apakah dia yang bertanya padaku atau saya yang bertanya padanya, “Apakah kamu tahu kuda itu?” Saya mengira dia yang mengatakan, “Ini adalah syaitan.”
Dan saya melihat, ketika saya sedang mengendarai mobil antara maghrib-isya, melihat seorang telanjang, kepalanya tidak ada rambutnya, bukan karena dicukur, bentuknya aneh. Di depannya ada dua anak kecil, keduanya memiliki kepala yang besar tidak ada rambutnya, keduanya kurus, betis keduanya kecil sekali. Rupa keduanya aneh sekali. Maka saya pernah melihatnya dengan seorang bersamaku, dan dia tahu kalau mereka adalah para syaitan, saya juga demikian. Maka ketika kami berjalan, saya berkata, “Apa ini?” Dia menjawab, “Syaitan.” Saya katakan, “Ya dia itu (syaitan).”
Maka, banyak manusia telah melihat syaitan dan kebanyakannya para syaitan itu tidak nampak.
Akan tetapi, di sana sekarang ini ada orang-orang yang mengambil pemikiran Muhammad Abduh (murid Al-Afghani) dalam pengingkaran terhadap sihir, sungguh menyedihkan, dan pengingkaran melihat jin. Pemikiran ini asalnya adalah dari kaum Mu’tazilah pemuja akal, yang mereka berhukum dengan akal-akal mereka dalam urusan agama dan kehidupan.
Sungguh menyedihkan. Maka tidak mustahil kadang syaitan bisa dilihat. Dan saya tandaskan pada kalian, kalau saya melihat sendiri hal ini.

Penanya berkata:
“Dan juga mereka mengingkari kalau syaitan itu bisa merasuki jasad manusia.”

Asy-Syaikh:
“Ini sesuatu yang bisa dirasa, dan sudah diketahui banyak orang sejak zaman dulu hingga zaman sekarang.
Allah berfirman:
ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺨﺒﻄﻪ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺲّ
“Seperti orang yang kerasukan syaitan karena gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Allah berfirman:
ﻗﻞ ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺮﺏّ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻠﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﺇﻟﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻦ ﺷﺮّ ﺍﻟﻮﺳﻮﺍﺱ ﺍﻟﺨﻨّﺎﺱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻮﺳﻮﺱ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ
“Katakanlah (wahai Muhammad), Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja Manusia, Sesembahan Manusia, dari kejelekan syaitan yang menyelinap, yang membisik-bisikan ke dalam dada manusia. (QS. An-Naas: 1-5)
Apa yang menjadikannya membisik-bisik dalam dadamu? Bukankah karena dia menguasai dirimu dan masuk ke dalam jasadmu?!
Sesungguhnya syaitan bisa masuk dalam jasad anak Adam seperti mengalirnya darah. Maka mereka semua itu menolak ayat-ayat ini dan hadits-hadits ini dan mereka berhukum dengan akal-akal mereka.
Setiap kaidah itu ada pengecualiannya, dan setiap yang umum pasti ada pengkhususnya.
Allah berfirman:
ﺗﺪﻣِّﺮ ﻛﻞّ ﺷﻲﺀ ﺑﺈﺫﻥ ﺭﺑِّﻬﺎ
“Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan ijin Rabbnya.” (QS. Al-Ahqaaf: 25)
Allah berfirman:
ﻓﺄﺻﺒﺤﻮﺍ ﻻ ﻳُﺮﻯ ﺇﻻّ ﻣﺴﺎﻛﻨﻬﻢ
“Maka jadilah mereka tidak terlihat lagi kecuali tempat-tempat tinggal mereka.” (QS. Al-Ahqaaf: 25)
Tempat-tempat tinggal mereka tidak ikut dihancurkan. Kalau Allah mau, niscaya akan dihancurkan pula rumah-rumah mereka dan dihancurkan pula segala sesuatu. Allah memberikan kepada angin tersebut kekuatan yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apalagi cuma rumah. Akan tetapi Allah menghendaki untuk membinasakan orang-orang jahat tersebut saja, sementara rumah-rumahnya selamat.
Demikian juga ketika Allah berfirman:
ﺇﻧّﻪ ﻳﺮﺍﻛﻢ ﻫﻮ ﻭﻗﺒﻴﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺮﻭﻧﻬﻢ
“Sesungguhnya Syaitan dan bala tentaranya itu bisa melihat kalian, dari tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 26)
(Ayat ini juga ada pengecualiannya), yakni hadits yang menjelaskan kalau sebagian syaitan itu kadang bisa dilihat. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah melihatnya, Rasulullah pernah melihatnya, dan disebutkan kisah-kisah yang banyak sekali tentang melihat syaitan.
Mereka bisa berubah wujud menjadi rupa manusia, atau rupa hewan, atau rupa ular. Salah seorang sahabat dahulu menjadi pengantin, dia pergi bersama Rasulullah mengikuti perang Ahzab kemudian dia minta ijin di siang hari lalu mengunjungi istrinya. Maka dia datang (ke rumahnya) pada suatu hari, maka dia mendapati istrinya berdiri di muka pintu. Maka dia terdorong rasa cemburu hingga dia hendak menombak istrinya. Istrinya berkata, “Tenanglah kamu, masuklah ke rumahmu, lihatlah apa yang ada di tempat tidurmu!" Maka dia masuk dan mendapati seekor ular. Maka dia menyerang ular tersebut dengan tombaknya, dan maka tidak diketahui, apakah ular itu yang mati dahulu ataukah orang tersebut mati dahulu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang hal ini, beliau bersabda, “Bukankah saya telah melarang kalian?” Beliau menjelaskan kalau di Madinah itu ada jin, yang ini bisa merubah bentuknya dalam wujud ular, ada yang berubah dalam wujud anjing, dalam wujud manusia, berubah-ubah bentuk. Allah memberi kemampuan pada mereka untuk itu, bisa berubah bentuk rupa apa saja. Sebagian berubah bentuk untuk menipu kaum sufi atau kaum yang suka khurofat, yakni ketika beristighotsah kepada (syekh) Fulan. Maka syaitan menampakkan diri dalam wujud syeikh tersebut, sambil memakai sorban dan pakaian yang bagus, lalu memberikan apa yang diminta. Padahal itu adalah syaitan.

Sumber:
Fatwa fil Aqidah wal Manhaj, halaqoh pertama.

(Disadur via Group WA Qanaat al-Imaamain)

Alih Bahasa: Ustadz Abu Hafsh Umar al Atsary

Tentang BANYAK BERCANDA

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata:
وقد يحسن المزاح أحيانا إذا كان فيه مصلحة، لكن لا ينبغي الإكثار منه، وإنما المزاح في الكلام كالملح في الطعام، إن عدم أو زاد على الحد فهو مذموم
“Terkadang, ada baiknya bercanda itu bila mengandung maslahat. Hanya saja tidak sepantasnya berlebih. Karena canda dalam ucap tak ubahnya seperti garam dalam makanan. Bila tidak ada atau berlebih kadarnya, maka akan dicela.”
(Bahjatul Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhbari fi Syarhi Jawami’il Akhbar” hal. 56 cet. Darul Furqan)

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

WhatsApp Salafy Indonesia http://forumsalafy.net

Turut menyebarkan:
Salafiyah KalSel

###

Al-Ustadz Abdul Muthi Sutarman, Lc.

Bercanda atau bersenda gurau adalah salah satu bumbu dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Ia terkadang diperlukan untuk menghilangkan kejenuhan dan menciptakan keakraban, namun tentunya bila disajikan dengan bagus sesuai porsinya dan melihat kondisi yang ada. Sebab, setiap tempat dan suasana memang ada bahasa yang tepat untuk diutarakan. Khalil bin Ahmad berkata, “Manusia dalam penjara (terkekang) apabila tidak saling bercanda.”
Pada suatu hari, al-Imam asy-Sya’bi rahimahullah bercanda, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak seperti ini, kita akan mati karena bersedih.” (al-Adab asy-Syar’iyah, 2/214)
Namun, jika sendau gurau ini tidak dikemas dengan baik dan menabrak norma-norma agama, bisa jadi akan memunculkan bibit permusuhan, sakit hati, dan trauma berkepanjangan. Pada dasarnya, bercanda hukumnya boleh, asalkan tidak keluar dari batasanbatasan syariat.
Sebab, Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak diperlukan oleh manusia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bergaullah kamu dengan manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih al-Bukhari, Kitabul Adab)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Bercanda
Manakala kita membuka kembali lembaran sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan mendapati bahwa beliau adalah sosok yang bijak dan ramah dalam pergaulan. Beliau bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mendudukkan orang sesuai kedudukannya. Beliau berbaur dengan sahabat dan bercanda dengan mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bergaul (dekat) dengan kita. Sampai-sampai beliau mengatakan kepada adikku yang masih kecil, ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh an-Nughair?’.” (Shahih al-Bukhari no. 6129)
An-Nughair adalah burung kecil sebangsa burung pipit. Alkisah, Abu Umair ini dahulu bermain-main dengan burung kecil miliknya. Pada suatu hari burung itu mati dan bersedihlah dia karenanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui hal itu mencandainya agar tenteram hatinya dan hilang kesedihannya. Maha benar Allah Subhanahu wata’ala ketika berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dekat dengan para sahabatnya sehingga tahu persis kebutuhan dan problem yang mereka hadapi, kemudian beliau membantu mencarikan jalan keluarnya. Masih kaitannya dengan senda gurau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada beberapa riwayat yang diabadikan oleh ulama hadits, di antaranya:
1. Dari Anas bin Malik, ia berkata,
“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Aku akan memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al- Misykat no. 4886)
Orang ini menyangka bahwa yang namanya anak unta mesti kecil, padahal kalau sedikit berpikir, dia tidak akan menyangka seperti itu, karena unta yang dewasa juga anak dari seekor unta. Dalam hadits ini, di samping mencandai orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi bimbingan kepadanya dan yang lainnya agar orang yang mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih dahulu dan tidak langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam maksudnya. (Tuhfatul Ahwadzi 6/128)
2. Dahulu, ada seorang sahabat bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu. Dia biasa membawa barang-barang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari badui (pedalaman) karena dia seorang badui. Apabila Zahir ingin pulang ke kampungnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan Zahir di tempat tinggalnya. Zahir ini jelek mukanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyenanginya. Pada suatu hari ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjual barang dagangannya. Diam-diam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekapnya dari belakang. Zahir berkata, “Siapa ini? Lepaskan saya!” Zahir lalu menoleh, ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Zahir pun menempelkan punggungnya pada dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau begitu, niscaya engkau akan mendapatiku sebagai barang (budak) yang tidak laku dijual (karena jeleknya wajah).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala bukan orang yang tidak laku dijual.” —atau beliau bersabda— ”Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu mahal.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 3/161 dan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah)
Di sini, di samping bercanda dengan ucapan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bercanda dengan perbuatan. Ini adalah sebagian contoh senda guraunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, perlu diketahui bahwa senda gurau beliau adalah haq, bukan kedustaan. At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, Anda mencandai kami?” Beliau bersabda,
إِنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
“Saya tidak berkata selain kebenaran.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1990)
Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa tidak pantas bagi beliau yang membawa risalah (tugas) dari Allah Subhanahu wata’ala dan mulia kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wata’ala untuk bercanda. Beliau pun mengatakan bahwa beliau memang bercanda, namun tidak mengatakan kecuali kebenaran. (lihat Syarhul Misykat karya ath-Thibi, 10/3140)
Demikian juga para sahabat. Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bercanda dengan) saling melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang serius, mereka adalah para lelaki.” (lihat Shahih al-Adabul al-Mufrad no. 201)
Kisah di atas menunjukkan bolehnya bercanda dengan perbuatan sebagaimana ucapan. Namun, tidaklah seluruh waktu para sahabat habis untuk bersenda gurau. Mereka hanyalah melakukannya kadang-kadang. Dan tampaknya, mereka di sini tidak saling melempar buah semangka, namun hanya kulitnya. Wallahu a’lam.
Bolehnya bercanda juga tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai profesi (sebagai pelawak/komedian). Ini adalah sebuah kekeliruan. (Fathul Bari 10/527)

Bercanda Ada Batasannya
Ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan oleh seorang ketika bercanda, di antaranya:
1. Tidak bercanda dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala dan hukum syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Nabi Musa Alahissalam ketika menyuruh kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” (al- Baqarah: 67)
Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama karena hal itu adalah perbuatan orang orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)
2. Tidak berdusta dalam bergurau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya saya bercanda dan saya tidaklah mengatakan selain kebenaran.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir dari jalan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
3. Tidak menghina orang lain.
Misalnya, menjelek-jelekkan warna kulit seseorang dan cacat fisiknya.
4. Tidak bercanda di saat seseorang dituntut untuk serius.
Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi mengakibatkan kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.
5. Tidak mencandai orang yang tidak suka dengan candaan.
Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali persaudaraan.
6. Tidak tertawa terbahak-bahak.
Dahulu, tawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dengan senyuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita sering tertawa sebagaimana sabdanya,
لاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3400)
Al Imam an Nawawi rahimahullah menerangkan, “Ketahuilah, bercanda yang dilarang adalah yang mengandung bentuk melampaui batas dan dilakukan secara terus-menerus. Sebab, hal ini bisa menimbulkan tawa (yang berlebihan), kerasnya hati, melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wata’ala dan memikirkan hal-hal penting dalam agama. Bahkan, seringnya berujung pada menyakiti orang, menimbulkan kedengkian, dan menjatuhkan kewibawaan. Adapun candaan yang jauh dari ini semua, dibolehkan, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu, namun tidak terlalu sering. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan dan menenteramkan hati orang yang diajak bicara. Yang seperti ini sunnah. (Syarah ath-Thibi rahimahullah terhadap al-Misykat 10/3140)
7. Tidak mengacungkan/menodongkan senjata kepada saudaranya.
Terkadang, ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya (pisau atau senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bisa melukai, bahkan membunuhnya. Sering terjadi, seseorang bermain-main menodongkan pistolnya kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong dari peluru, namun ternyata masih ada sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Akhirnya dia pun menyesal karena ternyata masih tersisa padanya “peluru setan” yang mematikan. Namun, apa mau dikata, nyawa orang lain melayang karena kedunguannya. Ini akibat menyelisihi bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Janganlah salah seorang kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para malaikat akan melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” (HR. Muslim dan at- Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Larangan mengacungkan senjata kepada saudara ini bersifat umum, baik serius maupun bercanda. Sebab, manusia menjadi target setan untuk dijerumuskan kepada kebinasaan. Dengan sedikit saja tersulut kemarahan, seseorang bisa tega membunuh saudaranya dengan senjata itu. Adapun mengacungkan senjata kepada orang zalim yang menyerangnya dan akan membunuhnya, merampas hartanya, atau melukai kehormatannya, boleh bagi seseorang untuk menakut-nakutinya dengan senjata supaya terhindar dari kejahatannya. Apabila upaya menakut-nakuti ini berhasil, selesailah masalahnya. Namun, bila orang zalim itu tetap menyerang, ia boleh melakukan perlawanan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Barang siapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (al- Baqarah: 194)
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bercanda dengan senjata kecuali karena khawatir dari (godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah mengarahkan perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam perkara yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala. Demi menutup jalan yang berbahaya ini, kita dilarang bercanda yang bisa menimbulkan kejelekan dan menakut-nakuti muslimin atau bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Betapa banyak petaka yang kita saksikan karena candaan yang seperti ini. Misalnya, seseorang bercanda dengan berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang sedang santai atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut. Semisal ini pula adalah mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala saudaranya untuk menakut-nakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan membunyikan klakson mobil sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya sehingga berdebar-debar jantungnya dan hampir copot. Ada juga mainan ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang dilemparkan kepada orang lain yang tidak mengetahuinya. Ia sangka itu ular sungguhan sehingga terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan yang tersebut di atas dan semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma yang mendalam.” (lihat Ishlahul Mujtama’ hlm. 36—37)
8. Mengambil harta orang dengan bercanda.
Tidak dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil harta atau barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا وَإِنْ أَخَذَ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ
“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik) bermain-main maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya ia kembalikan kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Sisi dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu jelas, yaitu itu adalah bentuk pencurian. Adapun larangan mengambil barang orang lain dengan bergurau karena hal itu memang tidak ada manfaatnya, bahkan terkadang menjadi sebab timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik barang tersebut. (Aunul Ma’bud 13/346—347)
9. Tidak menakut-nakuti di jalan kaum muslimin.
Menciptakan ketenangan di tengah-tengah masyarakat adalah hal yang dituntut dari setiap individu. Tetapi, karena kebodohan dan jauhnya manusia dari bimbingan agama, masih saja didapati orang-orang yang iseng dan bergurau dengan menakut-nakuti di jalan yang biasa dilalui oleh orang. Bentuk menakut-nakutinya beragam. Ada yang modusnya dengan penampakan bentuk yang menakutkan, seperti pocongan atau suara-suara yang mengerikan, terutama di jalan-jalan yang gelap. Model bercanda seperti ini sungguh keterlaluan karena bisa menyisakan trauma yang berkepanjangan, terhalanginya seseorang dari keperluannya, bahkan terhalanginya seseorang dari masjid dan majelis-majelis kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’no. 7659)
10. Berdusta untuk menimbulkan tawa.
Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari batasan mubah (boleh) kepada keharaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta untuk membuat tawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya hasan dalam Shahih al-Jami’)
Ia celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan cela, sehingga apabila digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa mematikan hati, mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu hal ini lebih buruk. (Faidhul Qadir 6/477) Akhirnya, kita memohon kepada Allah  Subhanahu wata’ala agar diberi taufik dan bimbingan- Nya untuk selalu lurus dalam berbuat dan berkata-kata.

Sumber: Asy Syariah Edisi 089

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

Ada pertanyaan yang menanyakan tentang bercanda di antara para penuntut ilmu yang memperbanyak bercanda, apa nasehat Anda?

Jawab:

Bercanda adalah mengistirahatkan diri dari kepenatan, tidak mengapa jika dilakukan kadang-kadang. Dengannya seseorang mengistirahatkan dirinya, namun dengan syarat janganlah dia bercanda kecuali dengan ucapan yang jujur dan hendaknya dia berhati-hati dari ucapan dusta, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkadang juga bercanda dengan para Shahabat beliau. Hanya saja beliau tidak mengatakan kecuali yang benar.

Beliau pernah mengatakan,
ﻟَﺎ ﺗَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻋَﺠُﻮْﺯٌ
“Wanita yang telah tua tidak akan masuk ke syurga.” (Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 2987‏)
Ketika seorang wanita yang telah tua mendengarnya, maka dia berteriak sedih. Padahal yang beliau katakan ini adalah ucapan yang benar, karena Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti akan membangkitkan manusia dan memasukkan mereka ke dalam syurga pada usia yang sama, yaitu usia muda pada puncak kematangan. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
ﻭَﻛَﻮَﺍﻋِﺐَ ﺃَﺗْﺮَﺍﺑًﺎ
“Dan (orang-orang yang bertakwa mendapatkan) gadis-gadis remaja yang sebaya.” (QS. An-Nazi’at: 33 ‏)
Dan yang dimaksud adalah bahwa wanita tua tersebut sekarang akan mati setelah sampai pada usia tua renta yang ditetapkan atasnya, dia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan tua.

Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jujur dalam bercandanya. Beliau juga ketika ada seseorang ada yang mengatakan kepada beliau: “Bawalah saya naik di kendaraan.” Maka beliau menjawab,
ﺇِﻧِّﻲْ ﺣَﺎﻣِﻠُﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻟَﺪِ ﺍﻟﻨَّﺎﻗَﺔِ
“Sesungguhnya saya akan membawamu mengendarai anak onta.” (Lihat Tahqiq Misykaatul Mashaabih karya Al-Albany rahimahullah no. 4886‏)
Beliau mengatakan yang sebenarnya, karena yang beliau maksud adalah onta, dan inilah dia.

Adapun dusta dalam bercanda maka tidak boleh, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memotivasi untuk meninggalkan dusta sebagaimana dalam hadits yang kalian ketahui semuanya. Yaitu dalam hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu dalam kitab Sunan, Musnad, dan selainnya, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻧَﺎ ﺯَﻋِﻴْﻢُ ﺑَﻴْﺖٍ ﻓِﻲْ ﺭَﺑَﺾِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻟِﻤَﻦْ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟْﻤِﺮَﺍﺀَ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤِﻘًّﺎ ﻭَﺑِﺒَﻴْﺖٍ ﻓِﻲ ﻭَﺳَﻂِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻟِﻤَﻦْ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺎﺯِﺣًﺎ ﻭَﺑِﺒَﻴْﺖٍ ﻓِﻲْ ﺃَﻋْﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﺴُﻦَ ﺧُﻠُﻘُﻪُ
“Sesungguhnya saya menjamin sebuah rumah di tepi syurga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar, dan sebuah rumah di tengah syurga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta walaupun dia bercanda, dan sebuah rumah di syurga yang paling tinggi bagi siapa saja yang baik akhlaknya.” (Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 273)
Jadi bercanda dibutuhkan oleh seseorang kadang-kadang saja untuk mengistirahatkan pikirannya, hanya saja dia tidak boleh berdusta.

Adapun dengan banyak melakukannya maka hal itu akan mematikan hati dan menjatuhkan harga diri, menghilangkan wibawa, membuat rendah pada pandangan manusia, maksudnya mereka akan merendahkannya dengan sebab banyak bercanda. Jadi keseriusan yang akan menjadikan manusia menghormatinya. Maka hendaknya seorang hamba bercanda kadang-kadang saja, tetapi dengan hal-hal yang tidak akan menghilangkan kewibawaannya. Adapun dusta maka hal itu adalah sesuatu yang akan menjatuhkannya. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Para penuntut ilmu sepantasnya bagi mereka untuk senantiasa menjaga waktu mereka, tidak membuangnya dengan bercanda yang tidak ada manfaatnya dan memperbanyaknya. Karena sesungguhnya hal ini terkadang menyeret kepada hal-hal yang tidak terpuji akibatnya seperti yang telah kami sebutkan. Juga ada perkara lain yang lebih besar akibat buruknya, yaitu dengan kematian hati dan kelalaian dari mengingat Allah Tabaraka wa Ta’ala. Maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk tidak menyibukkan waktunya dengan hal ini semuanya atau sebagian besaranya, apalagi jika dia adalah seorang penuntut ilmu.

Sumber artikel: albaidha .net

Alih Bahasa: Abu Almass

Tentang BERJABAT TANGAN SETELAH SHALAT

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullohu

Pertanyaan:
Apa hukum berjabat tangan setelah sholat, dan apakah di sana ada perbedaan pada sholat fardhu dan sholat sunnah?

Jawaban:
Hukum asal berjabat tangan antara kaum muslimin tatkala mereka berjumpa merupakan PERKARA YANG DISYARI’ATKAN.
Dahulu Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ biasa berjabat tangan tatkala berjumpa.dengan para Shahabatnya. Dan mereka (para shahabat) juga berjabat tangan ketika saling berjumpa satu sama lain. Berkata Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu dan juga Asy Sya’bi Rahimahullohu:
"Mereka para Shahabat, apabila berjumpa mereka saling berjabat tangan, dan apabila mereka datang dari safar mereka saling mu’anaqoh (berpelukan)."
Dan telah tetap dalam Shohihain, bahwa Tholhah bin ‘Ubaidillah radhiyallohu ‘anhu, salah seorang dari 10 shahabat Nabi yang mendapat kabar gembira dengan Al Jannah, berdiri dari majlisnya Rasululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ di masjid Beliau, menuju Ka’ab bin Malik radhiyallohu ‘anhu tatkala Alloh menerima taubatnya. Maka shahabat (Tholhah) berjabat tangan dengannya, dan memberikan ucapan selamat atas diterimanya taubatnya oleh Alloh. Ini merupakan perkara yang masyhur di tengah kaum muslimin di zaman Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ dan yang setelahnya.
Telah tetap dari Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ beliau bersabda:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻳﻠﺘﻘﻴﺎﻥ ﻓﻴﺘﺼﺎﺣﻔﺎﻥ ﺇﻻ ﺗﺤﺎﺗﺖ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺫﻧﻮﺑﻬﻤﺎ ﻛﻤﺎ ﻳﺘﺤﺎﺕ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺠﺮﺓ ﻭﺭﻗﻬﺎ
“Tidaklah 2 orang muslim saling berjumpa kemudian keduanya saling berjabat tangan, kecuali akan gugur dari keduanya dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Dan disunnahkan berjabat tangan tatkala berjumpa di Masjid, atau dalam shof. Apabila belum sempat berjabat tangan sebelum sholat maka boleh berjabat tangan setelah sholat dalam rangka mengamalkan sunnah yang agung ini, yang mana padanya akan bisa menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan rasa benci dan permusuhan.
Akan tetapi belum berjabat tangan sebelum sholat fardhu, maka disyariatkan baginya untuk berjabat tangan setelah dzikir yang disyariatkan.
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian manusia dari bersegera berjabat tangan setelah sholat setelah selesai salam, maka saya TIDAK MENGETAHUI ASALNYA. Bahkan yang lebih nampak perbuatan seperti ini MAKRUH dikarenakan tidak adanya dalil atas perbuatan tersebut. Dikarenakan yang disyariatkan bagi orang yang sholat ketika itu untuk bersegera berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan, yang diamalkan oleh Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ setelah salam dari sholat fardhu.
Adapun pada sholat sunnah maka juga disyariatkan berjabat tangan setelah salam,apabila belum sempat berjabat tangan tatkala akan sholat. Namun apabila sebelumnya sudah berjabat tangan, maka ini cukup.

[Fatawa syar'iyyah fi masail 'ashriyah min fatawa ulama biladil haram hal.175]

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Tanya:
Bagaimana jika kita diajak bersalaman ketika selesai salam pada shalat jama'ah? Dia selalu mengajak salaman setiap selesai salam.

Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Muawiyah Askary hafizhahullah

Tidak apa-apa, kita terima. Dengan niat bukan karena selesai shalat, tapi dengan niat bahwa kita bertemu dia. Kita bertemu dia, kita mengucapkan atau membalas salamnya, itu apabila dia yang mendahului kita ingin bersalaman dengan kita. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab.

TIS

Tentang MEMBERI DAN MEMBALAS UCAPAN SELAMAT TAHUN BARU

Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahulloh:
“Bukan termasuk sunnah kita menjadikan ‘ied (acara rutin) dengan masuknya tahun baru hijriyah atau (menjadikan kebiasaan) saling mengucapkan selamat.”
[Adh dhiyaul lami' 702]

Al ‘Allamah Sholih Al Fauzan hafizhohulloh ditanya:
Apabila seseorang menyampaikan kepadaku “ ﻛﻞ ﻋﺎﻡ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﺨﻴﺮ ” (Sepanjang tahun engkau dalam kebaikan)
Apakah ucapan seperti ini disyari’atkan pada hari-hari ini (tahun baru hijriyah)?
Jawaban:
Tidak, ucapan selamat seperti ini tidak disyari’atkan. Maka ini tidak boleh.
[Al Ijabat Al Muhimmah - hal.230]

Al Lajnah Ad Daimah mengeluarkan fatwa (No. 20795):
“Bahwasannya tidak boleh memberikan ucapan selamat tahun baru hijriyah, dikarenakan tidak disyari’atkan untuk memperingatinya.”

###

Al ‘Allamah Ibnu Utsaimin rahimahulloh

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh, berbicara mengenai tahun baru, apa hukum mengucapkan selamat tahun baru hijriyah? Dan apa yang diwajibkan bagi kita, apabila ada orang yang mengucapkan selamat?

Jawaban:
Apabila ada seorang yang mengucapkan selamat (kepadamu) maka jawablah. Namun, engkau tidak memulai untuk memberi ucapan selamat (tahun baru). Ini yang benar dalam permasalahan ini.
Apabila seorang yang berkata kepadamu, “Kami mengucapkan selamat tahun baru,” kemudian dia (balas) mengatakan,
ﻫﻨﺄﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺨﻴﺮ ﻭﺟﻌﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﺧﻴﺮ ﻭﺑﺮﻛﺔ
“Semoga Alloh membahagiakanmu dengan kebaikan, menjadikan tahun yang penuh kebaikan dan barokah.”
Akan tetapi engkau tidak memulai memberi ucapan selamat kepada orang lain.
Aku tidak mengetahui perbuatan seperti itu datang dari salaf, bahwa mereka dahulu mengucapkan selamat tahun baru. Bahkan ketahuilah, mereka para salaf tidaklah menjadikan bulan Al Muharrom sebagai awal tahun baru, kecuali pada khilafah Umar bin Khothob radhiyallohu ‘anhu.
[Silsilah liqo syahri 44]

Dan beliau rahimahulloh juga ditanya:
Apakah boleh memberi ucapan selamat dengan masuknya tahun baru?

Jawaban:
Memberi ucapan selamat dengan masuknya tahun baru, merupakan perbuatan yang tidak ada asalnya dari perbuatan para salafus sholeh, maka janganlah engkau yang memulai untuk mengucapkan selamat. Akan tetapi, jika disana ada orang yang mengucapkan selamat (kepadamu) maka jawablah. Dikarenakan ini telah menjadi kebiasaan tengah masyarakat. Namun sekarang yang seperti ini jarang dijumpai, karena sebagian mereka sudah mengetahui (ilmu yang benar). Walillahil hamd. Dan (dulu) sebagian orang saling bertukar ucapan selamat.

Penanya:
Bagaimana bentuk ucapan selamat yang digunakan di antara manusia?

Asy Syaikh:
Yaitu mereka mengucapkan ucapan selamat dengan bertemunya tahun baru:
ﻧﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﺠﺎﻭﺯ ﻋﻨﻚ ﻣﺎ ﻣﻀﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﺍﻟﻤﺎﺿﻲ، ﺃﻥ ﻳﻌﻴﻨﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻘﺒﻞ
“Kami memohon kepada Alloh untuk memaafkanmu dari apa yang telah lewat di tahun yang lalu, dan agar Dia menolongmu di waktu yang akan datang.”
Atau do’a yang semisalnya.

Penanya:
Apakah boleh dikatakan:
ﻛﻞ ﻋﺎﻡ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﺨﻴﺮ
(Sepanjang tahun engkau dalam kebaikan)

Asy Syaikh:
TIDAK BOLEH. Tidak diucapkan pada ‘iedul adhha, tidak pula ‘iedul fitri dan tidak pula pada awal tahun baru (hijriyah).
[Liqo babil maftuh liqo. 202]

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Syaikh Bin Baz rahimahullah ditanya:
Kita sedang berada pada awal tahun baru hijriyah, sebagian orang saling bertukar ucapan salam dengan tahun baru hijriyah dengan mengucapkan, "Semoga anda dalam kebaikan pada seluruh tahun." Apa hukum syariat tentang ucapan selamat ini?

Beliau menjawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan sallam terlimpah atas hamba dan rasul-Nya, orang terbaik dari makhluk-Nya, orang kepercayaan-Nya untuk menyampaikan wahyu, nabi kita, imam kita, penghulu kita, Muhammad bin Abdillah, juga kepada keluarganya, para shahabatnya serta orang yang menempuh jalannya serta mengambil petunjuknya sampai hari pembalasan nanti. Amma ba’du:
Ucapan selamat tahun baru, kami tidak mengetahui ada asalnya dari salaf shaleh. Kami tidak mengetahui juga dalil dari as-sunnah atau dari al-Qur’an yang menunjukkan disyariatkannya. Tetapi bila ada orang mulai mengucapkan selamat dengan hal itu, tidak mengapa engkau membalas, "Demikian juga engkau."
Jika ada orang mengucapkan, "Semoga seluruh tahun anda dalam kebaikan," maka tidak apa-apa engkau membalas, "Demikian juga anda," "Kami memohon kepada Allah setiap kebaikan untuk kami dan kamu," atau yang semisalnya. Sedangkan memulai mengucapkan selamat, maka kami tidak mengetahui ada asalnya.

Sumber: binbaz .org .sa

###

Ma’aliy Syaikh Sholeh Al-Fawzan حفظه الله تعالى

Al-‘Allamah Syaikh Sholeh Al-Fawzan حفظه الله ditanya tentang (hukum) mengucapkan selamat tahun baru hijriyah, maka beliau menjawab:
لا نعرف لهذا أصلا، والتأريخ الهجري ليس المقصود منه هذا أن يجعل رأس السنة مناسبة وتحيا وتصير فيها كلام وعيد وتهاني، وإنما جعل التأريخ الهجري من أجل تمييز العقود فقط، كما فعل عمر رضي الله عنه لما توسعت الخلافة في عهده، صارت تأتيه كتب غير مؤرخة، احتاج إلى أنه يضع تأريخ تعرف به الرسائل كتابتها، استشار الصحابة، فأشاروا عليه أن يجعل الهجرة مبدأ التأريخ الهجرة، وعدلوا عن التأريخ الميلادي، مع أنه كان موجودا في وقتهم، واخذوا الهجرة وجعلوها مبدأ تأريخ المسلمين لأجل معرفة الوثائق والكتابة فقط، ليس أن تتخذ مناسبة ويتكلم فيها، هذا يتدرج إلى البدع
Kami tidak mengetahui untuk hal ini adanya dalil, dan penanggalan hijriyah bukanlah maksud darinya ini untuk dijadikan pada awal tahun adanya pesta dan ucapan selamat sehingga padanya disampaikan pesan-pesan dan hari raya serta ucapan selamat, akan tetapi dibuatnya tahun hijriyah hanyalah untuk membedakan penanggalan saja, sebagaimana yang dilakukan sahabat Umar radhiallahu ‘anhu tatkala kekhilafahan (semakin) meluas di masa beliau, maka mulailah berdatangan kepada beliau tulisan-tulisan tak ber-tanggal, sehingga beliau perlu untuk membubuhi tanggal yang dengannya dikenal surat-surat penulisannya, maka para sahabat bermusyawarah, dan mereka mengisyaratkan kepadanya untuk menjadikan hijrah Nabi ﷺ sebagai titik awal penanggalan hijriyah, dan mereka meninggalkan penanggalan masehi, kendati telah ada di masa mereka, dan mereka mengambil hijrah Nabi dan menjadikannya sebagai titik awal penanggalan kaum muslimin agar dikenal perjanjian-perjanjian dan penulisan saja, bukan untuk membuat pesta dan pesan-pesan di dalamnya, ini akan menghantarkan kepada kebid’ahan-kebid’ahan.
سؤال: إذا قال لي شخص: كل عام وأنتم بخير، فهل هذه الكلمة مشروعة في هذه الأيام؟
PERTANYAAN:
Apabila ada seseorang yang mengatakan kepadaku:
كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
“setiap tahun kalian dalam kebaikan”,
apakah kalimat ini disyariatkan di hari-hari ini?
الجواب: لا، ليست بمشروع ولا يجوز هذا
JAWABAN:
Tidak, tidak disyariatkan dan tidak boleh ini. [Selesai]

(Al-Ijabat Al-Muhimmah Fi Al-Masyakil Al-Malammah, halaman: 229)

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْهُ

WA Ahlus Sunnah Karawang | http://www.ahlussunnahkarawang.com

Hanya Sedikit Faedah