Cari Blog Ini

Kamis, 09 Oktober 2014

Tentang MELIHAT JIN DAN SETAN

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)

Mujahid dan Qatadah berkata, “(Bala tentara Iblis) adalah jin dan para setan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 7/120, Ma’alimut Tanzil 2/129)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian ulama berkata: ‘Dalam ayat ini terdapat dalil (bukti) bahwa jin itu tidak dapat dilihat’. Namun ada pula yang berpendapat mereka bisa dilihat. Karena jika Allah 'Azza wa Jalla berkehendak memperlihatkan mereka, Allah akan menyingkap (tabir yang menghalangi untuk melihat mereka) jasad-jasad mereka sehingga terlihat oleh mata. An-Nahas berpendapat dengan ayat ini bahwa jin tidak bisa terlihat mata manusia kecuali di masa kenabian sebagai bukti atas kenabian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Allah 'Azza wa Jalla menciptakan mereka dengan bentuk penciptaan yang tidak bisa terlihat. Mereka hanya bisa dilihat bila mereka berubah ke bentuk lain (bukan bentuk aslinya).” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 7/120)

Al-Imam Asy-Syafi`i menyatakan dalam Manaqib-nya, “Siapa yang mengaku melihat jin, maka kami batalkan persaksiannya (tidak menerima persaksiannya) terkecuali bila ia seorang nabi.”
Al-Hafizh mengomentari, “Ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i ini ditujukan kepada orang yang mengaku-ngaku melihat jin dalam bentuknya yang asli. Adapun kalau ada yang mengaku melihat jin setelah berubah ke berbagai bentuk hewan misalnya, maka tidaklah dianggap cacat persaksiannya. Sungguh banyak dan tersebar (mutawatir) berita-berita yang mengabarkan perubahan jin tersebut ke berbagai bentuk.” (Fathul Bari, 6/414)

Adapun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mustahil pernah melihat mereka dalam bentuk aslinya, sebagaimana beliau pernah melihat Jibril dalam wujud aslinya sebanyak dua kali. (Ruhul Ma’ani, 5/140)

Ulama ada yang mengatakan bahwa melihat setan dalam bentuk aslinya sebagaimana diciptakan merupakan kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun kalangan manusia selain beliau tidak dapat melihat setan dalam wujud aslinya, dengan dalil firman Allah: “Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27) (Fathul Bari, 1/718)

Namun ada pula yang berpendapat, bisa saja selain Nabi melihat setan bila Allah berkehendak untuk menampakkannya dalam wujud aslinya seperti kepada hamba-hamba-Nya yang diberi karamah [1], karena ayat bisa dipahami dengan dua makna:
Pertama: Dari sisi bahwa kalian tidak dapat melihat jasad-jasad mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak dapat melihat mereka.
Kedua: Dari sisi bahwa kalian tidak mengetahui makar dan fitnah mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak mengetahui/menyadari makar dan fitnah mereka. (Ruhul Ma’ani 5/141, An-Nukat wal ‘Uyun/Tafsir Al-Mawardi 2/216)

Al-Imam An-Nawawi berkata, “Jin itu ada, dan terkadang sebagian manusia dapat melihat mereka. Adapun firman Allah 'Azza wa Jalla: “Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Maka pemahamannya dibawa pada keumuman (yakni umumnya manusia memang tidak dapat melihat jin/setan), karena bila melihat mereka (jin/setan) itu suatu hal yang mustahil, niscaya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan mengatakan apa yang beliau katakan bahwa beliau melihat setan tersebut dan bahwa beliau berkeinginan untuk mengikat setan itu agar dapat disaksikan para shahabat beliau seluruhnya dan bisa dipermainkan anak-anak kecil di Madinah. [2]
Sementara Al-Qadhi berkata, "Dikatakan bahwa melihat jin dalam bentuk aslinya itu tidaklah mungkin berdasarkan zhahir ayat, kecuali para Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada mereka semuanya– dan juga orang yang diberi kemampuan di luar kebiasaan. Manusia hanya bisa melihat jin dalam bentuk yang bukan aslinya (bentuk penyamaran) sebagaimana keterangan yang disebutkan dalam atsar [3]."
Namun aku (Al-Imam An-Nawawi) katakan: Ini hanyalah sekedar dakwaan semata, dikarenakan bila dalil yang menjadi sandarannya tidak shahih maka dakwaan ini tertolak. Al-Imam Abu Abdillah Al-Mazari berkata, "Jin itu adalah jasad-jasad yang halus. Maka dimungkinkan ia berwujud dengan satu bentuk yang bisa diikat, kemudian ia tertahan untuk kembali ke bentuk aslinya hingga ia bisa dipermainkan, dan sesungguhnya hal-hal keluarbiasaan memungkinkan yang selain itu.”
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 5/32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Yang ada dalam Al-Qur`an, para jin itu melihat manusia sementara manusia tidak melihat mereka. Inilah yang benar, di mana mereka dapat melihat manusia dalam keadaan manusia ketika itu tidak melihat mereka. Namun ini tidaklah menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan manusia yang dapat melihat mereka, bahkan sebaliknya terkadang mereka terlihat oleh orang-orang shalih bahkan juga oleh orang yang tidak shalih, akan tetapi manusia tidak dapat melihat mereka dalam seluruh keadaan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 8/8)

Footnote:

[1] Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan, yang Allah 'Azza wa Jalla jalankan lewat tangan salah seorang wali-Nya dalam rangka membantunya pada perkara agama atau dunia, namun tidak disertai dengan nubuwwah (kenabian) bagi wali tersebut. Karena bila disertai dengan nubuwwah berarti mu’jizat bukan karamah. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang tertidur di gua selama ratusan tahun sementara tubuh mereka tetap terjaga, tidak rusak binasa. Seperti pula kisah Maryam, ibu Nabi ‘Isa 'alaihis salam, yang mendapatkan rizki dari Allah 'Azza wa Jalla berupa buah-buahan sementara ia beribadah dalam mihrabnya sehingga membuat heran Nabi Zakaria 'alaihis salam dengan pernyataannya: "Dari mana engkau mendapatkan buah-buahan ini." (Ali ‘Imran: 37) (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Muhammad Khalil Harras, hal. 253)

[2] Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Ifrit dari bangsa jin semalam mendatangiku dengan tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi mengucapkan kalimat yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah menjadikan aku dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak pantas didapatkan oleh seorang pun setelahku.”
Rauh (perawi hadits ini) berkata, “Nabi pun mengusirnya dengan hina.”
(HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 dari Abu Hurairah)
Al-Khaththabi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan pengikut Nabi Sulaiman dapat melihat jin-jin dalam bentuk dan penampilan mereka ketika jin-jin ini beraktivitas. Adapun tentang firman Allah: “Dia (iblis) dan bala.tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Maka, kata beliau, yang dimaukan adalah mayoritas atau dominannya keadaan anak Adam (manusia), mereka tidak dapat melihat jin.
Abu Ad-Darda` radhiallahu 'anhu pernah pula mengabarkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk mengerjakan shalat. Kami mendengar beliau berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Kemudian berkata tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah.” Beliau membentangkan tangannya seakan-akan menangkap sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tadi mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam shalat yang sebelumnya kami belum pernah mendengar engkau mengucapkannya dan kami melihatmu membentangkan tanganmu.” Beliau menjawab keheranan para sahabatnya dengan menyatakan, “Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang dengan bola api yang hendak dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau dapatkan”, tiga kali. Lalu aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudara kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan terikat hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.” (HR. Muslim no. 1211)

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebuah atsar dari ‘Umar radhiallahu 'anhu yang dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (6/414):
Sesungguhnya Ghilan (setan yang menjelma sehingga terlihat oleh manusia) disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata, “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”

###

asy-Syaikh al-Walid al-Allaamah Robi’ bin Hadi bin Umair al-Madkhaly hafizhahullah

Pertanyaan:
Firman Allah:
ﺇﻧّﻪ ﻳﺮﺍﻛﻢ ﻫﻮ ﻭﻗﺒﻴﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺮﻭﻧﻬﻢ
“Sesungguhnya Syaiton dan bala tentaranya itu bisa melihat kalian, dari tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf 26)
Apakah berarti manusia tidak bisa melihat syaitan secara mutlak, atau apakah memungkinkan bagi sebagian orang untuk bisa melihat syaitan pada sebagian keadaan?

Jawabannya:
Ya, ini terjadi. Yakni seperti dalam hadits, kisah Abu Hurairah bersama syaitan dan Rasulullah melihat syaitan ketika beliau shalat.
Dan saya -demi Allah- pernah melihatnya sendiri, saya pernah melihat syaitan-syaitan.
Saya pernah melihat kuda yang tidak ada bandingnya sepanjang hidup saya. Saya melihatnya bersama saudaraku di malam hari.
Kami sedang safar, kami melihat kuda aneh ini, ajaib, di tempat yang tidak ada padang rumput, tidak ada manusia seorang pun. Saya memahami kalau itu adalah syaitan dan saudaraku juga memahami kalau itu syaitan. Dia tidak bermaksud menakut-nakuti saya, dan saya juga tidak menakut-nakuti dia. Maka ketika kami menjauh darinya, saya tidak ingat apakah dia yang bertanya padaku atau saya yang bertanya padanya, “Apakah kamu tahu kuda itu?” Saya mengira dia yang mengatakan, “Ini adalah syaitan.”
Dan saya melihat, ketika saya sedang mengendarai mobil antara maghrib-isya, melihat seorang telanjang, kepalanya tidak ada rambutnya, bukan karena dicukur, bentuknya aneh. Di depannya ada dua anak kecil, keduanya memiliki kepala yang besar tidak ada rambutnya, keduanya kurus, betis keduanya kecil sekali. Rupa keduanya aneh sekali. Maka saya pernah melihatnya dengan seorang bersamaku, dan dia tahu kalau mereka adalah para syaitan, saya juga demikian. Maka ketika kami berjalan, saya berkata, “Apa ini?” Dia menjawab, “Syaitan.” Saya katakan, “Ya dia itu (syaitan).”
Maka, banyak manusia telah melihat syaitan dan kebanyakannya para syaitan itu tidak nampak.
Akan tetapi, di sana sekarang ini ada orang-orang yang mengambil pemikiran Muhammad Abduh (murid Al-Afghani) dalam pengingkaran terhadap sihir, sungguh menyedihkan, dan pengingkaran melihat jin. Pemikiran ini asalnya adalah dari kaum Mu’tazilah pemuja akal, yang mereka berhukum dengan akal-akal mereka dalam urusan agama dan kehidupan.
Sungguh menyedihkan. Maka tidak mustahil kadang syaitan bisa dilihat. Dan saya tandaskan pada kalian, kalau saya melihat sendiri hal ini.

Penanya berkata:
“Dan juga mereka mengingkari kalau syaitan itu bisa merasuki jasad manusia.”

Asy-Syaikh:
“Ini sesuatu yang bisa dirasa, dan sudah diketahui banyak orang sejak zaman dulu hingga zaman sekarang.
Allah berfirman:
ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺨﺒﻄﻪ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺲّ
“Seperti orang yang kerasukan syaitan karena gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Allah berfirman:
ﻗﻞ ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺮﺏّ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻠﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﺇﻟﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻣﻦ ﺷﺮّ ﺍﻟﻮﺳﻮﺍﺱ ﺍﻟﺨﻨّﺎﺱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻮﺳﻮﺱ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ
“Katakanlah (wahai Muhammad), Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja Manusia, Sesembahan Manusia, dari kejelekan syaitan yang menyelinap, yang membisik-bisikan ke dalam dada manusia. (QS. An-Naas: 1-5)
Apa yang menjadikannya membisik-bisik dalam dadamu? Bukankah karena dia menguasai dirimu dan masuk ke dalam jasadmu?!
Sesungguhnya syaitan bisa masuk dalam jasad anak Adam seperti mengalirnya darah. Maka mereka semua itu menolak ayat-ayat ini dan hadits-hadits ini dan mereka berhukum dengan akal-akal mereka.
Setiap kaidah itu ada pengecualiannya, dan setiap yang umum pasti ada pengkhususnya.
Allah berfirman:
ﺗﺪﻣِّﺮ ﻛﻞّ ﺷﻲﺀ ﺑﺈﺫﻥ ﺭﺑِّﻬﺎ
“Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan ijin Rabbnya.” (QS. Al-Ahqaaf: 25)
Allah berfirman:
ﻓﺄﺻﺒﺤﻮﺍ ﻻ ﻳُﺮﻯ ﺇﻻّ ﻣﺴﺎﻛﻨﻬﻢ
“Maka jadilah mereka tidak terlihat lagi kecuali tempat-tempat tinggal mereka.” (QS. Al-Ahqaaf: 25)
Tempat-tempat tinggal mereka tidak ikut dihancurkan. Kalau Allah mau, niscaya akan dihancurkan pula rumah-rumah mereka dan dihancurkan pula segala sesuatu. Allah memberikan kepada angin tersebut kekuatan yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apalagi cuma rumah. Akan tetapi Allah menghendaki untuk membinasakan orang-orang jahat tersebut saja, sementara rumah-rumahnya selamat.
Demikian juga ketika Allah berfirman:
ﺇﻧّﻪ ﻳﺮﺍﻛﻢ ﻫﻮ ﻭﻗﺒﻴﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺮﻭﻧﻬﻢ
“Sesungguhnya Syaitan dan bala tentaranya itu bisa melihat kalian, dari tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 26)
(Ayat ini juga ada pengecualiannya), yakni hadits yang menjelaskan kalau sebagian syaitan itu kadang bisa dilihat. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah melihatnya, Rasulullah pernah melihatnya, dan disebutkan kisah-kisah yang banyak sekali tentang melihat syaitan.
Mereka bisa berubah wujud menjadi rupa manusia, atau rupa hewan, atau rupa ular. Salah seorang sahabat dahulu menjadi pengantin, dia pergi bersama Rasulullah mengikuti perang Ahzab kemudian dia minta ijin di siang hari lalu mengunjungi istrinya. Maka dia datang (ke rumahnya) pada suatu hari, maka dia mendapati istrinya berdiri di muka pintu. Maka dia terdorong rasa cemburu hingga dia hendak menombak istrinya. Istrinya berkata, “Tenanglah kamu, masuklah ke rumahmu, lihatlah apa yang ada di tempat tidurmu!" Maka dia masuk dan mendapati seekor ular. Maka dia menyerang ular tersebut dengan tombaknya, dan maka tidak diketahui, apakah ular itu yang mati dahulu ataukah orang tersebut mati dahulu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang hal ini, beliau bersabda, “Bukankah saya telah melarang kalian?” Beliau menjelaskan kalau di Madinah itu ada jin, yang ini bisa merubah bentuknya dalam wujud ular, ada yang berubah dalam wujud anjing, dalam wujud manusia, berubah-ubah bentuk. Allah memberi kemampuan pada mereka untuk itu, bisa berubah bentuk rupa apa saja. Sebagian berubah bentuk untuk menipu kaum sufi atau kaum yang suka khurofat, yakni ketika beristighotsah kepada (syekh) Fulan. Maka syaitan menampakkan diri dalam wujud syeikh tersebut, sambil memakai sorban dan pakaian yang bagus, lalu memberikan apa yang diminta. Padahal itu adalah syaitan.

Sumber:
Fatwa fil Aqidah wal Manhaj, halaqoh pertama.

(Disadur via Group WA Qanaat al-Imaamain)

Alih Bahasa: Ustadz Abu Hafsh Umar al Atsary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar