Cari Blog Ini

Jumat, 28 Agustus 2015

Tentang KOPI LUWAK

PERTANYAAN:
Bismillah.. Afwan ustadz izin bertanya. Apa hukum mengkonsumsi kopi luwak? Jazaakumullahu khair.

JAWABAN:
[Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman]
Mengkonsumsi kopi luwak, insyaAllah tidak mengapa berdasarkan kaidah Ulama Syafiiyyah, bahwa sesuatu yang tertelan oleh binatang kemudian dikeluarkan lagi dalam keadaan utuh, bisa dikonsumsi jika sudah dibersihkan/dicuci.
Wallaahu A'lam.

WA Al Istifadah
WALIS

Tentang MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI SEBELUM BERANGKAT SALAT JUMAT

Dari Aus bin Aus Radliallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan memandikan istri (menyebabkan istri mandi karena menyetubuhinya), lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR.Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits penyebutan mandi adalah “ghosal” bermakna mencuci kepala, sedangkan “ightasal” berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan didalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi 3:3.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim didalam Kitab Zaadul Ma’ad,
قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع
Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian pula yg ditafsirkan oleh Waki’.

Dan tafsiran di atas disebutkan pula didalam Tuhfatul Ahwadzi 3:3. Dan sdh tentu jima’ menjadikan seseorang wajib untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud jima’ disini adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama, dan mereka (para ulama) tidak memahaminya pada malam Jum’at.
وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة
Imam As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik, menguatkan hadits tersebut dan berkata: “Apakah kalian lemas (karena) menyetubuhi istri kalian pada setiap Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen).
Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala:
(1) pahala mandi Jum’at,
(2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi)”.

Hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan tentunya sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Silahkan periksa Al Majmu’, 1: 326)

Intinya, bersetubuh pada malam Jum’at adalah pemahaman keliru yang tersebar di masyarakat. Yang tepat dan yang dianjurkan, adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, dan bukan di malam hari.

Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka.

Semoga kita selalu mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala dan Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

Sumber:
Pesan ini disebarluaskan oleh BB Da’wah Ahlussunnah

Turut mempublikasikan :
WA Tim Medis Salafy

Hanya Sedikit Faedah

###

PERTANYAAN
Afwan Ustadzah ana mau tanya, ada yang mengatakan terdapat keutamaan jika kita jima' di malam Jumat, apakah benar yang demikian.
Jazakumullah khayran atas jawaban Ustadzah.

JAWABAN
Na'am benar, ada keutamaan jima di hari jum'at (bukan di malam jum'at).
Berdalilkan hadits riwayat An-Nasaa'i, dalam Sunan An-Nasaa'i (3/105) ll pada bab keutamaan mandi hari Jum'at:
عن أوس بن أوس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من غسل واغتسل وغدا وابتكر ودنا من الإمام ولم يلغ، كان له بكل خطوة عمل سنة سيامها وقيامها
"Dari Aus bin Aus dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa jima lalu mandi dan segera (ke masjid), lalu mendekat pada imam dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya pada setiap langkahnya sama seperti puasa dan qiyamul lail selama setahun."
Makna "ghassala" (dengan tasydid) yaitu menjima'i istrinya.
Sedangkan makna "ightasala" (tanpa tasydid) yakni mandi.
Barakallahu fiyk.

Jum'at, 6 Dzulqa'dah 1436 H / 21 Agustus 2015

Dijawab oleh Al - Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah

Tentang BERSUNGGUH-SUNGGUH BERZIKIR DAN BERDOA DI WAKTU ASAR PADA HARI JUMAT

Thowus bin Kaisan rohimahullohu ta'ala, ketika beliau (telah selesai) sholat 'ashr di hari jumat, beliau menghadap kiblat (fokus berdzikir atau berdoa) dan tidak berbicara kepada seorangpun sampai terbenamnya matahari.
(Tarikh Wasith)

Demikian pula yang datang dari Sa'id bin Jubair rohimahullohu ta'ala, ketika beliau (telah selesai) sholat 'ashr di hari jumat, beliau tidak berbicara kepada seorangpun sampai terbenamnya matahari.

Al-Mufadhdhol bin Fadholah rohimahullohu ta'ala, ketika (telah selesai) sholat 'ashr di hari jum'at, beliau menyendiri di pojok masjid dan senantiasa berdoa sampai terbenamnya matahari.
(Akhbaar al-Qudhot)

Sumber: Bithaqah Miratsul Anbiya' (www.miraath.net)

Alih Bahasa: Abu 'Abdillah MCN حفظه اللّٰه

WA Riyadhul Jannah As-Salafy

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Bagaimana pendapat yang rajih mengenai waktu mustajabah pada hari jum’at, disertai dengan dalilnya?

Jawaban:
Pendapat yang paling rajih, bahwa waktu tersebut dimulai tatkala imam keluar sampai selesainya shalat jum’at. Yaitu tatkala imam datang (masuk ke masjid) dan naik ke mimbar, dimulai dari waktu itu sampai selesainya shalat jum’at.
Dikarenakan (pendapat ini -pent) sebagaimana yang telah tetap dalam shahih Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, dan ini juga lebih mencocoki untuk dikabulkannya do’a.
Dikarenakan manusia ketika itu berkumpul untuk melaksanakan sebuah kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah, dan dikabulkannya do’a manusia yang banyak lebih memungkinkan untuk dikabulkan dibanding tatkala mereka sendiri.
Kemudian waktu yang lainnya yang lebih dekat untuk dikabulkan do’a seseorang adalah setelah shalat Ashr, dikarenakan telah datang penyebutannya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara khusus dari setelah shalat Ashr.
AKAN TETAPI PENDAPAT YANG PERTAMA LEBIH KUAT.
Maka seyogianya bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam berdo’a pada waktu ditegakannya shalat jum’at, begitu juga setelah shalat Ashr (dalam rangka) menjamak antara dua pendapat yang ada.

Sumber artikel: Silsilah Liqa’at babil Maftuh -Shalat Jumu’ah (Liqa’ 87)

Arsip WSI || http://forumsalafy.net/waktu-mustajab-pada-hari-jumat/

Tentang TEBUSAN KARENA MELANGGAR SUMPAH

Tanya:
Apa kaffarahnya bila seseorang melanggar sumpahnya? Dan apakah dibolehkan mengganti kaffarah tersebut dengan uang?

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` menjawab:

Kaffarah sumpah diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kaffarah bila sumpah tersebut dilanggar adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka sebagai kaffarahnya ia harus puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah dan ternyata melanggarnya.” (Al-Ma`idah: 89)
Memberi makan yang disebutkan dalam ayat sebagai kaffarah sumpah dilakukan dengan cara memberikan kepada setiap orang miskin setengah sha’ dari bahan makanan yang biasa dimakan di negeri tersebut, baik berupa kurma kering ataupun selainnya. Atau ia memberikan makan siang atau makan malam sesuai dengan hidangan yang biasa ia berikan kepada keluarganya. Adapun pakaian, maka masing-masing orang miskin diberi sebuah pakaian yang mencukupinya untuk dipakai shalat, seperti gamis (baju panjang/jubah), atau sarung dan pakaian atas bila memang mereka terbiasa memakai pakaian tersebut.
Dalam kaffarah sumpah ini tidaklah mencukupi kalau menggantinya dengan uang (yang senilai dengan makanan atau pakaian).” (Fatwa no. 2307 dan 16827, dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`, 23/5-6)

Sumber : Asy Syariah Edisi 035