Cari Blog Ini

Kamis, 25 Desember 2014

Tentang BERLOMBA-LOMBA MERAIH DUNIA

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu `anhu ke Bahrain, kemudian dia pulang membawa jizyah penduduk negeri itu. Orang-orang Anshar pun mendengar kedatangan Abu ‘Ubaidah, lalu mereka menyengaja shalat subuh bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Seusai shalat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berpaling. Para sahabat Anshar menampakkan diri kepada beliau. Begitu melihat mereka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum, lalu berkata,
“Saya kira kalian sudah mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain?”
“Betul, wahai Rasulullah,” jawab mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
ﺃَﺑْﺸِﺮُﻭﺍ ﻭَﺃَﻣِّﻠُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻳَﺴُﺮُّﻛُﻢْ، ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮَ ﺃَﺧْﺸَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ، ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻲ ﺃَﺧْﺸَﻰ ﺃﻥْ ﺗُﺒْﺴَﻂَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﺑُﺴِﻄَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻓَﺘَﻨَﺎﻓَﺴُﻮﻫَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻨَﺎﻓَﺴُﻮﻫَﺎ، ﻓَﺘُﻬْﻠِﻜَﻜُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻜَﺘْﻬُﻢ
“Gembiralah, dan bayangkanlah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, melainkan aku khawatir dunia dibentangkan kepada kalian, sebagaimana dibentangkan terhadap orang-orang yang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba meraihnya. Kemudian dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan mereka.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓُ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻏِﻨَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺟَﻤَﻊَ ﻟَﻪُ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ﻭَﺃَﺗَﺘْﻪُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﺭَﺍﻏِﻤَﺔٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻘْﺮَﻩُ ﺑَﻴْﻦَ ﻋَﻴْﻨَﻴْﻪِ ﻭَﻓَﺮَّﻕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺗِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﻗُﺪِّﺭَ ﻟَﻪُ
“Siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah Subhanahu wa ta’ala pasti meletakkan rasa kaya (cukup) di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya padahal dia (dunia itu) tidak menyukainya. Sebaliknya, siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah pasti meletakkan kemiskinan di depan matanya, dan mencerai-beraikan urusannya, sementara itu dunia tidak mendatanginya selain apa yang sudah ditentukan baginya.”

Benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺎﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻭَﺍﺩِﻳَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻝٍ ﻟَﺎﺑْﺘَﻐَﻰ ﺛَﺎﻟِﺜًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺟَﻮْﻑَ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﺘُّﺮَﺍﺏُ ﻭَﻳَﺘُﻮﺏُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺗَﺎﺏ
“Seandainya anak Adam itu memiliki harta sebanyak dua lembah, niscaya dia pasti mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memenuhi mulut anak Adam itu selain tanah, dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. Muslim)

Al-Kirmani mengatakan: “Seolah-olah makna sabda beliau adalah dia tidak akan puas dari dunia sampai dia mati.” (Fathul Bari 18/250)

Al-Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat celaan bagi orang yang rakus terhadap dunia, menumpuk-numpuknya, serta mencintainya. Makna ‘Tidak akan memenuhi tenggorokan anak Adam melainkan tanah’ yaitu terus-menerus sikap rakus terhadap dunia menyertainya sampai dia mati dan tanah kuburan menyumbat mulutnya. Hadits ini juga bercerita tentang mayoritas bani Adam dalam hal kerakusan terhadap dunia.” (Syarah Shahih Muslim 4/2)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻟِﻜُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻭَﻓِﺘْﻨَﺔُ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝُ
“Bagi setiap umat ada fitnah (ujian/cobaan)nya dan fitnah umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2337, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1905 dan dalam ash-Shahihah no. 594)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺫِﺋْﺒَﺎﻥِ ﺟَﺎﺋِﻌَﺎﻥِ ﺃُﺭْﺳِﻼَ ﻓِﻲ ﻏَﻨَﻢٍ ﺑِﺄَﻓْﺴَﺪَ ﻟَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺣِﺮْﺹِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟﺸَّﺮَﻑِ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas pada sekelompok kambing akan lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2377, al-Imam Ahmad, 3/406, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/280 hadits no. 1935 dan dalam ar-Raudhatun Nadzir, 5-7. Juga disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/42)

Artinya bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan sangat besar kerusakannya bagi agamanya, yang diserupakan bagaikan binatang yang tidak berdaya dan lemah yang berada dalam terkaman dua serigala. (Tuhfatul Ahwadzi 6/162)

Aun bin 'Abdillah rahimahullah berkata:
Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (para sahabat) menjadikan untuk dunia dari sisa Akherat mereka, sedangkan kalian menjadikan untuk Akherat kalian dari sisa dunia kalian. (Shifatus Shafwah, 3/71)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
Mengherankan, sudah tahu bahwa kematian menantinya dan kuburan sebagai tempat kembalinya, bagaimana bisa masih senang dengan dunia dan merasa enak hidup di dalamnya? (Shifatus Shofwah, 3/198)

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:
Barang siapa yang cinta terhadap dunia dan dibahagiakan olehnya, maka hilanglah dari hatinya rasa takut dia terhadap Akherat. (Mausuah Ibnu Abid Dunya, 5/90)

Yahya bin Muadz rahimahullah berkata:
Wahai anak manusia, agamamu akan senantiasa tercerai-berai selama hatimu cinta terhadap dunia. (Shifatus Shofwah, 4/342)

Yahya bin Muadz rahimahullah juga berkata:
Dunia adalah araknya setan. Barangsiapa mabuk dunia maka dia tidak akan sadar kecuali jika sudah berada dalam detik-detik kematian penuh dengan penyesalan bersama orang-orang yang menyesal. (Shifatus Shofwah: 4/341)

###

Ambisi dunia dan kedudukan adalah sebab yang sangat besar seseorang keluar dari jalan istiqamah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menggambarkan betapa bahayanya ketika seorang manusia memiliki ambisi yang sangat besar pada dunia dan kedudukan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam kawanan kambing lebih merusak terhadapnya daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya. (Shohih HR. Ahmad, at Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu hibban)

Mencari pendapatan atau pekerjaan adalah hal yang diperbolehkan dalam islam. Namun bila dilandasi oleh ambisi yang berlebihan, keadaannya berubah menjadi tercela. Banyak orang dibuat lupa daratan, hingga menghalalkan segala cara demi tercapainya ambisi dunia atau kedudukan. Orang-orang yang tenggelam dalam kesibukan mengejar dunia, bila diingatkan biasanya akan berdalih bahwa apa yang dilakukan adalah perkara yang mubah atau boleh-boleh saja. Apa yang dicari adalah sesuatu yang halal dan tidak dilarang dalam islam. Memang benar demikian. Namun bila aktivitas mengejar dunia mulai disusupi ambisi, sedikit demi sedikit akan berubah keadaan agama seseorang. Tanpa disadari, sedikit demi sedikit ia akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh agama. Hingga tanpa terasa ia telah keluar dari jalan yang lurus demikian jauh, namun merasa tetap di atas kebenaran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tiap-tiap ummat memiliki fitnah, dan fitnah yang menimpa ummatku adalah harta. (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga telah mengingatkan ummatnya betapa bahayanya fitnah harta bagi agama seseorang. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, dari Amr bin Auf al-Anshori rodhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarroh rodiyallahu anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil jizyah (upeti) dan para shahabat al-anshor mengetahui hal ini. Usai shalat subuh bersama Rasulullah, para shahabat saling menjulurkan lehernya agar terlihat oleh Rasulullah (para shahabat berharap agar dirinya diketahui kehadirannya oleh Rasulullah dan nantinya mendapat bagian dari harta tersebut). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tersenyum dan berkata: Apakah telah sampai kepada kalian kabar tentang kedatangan Abu Ubaidah ibnu Jarroh yang membawa harta sangat banyak? Para shahabat menjawab: Betul, wahai Rasulullah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Silahkan kalian bergembira dan berangan-angan dengan sesuatu yang membahagiakan. Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan terjadi pada kalian. Namun yang aku khawatirkan adalah dilimpahkannya dunia kepada kalian, sebagaimana dunia telah dilimpahkan kepada ummat-ummat sebelum kalian. Sehingga kalian akan saling bersaing dalam memperebutkan dunia sebagaimana ummat-ummat sebelum kalian telah saling bersaing, dan akhirnya dunia akan membinasakan kalian sebagaimana membinasakan ummat-ummat sebelum kalian. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa fitnah dunia adalah fitnah yang sangat besar. Saking dahsyatnya fitnah ini, banyak manusia yang mau menjual agamanya demi sesuatu yang sangat sedikit dari dunia. Kita tentu pernah mendengar kasus-kasus kristenisasi, yaitu adanya sebagian dari kaum muslimin yang mau menjual agamanya demi mendapatkan sebuah paket sembako, demi mendapat pengobatan gratis, atau yang lainnya yang dinilai sangat kecil dibanding dengan agamanya. Disebabkan kejahilan dan ambisi terhadap dunia, mereka rela menggadaikan agamanya.
Pada tingkat yang lebih tinggi, tak sedikit orang yang telah paham tentang agamanya juga rela menjual prinsip-prinsip agamanya demi harta atau kedudukan. Mereka menututup mata terhadap berbagai kesalahan dan penyimpangan yang ada pada pihak yang memberi harta, demi lancarnya bantuan yang ingin didapatkan. Ketika harta atau kedudukan sudah berhasil didapatkan dan sudah dirasakan kelezatannya, maka perlahan tapi pasti agamanya pun akan berubah. Prinsip-prinsip yang dipegangi satu per satu ditinggalkan, hingga tak tersisa satu pun. Keadannya kini tak ubahnya sama dengan lembaga atau yayasan hizbiyyah yang memberi harta atau jabatan kebadanya. Orang menyimpang dari jalan ahlussunnah kemudian pengikut hizbiyyah disebabkan dunia yang ingin diraihnya, bukan hal yang aneh lagi bagi kita. Teramat banyak hal ini terjadi disekitar kita. Bahkan mungkin terjadi pada orang-orang yang dekat dengan kita, entah itu saudara, teman, bahkan ustadz kita! Kita mohon keselamatan dan perlindungan kepada Allah dari yang demikian. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Bersegerahlah melakukan amalan sholih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia. (HR. Muslim no. 118)

Fitnah dunia bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya yang jauh dari agama, bahkan orang yang dianggap berilmu seperti dai atau ustadz bahkan ulama. Allah subhanahu wa taala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
(QS: Al-Araf Ayat: 176)
Imam Ibnul Qayyim berkata yang dimaksud dengan akhlada ilal ardhi (adalah) perasaan sangat cinta terhadap dunia.
Para ulama menjelaskan bahwa di antara faedah dari ayat ini adalah penjelasan tentang tahapan orang yang menyimpang, yaitu dimulai dari munculnya rasa cinta pada dunia yang menggebu-gebu dan kemudian diikuti hawa. Ketika seorang yang berilmu telah dirasuki syahwat atau ambisi pada dunia, maka ia akan mencari-cari syubhat untuk melandasi perbuatannya. Berbagai argumen dimunculkan, meskipun menyelisihi al-haq.
Allah menggambarkan orang seperti ini bagaikan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Ia akan bersikap demikian hingga ambisinya tercapai. Diberi atau tidak, ia akan tetap menjalankan berbagai usahanya untuk meraih ambisi-ambisinya. Bahkan terkadang ia menantang orang yang memberikan nasihat kepadanya. Demikianlah keadaan orang yang telah dibutakan oleh dunia.

Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata: Semua orang berilmu namun lebih mementingkan dunia, maka pasti ia akan berbicara atas nama Allah taala tanpa landasan al-haq. Hal ini karena semua hukum-hukum Allah taala selalu menyelisihi kepentingan kebanyakan manusia.

Sumber: Majalah al Fawaid Edisi 09

ummuyusuf .com

Tentang MENGUTAMAKAN ATAU MENDAHULUKAN ORANG LAIN DI ATAS DIRI SENDIRI

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang kalian tidak (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan mengatakan, Sungguh saya ditimpa kesulitan hidup. Maka Rasulullah menuju istri-istrinya, namun beliau tidak mendapatkan dari mereka sesuatu apapun (yang bisa diberikan kepadanya). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan, Siapa yang mau menjamu orang ini pada malam ini? Berkata seorang Anshar, Saya, wahai Rasulullah. Orang Anshar tersebut datang kepada istrinya lalu mengatakan, (Ini adalah) tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu (yang harus disuguhkan kepadanya). Istrinya mengatakan, Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak-anak. Suaminya berkata, Bila anak-anak ingin makan maka tidurkanlah mereka, dan kemarilah kamu (membawa hidangan) lalu matikan lampu. (Tidak mengapa) malam ini kita lapar. Istrinya menjalankan perintah suaminya. Pada keesokan harinya orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam maka beliau bersabda, Sungguh Allah kagum/tertawa kepada fulan dan fulanah (seorang Anshar dan istrinya). Lalu Allah Subhanahu wata'ala menurunkan ayat-Nya:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9) [Shahih Al-Bukhari no. 4889]

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Dahulu kami menganggap bahwa orang yang bakhil di antara kami ialah orang yang meminjamkan dirham kepada saudaranya. Sebab, dahulu kami bermuamalah dengan kebersamaan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Demi Allah, sungguh, salah seorang yang pernah aku lihat dan aku bersahabat dengannya, membelah izar (semacam sarung)nya lantas memberikannya kepada saudaranya.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 65—66)

Melebihkan orang lain atas dirinya sendiri terbagi mejadi tiga:
1. Dilarang. Hal ini seperti anda mengutamakan orang lain pada perkara yang syariat mewajibkan atas anda. Misalnya anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhunya, anda mempunyai air yang hanya cukup untuk berwudhu satu orang. Bila anda berikan kepada teman anda, maka anda tidak punya air untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam keadaan seperti ini tidak boleh memberikan air itu kepadanya, karena anda mendapatkan air dan air itu milik anda. Maka, melebihkan orang lain pada perkara yang diwajibkan oleh syariat adalah haram hukumnya. Karena hal tersebut berakibat menggugurkan kewajiban yang dibebankan atas anda.
2. Makruh, yaitu melebihkan orang lain pada perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat, namun anda justru mempersilakan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh, karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap kebaikan. Padahal berdiri di shaf pertama dalam shalat sangat besar keutamaannya. Maka bagaimana anda mendahulukan orang lain, padahal anda berhak mendapatkan keutamaan itu?
3. Boleh dan terkadang dianjurkan. Yaitu melebihkan orang lain pada perkara yang bukan ibadah. Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang lapar padahal anda sendiri juga lapar. Perbuatan ini terpuji.
(Lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 54-55)

Tentang TAHUN BARU, NATAL, PASKAH, NYEPI, WAISAK, IMLEK, DAN PERAYAAN ORANG-ORANG KAFIR LAINNYA

Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Jauhilah musuh-musuh Allah dalam acara hari raya mereka.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1247)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka (Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya) dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka (di antaranya Natal dan Tahun Baru Masehi). Tidak pula dalam bentuk makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh mengadakan pesta, atau memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main yang kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/tempat tertentu dalam rangka untuk menyemarakkan perayaan tersebut).”
(Majmu' Fatawa 25/329)

Ibnul Qayyim mengatakan:
“Sebagaimana tidak boleh bagi ahlul kitab menampakkan hari raya (di negeri muslimin) maka tidak boleh pula bagi muslimin untuk membantu mereka dan atau menghadirinya bersama mereka dengan kesepakatan para ulama, yang mereka adalah ahlinya dalam hal ini.
Dan telah menegaskan demikian para ahli fikih dari para pengikut imam yang empat dalam kitab-kitab mereka.
Berkata Hibatullah bin al Hasan bin Manshur  at Thobari ahli fiqih dalam madzhab Syafii:
Tidak boleh bagi muslimin untuk menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemungkaran dan kedustaan, dan bila orang-orang yang baik berbaur dengan orang-orang yang berbuat mungkar tanpa bentuk pengingkaran terhadap mereka maka mereka seperti orang-orang yang meridoinya dan memiliki peran terhadapnya maka kami khawatir akan turunnya murka Allah terhadap perkumpulan mereka sehingga kemurkaan itu menimpa mereka semua. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.”
(Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1245)

Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz Alu asy- Syaikh dengan anggota di antaranya al-‘Allamah Shalih al-Fauzan dan al-‘Allamah ‘Abdullah bin Ghudayyan) telah berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah (26/410),
“Seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat hari raya untuk perayaan ‘Id (hari raya) keagamaan orang-orang kafir. Sebab, hal itu termasuk bentuk keridhaan terhadap kebatilan mereka dan membuat mereka senang.
Kata Ibnul Qayyim rahimahullah, ‘Adapun ucapan selamat untuk syiar-syiar khusus kekafiran, hal itu haram menurut kesepakatan alim ulama. Misal: ucapan selamat kepada orang kafir dalam perayaan ‘Id (hari raya) mereka dan puasa mereka, dengan mengucapkan, ‘Semoga menjadi ‘Id yang penuh berkah atasmu,’ ‘Selamat buatmu dengan ‘Id ini,’ atau semisalnya.
Hal itu, andaikan orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, setidaknya tergolong perkara haram. Sederajat dengan mengucapkan selamat atas perbuatan sujud kepada salib.
Hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, pembunuhan, perzinaan, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak menghargai agama ini terjatuh dalam hal semacam itu, tanpa tahu betapa buruk perbuatan tersebut.
Barang siapa mengucapkan selamat untuk seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kufur, sesungguhnya dirinya terancam dengan murka Allah ‘azza wa jalla.”

Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa wa ar-Rasa’il (3/44—46),
“Ucapan selamat kepada orang kafir atas perayaan Hari Natal atau hari raya agama selainnya adalah perkara haram menurut kesepakatan ulama. Hal itu sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli adz-Dzimmah (1/205).”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah kemudian menukilkan ucapan Ibnul Qayyim sebagaimana yang tercanum dalam fatwa al-Lajnah di atas.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ucapan selamat kepada orang kafir atas hari raya keagamaan mereka hukumnya haram dan dosanya seperti kata Ibnul Qayyim, karena mengandung legitimasi atas apa yang mereka jalani dari syiar-syiar kufur dan keridhaan dengannya, kendati ia tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri.
Akan tetapi, haram atas seorang muslim ridha dengan syiar-syiar kekafiran atau mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan perayaan syiar-syiar itu, karena Allah tidak ridha dengannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡ
“Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah Mahakaya (Tidak Butuh) dari kalian. Allah tidak ridha dengan kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Jika kalian bersyukur, Allah ridha bagi kalian.” (az-Zumar: 7)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗا
“Hari ini aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan aku ridha Islam jadi agama kalian.” (al-Ma’idah: 3)
Haram hukumnya bagi seseorang mengucapkan selamat atas hari ‘Id (raya) keagamaan mereka, baik mereka satu pekerjaan dengannya atau tidak. Jika mereka mempersembahkan ucapan selamat hari ‘Id keagamaan mereka kepada kita, kita tidak boleh menjawabnya. Sebab, itu bukan ‘Id kita dan merupakan ‘Id yang tidak diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla lantaran salah dari kemungkinan berikut:
- ‘Id itu adalah ‘Id yang dibuat-buat (bid’ah) dalam agama mereka.
- ‘Id itu asalnya disyariatkan dalam agama mereka, tetapi sekarang telah terhapus dengan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia dan jin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentangnya,
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya hal itu dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Haram bagi seorang muslim menjawab undangan mereka untuk menghadiri acara perayaan ‘Id mereka, karena hal itu lebih besar dosanya daripada sekadar memberi ucapan selamat.
Begitu pula, haram bagi kaum muslimin menyerupai (tasyabbuh) orang kafir dengan ikut-ikutan membuat acara perayaan pada hari ‘Id mereka, berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, meliburkan pekerjaan, dan semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim, ‘Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian perayaan ‘Id mereka akan membuat senang hati mereka lantaran kebatilan yang mereka jalani. Boleh jadi pula, hal itu akan menimbulkan ketamakan untuk mengambil peluang dan menghinakan orang-orang yang lemah.’
Barang siapa melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut, ia berdosa, baik ia melakukannya dalam rangka basa-basi, saling mencintai, malu, atau sebab-sebab lainnya. Sebab, semua itu termasuk mudahanah (bermuka manis terhadap kemungkaran dalam rangka mengambil muka/menjilat kepada pelakunya) dalam agama Allah ‘azza wa jalla serta penyebab semakin kuatnya jiwa orang-orang kafir dan semakin bangga dengan agama mereka.
Hanya kepada Allah ‘azza wa jalla kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, mengaruniai kekokohan di atas agama ini, menolong mereka menghadapi musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dialah yang Mahakuat dan Mahaperkasa.”

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram, karena dalam perbuatan itu mengandung tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan, sedangkan Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah: 2)
Dan karena perayaan perayaan ini jika bertepatan dengan acara-acara keagamaan mereka maka ikut serta dalam hal itu berarti membenarkan agama mereka dan ridha dengan apa yang mereka ada padanya dari kekafiran. Adapun jika perayaan itu bukan karena bertepatan dengan acara keagamaan mereka, seandainya ini dilakukan oleh muslimin saja hal itu tidak boleh, bagaimana bila dilakukan oleh orang kafir?! Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa tidak boleh bagi kaum muslimin untuk ikut bersama non muslim dalam acara hari raya mereka, karena hal itu berarti persetujuan dan ridha terhadap agama mereka yang batil. Juga terkandung di dalamnya adanya saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang non muslim yang menghadiahkan kepadamu sebuah-hadiah berkaitan dengan hari raya mereka, apakah kamu boleh menerimanya atau tidak boleh. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak boleh menerima hadiah dari mereka pada acara hari raya mereka, karena ini adalah tanda kerelaan. Sebagian ulama yang lain ada yang mengatakan tidak mengapa untuk menerimanya. Bagaimanapun, jika di sana tidak ada larangan yang syar’i yang menjadikan orang yang memberimu hadiah meyakini bahwa kamu ridha terhadap ajaran agama mereka, maka tidak mengapa kamu menerimanya. Kalau tidak seperti itu, maka lebih utama untuk tidak menerimanya.”
(Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin jilid ketiga pada pembahasan Al-Wala wal Bara)

Samahatul Imam Al-Allamah Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syariat Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah: 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syariat dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syariat Allah. Sebagaimana firman Allah:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-Anam : 116]
Allah juga berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullah I/405)