Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Jauhilah musuh-musuh Allah dalam acara hari raya mereka.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1247)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka (Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya) dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka (di antaranya Natal dan Tahun Baru Masehi). Tidak pula dalam bentuk makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh mengadakan pesta, atau memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main yang kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/tempat tertentu dalam rangka untuk menyemarakkan perayaan tersebut).”
(Majmu' Fatawa 25/329)
Ibnul Qayyim mengatakan:
“Sebagaimana tidak boleh bagi ahlul kitab menampakkan hari raya (di negeri muslimin) maka tidak boleh pula bagi muslimin untuk membantu mereka dan atau menghadirinya bersama mereka dengan kesepakatan para ulama, yang mereka adalah ahlinya dalam hal ini.
Dan telah menegaskan demikian para ahli fikih dari para pengikut imam yang empat dalam kitab-kitab mereka.
Berkata Hibatullah bin al Hasan bin Manshur at Thobari ahli fiqih dalam madzhab Syafii:
Tidak boleh bagi muslimin untuk menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemungkaran dan kedustaan, dan bila orang-orang yang baik berbaur dengan orang-orang yang berbuat mungkar tanpa bentuk pengingkaran terhadap mereka maka mereka seperti orang-orang yang meridoinya dan memiliki peran terhadapnya maka kami khawatir akan turunnya murka Allah terhadap perkumpulan mereka sehingga kemurkaan itu menimpa mereka semua. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.”
(Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1245)
Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz Alu asy- Syaikh dengan anggota di antaranya al-‘Allamah Shalih al-Fauzan dan al-‘Allamah ‘Abdullah bin Ghudayyan) telah berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah (26/410),
“Seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat hari raya untuk perayaan ‘Id (hari raya) keagamaan orang-orang kafir. Sebab, hal itu termasuk bentuk keridhaan terhadap kebatilan mereka dan membuat mereka senang.
Kata Ibnul Qayyim rahimahullah, ‘Adapun ucapan selamat untuk syiar-syiar khusus kekafiran, hal itu haram menurut kesepakatan alim ulama. Misal: ucapan selamat kepada orang kafir dalam perayaan ‘Id (hari raya) mereka dan puasa mereka, dengan mengucapkan, ‘Semoga menjadi ‘Id yang penuh berkah atasmu,’ ‘Selamat buatmu dengan ‘Id ini,’ atau semisalnya.
Hal itu, andaikan orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, setidaknya tergolong perkara haram. Sederajat dengan mengucapkan selamat atas perbuatan sujud kepada salib.
Hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, pembunuhan, perzinaan, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak menghargai agama ini terjatuh dalam hal semacam itu, tanpa tahu betapa buruk perbuatan tersebut.
Barang siapa mengucapkan selamat untuk seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kufur, sesungguhnya dirinya terancam dengan murka Allah ‘azza wa jalla.”
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa wa ar-Rasa’il (3/44—46),
“Ucapan selamat kepada orang kafir atas perayaan Hari Natal atau hari raya agama selainnya adalah perkara haram menurut kesepakatan ulama. Hal itu sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli adz-Dzimmah (1/205).”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah kemudian menukilkan ucapan Ibnul Qayyim sebagaimana yang tercanum dalam fatwa al-Lajnah di atas.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ucapan selamat kepada orang kafir atas hari raya keagamaan mereka hukumnya haram dan dosanya seperti kata Ibnul Qayyim, karena mengandung legitimasi atas apa yang mereka jalani dari syiar-syiar kufur dan keridhaan dengannya, kendati ia tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri.
Akan tetapi, haram atas seorang muslim ridha dengan syiar-syiar kekafiran atau mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan perayaan syiar-syiar itu, karena Allah tidak ridha dengannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡ
“Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah Mahakaya (Tidak Butuh) dari kalian. Allah tidak ridha dengan kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Jika kalian bersyukur, Allah ridha bagi kalian.” (az-Zumar: 7)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗا
“Hari ini aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan aku ridha Islam jadi agama kalian.” (al-Ma’idah: 3)
Haram hukumnya bagi seseorang mengucapkan selamat atas hari ‘Id (raya) keagamaan mereka, baik mereka satu pekerjaan dengannya atau tidak. Jika mereka mempersembahkan ucapan selamat hari ‘Id keagamaan mereka kepada kita, kita tidak boleh menjawabnya. Sebab, itu bukan ‘Id kita dan merupakan ‘Id yang tidak diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla lantaran salah dari kemungkinan berikut:
- ‘Id itu adalah ‘Id yang dibuat-buat (bid’ah) dalam agama mereka.
- ‘Id itu asalnya disyariatkan dalam agama mereka, tetapi sekarang telah terhapus dengan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia dan jin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentangnya,
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya hal itu dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Haram bagi seorang muslim menjawab undangan mereka untuk menghadiri acara perayaan ‘Id mereka, karena hal itu lebih besar dosanya daripada sekadar memberi ucapan selamat.
Begitu pula, haram bagi kaum muslimin menyerupai (tasyabbuh) orang kafir dengan ikut-ikutan membuat acara perayaan pada hari ‘Id mereka, berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, meliburkan pekerjaan, dan semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim, ‘Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian perayaan ‘Id mereka akan membuat senang hati mereka lantaran kebatilan yang mereka jalani. Boleh jadi pula, hal itu akan menimbulkan ketamakan untuk mengambil peluang dan menghinakan orang-orang yang lemah.’
Barang siapa melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut, ia berdosa, baik ia melakukannya dalam rangka basa-basi, saling mencintai, malu, atau sebab-sebab lainnya. Sebab, semua itu termasuk mudahanah (bermuka manis terhadap kemungkaran dalam rangka mengambil muka/menjilat kepada pelakunya) dalam agama Allah ‘azza wa jalla serta penyebab semakin kuatnya jiwa orang-orang kafir dan semakin bangga dengan agama mereka.
Hanya kepada Allah ‘azza wa jalla kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, mengaruniai kekokohan di atas agama ini, menolong mereka menghadapi musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dialah yang Mahakuat dan Mahaperkasa.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram, karena dalam perbuatan itu mengandung tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan, sedangkan Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah: 2)
Dan karena perayaan perayaan ini jika bertepatan dengan acara-acara keagamaan mereka maka ikut serta dalam hal itu berarti membenarkan agama mereka dan ridha dengan apa yang mereka ada padanya dari kekafiran. Adapun jika perayaan itu bukan karena bertepatan dengan acara keagamaan mereka, seandainya ini dilakukan oleh muslimin saja hal itu tidak boleh, bagaimana bila dilakukan oleh orang kafir?! Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa tidak boleh bagi kaum muslimin untuk ikut bersama non muslim dalam acara hari raya mereka, karena hal itu berarti persetujuan dan ridha terhadap agama mereka yang batil. Juga terkandung di dalamnya adanya saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang non muslim yang menghadiahkan kepadamu sebuah-hadiah berkaitan dengan hari raya mereka, apakah kamu boleh menerimanya atau tidak boleh. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak boleh menerima hadiah dari mereka pada acara hari raya mereka, karena ini adalah tanda kerelaan. Sebagian ulama yang lain ada yang mengatakan tidak mengapa untuk menerimanya. Bagaimanapun, jika di sana tidak ada larangan yang syar’i yang menjadikan orang yang memberimu hadiah meyakini bahwa kamu ridha terhadap ajaran agama mereka, maka tidak mengapa kamu menerimanya. Kalau tidak seperti itu, maka lebih utama untuk tidak menerimanya.”
(Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin jilid ketiga pada pembahasan Al-Wala wal Bara)
Samahatul Imam Al-Allamah Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syariat Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah: 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syariat dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syariat Allah. Sebagaimana firman Allah:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-Anam : 116]
Allah juga berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullah I/405)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar