Cari Blog Ini

Minggu, 09 Agustus 2015

Tentang MAKMUM SALAT DI LANTAI BAWAH ATAU DI LANTAI ATAS MASJID

Jika seorang makmum tidak bisa melihat imam dan siapa yang di belakang imam, akan tetapi dia bisa mendengar bacaan Imam.

Soal:
Apa hukum sholat di lantai dasar sebuah masjid jika dia tidak bisa melihat imam dan juga tidak bisa melihat makmum yang berada di belakang imam, akan tetapi dia bisa mendengar (suara bacaan Imam melalui pengeras suara-pent)?

Jawab:
Tidak mengapa hal itu, jika lantai dasar tersebut masih dalam bagian masjid berdasarkan keumuman dalil...

Asy-Syaikh ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah juz 2 hal 7)

======================
إذا كان المأموم لا يرى الامام ولا من خلفه ولكن يسمع
س ما حكم الصلاة في قبو المسجد إذا كان المأموم لا يرى الإمام ولا يرى المأمومين الذين خلف الإمام بل يسمع صوت الإمام عبر مكبر الصوت فقط؟

ج لا حرج في ذلك إذا كان القبو تابعاً للمسجد لعموم الأدلة

-----------------------------------

Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tentang UMRAH WAJIB

Soal:
Apakah umrah termasuk bagian dari haji?
Karena ada sebuah hadits yang berbunyi, "Umrah adalah haji kecil." (HR. Ibnu Hibban dan Hakim)

Jawab:
Pertama,
Hadits tersebut didhaifkan oleh Syaikh al Albani rahimahullah.
Kedua,
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Yang shahih bahwa umrah bukan haji.
Yakni tidak termasuk dari rukun islam. Akan tetapi umrah hukumnya wajib. Dan berdosa bagi orang yang meninggalkan umrah padahal dia dalam keadaan telah memenuhi kemampuan dari persyaratan-persyaratan umrah." [Lihat Syarah Arbain Nawawi Syaikh Utsaimin, hal. 40, cet. Darul Mushtafa 2012]

Hanya Ikhwan Biasa

Tentang AKIKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MATI

Tanya:
Ibu saya telah wafat dan saya ingin menyelenggarakan akikah untuk beliau. Namun, ketika saya meminta penjelasan kepada salah seorang imam di sebuah masjid di Baghdad, ia berkata, “Akikah itu hanya dilakukan untuk orang yang hidup, tidak untuk orang mati.” Apa sebenarnya hukum syariat dalam hal ini?

Jawab:
Akikah memang tidak disyariatkan untuk orang mati, namun hanya disyariatkan ketika kelahiran anak pada hari ketujuhnya. Ketika itu disyariatkan bagi ayahnya menyelenggarakan akikah untuk si anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan hanya seekor yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran si anak. Kemudian (setelah dimasak) dagingnya ada yang dimakan, ada yang disedekahkan dan dihadiahkan. Tidak apa-apa mengundang karib kerabat dan tetangga untuk makan-makan saat hari penyelenggaraan akikah dan sisanya disedekahkan. Dengan demikian, terkumpullah dua hal ini.
Apabila tidak mampu sehingga hanya bisa menyembelih seekor kambing untuk anak laki-lakinya, hal tersebut mencukupinya.
Ulama mengatakan, apabila tidak bisa menyembelih pada hari ketujuh, boleh dilakukan pada hari ke-14. Kalau tidak bisa juga, pada hari ke-21. Apabila tidak bisa, pada hari ke berapa pun bisa diselenggarakan akikah tersebut.
Adapun orang yang sudah mati tidak diakikahi, tetapi didoakan untuknya ampunan dan rahmat. Doa kebaikan untuknya lebih baik daripada hal lainnya, berdasar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“Apabila seseorang meninggal, terputuslah amalannya, terkecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya.”
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya’, beliau tidak mengatakan, ‘atau anak shalih yang mempuasakannya atau menghadiahkan amalan shalat untuknya atau bersedekah untuknya atau amalan yang semisalnya’.
Hal ini menunjukkan bahwa doa kebaikan untuk orang mati lebih utama daripada amalan yang pahalanya dihadiahkan untuknya. (hlm. 608)

Sumber:
Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1431 H/2013, rubrik Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah hal. 93-94

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah

Soal:
Allah subhanahu wa ta’ala memberi saya rejeki berupa tiga anak perempuan. Hanya saja, mereka meninggal dunia dalam keadaan masih kecil, sementara saya belum sempat mengakikahi mereka. Padahal saya pernah mendengar bahwa syafaat anak-anak kecil dikaitkan dengan akikah. Maka dari itu, apakah sah saya mengakikahi mereka setelah meninggalnya? Apakah saya gabungkan akikah mereka dalam satu sembelihan atau masing-masing di sembelihkan sembelihan sendiri?

Jawaban:
Akikah untuk anak yang baru lahir hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang di tekankan), menurut pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi (ulama). Akan tetapi, hukum ini berlaku untuk anak-anak yang masih hidup, tanpa ada keraguan di dalamnya, karena hal ini adalah sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun akikah untuk anak-anak yang sudah meninggal (yang belum diakikahi saat hidupnya), tidak tampak disyariatkan bagi Anda. Sebab, akikah itu disembelih hanya sebagai tebusan bagi anak yang lahir, untuk tafaul (berharap/optimis) akan keselamatannya, dan untuk mengusir setan dari si anak, sebagaimana hal ini di tetapkan olel al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud. Tujuan-tujuan ini tidak ada pada anak-anak yang sudah meninggal.
Adapun hal yang diisyaratkan oleh penanya bahwa akikah masuk dalam (syarat) syafaat anak yang lahir bagi ayahnya apabila ayah mengakikahinya, hal ini tidaklah benar dan telah didhaifkan (dilemahkan) oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa rahasia dalam akikah itu adalah:
1. Akikah menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam tatkala beliau menebus putranya, Ismail ‘alaihis salaam.
2. Akikah bertujuan untuk mengusir setan dari anak yang lahir, sementara makna hadits,
كل غلام رهينة بعقيقته
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya.” (HR Ahmad (5/12), Abu Dawud no. 2837, at-Tirmidzi no. 1522, dan yang lainnya, dinyatakan shahih dalam shahih al-Jami’ no. 4541)
Maknanya, si anak tergadai pembebasannya dari setan dengan akikahnya. Apabila si anak tidak diakikahi, niscaya dia tetap sebagai tawanan bagi setan. Jika diakikahi dengan akikah yang syar’i, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala hal itu akan menjadi sebab terbebasnya dia dari tawanan setan.
Demikian makna yang dihikayatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Bagaimanapun, apabila si penanya ingin mengakikahi anak-anak perempuannya yang sudah meninggal dan menganggap baik hal tersebut, silahkan dia lakukan. Akan tetapi, yang rajih (kuat) menurut saya, hal tersebut tidaklah disyariatkan.
Kapan waktu yang afdhal (lebih utama) untuk mengakikahi anak yang lahir dan hidup?
Yang afdhal adalah hari ketujuh. Inilah waktu yang paling utama sebagaimana di sebutkan dalam nash/dalil. Namun, seandainya di tunda dari hari ketujuh, tidaklah apa-apa. Tidak ada batasan untuk akhir waktunya. Hanya saja sebagian ahlul ilmi memandang apabila anak telah dewasa, berarti waktu akikah telah gugur. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa. Sementara itu, jumhur ulama berpandangan tidak ada larangan untuk hal tersebut meskipun yang di akikahi sudah dewasa.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatudy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/573-574)

Disadur dari Majalah Asy Syariah Edisi 105, vol IX/1436H/2014M

Tentang TERTAWA DAN BERSENDA GURAU KETIKA MENGIRINGI JENAZAH

Diriwayatkan dari Abdullah bin Masud, suatu ketika beliau mengamati seseorang yang sedang tertawa saat mengiringi jenazah, maka beliau berkata kepada orang tersebut: “Kamu tertawa dalam keadaan mengiringi jenazah, sungguh aku tidak akan mengajakmu berbicara selama-lamanya.”
[Kitabuz Zuhud lil Imam Ahmad hal. 133]

Tentang BERMAIN KETAPEL

Dari Said bin Jubair, bahwa kerabat dekat Abdullah bin Mughaffal sedang main ketapel, lantas dia melarang kerabatnya tersebut seraya berkata:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang ini (main ketapel), beliau bersabda: “Sesungguhnya itu tidak dapat membunuh hewan buruan dan tidak pula dapat mengalahkan musuh, ia hanya dapat mematahkan gigi dan membutakan mata.”
[HR. Muslim]