Cari Blog Ini

Selasa, 24 Februari 2015

Tentang WANITA MENDIRIKAN SALAT SECARA BERJAMAAH BERSAMA KAUM WANITA

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah

Ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah.
Ada yang menganggap mustahab (sunnah), seperti riwayat dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Ini pendapat yang dipegangi ‘Atha’, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ada yang menganggap tidak disunnahkan, seperti pendapat al-Imam Ahmad [1]. Ada pula yang memakruhkannya seperti ashabur ra’yi.
Sedangkan asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Qatadah berpendapat bahwa shalat jamaah bagi wanita ini hanya dilakukan dalam shalat sunnah bukan shalat wajib. Al-Hasan dan Sulaiman bin Yasar mengatakan, wanita tidak boleh mengimani wanita lain dalam shalat wajib ataupun shalat sunnah.
Sedangkan al-Imam Malik berpan-dangan tidak pantas wanita mengimami seorang pun, karena dimakruhkan baginya untuk mengumandangkan adzan, sementara adzan merupakan panggilan untuk shalat berjamaah. (al-Mughni, 2/17)

Asy-Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah membawakan beberapa atsar yang berkaitan dengan hal ini. Di antaranya:
أَنَّها كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيْمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ، وَتَقِفُ وَسَطَهُنَّ
“Dahulu dia (Aisyah) pernah adzan dan iqamah serta mengimami para wanita dan beliau berdiri di tengah mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra)
Hujairah bintu Hushain berkata, “Ummu Salamah pernah mengimami kami dalam shalat Ashar, dan beliau berdiri di antara kami.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi)
Kemudian asy-Syaikh al-Albani berkata, “Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Para wanita itu saudara kandung (serupa) dengan laki-laki’.” (Tamamul Minnah, hlm. 154)

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bolehnya wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah di rumah, karena adanya contoh dari perbuatan para shahabiyah tanpa ada yang menyelisihi mereka. Juga tidak didapatkan adanya larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hal ini.
Ibnu Hazm berkata, “Boleh seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat, namun ia tidak boleh mengimami kaum laki-laki.” (al-Muhalla, 4/219)

Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan bila para wanita ingin menegakkan shalat berjamaah di kalangan mereka. Di antaranya:
1. Adzan dan iqamah
Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, dibolehkan bagi wanita untuk adzan dan iqamah dengan dalil atsar dari ‘Aisyah di atas dan atsar lainnya seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/202) —dengan sanad yang jayyid (bagus), kata asy-Syaikh al-Albani (Tamamul Minnah, hlm. 153)— dari Wahab bin Kisan. Ia berkata, “Ibnu ‘Umar ditanya, ‘Apakah ada adzan bagi wanita?’ Mendapat pertanyaan demikian, Ibnu ‘Umar marah dan berkata, ‘Apakah aku melarang dari dzikrullah (berzikir kepada Allah)?’”
2. Posisi Imam
Imam wanita berdiri di tengah-tengah makmumnya di dalam shaf, sebagaimana riwayat ‘Aisyah dan Ummu Salamah di atas. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama salaf. Namun bila imam tersebut maju di depan shaf maka tidak didapatkan larangan dalam hal ini. Akan tetapi berpegang teguh dengan apa yang dilakukan salaf adalah lebih baik dan lebih utama. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/352)
Ibnu Juraij berkata, “Bila seorang wanita mengimami wanita lain, maka ia tidak maju di depan mereka tetapi ia sejajar dengan mereka. Ini dilakukan dalam shalat wajib maupun sunnah.” Lalu ada yang berkata kepada Ibnu Juraij, “Bagaimana bila jamaah itu banyak hingga mencapai dua shaf atau lebih?” Ibnu Juraij menjawab, ‘Ia berdiri di tengah-tengah mereka.’ (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, 3/140)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ma’mar (al-Mushannaf, 3/140). Juga al-Hasan dan asy-Sya’bi dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/89).
3. Memperdengarkan suara atau tidak?
Ibnu Qudamah berkata, “Wanita memperdengarkan suaranya dalam shalat jahr (yaitu shalat Maghrib, ‘Isya, dan Subuh). Namun bila di tempat itu ada laki-laki maka ia tidak boleh memperdengarkan suaranya kecuali bila laki-laki itu adalah mahramnya.” (al-Mughni, 2/17)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam salah satu fatwanya:
“Dibolehkan bagi wanita untuk shalat secara berjamaah dengan diimami salah seorang dari mereka, dan imam ini berdiri di shaf makmumnya (bersisian), bukan di depan mereka. Shalat berjamaah ini tidaklah wajib bagi mereka karena kewajiban jamaah termasuk kekhususan laki-laki. Adapun mereka, boleh shalat berjamaah ataupun sendirian.”
Ketika beliau ditanya tentang kebolehan wanita memperdengarkan suaranya di dalam shalat jahriyah dalam rangka memudahkan untuk khusyuk, beliau menjawab, “Untuk shalat yang dilakukan pada malam hari, disunnahkan baginya jahr dalam bacaan shalat, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah (sunnah) selama tidak terdengar oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Karena bila sampai terdengar, dikhawatirkan laki-laki itu akan terfitnah (tergoda) dengan suaranya. Bila di tempat tersebut tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya, namun ketika mengeraskan bacaan shalatnya berakibat mengganggu dan mengacaukan orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya ia merendahkan suaranya (membaca dengan sirr).
Adapun dalam shalat yang dilakukan pada siang hari, ia tidak boleh memperdengarkan suaranya ketika membaca surat Al-Qur’an. Karena shalat siang hari adalah sirriyyah. Ia membaca sebatas didengar dirinya sendiri karena tidak disunnahkan jahr dalam shalat siang hari.” (al-Muntaqa, asy-Syaikh al-Fauzan, 3/76, 201)

Catatan Kaki:
[1] Didapatkan pula keterangan bahwa al-Imam Ahmad juga menganggap mustahab. Ibnu Hazm berkata, “Al-Auzai, ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Tsaur rahimahumullah berkata: Disunnahkan bagi seorang wanita untuk mengimami wanita lain dan ia berdiri di tengah-tengah mereka.” (al-Muhalla, 4/220)

Sumber: Asy Syariah Edisi 002

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
هل يُستحب للنساء صلاةُ الجماعة فيما بينهم؟ وماذا عن الآذان والإقامة لهنَّ؟
Apakah disunnahkan bagi para wanita untuk shalat berjamaah di antara mereka?
Dan apakah mereka juga melakukan adzan dan iqomat?

Jawaban:
لا مانع إن شاء الله من صلاة النِّساء جماعة في بيت إحداهنَّ، أو في المسجد إذا فاتتهُنَّ الصلاة مع الإمام، ولم يتمكنَّ من الإتمام برجل فأتتهن الصلاة، هذا لا مانع منه
Tidak mengapa untuk mereka shalat berjamaah di antara mereka, baik di rumah salah seorang dari mereka, ataupun di masjid ketika mereka terluputkan dari shalat berjamaah bersama imam dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk berimam dengan seorang laki-laki. (Jika demikian kondisinya) maka tidak mengapa mereka melaksanakan shalat jamaah.
بقيَّ الأذان والإقامة وهذا له حالتان: إحداهما: أن تكون جماعتهُنَّ للصلاة في بيت واحدة منهُنَّ، ولا يسمعنَّ أذان المسجد لا يسمعنَّ للنداء في المسجد، فتؤذن إحداهُنَّ آذانًا يسمعهُ الحاضرات، ولا ترفعُ صوتها حتى يسمعه الرجال، وكذلك الإقامة وأعود إلى الحالة الأولى وأقول لهنَّ: أن يُقمنَّ إذا فأتتهُنَّ صلاة الجماعة مع الإمام
Adapun permasalahan adzan dan iqomat bagi mereka, maka ini memiliki dua keadaan:
1. Mereka berkumpul di salah satu rumah mereka untuk berjamaah dan mereka tidak mendengarkan suara adzan dari masjid, maka salah seorang dari mereka mengumandangkan adzan yang bisa didengar oleh jamaah wanita yang hadir di situ dan jangan dia meninggikan suaranya sehingga didengar oleh laki-laki, demikian juga iqomat.
2. Aku kembali pada permasalahan pertama (yaitu ketika mereka terluput dari jamaah bersama imam), maka salah seorang dari mereka melakukan iqomat.
والحاصل أنهُنَّ لهنَّ الإقامة إذا صلينَّ وحدهُنَّ، سواءً في المسجد حين تفوتهُنَّ الصلاة مع الإمام، أو في دار واحدة منهُن، والآذان مشروط بعدمِ سماعهنَّ النِّداء، والله أعلم
Kesimpulannya, mereka melakukan iqomat jika mereka shalat tersendiri baik itu di masjid ketika terluput dari jamaah ataupun ketika mereka shalat di rumah sedangkan adzan dipersyaratkan ketika mereka sama sekali tidak mendengar suara adzan. Wallahu alam.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/115

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah

Soal:
Apa syarat-syarat wanita bisa menjadi imam bagi sesama wanita di dalam shalat?

Jawab:
Apabila si wanita paling bagus dan paling pandai membaca Kitabullah, tidak ada larangan baginya menjadi imam para wanita sebagaimana lelaki. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ummu Waraqah radhiallahu ‘anha mengimami orang-orang di rumahnya.

(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, 1/419)

Tentang SALAM DENGAN ISYARAT

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan: 
ما حكم السلام بالإشارة باليد؟
Apa hukum salam dengan isyarat tangan?

Jawaban:
لا يجوز السلام بالإشارة، وإنما السنة السلام بالكلام بدءا وردا. أما السلام بالإشارة فلا يجوز؛ لأنه تشبه ببعض الكفرة في ذلك؛ ولأنه خلاف ما شرعه الله، لكن لو أشار بيده إلى المسلم عليه ليفهمه السلام لبعده مع تكلمه بالسلام فلا حرج في ذلك؛ لأنه قد ورد ما يدل عليه، وهكذا لو كان المسلم عليه مشغولا بالصلاة فإنه يرد بالإشارة، كما صحت بذلك السنة عن النبي صلى الله عليه وسلم
Tidak boleh, salam dengan isyarat.
Adapun yang sunnah adalah salam dengan ucapan, baik tatkala memulai atau menjawab salam.
Adapun salam dengan isyarat MAKA TIDAK BOLEH, dikarenakan ini tasyabbuh dengan sebagian orang kafir. Dan menyelisihi apa yang Allah syariatkan.
Namun, apabila ia mengisyaratkan dengan tangannya kepada orang yang diberi salam supaya dipahami, dikarenakan jaraknya yang jauh namun disertai dengan ucapan salam.
MAKA INI TIDAK MENGAPA.
Dikarenakan telah datang (riwayat) yang menunjukan atas yang demikian itu. Demikian juga apabila orang yang diberi salam dalam keadaan shalat, maka ia menjawab dengan isyarat. Sebagaimana telah shahih yang demikian itu dalam sunnah, dari Nabi shalallahu alaihi wassalam.

(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawiah juz 26)

Sumber: 
binbaz .org .sa/mat/3475

Alih bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

# forumsalafy .net