Cari Blog Ini

Minggu, 07 Desember 2014

Tentang MENIKAH DENGAN WANITA YANG BERAGAMA NASRANI ATAU YAHUDI

Pertanyaan: Bolehkah menikah dengan wanita-wanita dari kalangan Ahlul Kitab?
(Muhammad Pandi)

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari

Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Ma’idah ayat 5,
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”

Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini.

1.    Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309).
Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Adapun siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)

2.    Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak berbuat syirik.
Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah,
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Apabila dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala meskipun dia tidak beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)

3.    Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
a.    Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
b.    Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah: 221,
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nasrani mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
c.    Dalam hadits Abu Sufyan radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran.
Jadi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)

Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.

1.    Yang dimaksud adalah ‘afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina).
Jadi, tidak boleh dinikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Termasuk di dalamnya ialah seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir rahimahullah menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama salaf (lihat Fathul Qadir).

2.    Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak).
Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Mereka berdalilkan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 25,
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman.

Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya, Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615), menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir. Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki sifat iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.
Saya (penulis) tambahkan, atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.

Catatan:
Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.

Sumber: Asy Syariah Edisi 001

Tentang MENYERU, BERKATA, ATAU BERDOA DENGAN SESUATU YANG BURUK

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920 dari Ummu Salamah Radhiallahu anha)

Tentang MENJAGA LISAN

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Allah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﻗَﻮْﻟًﺎ ﺳَﺪِﻳﺪًﺍ‏. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮﺑَﻜُﻢْ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. (Q.S al-Ahzaab: 70)

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920 dari Ummu Salamah Radhiallahu anha)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ ﺧَﻴْﺮﺍً ﺃًﻭْ ﻟِﻴَﺼْﻤُﺖْ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍْﻟﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ ﺟَﺎﺭَﻩُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ ﺿَﻴْﻔَﻪُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, siapa yang-beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz radhiallahu anhu:
ﺃَﻵ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻙَ ﺑِﻤَﻼَﻙِ ﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻠِّﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺑَﻠﻰ، ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ. ﻓَﺄَﺧَﺬَ ﺑِﻠِﺴَﺎﻥِ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: ﻛُﻒَّ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻫَﺬَﺍ. ﻗَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﻟَﻤُﺆَﺍﺧَﺬُﻭْﻥَ ﺑِﻤَﺎ ﻧَﺘَﻜَﻠَّﻢُ ﺑِﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺛَﻜِﻠَﺘْﻚَ ﺃُﻣُّﻚَ ﻳَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫُ، ﻭَﻫَﻞْ ﻳَﻜُﺐُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻋَﻠَﻰ ﻭُﺟُﻮْﻫِﻬِﻢْ -ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ: ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨَﺎﺧِﺮِﻫِﻢْ - ﺇِﻻَّ ﺣَﺼَﺎﺋِﺪُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘِﻬِﻢْ؟
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang sesuatu yang menguasai seluruh perkara itu?”
“Tentu, wahai Rasulullah,” kata Mu’adz.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian memegang lisannya sendiri seraya berkata, “Tahan ini.”
Mu’adz bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita ucapkan?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu kehilangan kamu, wahai Mu’adz. Bukankah orang yang disungkurkan di atas wajah-wajah mereka —atau beliau berkata: di atas hidung-hidung mereka— ke dalam api neraka, melainkan karena ulah lisan-lisan mereka?”
(HR. at-Tirmidzi no. 2616, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﺄَﻋْﻀَﺎﺀَ ﻛُﻠَّﻬَﺎ ﺗُﻜَﻔِّﺮُ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥَ ﻓَﺘَﻘُﻮﻝُ ﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﺑِﻚَ ﻓَﺈِﻥْ ﺍﺳْﺘَﻘَﻤْﺖَ ﺍﺳْﺘَﻘَﻤْﻨَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺍﻋْﻮَﺟَﺠْﺖَ ﺍﻋْﻮَﺟَﺠْﻨَﺎ
Pada pagi hari, seluruh anggota tubuh anak Adam semuanya tunduk pada lisan, dan berkata: (wahai lisan), bertakwalah kamu kepada Allah atas (keselamatan) kami, karena keadaan kami tergantung engkau. Jika engkau istiqomah, kami akan istiqomah. Jika engkau menyimpang, kami (juga) menyimpang.
(HR. at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri, al-Munawi menyatakan bahwa sanadnya shohih dalam Faidhul Qodiir)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ فُلَانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وتفعلُ، وتصدقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟
“Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
لَا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ من أهل النار
“Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

Suatu hari 'Abdullah bin Mas'ud رضي الله عنه  naik mendaki bukit shafa` sambil memegang lisannya, beliau berkata:
"Wahai lisan, bicaralah yang baik niscaya engkau akan menang (beruntung) dan diamlah (jangan berbicara) dari yang jelek, niscaya engkau akan selamat, sebelum engkau menyesal. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
أَكْــثَــرُ خَــطَايَــا ابـنِ آدَمَ فِـي لِسَــانِــهِ
"Kesalahan terbanyak seorang anak Adam, berpuncak dari lisannya."
(HR. at-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah: 534)

Al-Ahnaf bin Qois (seorang tabi’i) menyatakan:
“Mengucapkan kalimat yang baik lebih baik dari diam, dan diam lebih baik dari ucapan yang sia-sia dan batil. Duduk bersama orang sholih lebih baik dari menyendiri. Menyendiri lebih baik dari duduk bersama orang yang jahat.“ (Disebutkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam At-Tamhiid juz 17 hal 447)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
"Jika engkau akan berbicara berfikirlah (terlebih dahulu). Jika nampak bahwa tidak ada bahaya (mudharat), maka berbicaralah. Jika padanya ada mudharat atau ragu, tahanlah (tidak berbicara)." (Syarh Shohih Muslim lin Nawawy 2/19)

Sahabat Nabi Abud Darda’ radhiyallaahu ‘anhu berkata:
"Sesungguhnya dijadikan untukmu dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar dibandingkan berbicara."
(Mukhtashar Minhajul Qoshidin karya Ibnu Qudamah 3/24)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
"Termasuk hal yang mengherankan bahwa seseorang ada yang mudah baginya untuk menjaga diri dan menahan diri dari memakan sesuatu yang haram, kezhaliman, zina, mencuri, minum khamer, melihat yang haram dan selainnya, namun sulit baginya untuk mengendalikan gerakan lisannya. Sampai-sampai engkau melihat seseorang yang dianggap baik agamanya, zuhud dan banyak ibadah, namun dia berbicara dengan ucapan yang dimurkai Allah tanpa mempedulikan akibatnya. Dengan satu kalimat saja dia tergelincir ke dalam jurang yang dalamnya lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Betapa banyak engkau melihat orang yang sangat berhati-hati dari perbuatan keji dan zhalim, namun lisannya suka menodai kehormatan orang-orang yang masih hidup maupun yang telah mati tanpa mempedulikan apa yang dia ucapkan.”
(Al-Jawaabul Kaafy, terbitan Daar ‘Aalamil Fawaa’id, hal. 366)

Tentang MINTA IZIN SUAMI SEBELUM MENGIZINKAN SESEORANG MASUK KE DALAM RUMAH SUAMI

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan janganlah mengizinkan seseorang untuk masuk ke dalam rumah suami kecuali dengan izin suami.” (HR. al-Bukhari no. 4796)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ  رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras [1]. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Sahih, HR. Muslim no. 1218)

Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi), seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

Catatan kaki:

[1] Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsir rahimahullah.
Yang dimaksud ( ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ) kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ialah pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504); atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang.
Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma tentang maksud ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.”
Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

Tentang MENAMPAR ATAU MEMUKUL WAJAH

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ - وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ
“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)

Tentang MENGATASI ISTRI ATAU SUAMI YANG BERBUAT NUSYUZ

Islam telah memberikan bimbingan untuk mengatasi suami atau istri yang berbuat nusyuz. Islam juga tidak melarang apabila perpisahan terpaksa diambil ketika kedua pihak tidak bisa lagi disatukan.

Mengobati Istri yang Nusyuz

Apabila terjadi problem dalam rumah tangga, tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, padahal masalah itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah.
Demikian pula bila terjadi nusyuz (pembangkangan) dari pihak istri. Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam al-Qur’an,
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa’: 34)

Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan. Ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, “Istri itu diberi nasihat kalau memang ia mau menerima nasihat. Kalau tidak mempan, ia ditinggalkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)
Apabila cara nasihat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga, barulah ditempuh cara pukulan, namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 177)

1. Memberi nasihat dan bimbingan

Ini adalah langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasihat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dalam nasihat itu ia ditakut-takuti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, diingatkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya, diperingatkan akan dosa apabila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian apabila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasihat.” (al-Mughni, 7/241)

2. al-Hajr

Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasihat dalam upaya menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan, sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menafsirkan hajr dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya, dan memunggunginya. As-Suddi, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan, “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir al-Baghawi, 1/423)

3. Pukulan

Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan. Sebab, ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberikan tindakan fisik.
Termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan oleh al-Qurthubi rahimahullah dengan pukulan pendidikan (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (al-Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak keras atau meninggalkan bekas, sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ  رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian [1]. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras [2]. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Sahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud ( ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ) kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ialah pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504); atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang.
Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma tentang maksud ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.”
Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ-
“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)
Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk menzalimi para istri. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113)

Bagaimana Bila Suami yang Nusyuz?

Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya. Namun, tentu saja ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki serta lemahnya kemampuan dan kekuatannya.
Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya menjadi suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya, ia bisa melakukan hal-hal berikut.
1. Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
2. Menasihati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atasnya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
3. Sepantasnya istri selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya menyayanginya.

Jadi, ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al-Qur’an berikut ini,
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa’: 128)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka ia boleh untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya, atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami, dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya. Juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir ath-Thabari, 5/306)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya. Ketika istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya, nafkahnya, atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (al-Mughni, 7/243)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah berkata tentang ayat di atas, “Jadi, yang lebih baik dalam keadaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami, asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai). Atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya. Atau dalam hal giliran, ia menggugurkan haknya tersebut, atau dengan cara menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 206)

Mendamaikan Sengketa

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri….” (an-Nisa’: 35)
Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, sementara tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya, atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak. Satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun, jika tidak ada, boleh dari selain keluarga. (al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hlm. 473)
Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali, kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini yang dipegangi oleh mazhab Maliki, satu riwayat dari ulama mazhab Syafi‘i, dan satu riwayat dari ulama Hanbali. (al-Muwaththa’ karya al-Imam Malik rahimahullah, 2/584; al-Mughni, 7/243—244)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Dalam ikrar, ikatan itu ingin terus dijalin bersama
Namun seketika badai datang menerpa
Saat itu, ia pun terpaku seraya bertanya pada diri
Haruskah perjalanan kita berakhir di sini…?

Catatan kaki:

[1] Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi), seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

[2] Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsir rahimahullah.

Sumber: Asy Syariah Edisi 001
(ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

###

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم نشوز المرأة، وإذا لم ينفع الهجر، هل تفارق؟
Apa hukumnya seorang wanita yang berbuat nusyuz yang apabila diboikot tidak bermanfaat, apakah diceraikan?

Jawab:
نشوز المرأة هو ترفعها على زوجها من النشز  الأرض المرتفع، فإذا ارتفعت عليه في أخلقها و آدابها وعصت أوامرهٌ فقد نشزت، وإذا منعت حقهُ عليها، فهذا هو النشوز (وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ)، هذا أول شي يعالج في الموعظة، وأهجرهن في المضاجع هذا الحالة الثانية، هو الأعراض عنها في المضجع قيل لا ينام معها، وقيل ينام معها ولا يلتفت إليها، (وَاضْرِبُوهُنَّ) العلاج الأخير، الضرب غير المبرح، المراد الضرب غير المبرح، الزوج يضرب زوجتهُ، إذا نشزت، وأبت أن تبذل لهُ حقهُ عليها، فلهُ أن يعالجها بهذهِ الخطوات، الموعظة الهجر في المضجع، آخر شي الضرب لكنهُ يكون ضرباً غير مبرح، لا يكسر عظمن ولا يشق جلداً، ويحصل بهِ التأديب
Nusyuz seorang wanita ialah dia meninggikan diri di atas suaminya. Istilah ini terambil dari kata النشز yang artinya tanah yang tinggi.
Apabila seorang wanita bersikap lebih tinggi (sombong) terhadap suaminya dalam hal akhlak dan adab, serta tidak menaati perintah-perintah suami, berarti dia telah berbuat nusyuz. Demikian pula ketika si wanita menghalangi (tidak mau menunaikan) hak suami yang wajib dia tunaikan, ini juga perbuatan nusyuz.
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
(Dan istri-istri yang kalian khawatirkan perbuatan nusyuz mereka, maka berilah mereka nasihat), inilah hal pertama yang dilakukan (ketika istri melaukan nusyuz), yaitu memberi nasihat.
واهجرهن في المضاجع
(Boikotlah mereka di tempat tidur), ini keadaan (tahapan) yang kedua, yaitu (suami) berpaling dari istri di tempat tidur. Dikatakan bahwa maknanya ialah suami tidak tidur bersama istri. Dikatakan pula bahwa maknanya ialah suami tidur bersama istri, tetapi tidak menghadap (menoleh) kepadanya.
وَاضْرِبُوهُنَّ  
(Pukullah mereka), ini adalah solusi terakhir, yakni pukulan yang tidak melukai. Yang dimaksud (pukulan dalam ayat) adalah pukulan yang tidak melukai. Suami memukul istri ketika si istri berbuat nusyuz.
Jadi, ketika istri berbuat nusyuz dan tidak mau menunaikan hak suami yang wajib dia tunaikan, suami mengobatinya dengan langkah-langkah ini: memberi nasihat, memboikot di tempat tidur, dan yang terakhir ialah memukul dengan pukulan yang tidak melukai. Pukulan tersebut tidak mematahkan tulang, tidak pula merobek kulit, dan terwujud dengannya tujuan memberi pendidikan adab (kepada istri).

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/node/15493

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang POLIGAMI

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya:

Sebagian orang berkata bahwa menikahi lebih dari satu istri tidak disyariatkan kecuali bagi orang yang memegang tanggung jawab atas anak-anak yatim perempuan dengan berdalil firman Allah Ta’ala:
ﻭَﺇِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺃَﻟَّﺎ ﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu.mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. “ (An-Nisaa': 3)
Kami mengharap dari Fadhilatusy Syaikh penjelasan yang sebenarnya dari permasalahan tersebut.

Jawaban:

Ini pendapat yang batil (salah). Makna ayat yang mulia tersebut adalah, bila di bawah pemeliharaan salah seorang dari kalian terdapat seorang perempuan yatim, lalu ia khawatir jika menikahinya tidak bisa memberikan mahar yang sebanding, maka hendaknya ia mencari (wanita) yang lain. Karena sesungguhnya wanita itu banyak dan Allah tidak menjadikannya sempit (terbatas). Ayat tersebut menunjukkan disyariatkannya menikahi wanita dengan jumlah dua, tiga, atau empat karena hal tersebut lebih sempurna di dalam memelihara (bagi suami), baik terhadap syahwat maupun pandangan matanya. Juga karena hal tersebut merupakan sebab memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan wanita, berbuat baik kepada mereka, dan memberikan nafkah kepada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa wanita yang memiliki hak setengah dari suami (karena suami memiliki dua istri), atau sepertiga atau seperempat (karena ada 3 atau 4 istri), itu lebih baik daripada wanita yang tidak memiliki suami. Akan tetapi dengan syarat harus ada keadilan dan kemampuan. Bagi yang khawatir tidak bisa berbuat adil, maka mencukupkan diri dengan satu istri bersama dengan yang dimiliki berupa budak perempuan. Ini semua ditunjukkan dan ditegaskan dengan perbuatan Nabi dimana beliau ketika meninggal dunia masih memiliki 9 istri, sementara Allah Ta’ala berfirman:
ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21)
Namun beliau telah menjelaskan kepada umatnya bahwa tidak boleh bagi seorang pun dari umatnya dalam satu waktu memiliki lebih dari 4 istri. Disimpulkan dari hal tersebut bahwa meniru Nabi di sini dengan cara menikahi empat istri atau kurang dari itu. Adapun lebih dari itu maka merupakan kekhususan bagi Nabi Shalallahu’alaihi wassallam. (Lihat Fatawa Mar’ah 2/61)

###

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya:

Di dalam Al-Quran terdapat ayat tentang poligami yang menyebutkan:
ﻓَﺈِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮﺍ ﻓَﻮَﺍﺣِﺪَﺓً
"Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisaa': 3)
Juga firman Allah dalam ayat lain:
ﻭَﻟَﻦْ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻌُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻭَﻟَﻮْ ﺣَﺮَﺻْﺘُﻢْ
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. “ (An-Nisaa':129)
Pada ayat pertama disyaratkan untuk adil di dalam hal menikah lebih dari satu istri dan pada ayat kedua dijelaskan bahwa syarat untuk berbuat adil itu tidak akan mungkin dilakukan. Maka apakah ayat kedua itu menghapus hukum dari ayat pertama yang berarti tidaklah pernikahan itu melainkan hanya dengan satu istri karena syarat adil tidak mungkin bisa dilakukan? Berilah kami pengetahuan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban:

Tidak ada pertentangan di dalam dua ayat tersebut dan tidak pula ada penghapusan hukum oleh salah satu dari kedua ayat tersebut terhadap yang lainnya. Perbuatan adil yang diperintahkan adalah yang sesuai kemampuan, yaitu adil di dalam pembagian waktu bermalam dan pemberian nafkah. Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan. Permasalahan tersebut yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
ﻭَﻟَﻦْ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻌُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻭَﻟَﻮْ ﺣَﺮَﺻْﺘُﻢْ
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisaa':129)
Oleh karena itu telah kuat riwayat hadits dari Nabi pada riwayat Aisyah Radhiyallahu’anha, ia berkata: “Beliau biasa membagi hak diantara istri-istrinya lalu beliau berdoa: ‘Ya Allah, inilah usahaku membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan AlHakim)

###

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta ditanya:

Tidak diragukan lagi bahwa Islam membolehkan adanya poligami, maka apakah diharuskan bagi suami untuk meminta keridhaan istri pertama sebelum menikahi istri kedua?

Jawaban:

Tidak wajib bagi suami bila ingin menikah dengan istri kedua harus ada keridhaan istri pertama. Akan tetapi termasuk dari akhlak yang baik dan pergaulan yang harmonis untuk menjadikan senang hati istri pertama dengan cara meringankan baginya hal-hal yang bisa menyakitkan, yang ini termasuk dari tabiat wanita dalam permasalahan poligami. Caranya yaitu dengan wajah yang berseri-seri, ucapan yang manis, dan dengan hal-hal yang bisa memudahkan keadaan, seperti pemberian sejumlah barang untuk mendapatkan ridhanya.

(Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah 2/67)

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Sebagian wanita ada yang merasa jengkel ketika disebutkan masalah poligami di majelis dan bahkan sikap mereka berubah ketika disebutkan masalah poligami, maka apa nasehat Anda kepada para wanita tersebut?

Jawaban: Yang dimaksud adalah suami menikah lebih dari satu wanita. Seorang wanita tabiatnya tidak menyukai poligami dan ditimpa kecemburuan yang terkadang hampir sampai pada batas kegilaan. Seorang wanita tidak tercela karena cemburunya tersebut, karena hal itu memang tabiat wanita. Hanya saja seorang wanita yang berakal, perasaan dan rasa cemburunya tidak akan mengalahkan sisi hikmah dan syari’at.

Syari’at membolehkan bagi pria untuk menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat dia merasa aman dari sikap berat sebelah dan dia mampu untuk berbuat adil. Allah Ta’ala berfirman:
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا
“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi sebanyak dua, atau tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu wanita saja, atau gaulilah budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih mudah bagi kalian untuk tidak berbuat zhalim.” (QS. An-Nisa’: 3)

Jadi Allah mewajibkan agar menikahi satu istri saja jika seseorang khawatir tidak mampu berbuat adil. Seorang wanita tidak diragukan lagi jika dia mendengar suaminya ingin menikah lagi maka sikapnya kepada suaminya berubah, tetapi sepantasnya baginya untuk menyiapkan dirinya dan menenangkannya dan hendaknya dia mengetahui bahwa ketidak sukaan dan kecemburuan yang muncul semacam ini akan hilang jika suaminya telah menikah lagi. Ini adalah perkara yang sudah terbukti berdasarkan pengalaman.

Hanya saja seorang suami hendaknya bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam menegakkan sikap adil di antara istri pertama dan kedua, karena sebagian suami jika dia menyukai istri kedua, terkadang dia mengurangi hak istri pertama dan melupakan kebahagiaan yang pernah dia rasakan bersama istrinya yang pertama sebelumnya, sehingga dia pun lebih condong kepada istrinya yang kedua.

Siapa saja yang keadaannya demikian maka hendaklah dia menyiapkan dirinya menghadapi hukuman yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi was sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
"Barangsiapa memiliki dua orang istri, lalu dia lebih condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan pipinya miring.”  (Al-Albany rahimahullah berkata dalam Irwaa’ul Ghaliil no. 2017: “Shahih.”)

Kita berlindung kepada Allah darinya. Ketika itu seluruh manusia akan melihatnya, mereka akan menyaksikan pipinya miring sebelah, karena dia berpaling dari sikap adil, sehingga dia pun diberi balasan sesuai dengan dosanya, kita memohon keselamatan kepada Allah.

Pertanyaan: Syaikh, apakah sikap adil tersebut dalam hal nafkah dan bermalam saja?

Jawaban: Sikap adil dalam semua perkara yang memungkinkan untuk berbuat adil padanya. Yaitu dalam hal nafkah, bermalam, bahkan hingga dalam perkara hubungan suami istri jika dia mampu.

Sumber: forumsalafy[dot]net

###

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan: Ada sebagian wanita yang lebih mengutamakan adat istiadat masyarakat di Eropa atau di Barat secara umum atau di selain negara-negara Islam, dan mereka mengatakan bahwa poligami dilarang, padahal di sini misalnya menurut hukum syari’at poligami diperbolehkan. Maka apakah hukum mengecapkan tuduhan semacam ini terhadap Islam?

Jawaban:

Siapa saja yang membenci poligami dan dia mengklaim bahwa tidak melakukan poligami lebih utama maka dia kafir murtad dari Islam. Karena sesungguhnya –kita berlindung kepada Allah darinya– dia mengingkari hukum Allah dan membenci apa yang disyariatkan oleh Allah. Padahal Allah berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu karena mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah pun menggugurkan amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)
Siapa yang membenci apa yang diturunkan oleh Allah maka gugurlah amalnya dengan sia-sia. Jadi siapa yang membenci poligami dan dia menilai bahwa syari’at telah berbuat zhalim, atau menganggap bahwa hukum Allah dalam perkara ini kurang tepat atau tidak baik, atau menilai bahwa apa yang mereka lakukan di negara-negara Nashara dengan mencukupkan satu istri saja sebagai sesuatu yang lebih baik dan afdhal, maka ini semuanya merupakan kemurtadan dari Islam. Kita berlindung kepada Allah darinya.
Demikian juga orang yang menyatakan bahwa kewajiban shalat tidak tepat dan seandainya manusia dibiarkan tidak mengerjakan shalat maka itu lebih baik, atau dibiarkan tidak berpuasa tentu itu lebih baik, atau dibiarkan tidak menunaikan zakat tentu itu lebih baik. Siapa saja yang mengatakan ucapan semacam ini maka dia kafir.
Siapa yang menyatakan bahwa tidak shalat lebih utama, tidak puasa lebih utama, tidak ada zakat lebih utama, dan tidak mengerjakan haji lebih utama, maka dia kafir.
Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa tidak masalah berhukum dengan selain syari’at, bahkan hal itu boleh, walaupun hukum syari’at afdhal. Demikian juga jika dia menyatakan bahwa berhukum selain dengan apa yang Allah turunkan adalah boleh atau hal itu adalah sesuatu yang bagus, maka ini semua adalah kemurtadan dari Islam. Kita berlindung kepada Allah darinya.
Intinya siapa saja yang membenci apa yang Allah turunkan atau apa yang disyariatkan oleh Allah maka dia murtad. Demikian juga siapa saja yang senang dan ridha terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan dia menyatakan bahwa itu adalah perkara yang baik dan tepat, seperti zina dan mencuri, maka dia juga kafir.

Sumber transkrip: alifta[dot]net

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad Al-Wushaby hafizhahullah

Pertanyaan: Apa yang wajib atas seorang gadis muslimah dalam menyikapi poligami, seandainya ada pemuda yang shalih dan bertakwa yang telah menikah datang untuk melamarnya, apakah dia harus menerimanya? Atau bagaimana sikap seorang wanita yang telah menikah dan suaminya menikah lagi dengan wanita yang lain, apa yang wajib atasnya? Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan bahwa para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam cemburu dan membenci poligami? Bagaimana dengan wanita pada hari ini? Bagaimana jawaban Anda? Semoga Allah mengampuni Anda.

Jawaban:
Poligami merupakan sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menerapkannya dengan perbuatan beliau dan beliau bersikap adil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memilihkan untuk Nabi-Nya kecuali wanita yang terbaik dan paling sempurna. Jika seseorang merasa yakin akan mampu berbuat adil dan dia ingin melakukan poligami, maka dia telah melakukan amalan sunnah dan menerapkan sunnah yang dia akan mendapatkan pahala atasnya insya Allah. Namun wajib untuk bersikap adil di antara para istri. Seorang wanita jika dia menikah dengan pria yang telah beristri maka hal itu lebih baik dibandingkan dia hidup tanpa suami.
Jika dia dilamar oleh dua orang pria, satu yang telah beristri dan yang satu belum beristri maka hendaknya dia memperhartikan mana yang lebih besar maslahatnya. Misalnya jika dia melihat kebaikan akhlak pria yang telah beristri tersebut atau ilmunya atau adabnya atau ketakwaannya lebih dibandingkan pria yang belum beristri tadi, maka yang lebih baik baginya adalah dengan memilih pria yang telah beristri yang memiliki sifat-sifat seperti ini. Adapun jika sama sifat-sifat dari orang yang telah beristri dan yang belum beristri dari pemuda penuntut ilmu yang istiqamah, maka dia bisa memilih. Tetapi jika dia ingin memilih yang telah beristri dan tidak memilih yang belum beristri, hendaknya dia beristikharah meminta petunjuk kepada Allah mana yang lebih menyenangkan bagi hatinya, setelah itu dia bisa menerima baik yang ini maupun yang itu. Hal ini karena sifat-sifat dari keduanya berimbang.
Yang jelas teranggap sebagai kesalahan jika muncul ketidaksukaan secara pribadi pada sebagian wanita terhadap poligami. Ini merupakan kesalahan, kesalahan besar yang harus diluruskan. Karena kesalahan bukan dari poligami itu sendiri, tetapi kesalahan itu pada pihak yang melakukan poligami jika dia tidak berbuat adil dan tidak bertakwa kepada Allah, maka itu merupakan kesalahan darinya. Adapun poligami itu sendiri termasuk syari’at Islam dan merupakan perkara yang disyariatkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ ﻓَﺈِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮْﺍ ﻓَﻮَﺍﺣِﺪَﺓً ﺃَﻭْ ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ ﺃَﻳْﻤَﺎﻧُﻜُﻢْ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﻌُﻮْﻟُﻮْﺍ
“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi sebanyak dua, atau tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu wanita saja, atau gaulilah budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih mudah bagi kalian untuk tidak berbuat zhalim.” (QS. An-Nisa’: 3)
Jadi poligami merupakan syari’at Allah yang diturunkan dari langit. Kesalahan bukan padanya, tetapi pada sebagian orang yang melakukan poligami kemudian tidak bersikap adil.
Adapun ucapannya dalam pertanyaan tadi, “Bagaimana membantah orang yang mengatakan bahwa para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam cemburu dan membenci poligami,” pernyataan bahwa mereka membenci poligami maka itu tidak benar. Bagaimana mungkin mereka membenci sesuatu yang disyariatkan oleh Allah?! Dan mana bukti yang menunjukkan bahwa mereka membenci poligami?! Adapun mereka cemburu maka hal ini mungkin saja terjadi. Tetapi mereka bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan Allah menjadikan poligami sebagai ujian bagi pria dan juga bagi wanita. Bahkan semua hukum syari’at merupakan ujian dari Allah, agar nampak siapa yang menerimanya dan siapa yang tidak menerimanya, siapa yang tunduk kepada kebenaran dan siapa yang menentang. Maka wajib atas kita untuk mendengar dan taat kepada Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sumber: forumsalafy .net

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

Penanya: Ada penanya yang mengatakan bahwa dia menikahi 2 orang istri.

Asy-Syaikh: Maasya Allah.

Penanya: Masalahnya wahai Syaikh, ketika istri pertama mengetahui saya menikah lagi maka dia mengumumkan perang terhadap saya, padahal saya juga tidak mau mencerai istri baru saya, maka apa yang harus saya lakukan?

Asy-Syaikh:
Yang pertama, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas usahamu menghidupkan sunnah yang manusia mulai mematikannya. Tetapi saya ingin menasehati dirimu dan orang-orang yang semisal denganmu yang senang melaksanakan poligami dan menerapkan sunnah ini:
Pertama, hendaknya engkau telah siap dari semua sisi, baik secara materi, maknawi, mental, tempat tinggal dan yang lainnya, karena kami pernah merasakan hidup di masa yang sedikit susah, karena dahulu ayah kami awalnya menempatkan para istrinya di satu rumah. Saya ingat bahwa dahulu para istri ayah saya –semoga Allah merahmati beliau– mereka tinggal di satu kamar ketika saya masih kecil. Hanya satu kamar karena kami tidak memiliki kecuali satu kamar saja. Kemudian menjadi dua kamar, namun kamar mandi dan dapurnya masih satu. Dan ketika beliau wafat, dapur kami masih tetap satu. Yang menjadi pelajaran dari kisah ini adalah hendaknya seorang muslim berusaha sekuat tenaga untuk bersikap hati-hati sebelum melakukan segala sesuatunya, sama saja apakah ketika menikah dengan istri yang pertama, kedua, ketiga dan keempat. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap hati-hati.
Kedua, hendaknya dia mampu bersikap adil dan siap menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi, karena poligami bukan perkara yang gampang. Saya tidak bermaksud untuk mengesankan kepada kaum Muslimin bahwa itu adalah sesuatu yang sulit. Tidak demikian, poligami perkaranya mudah bagi siapa saja yang diberi taufik oleh Allah Azza wa Jalla dan dia menempuh sebab-sebab yang disyariatkan sebagai persiapan baginya.
Kemudian sebagian manusia mereka memiliki cara tersendiri yang terkadang merugikan dirinya sendiri dan merusak pernikahannya karena dia menikah tanpa sepengetahuan istri pertama. Kalau hal itu sebelum melakukan akad mungkin saja engkau tidak memberi tahu istri pertama karena khawatir akan terjadi masalah. Tetapi setelah engkau selesai melakukan akad, siaplah menghadapi semua urusanmu dan beritahukanlah kondisimu.
Berikutnya tempuhlah cara-cara yang baik dalam menghadapi istri pertama dan kesankanlah bahwa engkau tetap menghargai dan memuliakan, dan mencintainya. Dan jika engkau masuk ke rumah salah satu istrimu maka jangan sekali-kali engkau membicarakan kelebihan atau keadaan rumah istrimu yang lain. Jika engkau masuk ke salah satu rumah istrimu maka jadikanlah suasananya seakan-akan engkau hanya hidup di rumah itu saja.
Bersikaplah yang adil karena sikap yang adil sangat penting. Aturlah urusanmu, berbuatlah yang adil, dan bersikaplah yang lembut kepada mereka, bicaralah dengan mereka secara halus, dan temuilah ke istri pertama yang melancarkan perang terhadapmu, ucapkanlah salam kepadanya. Bersikaplah yang lembut kepadanya dan tenangkan dirinya, yaitu mendekatlah kepadanya dengan kata-kata yang baik dan kesankan kepadanya bahwa cintamu kepadanya tidak berubah dan seterusnya.
Jadi berusahalah sekuat tenaga dan mintalah bantuan kepada keluarganya jika keluarganya termasuk orang yang mau membantumu, dan juga mintalah bantuan setelah kepada Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang baik dari mereka. Berikan kesempatan mereka untuk bisa menemuinya dan mintalah agar mereka menasehatinya dan mengarahkannya. Berbuatlah yang adil karena perkara yang paling penting adalah sikap yang adil, serta mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla. Dan jangan sekali-kali engkau berusaha mendapatkan keridhaannya dengan cara mencerai istri yang kedua.
Kalau perkaranya tidak juga membaik maka pisahlah tempat tinggal mereka dan tempatkanlah masing-masing di tempat tersendiri serta jauhkanlah salah satu dari yang lainnya hingga tidak ada tempat atau cara yang bisa menimbulkan persaingan.
Bersungguh-sungguhlah engkau dalam menerapkan syariat dan bergembiralah insya Allah. Mungkin engkau bisa menemui saya di perpustakaan dan saya akan memberimu pengarahan khusus insya Allah Ta’ala, besok atau lusa. Maksudnya suruhlah orang yang bertanya tersebut ke perpustakaan dan insya Allah saya akan memberinya pengarahan khusus dalam masalah ini.

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

Pertanyaan: Bolehkah bagi saya untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama karena dia tidak ridha?

Jawaban:
Kenapa wahai penakut (Syaikh
bercanda sambil tertawa), kenapa?! Kebanyakan kita penakut dalam masalah ini. Jangan sampaikan hal ini kepada para istri setelah ini, nanti mereka tidak akan menerimanya walaupun yang disampaikan adalah hadits! (Syaikh tertawa).

Yaa ikhwah!! Istri pertama tidak punya hak untuk melarangmu atau menghalangimu untuk menikah lagi. Tetapi engkau introspeksilah keadaan dirimu, kalau engkau benar-benar seorang laki-laki sejati dan engkau merasa mampu untuk berbuat adil (setelah mampu secara materi dan fisik) dan hatimu kuat serta mampu bersabar menghadapi apa yang engkau dengar dan menutup mata terhadap banyak ucapan manusia, dan yang pertama kali berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk bersikap adil, maka majulah! Tetapi jika menurut dugaan kuatmu engkau akan berat sebelah dan tidak bisa berbuat adil, maka jangan maju!

Saya menduga jika masalahnya sampai engkau takut untuk memberi tahu istri maka perkaranya sudah sangat berbahaya. Ya, engkau harus berusaha untuk bersikap lembut terhadapnya, engkau sampaikan pendahuluan, yaitu dengan engkau berusaha sungguh-sungguh untuk mendinginkan suasana, dan berusaha membuatnya ridha dengan memberinya harta, dengan sikap lembut atau dengan memberi hadiah. Kemudian seandainya ditakdirkan dia tetap tidak ridha dan tidak mungkin menyetujuinya, maka engkau tidak diharuskan untuk mendapatkan persetujuannya. Hidupkanlah sunnah ini!! Para wanita kaum mukminin masih banyak yang menganggur (belum menikah) di rumah-rumah, dalam keadaan menjadi perawan tua. Di sebagian rumah ada 10 wanita yang belum juga menikah, sebagian mereka bahkan ada yang telah mencapai usia 40 dan 50 tahun. Sebagian kita ada yang membebek orang-orang Barat karena suka mendengar sandiwara atau sinetron yang rendah tak bermoral –dan semua sandiwara memang tak bermoral– yang memberikan gambaran yang buruk terhadap pernikahan dan poligami dan yang lainnya.

Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ
“Maka nikahilah wanita yang kalian sukai sebanyak dua, tiga dan empat.” (QS. An-Nisa': 3)
Allah memulai dengan menyebutkan perintah untuk menikahi 2 wanita. Oleh karena itu saya teringat guru kami Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah –dan beliau memiliki salaf dalam hal ini– beliau pernah menyatakan bahwa hukum asal
pernikahan adalah poligami. Sedang tidak melakukan poligami adalah hanya ketika khawatir tidak mampu berbuat adil (di samping kemampuan lahir batin).

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah

Intinya bahwasanya pemikiran untuk menolak atau tidak mau melakukan poligami yang menjalar pada gadis-gadis muslimah adalah pemikiran yang sangat berbahaya dan menyelisihi syariat Islam. Maka hendaknya mereka membuang hawa nafsu pribadi dan menundukkan diri mereka kepada hukum-hukum syariat. Kalau tidak demikian, maka mereka tidak menjadi muslimah yang shalihah dengan sebenarnya sebagaimana yang sering diklaim oleh sebagian mereka bahwa mereka adalah wanita yang multazimah
(berpegang teguh dengan syari’at Allah). Tetapi ketika diarahkan kepada hukum syari’at semacam ini, dia mengingkarinya. Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman dalam ayat.yang jelas dalam Al-Qur’an:
ﻓَﻼ ﻭَﺭَﺑِّﻚَ ﻻ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤَﻜِّﻤُﻮْﻙَ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺷَﺠَﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻻ ﻳَﺠِﺪُﻭْﺍ ﻓِﻲْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﺣَﺮَﺟًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻴْﺖَ ﻭَﻳُﺴَﻠِّﻤُﻮْﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤًﺎ
“Maka demi Rabbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan dirimu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menjumpai dalam hati mereka suatu keberatan sedikitpun terhadap keputusan yang engkau tetapkan, dan mereka tunduk menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa': 65)
Maka saya menasehati para gadis agar mereka membuang jauh-jauh dari pikiran mereka masalah tidak membolehkan poligami kecuali karena darurat. Bahkan bolehnya poligami bukan karena alasan darurat. Dan hal itu lebih baik bagi para pemuda muslim karena adanya larangan melampiaskan syahwat seperti hewan. Maksudnya menyalurkan syahwatnya dengan cara yang halal dengan menikahi istri kedua, lebih baik baginya dibandingkan dengan dia menyalurkannya dengan cara yang haram, misalnya dengan cara memiliki pacar atau kekasih gelap yang itu merupakan perkara yang haram. Hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah ditanya:

Wahai Syaikh kami, beberapa kali saya ingin melakukan poligami, terlebih lagi dengan banyaknya anak perempuan, perawan tua dan para wanita yang dicerai di masa ini. Masalahnya bagaimana menerapkannya dalam keadaan mayoritas manusia baik yang berilmu maupun yang bodoh dan awam menentangnya. Juga sebagian pemerintah Muslimin mengharamkan poligami namun justru membolehkan hubungan yang tidak halal. Di samping itu sebagian ulama ada yang membawakan dalil untuk menolaknya dengan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang melarang Ali untuk memadu Fathimah dan alasan lainnya?

Jawaban:

(Seorang penyair) berkata:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟْﻮُﺩُّ ﻓَﺎﻟْﻜُﻞُّ ﻫَﻴِّﻦٌ … ﻓَﻜُﻞُّ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻓَﻮْﻕَ ﺍﻟﺘُّﺮَﺍﺏِ ﺗُﺮَﺍﺏُ
Jika cintamu jujur maka perkaranya akan mudah semua
Karena semua yang di atas tanah adalah tanah juga

Jika engkau membuat ridha Rabbmu maka manusia tidak akan bisa merugikanmu sedikitpun, mereka ridha ataupun marah. Memang wajib untuk engkau hadapi semampumu, tetapi hal itu tidak boleh sampai mengorbankan agamamu dan mengalah dalam urusan agamamu. Kalau keadaanmu memang seperti apa yang engkau sebutkan yaitu memiliki keinginan untuk melakukan poligami DAN ENGKAU TERMASUK ORANG YANG MAMPU MELAKUKANNYA SECARA MATERI DAN MAKNAWI, yaitu engkau mampu secara materi di mana engkau tidak tertimpa madharat dengan sebab itu dan engkau juga tidak membebani dirimu dengan hal-hal yang engkau tidak mampu, juga engkau menjumpai di dalam hatimu bahwa engkau akan konsekuen dengan syaratnya, yaitu bersikap adil di antara para istri, kalau semua itu ada pada dirimu, maka bacalah bismillah dan majulah. Engkau jangan mempedulikan penolakan manusia dan ucapan mereka yang terpengaruh dengan (penggambaran negatif) sandiwara dan film rusak yang ditayangkan di sebagian negara-negara Arab dan selainnya. Maka hendaknya engkau bersemangat untuk menerapkan As-Sunnah karena itu merupakan jalan menuju jannah, dan engkau jangan mempedulikan penolakan manusia. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺭْﺿَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑِﺴَﺨَﻂِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَﺨِﻂَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﺳْﺨَﻂَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
"Barangsiapa yang membuat ridha manusia dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan murka Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan juga akan menjadikan manusia marah kepadanya.” (Silsilah Ash-Shahihah no. 2311)

Perkaranya memang seperti yang engkau sebutkan; rumah-rumah kaum Muslimin penuh dengan perawan tua, yaitu ratusan ribu jumlah mereka di rumah-rumah itu. Kalau engkau tidak mau melakukan poligami dan di sana juga orang lain tidak mau melakukannya, maka (keadaannya seperti ucapan penyair):
ﺃُﻃَﻮِّﻑُ ﻣَﺎ ﺃُﻃَﻮِّﻑُ ﺛُﻢَّ ﺁﻭِﻱْ … ﺇِﻟَﻰ ﺑَﻴْﺖٍ ﻗَﻌِﻴْﺪَﺗُﻪُ ﻟَﻜَﺎﻉِ
Aku berkeliling dan berputar lalu aku masuk ke sebuah rumah
Ternyata di dalamnya yang ada hanya wanita (istri) yang itu itu saja

Akhirnya wanita yang tidak segera menikah tersebut ketinggalan rombongan, dan bisa jadi dia akan mendoakan keburukan kepada ayahnya atau walinya yang tidak mau menikahkannya dengan alasan walinya tersebut tidak menyukai poligami. Saya mengetahui permasalahan yang ada di masyarakat kita bahwa sebenarnya para gadis setuju dengan poligami, namun ayah dan ibunyalah yang menolak. Itulah di antara perkara yang menyebabkan anak-anak perempuan itu tetap bersama mereka hingga mereka meninggal dunia. Dan betapa banyak orang tua yang mati meninggalkan anak-anak perempuan dalam keadaan terlantar seperti anak-anak yatim. Maka tanganilah permasalahan ini. Adapun pada kita –walhamdulillah– di negara kita tidak ada yang menghalangi untuk melakukan poligami, karena kita tidak berhukum dengan undang-undang buatan manusia dan tidak pula dengan aturan-aturan yang dibuat-buat oleh orang-orang Barat. Allah berfirman:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ .
"Maka nikahilah wanita yang kalian sukai sebanyak dua, tiga dan empat.” (QS. An-Nisa': 3)

Walaupun sebagian masyarakat kita telah tertipu dengan kepalsuan orang-orang Barat dan memperingatkan manusia agar tidak melakukan poligami. Sebagian penulis rusak dan berpenyakit hatinya dan tidak ada kebaikan pada mereka, dari orang-orang yang tertipu dan bangga dengan budaya Barat dan Eropa serta orang-orang yang membebek gaya hidup saudara-saudara kera dan babi, maka mereka ini tidak usah dipedulikan dan jangan membebek mereka.
ﻭَﻣَﻦْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟْﻐُﺮَﺍﺏَ ﻟَﻪُ ﺩَﻟِﻴْﻠًﺎ … ﻳَﻤُﺮُّ ﺑِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻴَﻒِ ﺍﻟْﻜِﻠَﺎﺏِ
Barangsiapa menjadikan burung gagak sebagai penunjuk jalan
Maka dia akan diajak melewati bangkai anjing yang bertebaran

Maka engkau tidak usah mempedulikan burung-burung gagak itu, tetapi perhatikanlah petunjuk Nabimu shallallahu alaihi wa sallam! Jadi ada negara-negara yang melarang poligami namun membolehkan pacar atau wanita selingkuhan, kita berlindung kepada Allah darinya. Saya ingin menyampaikan kalimat; sebagian kita ada yang melarang poligami namun membolehkan poliandri (satu wanita untuk banyak pria). Bagaimana maksudnya mereka membolehkan poliandri?! Yaitu dengan menjadikan wanita simpanan dan selingkuhan. Bahkan di sebagian negara-negara Arab Islam. Engkau bisa menjumpai seorang pemuda berjalan bersama satu atau dua wanita selingkuhan atau pacar. Justru berbagai celaan akan ditujukan kepadanya jika dia melakukan pernikahan poligami. Dia malah diperbolehkan memiliki puluhan pacar yang diajaknya ke mana dia suka tanpa tujuan yang jelas, bahkan terkadang melakukan safar dengan mereka di dalam maupun di luar negeri, sehingga dia seperti kambing jantan di tengah-tengah para wanita itu. Maka di letakkan di mana akal orang-orang yang melarang petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan memilih menggantinya dengan undang-undang dan peraturan yang dibuat-buat oleh orang-orang Barat. Allah berfirman:
ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻳَﺘَﺪَﺑَّﺮُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﻋِﻨْﺪِ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﻮَﺟَﺪُﻭْﺍ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﺧْﺘِﻠَﺎﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ .
"Tidakkah mereka merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, seandainya Al-Qur’an itu bukan berasal dari perkataan Allah, niscaya mereka akan menjumpai pada pertentangan yang banyak.” (QS. An-Nisaa': 82)
Juga firman-Nya:
ﺃَﻓَﺤُﻜْﻢَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﻳَﺒْﻐُﻮْﻥَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣُﻜْﻤًﺎ ﻟِﻘَﻮْﻡٍ ﻳُﻮﻗِﻨُﻮْﻥَ.
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan hukum Allah bagi kaum yang yakin.” (QS. Al-Maaidah: 50)

Maka wahai orang-orang yang suka membebek orang-orang Barat, takutlah kalian kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan tinggalkan sikap membebek dan meniru secara membabi buta semacam ini seperti burung beo. Sebagian manusia ada yang seperti burung beo atau orang yang dungu yang suka menirukan manusia pada semua yang mereka lakukan. Kalau manusia berbuat jahat dia pun ikut berbuat jahat, dan kalau.mereka berbuat baik dia pun ikut berbuat baik. Bahkan seringnya dia tidak bisa berbuat baik, bisanya hanya berbuat yang buruk saja. Maka hati-hatilah wahai hamba Allah! Kami dahulu pernah pergi ke salah satu negara Barat, saya sendiri bersama salah seorang ikhwah. Kami membeli sebagian barang untuk keluarga kami setelah kami menyelesaikan keperluan kami di negara Barat tersebut. Maka wanita yang menjual barang tersebut melihat saya membeli beberapa barang dan saya mensyaratkan agar barang-barang tersebut satu jenis. Pakaian misalnya saya syaratkan agar satu model, demikian juga barang apapun yang ingin saya beli untuk keluarga saya maka saya mensyaratkan agar satu jenis. Maka wanita tersebut menanggap hal itu aneh dan dia bertanya kepada penerjemah karena saya terlalu bagus menggunakan bahasa Inggris: “Kenapa orang ini selalu membeli barang yang sejenis dan pakaian yang satu model, sampai pakaian dalam pun harus satu model dan juga… harus satu model?!” Karena dia terkadang hanya menunjukkan jumlah yang sedikit dan tidak mencukupi. Jika dia memberi barang yang jumlahnya ada 3 maka saya membeli, kalau tidak maka saya kembalikan dan tidak jadi saya beli. Wanita tersebut menganggap aneh dan dia bertanya ke penerjemah. Maka penerjemah pun memberi tahunya bahwa saya memiliki lebih dari satu istri, dan Islam memang membolehkan bagi pria untuk menikah dengan 4 wanita. Maka wanita tersebut pun berteriak seperti lolongan anjing, yaitu berteriak dengan keras. Maka saya katakan ke penerjemah: “Tanyakan kepada wanita tersebut, katakan kepadanya bahwa saya memiliki 3 istri, tetapi saya sama sekali tidak memiliki wanita selingkuhan. Tetapi tanyakan kepadanya berapa wanita selingkuhan yang dimiliki oleh suaminya dan berapa pria yang menjadi selingkuhan wanita itu sendiri?” Ketika ikhwah penerjemah tersebut mengatakan hal itu maka wanita itu pun menundukkan kepalanya dan dia bertanya: “Kalian tidak memiliki wanita selingkuhan?!” Kami jawab: “Tidak, demi Allah. Tidak mungkin hal itu.” Dia juga bertanya: “Dan para istri kalian juga tidak memiliki pria selingkuhan?” Kami jawab: “Ya.” Dia mengomentari: “Jika perkaranya demikian maka kalian lebih baik dibandingkan kami.” Saya pun menimpali: “Kami memang lebih baik dibandingkan kalian dalam segala hal.” Maka segala puji bagi Allah.yang telah memberikan hidayah kepada kita, dan sekali-kali kita tidak akan mendapatkan hidayah seandainya Allah tidak memberi kita hidayah. Kemudian wanita itu mengatakan: “Di sebuah wilayah di negara kami ada orang yang menikah dengan hingga 100 wanita.” Kami katakan: “Adapun kami maka tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan, karena perkaranya diatur oleh syari’at.” Ikhwah yang menjadi penerjemah tadi mengatakan bahwa sepertinya wanita tersebut memiliki keinginan untuk masuk Islam. Namun setelah itu saya melanjutkan safar dan tidak tahu apakah dia benar-benar masuk Islam atau tidak. Saya tidak menyampaikan hal ini sekedar sebagai cerita, karena saya termasuk orang yang memperingatkan agar jangan memperbanyak cerita tanpa ada kebutuhan, demikian juga banyak cerita akan menyia-nyiakan waktu. Tetapi saya sampaikan hal ini sebagai pelajaran. Perhatikanlah bagaimana wanita yang kafir tersebut mengakui kebaikan agama Islam hanya dengan menilai dari masalah poligami dan larangan memiliki pria.atau wanita selingkuhan atau pacar. Paham masalah ini? Maka oleh karena itu saya ingatkan negara-negara yang melarang poligami namun justru memperbolehkan wanita selingkuhan, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dan mengembalikan syari’at Allah serta menerapkannya sebelum mereka mati dan menanggung dosa umat yang mereka pimpin ini.
ﻭَﺳَﻴَﻌْﻠَﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮْﺍ ﺃَﻱَّ ﻣُﻨْﻘَﻠَﺐٍ ﻳَﻨْﻘَﻠِﺒُﻮْﻥَ .
"Dan kelak orang-orang yang zhalim itu akan mengetahui ke mana mereka akan dikembalikan.” (QS. Asy-Syu’araa': 227)

Penanya:

Bagaimana mengenai pendalilan sebagian ulama dengan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap Ali?

Asy-Syaikh:

Pendalilan ini tidak tepat karena dua hal:
Pertama: Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki kekhususan.
Kedua: Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengetahui keadaan Ali dan Fathimah.
Dan di sana ada perkara ketiga yaitu bahwasanya beliau tidak melarangnya dan tidak bermaksud menyakitinya. Dan setelah itu Ali radhiyallahu anhu menikah dengan wanita lain. Mungkin saja Ali mengetahui berita, atau Nabi shallallahu alaihi wa sallam merahasiakan kepada Fathimah bahwa dia adalah yang akan pertama kali menyusul beliau. Kemudian Amirul Mu’minin Ali sepeninggal.Fathimah menikah dengan beberapa wanita.

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh:
Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

Pertanyaan:
Penanya mengatakan bahwa dia ingin melakukan poligami, tetapi ibunya melarangnya dengan keras seraya mengatakan: “Ayahmu saja tidak melakukan poligami!” Maka apa yang harus dia lakukan?

Jawaban:
Ini adalah alasan yang sangat lemah, yaitu jika ayahnya tidak melakukan poligami lalu mengharamkannya dari sesuatu yang Allah bolehkan. Jika dia mendapati kemampuan pada dirinya, baik secara materi, maknawi, dan harta, maka hendaklah dia melakukan poligami dan menghancurkan ikatan di leher ini yang membelenggu kaum Muslimin disebabkan sikap mereka yang membebek kepada orang-orang Barat dan disebabkan sikap taklid mereka kepada orang-orang kafir. Maka hendaknya dia menghancurkan hal tersebut dan memiliki tekad yang kuat. Dan ibunya tidak berhak untuk melarangnya darinya jika dia mendapatkan wanita yang shalihah. Memang ibunya boleh menasehatinya jika misalnya dia ingin menikahi wanita yang tidak shalihah. Adapun jika didapatkan wanita yang shalihah maka wajib atasnya untuk melakukan poligami dengan syarat adanya kemampuan.

Pertanyaan:
Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Anda, bagaimana jika ibunya khawatir kalau anaknya melakukan poligami maka ayahnya akan ikut-ikutan melakukan poligami?

Jawaban:
Jika hal itu karena sisi ini (Syaikh tertawa), maka hendaknya dia menambah istri lebih banyak lagi. Dan ini sebagaimana yang telah saya katakan bahwa upaya memerangi terhadap poligami ini dan terhadap sebagian ajaran Islam termasuk perkara yang paling berbahaya yang membuat terlantar sekian banyak anak-anak perempuan di rumah-rumah mereka. Sekarang ini rumah-rumah itu ada sesuatu yang tersembunyi yaitu padanya terdapat puluhan anak-anak perempuan yang belum juga menikah disebabkan adanya upaya memerangi poligami. Poligami telah diperangi di majalah, di surat kabar, di sandiwara, di film-film cabul, dan dengan berbagai cara. Dan kaum Muslimin hendaknya mereka merasa mulia dengan agama mereka dan jangan menoleh kepada berbagai seruan bathil ini yang hanya akan menghalangi mereka dari kebaikan ini (poligami). Demi Allah, seandainya mereka mau menerapkannya niscaya mereka akan memuji Allah Azza wa Jalla. Tetapi mereka penakut, mata orang-orang yang penakut tidak akan bisa tidur. Maka wajib atas kita untuk menghancurkan perkara-perkara ini, hanya saja sebagaimana yang telah saya katakan wajib atas seorang muslim untuk menetapi sikap adil dalam perkara tersebut dan berusaha sekuat tenaga untuk bersikap adil, karena Allah berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً.
“Namun jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu wanita saja.” (QS. An-Nisa’: 3)
Jika engkau mendapati pada dirimu kemampuan untuk berbuat adil, maka hendaknya engkau bersegera untuk menghancurkan tali semacam ini yang telah membelenggu leher-leher kita disebabkan sikap membebek kepada orang-orang Barat. Siapa saja yang mendapapati kemampuan pada dirinya maka hendaklah dia bersegera melakukannya dan berbuat baik dengan menikahi para muslimah yang menjaga kehormatannya yang masih banyak tersembunyi di rumah-rumah mereka. Jadi sepantasnya bagi kita untuk menghidupkan sunnah-sunnah ini dan hendaknya kita berdiri dengan tegar untuk menghadang siapa saja yang menentangnya.

forumsalafy .net

###

Asy Syaikh al-Allamah al-Faqiih Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Seorang penanya dari Riyadh berkata: Wahai Syaikh yang mulia, bagaimana pendapat anda tentang poligami dan apa saja syaratnya?

Jawaban:
Kami memandang bahwa poligami itu lebih utama dari sekedar mencukupkan diri dengan seorang isteri. Karena dengan poligami akan didapat banyak keturunan serta lebih menjaga kemaluan. Dan mayoritas di berbagai masyarakat yang ada, dijumpai bahwa wanita itu lebih banyak berbilang dari pada kaum pria, sehingga mereka membutuhkan sosok yang dapat memberikan penjagaan bagi kemaluan-kemaluannya. Sang insan bila ia memiliki seorang isteri, maka sungguh ia telah berbuat baik kepada seorang wanita dan ia telah mengajarinya dari berbagai perkara syari yang telah Allah ajarkan padanya.
Namun bila ia memiliki dua orang isteri maka akan semakin banyak kebaikan. Sehingga ia akan mengajari dua orang, membimbing dan memenuhi kebutuhan pokok keduanya. Dan bila memiliki tiga orang isteri, akan lebih banyak kebaikannya. Empat orang isteri, tentu lebih banyak lagi kebaikannya.
Sehingga setiap berbilangnya jumlah isteri maka akan lebih utama dan lebih baik untuk berbagai kemaslahatan yang mengikutinya. Akan tetapi harus ada syarat-syaratnya.
Syarat yang pertama: Kemampuan finansial, yaitu seorang insan memiliki sesuatu yang akan ia serahkan sebagai mahar dan akan ia nafkahkan kepada isteri-isterinya.
Syarat yang kedua: Kemampuan fisik, yaitu memiliki syahwat dan kekuatan yang dengan itu ia dapat menunaikan kewajibannya terhadap para isterinya tersebut.
Syarat yang ketiga: Mampu berbuat adil, yaitu dengan mengetahui dari dirinya sendiri, bahwa ia mampu untuk berbuat adil di antara isteri yang baru dan isteri yang lama. Oleh karena itu bila ia mengkhawatirkan dirinya tidak akan dapat berbuat adil, maka sungguh Allah tabaraka wa taala telah berfirman:
فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة
Jika kalian khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja. (an-Nisaa: 3)
Yaitu cukupkanlah dengan seorang wanita saja.
ذلك أدنى أن لا تعولوا
Yang demikian itu lebih dekat agar kalian tidak berbuat zhalim. (an-Nisa: 3)
Dan di saat berbilangnya jumlah isteri (suami berpoligami), maka tidak sepantasnya sang isteri itu marah, bersedih, dan mempersembahkan perlakuan yang buruk terhadap suaminya hanya dikarenakan ia menikah lagi. Karena poligami itu termasuk di antara hak suami. Oleh karena itu wajib atas sang isteri untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah terhadap apa yang menimpanya dari berbagai perkara yang akan mengurangi kehidupannya. Bila ia (sang isteri) melakukannya, niscaya Allah Azza wa Jalla akan menolongnya mengemban urusan ini yang dilihatnya termasuk di antara petaka yang paling besar.
Oleh karena itu, kami mendengar di sebagian tempat, yang suami itu berpoligami dan berbilangnya jumlah isteri menurut mereka sebuah hal yang biasa, kami mendengar bahwa isteri yang lama itu tidak berduka, tidak galau, dan tidak bersedih hati bila suaminya menikah lagi dengan isteri yang baru. Jadi masalah itu muncul berdasarkan kebiasaan. Jika daerah tersebut tidak terbiasa dengan para pria yang berpoligami, maka akan berat bagi wanita itu akan berbilangnya jumlah isteri. Namun bila di antara kebiasaan mereka adalah poligami, niscaya akan mudah baginya.
Maka kami katakan kepada wanita yang suaminya menikah lagi, bersabarlah dan harapkanlah pahala dari Allah, hingga Allah menolongmu atas semua itu dan menolong suamimu untuk berbuat adil.
Dan hendaklah suami itu berhati-hati dari sikap zhalim di antara para isterinya dan dari berbuat tidak adil karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengancam siapa saja yang berbuat demikian di dalam sabdanya:
من كان له امرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل
Barang siapa memiliki dua orang isteri, lalu ia condong kepada salah satunya, maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan miring sebelah sisinya.
Maka wajib atasnya berbuat adil di antara isteri-isterinya di segala hal, di perjalanan jauh, di dalam bertutur, di saat lapang, ketika bermalam, di segala hal yang ia mampui.
Adapun kecintaan, maka itu sebuah perkara yang tidak di bawah kehendak seorang insan, oleh karena itu, ia tidak wajib berbuat adil di antara para isterinya dalam masalah (membagi) kecintaan, karena hal itu tidaklah kembali kepadanya. Hati itu di tangan Allah Azza wa jalla. Ia memalingkannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Hanya saja, tiap sesuatu yang seorang suami itu mampu berbuat adil padanya maka hal itu wajib atasnya.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Sumber:
www .ibnothaimeen .com/all/noor/article_3567 .shtml

Forum Salafy Indonesia

###

Tanya:
Afwan ustadz, mohon nasehatnya bagaimana trik dan tips agar poligami bisa langgeng? Karena melihat sebagian ikhwah banyak yang gagal dalam menjalani pernikahan poligami. Sebagai bekal kepada ikhwah yang ingin mengamalkan sunnah yang jarang diamalkan ini. Agar bisa langgeng, barokah pernikahannya.

Dijawab oleh Al Ustadz Askari hafizhahullah:

Masya Allah, ini membutuhkan daurah khusus. Intinya sama-sama harus memahami. Seorang istri shalehah tidak akan menghalangi suaminya untuk berpoligami karena itu bagian dari sunnah rasul shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam. Dan bahkan yang pertama kali diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala adalah poligami.
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰٰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat." (QS An-Nisaa: 3‏)
Iya kan? Itu yang pertama.
ﻓَﺈِﻥْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮﺍ ﻓَﻮَﺍﺣِﺪَﺓً
"Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja." (QS An-Nisaa: 3 ‏)
Nah ini alternatif. Jadi lebih banyak kaum muslimin yang memilih nikah alternatif, nikahnya cuma satu. Pernikahan alternatif, padahal yang utama adalah poligami.

Maka seorang muslim, muslimah tidak akan mengingkari hal ini. Jika seorang wanita itu shalehah maka di sini ujiannya. Apakah dia benar seorang wanita shalehah. Baru mendengar suaminya itu mau menikah itu sudah berontak-berontak.
" Saya bisa jadi gila "
" Saya akan bunuh diri "
" Saya akan...akan...akan... "
Penuh dengan ancaman, ini bukan wanita shalehah yang seperti ini. Wanita shalehah itu yang dikatakan oleh rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang wanita:
ﻓَﺎﻧْﻈُﺮِﻱ ﺃَﻳْﻦَ ﺃَﻧْﺖِ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺟَﻨَّﺘُﻚِ ﻭَﻧَﺎﺭُﻙِ
"Perhatikan wahai wanita, di mana kamu terhadap suamimu (kedudukan kamu terhadap suamimu), suamimu itu adalah surgamu atau nerakamu (yang menyebabkan kamu masuk surga atau menyebabkan kamu masuk neraka)." (HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahaby‏)

Jadi ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, dahulu di zaman rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang seperti ini tidak ada problem. Yang menyebabkan timbulnya berbagai macam permasalahan, yang menyebabkan banyaknya para ummahat yang mempermasalahkan poligami, ini karena bisikan-bisikan syaithon. Syaithon dari kalangan jin dan manusia. Syubhat dari orang-orang kafir, yang menganggap bahwa poligami itu adalah aib, poligami itu adalah sesuatu yang tidak sepantasnya, poligami itu adalah pelampiasan syahwat dan yang lain sebagainya. Kalau kita kembali kepada hadits rasul shallallahu 'alaihi wasallam tidak akan ada permasalahan. Bukankah Ibnu Abbas radhiyallahu ta'ala anhu mengatakan:
ﻓﺘﺰﻭﺝ ﻓﺈﻥ ﺧﻴﺮ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﺃﻛﺜﺮﻫﺎ ﻧﺴﺎﺀ
"Menikahlah kamu, orang terbaiknya ummat ini yang paling banyak istrinya." (HR. Al-Bukhari no. 5069)

Kalau seorang wanita muslimah tunduk kepada firman Allah Subhanahu Wata'ala:
ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻤُﺆْﻣِﻦٍ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﻀَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨِﻴَﺮَﺓُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻫِﻢْ
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (QS Al-Ahzab: 36)
Mencari pilihan yang lain dengan akalnya, dengan perasaannya, dengan bisikan-bisikan syaithon, tidak sepantasnya.
ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮﻥَ ﻋَﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS An-Nuur: 63)

Karena jarangnya kaum muslimin, terkhusus ahlussunnah, belum melangkah sudah ketakutan. Selalu ingin jadi kelompok ISIS saja, Ikatan Suami Istri Satu. Rela menjadi kelompok ISIS? Mau melangkah ke yang berikutnya, itu ketakutan duluan. Takut, bagaimana mau menjadi lelaki?

Jadi ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, ini termasuk hal yang harus dihidupkan, sehingga tidak menjadi sesuatu yang asing di tengah-tengah para ummahat. Melihat seorang berpoligami itu kaya sesuatu yang menyelisihi adat kebiasaan. Tegang, pembicaraannya itu hal-hal yang negatif.
"Kamu tidak mampu!"
"Kamu tidak mampu!"
"Kamu tidak mampu!"
Diamalkan! Barangsiapa yang menjalankan sesuatu karena Allah Subhanahu Wata'ala, ingin memelihara dirinya agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan kemaksiatan, dan Allah Subhanahu Wata'ala maha mengetahui apa yang terdapat di dalam hati-hati manusia. Jika seorang mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, mengharapkan ridha Allah, ingin mengikuti sunnah rasul 'alaihi shallatu wasallam, Allah tidak akan menyia-nyiakan.
Wallahu a'lam.

Sumber:
thalabilmusyari .web .id