Cari Blog Ini

Minggu, 07 Desember 2014

Tentang MENGATASI ISTRI ATAU SUAMI YANG BERBUAT NUSYUZ

Islam telah memberikan bimbingan untuk mengatasi suami atau istri yang berbuat nusyuz. Islam juga tidak melarang apabila perpisahan terpaksa diambil ketika kedua pihak tidak bisa lagi disatukan.

Mengobati Istri yang Nusyuz

Apabila terjadi problem dalam rumah tangga, tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, padahal masalah itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah.
Demikian pula bila terjadi nusyuz (pembangkangan) dari pihak istri. Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam al-Qur’an,
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa’: 34)

Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan. Ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, “Istri itu diberi nasihat kalau memang ia mau menerima nasihat. Kalau tidak mempan, ia ditinggalkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)
Apabila cara nasihat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga, barulah ditempuh cara pukulan, namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 177)

1. Memberi nasihat dan bimbingan

Ini adalah langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasihat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dalam nasihat itu ia ditakut-takuti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, diingatkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya, diperingatkan akan dosa apabila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian apabila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasihat.” (al-Mughni, 7/241)

2. al-Hajr

Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasihat dalam upaya menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan, sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menafsirkan hajr dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya, dan memunggunginya. As-Suddi, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan, “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir al-Baghawi, 1/423)

3. Pukulan

Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan. Sebab, ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberikan tindakan fisik.
Termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan oleh al-Qurthubi rahimahullah dengan pukulan pendidikan (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (al-Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak keras atau meninggalkan bekas, sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ  رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian [1]. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras [2]. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Sahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud ( ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ) kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ialah pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504); atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang.
Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma tentang maksud ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.”
Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ-
“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)
Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk menzalimi para istri. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113)

Bagaimana Bila Suami yang Nusyuz?

Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya. Namun, tentu saja ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki serta lemahnya kemampuan dan kekuatannya.
Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya menjadi suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya, ia bisa melakukan hal-hal berikut.
1. Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
2. Menasihati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atasnya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
3. Sepantasnya istri selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya menyayanginya.

Jadi, ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al-Qur’an berikut ini,
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa’: 128)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka ia boleh untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya, atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami, dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya. Juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir ath-Thabari, 5/306)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya. Ketika istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya, nafkahnya, atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (al-Mughni, 7/243)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah berkata tentang ayat di atas, “Jadi, yang lebih baik dalam keadaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami, asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai). Atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya. Atau dalam hal giliran, ia menggugurkan haknya tersebut, atau dengan cara menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 206)

Mendamaikan Sengketa

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri….” (an-Nisa’: 35)
Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, sementara tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya, atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak. Satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun, jika tidak ada, boleh dari selain keluarga. (al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hlm. 473)
Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali, kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini yang dipegangi oleh mazhab Maliki, satu riwayat dari ulama mazhab Syafi‘i, dan satu riwayat dari ulama Hanbali. (al-Muwaththa’ karya al-Imam Malik rahimahullah, 2/584; al-Mughni, 7/243—244)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Dalam ikrar, ikatan itu ingin terus dijalin bersama
Namun seketika badai datang menerpa
Saat itu, ia pun terpaku seraya bertanya pada diri
Haruskah perjalanan kita berakhir di sini…?

Catatan kaki:

[1] Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi), seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

[2] Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsir rahimahullah.

Sumber: Asy Syariah Edisi 001
(ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

###

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم نشوز المرأة، وإذا لم ينفع الهجر، هل تفارق؟
Apa hukumnya seorang wanita yang berbuat nusyuz yang apabila diboikot tidak bermanfaat, apakah diceraikan?

Jawab:
نشوز المرأة هو ترفعها على زوجها من النشز  الأرض المرتفع، فإذا ارتفعت عليه في أخلقها و آدابها وعصت أوامرهٌ فقد نشزت، وإذا منعت حقهُ عليها، فهذا هو النشوز (وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ)، هذا أول شي يعالج في الموعظة، وأهجرهن في المضاجع هذا الحالة الثانية، هو الأعراض عنها في المضجع قيل لا ينام معها، وقيل ينام معها ولا يلتفت إليها، (وَاضْرِبُوهُنَّ) العلاج الأخير، الضرب غير المبرح، المراد الضرب غير المبرح، الزوج يضرب زوجتهُ، إذا نشزت، وأبت أن تبذل لهُ حقهُ عليها، فلهُ أن يعالجها بهذهِ الخطوات، الموعظة الهجر في المضجع، آخر شي الضرب لكنهُ يكون ضرباً غير مبرح، لا يكسر عظمن ولا يشق جلداً، ويحصل بهِ التأديب
Nusyuz seorang wanita ialah dia meninggikan diri di atas suaminya. Istilah ini terambil dari kata النشز yang artinya tanah yang tinggi.
Apabila seorang wanita bersikap lebih tinggi (sombong) terhadap suaminya dalam hal akhlak dan adab, serta tidak menaati perintah-perintah suami, berarti dia telah berbuat nusyuz. Demikian pula ketika si wanita menghalangi (tidak mau menunaikan) hak suami yang wajib dia tunaikan, ini juga perbuatan nusyuz.
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
(Dan istri-istri yang kalian khawatirkan perbuatan nusyuz mereka, maka berilah mereka nasihat), inilah hal pertama yang dilakukan (ketika istri melaukan nusyuz), yaitu memberi nasihat.
واهجرهن في المضاجع
(Boikotlah mereka di tempat tidur), ini keadaan (tahapan) yang kedua, yaitu (suami) berpaling dari istri di tempat tidur. Dikatakan bahwa maknanya ialah suami tidak tidur bersama istri. Dikatakan pula bahwa maknanya ialah suami tidur bersama istri, tetapi tidak menghadap (menoleh) kepadanya.
وَاضْرِبُوهُنَّ  
(Pukullah mereka), ini adalah solusi terakhir, yakni pukulan yang tidak melukai. Yang dimaksud (pukulan dalam ayat) adalah pukulan yang tidak melukai. Suami memukul istri ketika si istri berbuat nusyuz.
Jadi, ketika istri berbuat nusyuz dan tidak mau menunaikan hak suami yang wajib dia tunaikan, suami mengobatinya dengan langkah-langkah ini: memberi nasihat, memboikot di tempat tidur, dan yang terakhir ialah memukul dengan pukulan yang tidak melukai. Pukulan tersebut tidak mematahkan tulang, tidak pula merobek kulit, dan terwujud dengannya tujuan memberi pendidikan adab (kepada istri).

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/node/15493

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar