Cari Blog Ini

Minggu, 07 Desember 2014

Tentang MEMUTUS SHALAT SUNNAH KETIKA IQAMAT BERKUMANDANG

Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya jika muadzin mengumandangkan iqamat ketika masih ada jamaah yang shalat sunnah qabliyah? Ia beralasan bahwa yang shalat sunnah itu datangnya terlambat, yaitu setelah yang lainnya selesai shalat sunnah, dan ia ingin segera mendirikan shalat pada awal waktu (tidak mau menunggu lama-lama). Tolong ustadz, berikan solusi dan penjelasannya.

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc:

Peristiwa semacam ini tidak jarang terjadi. Dalam kondisi semacam ini, banyak pihak yang merasa bingung. Imam dan muadzin bingung, karena ingin mengumandangkan iqamat namun masih ada jamaah yang shalat sunnah. Jamaah juga bingung karena ingin shalat sunnah sementara jamaah lain sudah terlalu lama menunggu dan seakan-akan sudah mau iqamat, sehingga kalau dia melaksanakan shalat sunnah takut terkejar-kejar iqamat. Begitulah kondisi yang ada. Semua kebingungan ini terjadi karena mayoritas jamaah shalat, termasuk pula muadzin dan imam, belum mengetahui hukum iqamat dan shalat sunnah dalam kondisi semacam ini. Untuk itu saya akan mencoba menjelaskan beberapa hukum yang semoga bisa menjadi pencerahan yang memberikan solusi bagi banyak kaum muslimin yang belum mengetahui masalah ini.

Yang pertama harus kita ketahui adalah bahwa iqamat merupakan hak imam. Dialah yang menentukan iqamat, bukan muadzin apalagi jamaah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya al-Imam at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa muadzin lebih berhak dalam hal azan, sedangkan imam lebih berhak dalam hal iqamat.”
Dalam kitab al-Mughni (2/72) karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Tidak boleh dikumandangkan iqamat sampai imam mengizinkannya.”
Dalam kitab al-Majmu’ (3/138) karya an-Nawawi disebutkan, “Asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm, ‘Wajib bagi imam untuk mengontrol keadaan para muadzin agar mereka azan di awal waktu dan tidak menunggu mereka dalam hal iqamat. Imam juga wajib memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat pada waktunya.’ Ini teks ucapan beliau. Ulama yang semazhab dengan kami berkata, ‘Waktu azan diserahkan kepada pandangan muadzin. Ia tidak perlu bertanya dulu kepada imam. Adapun waktu iqamat diserahkan kepada imam, sehingga muadzin tidak boleh mengumandangkan iqamat melainkan dengan isyarat dari imam’.”
Dalam kitab Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi disebutkan, “Iqamat diserahkan kepada imam, bukan kepada muadzin.”

Pernyataan para ulama tersebut berdasarkan apa yang mereka pahami dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Di antaranya hadits Jabir bin Samuroh radhiallahu 'anhu, ia berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺆَﺫِّﻥُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻤْﻬِﻞُ ﻓَﻼَ ﻳُﻘِﻴﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺪْ ﺧَﺮَﺝَ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﺮَﺍﻩُ
“Adalah muadzin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menunggu sehingga ia tidak mengumandangkan iqamat sampai ia melihat Rasulullah keluar (dari rumahnya). Ia mengumandangkan iqamat saat melihat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi, Abwabu ash-Shalah, Bab Annal Imam Ahaq bil Imamah, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, (ia berkata):
ﺃَﺧَّﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﻋُﻤَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺭَﻗَﺪَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﻭَﺍﻟْﻮِﻟْﺪَﺍﻥُ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan shalat ini (isya). Umar lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, wanita-wanita dan anak-anak telah tertidur’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Beberapa ulama berdalil dengan hadits ini dalam masalah ini. Tampak dari kejadian tersebut bahwa para sahabat menunggu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal iqamat karena beliau adalah imam. Sampai-sampai Umar radhiallahu 'anhu mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa para wanita dan anak-anak telah tertidur, menunjukkan bahwa waktu sudah cukup malam. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar lalu melaksanakan shalat isya. Terdapat pula riwayat dari sahabat Ali radhiallahu 'anhu:
ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺄَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔِ
“Muadzin lebih berhak dalam hal azan, dan imam lebih berhak dalam hal iqamat.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, Abu Hafsh al-Kattani, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shughra. Riwayat ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah pada pembahasan hadits no. 46691. Lihat takhrijnya pada kitab tersebut)

Di antara hikmahnya adalah terkadang terjadi sesuatu pada imam, atau ada kebutuhan tertentu padanya, dia juga yang menentukan waktunya agar tepat menurut Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selaras dengan kondisi makmum. Oleh karena itu, adalah pantas jika iqamat tersebut menunggu izin atau perintahnya. (Mathalibu Ulin Nuha, Kasysyaful Qina’ dan Syarh Zadul Mustaqni’ karya al-Hamd)

Atas dasar ini, ketika imam memerintahkan atau mengizinkan muadzin untuk iqamat, hendaknya segera dikumandangkan, baik saat itu ada jamaah yang sedang shalat sunnah maupun tidak. Tidak mesti menunggu jamaah menyelesaikan shalat sunnahnya. Jadi, waktu iqamat diserahkan kepada imam dan pertimbangannya.

Yang kedua, masalah makmum: apa sikap makmum setelah muadzin mulai mengumandangkan iqamat?
Makmum bisa kita bagi menjadi dua.
1. Makmum yang tidak sedang melaksanakan shalat sunnah
2. Makmum yang sedang melaksanakan shalat sunnah.
Makmum yang tidak sedang melaksanaan shalat sunnah tidak boleh memulai shalat sunnah sementara muadzin sudah memulai iqamat. Hal itu berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃُﻗِﻴﻤَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻓَﻼَ ﺻَﻼَﺓَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮﺑَﺔُ
“Jika telah ditegakkan shalat maka tidak ada shalat selain shalat yang wajib.” (Sahih, HR. Muslim)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:
ﺇِﻻَّ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺃُﻗِﻴْﻤَﺖْ
“… Selain shalat yang ditegakkan.”
Makna ditegakkan shalat yakni dikumandangkan iqamat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Itulah makna yang dikenal. Al-Iraqi mengatakan, ‘Itulah yang langsung terpahami oleh pikiran tentang hadits ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)

Dilarangnya shalat tersebut apakah sejak awal iqamat atau akhirnya? Al-Iraqi menjawab, “Tampaknya yang dimaksud adalah ketika (muadzin) memulai iqamat agar makmum bersiap-siap mendapatkan takbiratul ihram bersama imam. Di antara yang menunjukan hal ini adalah hadits Abu Musa radhiallahu 'anhu dalam riwayat ath-Thabarani bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seseorang shalat dua rakaat sunnah fajar ketika muadzin memulai iqamat.” Al-Iraqi mengatakan, “Sanad hadits ini bagus.” Hal ini juga dipertegas oleh al-Mubarakfuri dalam Syarah at-Tirmidzi.
Dari sini, an-Nawawi menyimpulkan, “Hadits-hadits ini mengandung larangan yang tegas untuk memulai shalat sunnah setelah iqamat shalat dikumandangkan, sama saja baik sunnah rawatib seperti sunnah subuh, zuhur, dan asar, maupun yang lainnya.” (al-Minhaj Syarah Shahih Muslim)

Ibnu Hajar juga mengatakan, “Hadits itu mengandung larangan melakukan shalat sunnah setelah dimulainya iqamat shalat, sama saja baik itu sunnah rawatib maupun selainnya.” (Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari)

Menurut an-Nawawi, ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa bagi yang belum shalat dua rakaat sunnah (qabliyah) subuh hendaknya shalat di masjid setelah iqamat, selama tidak khawatir tertinggal rakaat kedua. Dalam hal ini, ada sembilan pendapat sebagaimana diterangkan oleh asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar dan dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi. Namun, pendapat asy-Syafi’i dan jumhur itulah yang dikuatkan oleh al-Mubarakfuri. Dengan demikian, dua rakaat qabliyah subuh pun tidak boleh dilakukan, walaupun keutamaan shalat tersebut sangat besar. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini.
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦِ ﺳِﺮْﺟِﺲٍ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻗَﺪْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮَ، ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺧَﻠْﻔَﻪُ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻲِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ، ﺛُﻢَّ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠﺮَّﺟُﻞِ: ﺃَﻳُّﻬُﻤَﺎ ﺟَﻌَﻠْﺖَ ﺻَﻠَﺎﺗَﻚَ، ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﻭَﺣْﺪَﻙَ، ﺃَﻭِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﻣَﻌَﻨَﺎ؟
Dari Abdullah bin Sirjis radhiallahu 'anhu —dan beliau telah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam— bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat fajar. Datanglah seseorang lalu shalat dua rakaat (sunat) fajar di belakang beliau. Dia kemudian masuk (shalat bersama jamaah). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari shalatnya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepada orang tersebut, “Shalat yang mana yang engkau anggap sebagai shalatmu: yang engkau shalat sendirian, atau yang engkau shalat bersama kami?!” (Sahih, HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lain. Hadits tersebut adalah lafadz Ibnu Hibban, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ: ﻛُﻨْﺖُ ﺃُﺻَﻠِّﻲ ﻭَﺃَﺧَﺬَ ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔِ، ﻓَﺠَﺬَﺑَﻨِﻲ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺗُﺼَﻠِّﻲ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ؟
Aku shalat sementara muadzin mulai mengumandangkan iqamat. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu menarikku dan mengatakan, “Apakah engkau mau shalat subuh empat rakaat?!” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Hakim, beliau mengatakan, “Sahih sesuai dengan syarat Muslim.”)

Adapun sikap makmum yang sedang melakukan shalat sunnah sementara muadzin mengumanangkan iqamat adalah sebagai berikut:
Secara ringkas, jika ia melanjutkan shalatnya akan menyebabkannya tertinggal takbiratul ihram maka hendaknya ia membatalkan shalatnya. Akan tetapi, kalau tersisa dari shalat sunnahnya kurang dari satu rakaat, hendaknya dia mempercepat dan tidak membatalkannya agar mendapatkan takbiratul ihram imam. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang lalu yang mengandung larangan mengerjakan shalat sunnah setelah dikumandangkannya iqamat. Berikut ini saya tambahkan juga beberapa keterangan ulama.

Ibnu Rajab mengatakan, “Jika seseorang telah memulai shalat sunnah sebelum iqamat, lalu iqamat dikumandangkan, dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya, ia tetap menyempurnakan shalatnya. Pendapat yang kedua, ia memutusnya.” (Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, dengan diringkas)

Yang berpendapat memutus adalah Said bin Jubair (seorang tabi’in), dan salah satu riwayat dari asy-Syafi’i serta Ahmad. Ini juga pendapat Zhahiriyah. Al-Lajnah ad-Daimah juga memfatwakan agar shalat sunnahnya diputus sehingga mendapatkan takbiratul ihram. (Fatwa no. 3763)

Ibnu Abdir Bar mengatakan, “Yang jadi hujjah saat perselisihan adalah sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, barang siapa berhujjah dengannya, dialah yang beruntung. Barang siapa menggunakannya, dialah yang selamat. Tidaklah aku diberi taufiq selain oleh Allah.” (at-Tamhid)

Muhammad bin Sirin (seorang ulama tabi’in) mengatakan, “Mereka tidak menyukai untuk shalat dua rakaat jika iqamat telah dikumandangkan.” Beliau juga mengatakan, “Apa yang tertinggal dari shalat yang wajib lebih saya sukai daripada kedua rakaat sunnah tersebut.” (at-Tamhid karya Ibnu Abdil Bar)

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hal itu karena apabila muadzin memulai iqamat berarti telah wajib masuk shalat bersamanya dan jamaah itu wajib. Maka dari itu, tidak boleh seseorang tersibukkan dengan selainnya yang lebih rendah nilainya. Barang siapa melakukan shalat setelah iqamat selain shalat yang wajib, seolah-olah ia menambah dalam shalat wajib, atau seolah-olah ia melakukan shalat wajib dua kali. Oleh karena itu, wallahu a’lam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan dengan sabdanya, “Apakah subuh itu empat rakaat?!” Demikian pula sabdanya, “Shalat yang mana yang engkau anggap, shalatmu yang sendirian atau shalatmu bersama kami?” Sebab, tidak ada shalat setelah iqamat melainkan shalat yang ditegakkan dengan iqamat tersebut. Demikian pula, shalat-shalat sunnah itu mungkin diqadha setelah shalat wajib. Adapun yang tertinggal dari batas awal shalat wajib dan selanjutnya dari shalat di belakang imam walaupun setelah satu rakaat secara berjamaah tidak mungkin diganti dengan qadha. Jelas bahwa menjaga yang tidak mungkin diqadha lebih utama daripada yang mungkin diqadha. Apa yang didapat berupa takbiratul ihram, ucapan amin, dan ruku’, itu lebih bagus dari seluruh shalat sunnah.” (Syarhul Umdah)

Asy-Syaikh Ubaidullah ar-Rahmani mengatakan, “Yang kuat menurut saya adalah ia memutus shalatnya saat iqamat dikumandangkan jika masih tersisa satu rakaat karena paling sedikitnya shalat itu satu rakaat. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan, ‘Tidak ada shalat setelah iqamat selain shalat yang wajib.’ Oleh karena itu, tidak boleh shalat satu rakaat pun setelah iqamat. Adapun jika iqamat dikumandangkan sementara dia sedang sujud atau tasyahhud maka tidak mengapa apabila dia tidak memutusnya dan tetap menyempurnakannya, karena dalam kondisi tersebut tidak disebut shalat satu rakaat setelah iqamat. (Syarah Misykatul Mashabih)

Ini pula yang difatwakan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawa beliau (11/389).

Al-Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang belum shalat dua rakaat sunnah subuh, sementara muadzin telah mengumandangkan iqamat, “Apa yang lebih engkau sukai, apakah ia mengikuti imam lalu mengqadha dua rakaat tersebut, atau dia shalat dua rakaat dahulu baru masuk bersama imam?” Beliau menjawab, “Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal ini adalah jika telah dikumandangkan iqamat shalat, tidak boleh sama sekali shalat dua rakaat fajar di masjid. Kalau dia shalat di rumah sebelum keluar, kuharap ada kelonggaran baginya. Akan tetapi, sebagian ulama juga membenci hal itu. Tidak melakukannya lebih aku sukai. Jika seseorang sudah memulai dua rakaat fajar lalu muadzin memulai iqamat, dan harapannya jika ia mempercepat akan mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, ia boleh melanjutkannya.” (Masa’il al-Imam Ahmad dan al-Imam Ishaq bin Rahuyah)

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah online

###

Asy Syaikh Zaid bin Muhammad Hadiy al-Madkholy

Beliau berkata:
وقد اختلف العلماء في هذه المسألة على أقوال كثيرة أرجحها عندي قول أهل الظاهر وجمهور السلف، وحاصله
Dan sungguh para ulama telah berbeda pendapat tentang masalah ini hingga terdapat banyak pendapat.
Yang paling rajih (kuat) menurutku adalah pendapat Ahluz Zhahir dan jumhur salaf, dan ringkasnya adalah:
أن المصلي إذا سمع المؤذن يقيم الصلاة فلا يحل له الدخول في شيء من النوافل سواء مؤكدة أو غير مؤكدة، وسواء في المسجد أو في غيره، وإنما يجب عليه أن يتهيأ فور سماعه الإقامة لأداء فريضته وتسوية نفسه في الصف، والإتيان بتكبيرة الإحرام إثر تكبيرة إمامه مباشرة كما أمر
“Bahwa jika seorang yang mengerjakan sholat (sunnah) mendengar muadzin meng-iqomah-i sholat maka tidak boleh baginya untuk masuk ke dalam suatu gerakan dari sholat sunnah, sama saja untuk sunnah yang muakkadah ataupun yang ghoiru-muakkadah, baik di masjid atau di luar masjid.
Dan tiada lain yang wajib baginya adalah mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat wajib begitu mendengar iqomah, meluruskan dirinya di dalam shof, dan mulai melakukan takbirotul ihrom mengikuti takbirnya imam secara langsung sebagaimana yang diperintahkan.”
قلت: اللهم إلا إذا سمع الإقامة وقد شرع في السنة لا سيما المؤكدة منها، وكان قد أوشك من الانتهاء فيتمها خفيفة وليسلم وليدخل مع إمامه؛ عملا بقول الله تعالى: {ولا تبطلوا أعمالكم}. والله أعلم
Maka aku katakan:
Ya Allah… Kecuali jika dia mendengar iqomah (dan sungguh dia telah tenggelam dalam suatu sholat sunnah, terlebih sunnah yang muakkadah) dan dia hampir selesai sholat, maka hendaknya dia menyempurnakannya dengan ringan, segera salam dan masuk ke sholat jama’ah bersama imamnya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian.”
Wallaahu A’lam.
(al Afnaan an Nadiyah, juz ke2, hal 191)

WA Forum Berbagi Faidah
Dikutip dari WIS

Salafy.or.id

###

Soal:
Apabila iqamat dikumandangkan dan seseorang sedang melakukan shalat sunnah dua rakaat atau tahiyatul masjid, apakah dia menghentikan shalatnya agar bisa shalat wajib berjamaah? Apabila jawabannya ya, apakah dia harus salam dua kali ketika menghentikan shalatnya atau dia hentikan tanpa salam?

Jawab:
Yang benar di antara dua pendapat ulama, hendaknya dia menghentikan shalat tersebut dan tidak perlu salam untuk keluar dari shalat tersebut. Dia langsung bergabung dengan imam.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/315)

Sumber: Asy Syariah Edisi 087

###

Al 'Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta'ala

Pertanyaan:
Fadhilatasy Syaikh, apa pendapat yang rajih tentang shalat nafilah, jika telah dikumandangkan iqamah ?

Jawaban:
Pendapat yang rajih tentang shalat nafilah, jika telah dikumandangkan iqamat, apabila ia sudah di rakaat ke-2 maka ia menyempurnakannya secara ringan, dan jika masih pada rakaat pertama maka ia memutuskannya.

Sumber: Liqa' Al Babil Maftuh (24)
Alih bahasa: Abu Salim ibnu Shalih Al Jawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar