Pertanyaan: Bolehkah menikah dengan wanita-wanita dari kalangan Ahlul Kitab?
(Muhammad Pandi)
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Ma’idah ayat 5,
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini.
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309).
Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Adapun siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)
2. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak berbuat syirik.
Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah,
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Apabila dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala meskipun dia tidak beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)
3. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
a. Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
b. Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah: 221,
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nasrani mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
c. Dalam hadits Abu Sufyan radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran.
Jadi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)
Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.
1. Yang dimaksud adalah ‘afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina).
Jadi, tidak boleh dinikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Termasuk di dalamnya ialah seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir rahimahullah menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama salaf (lihat Fathul Qadir).
2. Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak).
Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Mereka berdalilkan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 25,
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman.
Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya, Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615), menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir. Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki sifat iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.
Saya (penulis) tambahkan, atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.
Catatan:
Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.
Sumber: Asy Syariah Edisi 001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar