Cari Blog Ini

Kamis, 30 Juni 2016

WAJIB MENYANDARKAN FAEDAH ILMIYYAH KEPADA PENGUCAPNYA

🔹🌖🔺🌖🔹
❗WAJIB MENYANDARKAN FAEDAH ILMIYYAH KEPADA PENGUCAPNYA

Kenapa kita menuntut orang agar menyebutkan referensi (sumber/ rujukan)?

Verifikasi Terhadap Dalil, Menyebutkan Referensi dan Menisbatkan Perkataan Kepada Pengucapnya

Berkata al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah ;

"Dikatakan; Sesungguhnya termasuk daripada barakahnya ilmu adalah menyandarkan sesuatu (dari faedah ilmiyyah) kepada pengucapnya"

Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih; 2/922

--------------------
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ;

"Maka barangsiapa hendak menukil satu ucapan dari suatu kelompok (orang), hendaknya dia menyebutkan nama pengucapnya dan penukilnya. Jika tidak demikian, maka setiap orang sanggup untuk berdusta"

Minhaju Sunnah: 2/518

--------------------
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah ;

"Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya bukan karena adanya sanad, niscaya setiap orang akan berbicara (dalam agama) apa yang dia mau"

Al-Majruhin: 1/181

--------------------
Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah ;

"Dan termasuk dari nasehat adalah menyandarkan faedah yang berbobot kepada pengucapnya.

Barang siapa berbuat demikian, niscaya teberkahi usaha dan kondisi (diri)nya.

Dan barang siapa yang menyamarkannya dan menyamarkan pada apa yang dia ambil dari ucapan selainnya (agar terkesan) sebagai ucapannya, maka sudah sepantasnya untuk tidak terambil manfaat dari ilmunya dan tidak pula teberkahi dalam kondisi (diri)nya"

Bustanul 'Arifin: 29

--------------------
Berkata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin  rahimahullah ;

"Kita saat ini hidup dimasa banyak orang berbicara tanpa ilmu. Karenanya wajib atas setiap orang untuk tidak bersandar kepada sembarang fatwa kecuali dari seorang (ulama) yang dikenal dan tepercaya"

Liqo'al Baabil Maftuh: 16/32

--------------------
Versi Teks Arab

🔺لماذا نطالب الناس بذكر المصدر؟🔺

"التثبت من الأدلة وذكر المصدر ونسب الكلام إلى قائله"
 
✍▪قال الإمام ابن عبد البر رحمه الله :
( يقال إن من بركة العلم أن تضيفَ الشيء إلى قائله ) .

📚الجامع (٢/٩٢٢) .
 
✍▪قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله (فمن اراد ان ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل ، وإلا فكل أحد يقدر على الكذب )

📚منهاج السنة /(518/2)
 
✍▪قال ابن المبارك -رحمه الله- :
( الإسناد من الدين ولولا الإسناد
لقال مَنْ شاء ما شاء )

📚المجروحين (1/181)].
 
✍▪قال الإمام النووي رحمه الله : 
( ومن النّصيحة أن تضاف الفائدة الّتي تستغرب إلى قائلها ، فمن فعل ذلك بورك له في علمه وحاله ، ومن أوهم ذلك وأوهم فيما يأخذُ من كلام غيره أنه له ، فهو جدير أن لا يُنْتفَع بعلمه ، ولا يباركُ له في حاله )

📚بستان العارفين ص 29

✍▪قال العثيمين رحمه الله : 
( إننا في عصر كٓثُر فيه المتكلمون بغير علم ، ولهذا يجب على الإنسان ألا يعتمد على أي فتيا إلا من شخص معروف موثوق ).

📚لقاء الباب المفتوح ( 16/32)

--------------------
Alih Bahasa : 📝 Al ustadz Syafi'i al Idrus hafizhahullah
📝 Forum Ahlussunnah Ngawi 📚
🔻🔻🔻🔻🔻🔻
🎯 Majmu'ah Ashhaabus Sunnah
🚀 ©hannel telegram : http://bit.ly/ashhabussunnah
➖➖➖➖➖➖

Minggu, 26 Juni 2016

Kisah Penggugah Jiwa : Abu Qilabah Al-Jarmiy

*Kisah Penggugah Jiwa : Abu Qilabah Al-Jarmiy*

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Setiap bani adam yang hidup di dunia ini tentunya mengharapkan sebuah kebahagian. Benar bukan? Lalu, bagaimana cara mendapatkannya?

Imam Ibnul Qoyyim dalam “Waabilush Shoyyib” juga Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab dalam risalah “Qowa’idul Arba’” menyebutkan bahwa pokok kebahagiaan ada tiga: ketika diberi bersyukur, ketika diuji bersabar dan jika salah beristighfar.

Semoga kisah Abu Qilabah ini bisa memberi inspirasi buat kita tentang makna syukur dan sabar, bidznillah.

Beliau adalah ‘Abdulloh bin Zaid, ulama kesohor yang disegani oleh ulama’ lain semasa beliau. Keilmuan dan akhlak beliau begitu agung hingga beliau diminta untuk menjadi Qodhi.

Apakah beliau menerimanya? Tidak. Ilmunya yang tinggi membuat beliau takut akan sebuah jabatan. Atau beliau takut akan ditanya pertanggung jawabannya di hari kiamat. Apapun itu beliau lari dan terus berlari dari jabatan yang menghantuinya, menjauh menghindari keramaian manusia.

Hingga pada suatu hari . . .

Biarkan ‘Abdulloh bin Muhammad yang mengkisahkannya. Al Imam Ibnu Hibban dalam kitab “Ats Tsiqat” membawakan sebuah sanad sampai kepada ‘Abdulloh bin Muhammad, beliau berkata;

Ketika itu aku ditugaskan murobathoh (menjaga daerah perbatasan kaum muslimin) di tepi sebuah pantai, bernama Aresy Mishr. Sesampainya di sana tiba-tiba aku berada di sebuah pesisir pantai yang luas. Aku berusaha menelusurinya. Berjalan dan terus menelusuri hingga aku menemukan sebuah kemah.

Sebentar kuperhatikan, kedua mataku mendapati sebuah tubuh yang amat memprihatinkan. Kedua tangannya putus.. kedua kakinya juga. Pendengaran dan penglihatannya juga tak berfungsi dengan normal. Hampir-hampir ia tak mempunyai anggota badan yang normal kecuali lisannya.

Kulipat gandakan fokus mataku dan memang hanya lisannya yang berfungsi normal. Dia berdoa, “ya Allah, berilah aku kekuatan untuk dapat memuji-Mu. Puji-pujian yang dapat menunaikan rasa syukurku atas segala kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan padaku. Sungguh Engkau telah melebihkanku atas kebanyakan makhluk yang Kau ciptakan.”

Demi Allah, aku harus mendatanginya, bisikku dalam hati. Apa gerangan sebab doanya itu? Apakah ia memahami dan mengetahui yang diucapkannya, atau hanya ilham semata?

Dengan langkah pasti kudekati sosok tubuh itu.
“Assalamualaikum,” kucoba memulai.

“Aku tadi mendengar doamu. Gerangan apa yang membuatmu berdoa seperti itu? Nikmat apa yang telah engkau dapatkan hingga engkau sangat memuji-Nya? Keutamaan apa yang telah engkau peroleh hingga engkau mensyukuri-Nya?” lanjutku memberinya pertanyaan bertubi-tubi. Siapa yang tidak terheran-heran dengan doanya. Padahal tubuhnya begitu memprihatinkan.

“Apa kau tidak melihat perlakuan Rabb-ku kepadaku. Demi Allah, seandainya saja Ia mengirim halilintar yang membakar tubuhku, atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku sehingga hancur tubuhku, atau menitahkan laut untuk menenggelamkanku, atau menyuruh bumi menelanku, semua itu hanya akan menambah tekadku bersyukur kepada-Nya semakin kuat, karena nikmat lisan yang Ia anugrahkan padaku,” terangnya.

“Wahai, hamba Allah!” serunya padaku. Seperti ia ingin sesuatu hal.

“Karena engkau telah mendatangiku, bolehkah aku meminta bantuanmu. Engkau telah melihat keadaanku ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa melindungi diri dari mara bahaya. Aku pun tak bisa memberi manfaat untuk diriku sendiri. Aku memiliki seorang anak yang selalu melayaniku. Jika waktu sholat tiba, dia mewudhukan aku. Jika aku lapar, dia menyuapiku. Dan jika aku haus, dia memberiku minum. Namun entah kemana dia sekarang. Aku telah kehilangannya selama tiga hari. Tolonglah aku, carikanlah kabarnya untukku, semoga Allah merahmatimu,” pintanya memelas. “Demi Allah, tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan saudaranya melainkan akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi-Nya. Apalagi jika orangnya seperti engkau,”
Aku memenuhi permintaannya.

Aku berusaha menguatkan tekad untuk membantunya, melangkahkan kaki mencari tahu tentang anaknya. Sambil berjalan, aku menyelami pikiranku. Tentang orang tua tadi, juga anaknya.

Tiba-tiba, sontak lamunanku berhenti mengikuti langkah kakiku. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Itu anaknya! Itu anaknya! Tewas diterkam dan dimakan binatang buas.

Bagaimana aku mengatakan kepada orang tadi? Berat nian deritanya.

Dengan berat hati aku berusaha mengayunkan langkah. Ku ayunkan kembali ke kemah, tempat orang tadi. Walau pahit tuk dikatakan, namun ini harus. Tapi juga harus dengan cara yang tepat. Ku berusaha memutar otak bagaimana cara mengatakannya.

Seiring langkah kaki yang terus bertambah, pikiranku juga terus memacu. Berpikir dan terus mencari.

Dan akhirnya.. Nabi Ayyub ‘alaihis salam! Aku teringat Nabi Ayyub ‘alaihis salam. Mungkin ini cara yang tepat.

Aku pun bergegas. Sesampainya di sana,

“Assalamualaikum,” salamku.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya.

“Bukankah engkau yang tadi menemuiku,” dia melanjutkan.

“Iya,” jawabku.

“Bagaimana dengan permintaanku. Apakah engkau telah mendapatkan kabarnya?” tanyanya. Aku pun berusaha menjelaskan,

“Di sisi Allah, engaku kah yang lebih mulia atau Nabi Ayyub?”

“Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis salam,” jawabnya.

“Tahukah engkau cobaan yang Allah timpakan kepada Nabi Ayyub? Bukankah Allah menguji beliau pada harta, keluarga dan putranya?”

“Benar.”

“Bagaimana sikap beliau menghadapi ujian tersebut?”

“Beliau bersabar, bersyukur dan memuji Allah subhanahu wa ta’ala.”

“Tidak sampai di situ. Beliau juga ditinggal karib kerabat dan sahabatnya bukan?”

“Benar.”

“Bagaimana sikap beliau menghadapinya?”

“Beliau tetap bersabar, bersyukur dan tak jemu memuji Allah subhanahu wa ta’ala.”

“Tidak cukup sampai di situ. Beliau juga jadi bahan pembicaraan setiap orang yang lewat di jalan. Benar bukan?”

“Iya. Aku tahu.”

“Bagaimana sikap beliau?”

“Beliau selalu bersabar, bersyukur dan bertahmid memuji Allah subhanahu wa ta’ala.”

Sepertinya ia mulai paham arah pembicaraanku.

“Semoga Allah merahmatimu. Langsung saja jelaskan maksudmu,” pintanya.

Dengan sangat berat aku mengatakannya, “Aku telah menemukan putramu. Aku menemukannya di antara gundukan pasir.. tewas diterkam binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahalamu.. semoga Allah menyabarkanmu.”
(Subhanalloh! Tak ada keluhan yang keluar dari lisannya. Tak ada kekecewaan yang tersirat dari kalbunya. Justru yang terucap hanyalah tahmid kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai simbol relief yang telah terpahat dalam kalbunya.
Alhamdulillah. Iya. Hanya “alhamdulillah” yang keluar dari bibirnya. Subhanalloh!)

‘Abdulloh bin Muhammad melanjutkan,-pent ~~~
“Alhamdulillah, Dia tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya sehingga Dia menyiksanya dengan api neraka,” kata orang tadi begitu mendengar berita yang kubawa.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un,” kalimat thoyyibah terus terangkai elok dari bibirnya mengikuti kalimat thoyyibah sebelumnya. Ia pun menarik napas dalam-dalam menghayati kenikmatan Allah yang tiada tara banyaknya. Seakan-akan musibah yang baru saja menimpanya juga sebuah nikmat yang harus dibalas dengan ucapan “alhamdulillah”.
Ia terus menghayati mengikuti aliran napas yang keluar. Dan saat napas benar-benar keluar, ternyata itu adalah nafas terakhirnya.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un!

Besar nian musibahku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Jika aku biarkan jasad mulia ini, tentu binatang buas akan memakannya. Namun jika aku pergi, siapa yang akan menjaga jasadnya.

Aku pun hanya bisa menyelimuti dengan kain yang ada di tubuhnya. Selebihnya, tubuhku hanya duduk terpaku di dekat kepalanya. Merenungi peristiwa luar biasa yang mewarnai lembaran kehidupanku hari ini. Tak terasa butiran-butiran air mata menetes membasahi pipi.

Tiba-tiba datanglah empat orang dan bertanya, “Abdulloh, ada apa denganmu? Apa yang terjadi?”

Aku ceritakan kisah indah nan mengharukan ini kepada mereka dari awal sampai akhir.

“Tolong bukalah kain ini, kiranya aku mengenalnya,” kata salah seorang mereka.

Begitu aku menyingkapnya, tiba-tiba mereka tersungkur berebut mencium keningnya. Aku pun kaget dan terheran-heran melihatnya. Sepertinya orang ini punya jasa besar kepada mereka.
“Wallahi, matanya selalu tunduk dari memandang perkara haram. Wallahi, tubuhnya selalu sujud saat orang-orang terlelap dalam mimpi,” kata salah seorang mereka mengenangnya.
“Semoga Allah merahmati kalian. Siapa orang ini?” benar-benar rasa penasaranku sampai puncak.

“Abu Qilabah Al Jarmi, sahabat Ibnu ‘Abbas. Sungguh dia sangat mencintai Allah dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,” terang salah seorang dari mereka.

Akhirnya, kami pun memandikan dan mengkafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolati dan menguburkannya.

Seusainya, mereka kembali pulang. Aku juga menuju pos penjagaanku di daerah perbatasan.

Saat malam tiba, saat aku tidur.. tiba-tiba aku terseret ke dimensi lain. Aku berada di sebuah taman . . .

Ini.. ini sebuah taman. Namun ini bukan taman biasa. Ini taman surga.

Saat mata masih sibuk meyakinkan aku berada dimana, justru mata menangkap sosok yang sepertinya tak asing, memakai dua kain yang begitu indah, kain surga. Ia menghiasi bibirnya dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ar Ra’d:24

سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار

“Salaamun ‘alaikum” (kesejahteraan bagi kalian) karena kesabaran kalian. Sungguh kampung terakhir yang paling indah adalah jannah.

Aku pun menghampirinya.

“Engkaukah itu?” tanyaku meyakinkan kalbu.

“Benar,” nampak cahaya terpancar dari wajahnya.

“Ini semua.. bagaimana kau mendapatkannya?” tanyaku lagi.

“Sungguh allah mempunyai derajat-derajat yang tak akan bisa diraih kecuali dengan sabar saat ujian menyapa dan syukur saat lapang datang, dengan tetap menggelorakan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala saat sendiri atau bersama.”

________oo00oo________

Begitulah Abu Qilabah menutup lembaran hidupnya di dunia. Dan begitulah cara Abu Qilabah membuka lembaran hidupnya di akherat. Semoga kisah ini tak hanya menjadi sebuah objek bidikan mata semata. Namun lebih dari itu, semoga dari tatapan mata akan terus mengalir dan mengisi setiap celah di ruang kalbu dan himmah kita, kemudian dapat diterjemahkan dengan baik oleh seluruh anggota tubuh kita. Amin

Dan tentunya, yang paling berhak mengamalkannya adalah penulis, hamba yang penuh dosa dan cacat ini.

Terakhir, Rabbana.. anugrahkanlah ampunan kepada kami juga saudara-saudara kami yang terlebih dahulu beriman dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian kepada orang-orang beriman merasuk dalam kalbu kami. Duhai Rabb, Kau-lah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

_daarul_hadith_bil_fuyush_

_akhukum fillah_yahya_el_windany_

WA Thullab Al Fiyusy

http://appsalafy.salafymedia.com/arsip/2089

Jumat, 24 Juni 2016

INTROSPEKSI DIRI DI PENGHUJUNG BULAN SUCI

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala. Berjumpa dengan bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan yang sangat berharga tiada terkira. Betapa tidak. Allah subhanahu wata’ala telah membuka lebar-lebar pintu rahmat dan ampunan-Nya di bulan tersebut. Beruntung sekali orang yang mendapatkan taufik untuk bisa mengisi bulan penuh barokah ini dengan berbagai amal kebaikan.

Para pembaca yang semoga mendapatkan limpahan barokah dari-Nya. Di penghujung bulan suci ini, di tengah-tengah kesibukan menyongsong hari raya Idul Fitri, perkenankanlah kami mengajak diri kami sendiri dan juga saudara-saudara kami umat Islam untuk sejenak bermuhasabah, mengoreksi diri, melihat iman dan amalan kita, apa yang sudah kita persembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala, Sang Pencipta dan Pemberi nikmat yang tak terhingga ini? Apakah yang selama ini kita perbuat sudah cukup untuk mendatangkan ridha-Nya? Memang setiap insan beriman hendaknya senantiasa berbenah, menata kembali niat dan amalannya agar cita-cita menggapai ridha Allah subhanahu wata’ala tercapai.Kami termotivasi mengajak saudara sekalian untuk introspeksi diri di penghujung bulan suci ini, tidak lain karena teringat sebuah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ

“Betapa hinanya seseorang ketika namaku disebut di sisinya namun ia tidak bershalawat kepadaku. Betapa hinanya seseorang yang masuk padanya bulan Ramadhan, lalu ketika bulan tersebut berlalu ia belum mendapatkan ampunan. Betapa hinanya seseorang ketika ia mendapati masa senja kedua orang tuanya namun hal itu tidak bisa membuatnya ia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 7139, dan At-Tirmidzi no. 3468)

Hadits ini membuat kita khawatir, jangan-jangan kita termasuk golongan orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya tersebut. Ramadhan berlalu sia-sia begitu saja, kosong dan hampa dari ampunan-Nya. Bagaimana tidak khawatir? Manusia itu tempatnya salah dan dosa, termasuk kita. Rasa-rasanya setiap desahan nafas, kedipan mata, ayunan tangan, dan langkah kaki selalu saja berbuah dosa. Belum sempat rasanya memohon ampun dari dosa yang lalu, sudah terjatuh ke dalam dosa yang baru.

Namun kekhawatiran itu jangan berlarut sehingga membuat kita putus harapan. Ingatlah! bahwa Allah Maha Pemurah. Kasih sayang-Nya mengalahkan kemurkaan-Nya. Sebesar dan sebanyak apapun dosa manusia, Allah Maha Mampu dan Berkehendak untuk menghapusnya jika hamba tersebut bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.

Para pembaca rahimakumullah. Di hari-hari terakhir bulan Ramadhan ini, setidaknya ada dua hal yang patut menjadi bahan introspeksi kita bersama, yaitu

Pertama, sudahkah kita memperbanyak taubat dan memohon ampun kepada Allah?

Kedua, sudahkah kita berupaya menghidupkan dengan maksimal sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan ketaatan dan ibadah?

Bertaubat dan Banyak Memohon Ampun Kepada-Nya

Para pembaca yang berbahagia, seiring dengan banyaknya dosa dan kesalahan, maka banyak bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya merupakan sebuah kemestian. Seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya laksana sebuah gunung yang berada di atas kepalanya, setiap saat gunung itu akan runtuh membinasakan siapa saja yang berada di bawahnya.

Para pembaca rahimakumullah, apakah taubat cukup dilakukan dengan mengucapkan kalimat istighfar? Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah, sekedar itu saja?

Jawabannya: Belum cukup! Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin, menukilkan perkataan para ulama bahwa taubat itu memiliki tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya. Satu syarat tidak terpenuhi, gugurlah nilai taubat seseorang. Ini apabila kemaksiatan tersebut terkait dengan hak Allah saja.

Namun apabila dosa dan kemaksiatannya terkait dengan hak orang lain, seperti mencuri, menjatuhkan kehormatan orang lain, dan sebagainya, maka untuk bertaubat darinya harus terpenuhi ketiga syarat tadi, dan ditambah syarat keempat yaitu mengembalikan hak orang lain yang ia zhalimi tadi, seperti mengembalikan uang/barang yang sempat ia curi, meminta maaf atau kehalalan orang yang pernah ia jatuhkan kehormatannya, dan sebagainya. (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi dalam Bab At-Taubah dari kitab Riyadhush Shalihin).

Biasanya, bulan Ramadhan dijadikan momen untuk meninggalkan kebiasaan buruk yang lazim dilakukan di luar bulan Ramadhan. Saat yang tepat untuk bertaubat. Demikianlah kurang lebih ungkapan yang terbetik di benak sebagian orang.

Hal itu bagus. Namun alangkah lebih bagusnya jika meninggalkan perbuatan maksiatnya itu bersifat kontinyu, terus menerus, tidak pernah sekalipun mengulangi perbuatanya. Apalah artinya ia meninggalkan kemaksiatan dan kebiasaan buruknya di bulan Ramadhan, namun ia sudah berniat mengulanginya kembali selepas Ramadhan nanti?

Benar-benar tidak terpuji sikap seperti itu. Bahkan, apabila seseorang yang “bertaubat” dan meninggalkan perbuatan dosa di bulan Ramadhan dengan niat akan melakukan dosa itu lagi nanti pasca Ramadhan, maka orang itu belum terhitung bertaubat, karena belum memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana yang telah dijelaskan.

Orang yang bertaubat adalah orang yang benar-benar serius meninggalkan perbuatan maksiatnya secara total.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)

Taubat yang benar adalah taubat yang diiringi dengan amal shalih sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),

“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 71)

Di bulan suci ini, ibadah puasa adalah salah satu dari sekian bentuk amal shalih yang paling utama.

Di samping puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang akan menguatkan dan mengokohkan agama seorang muslim, puasa juga mengantarkan seseorang untuk meraih ampunan Allah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya),

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena didasari keimanan dan harapan untuk meraih pahala, maka ia akan mendapatkan ampunan atas dosa yang dilakukan dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 1768, dan Muslim no. 1268)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa puasa Ramadhan yang membuahkan ampunan adalah puasa yang dalam pelaksanaannya didasarkan pada dua hal: imanan wa ihtisaban (keimanan dan harapan). Imanan maknanya adalah mengimani dan meyakini kebenaran syariat puasa dan keutamaannya, sedangkan ihtisaban maknanya adalah mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala semata, bukan tujuannya ingin pamer kepada orang lain atau niatan lain yang menunjukkan ketidakikhlasan dalam beribadah. (lihat Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah)

Para pembaca, dari sini, marilah kita mengkoreksi puasa kita masing-masing. Jika kita merasa puasa kita selama ini belum didasari dua hal di atas, maka janganlah putus asa. Mudah-mudahan Ramadhan yang masih tersisa beberapa hari ini menjadi kesempatan untuk memperbaiki puasa kita.

10 Hari yang Dinanti

Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wata’ala, di tengah kesibukan menyongsong datangnya lebaran, alangkah mulianya jika kita benar-benar mengoptimalkan hari-hari terakhir Ramadhan dengan amal ibadah. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh junjungan dan teladan kita, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Ketika tiba 10 hari terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dengan shalat dan ibadah yang lainnya, serta tidak lupa beliau  membangunkan keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 1174). Sebuah contoh nyata dari rumah tangga ideal, bahagia, dan sejahtera di dunia akhirat. Betapa indahnya apabila setiap keluarga meneladani beliau shallallahu alaihi wasallam.

Dalam rentang sepuluh hari ini, ada satu malam yang keutamaannya lebih baik daripada seribu bulan selain bulan Ramadhan. Dialah Lailatul Qadar. Amalan yang dikerjakan pada malam tersebut lebih baik dan lebih utama dibandingkan amalan serupa yang dilakukan selama seribu bulan selain bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),

“Barangsiapa yang menghidupkan dan mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 1768 dan Muslim no. 1268)

Walaupun Lailatul Qadar itu terjadinya pada malam ganjil, namun seseorang yang berupaya mencari Lailatul Qadar hendaknya menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan semuanya, tidak dikhususkan pada malam yang dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadar saja.

Kepastian kapan dan pada malam ke berapa Lailatul Qadar terjadi, hanya Allah subhanahu wata’ala yang tahu. Di antara hikmah tidak diketahuinya secara pasti waktu Lailatul Qadar tersebut adalah agar setiap hamba secara terus menerus semakin memperbanyak amalannya dalam rangka mencari Lailatul Qadar di malam-malam yang penuh kemuliaan tersebut dengan shalat, dzikir, dan do’a. Sehingga akan semakin bertambahlah kedekatan mereka kepada Allah ta’ala dan bertambah pula pahala yang akan diraihnya. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)

Kalau waktu terjadinya Lailatul Qadar diketahui, pada malam ke-21 misalnya, maka bisa jadi pada malam-malam yang tersisa, seorang hamba akan bermalas-malasan, tidak semangat dalam beribadah dan menambah timbangan kebaikannya.

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang meraih ampunan-Nya. Amin.

Wallahu A’lam Bishshawab

Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah.

Buletin Al-Ilmu Edisi no. 36/VIII/XIV/1437 H

The post INTROSPEKSI DIRI DI PENGHUJUNG BULAN SUCI appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/24/introspeksi-diri-di-penghujung-bulan-suci/

Kamis, 23 Juni 2016

MENJAMAK SHALAT KARENA KHAWATIR TERLEPAS KEMASLAHATAN SHALAT BERJAMAAH

--------------------
✅ MENJAMA' KARENA KHAWATIR TERLEPAS KEMASLAHATAN SHALAT BERJAMA'AH

▶ Berkata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ;

"Menjama' (shalat) tidak terbatas sebabnya hanya safar semata. Akan tetapi safar merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab jama'. Disana terdapat sebab-sebab lain selain safar yang seseorang bisa menjama' (shalat)nya.

Diantaranya apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma saat memberitakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjama' (shalat) di Madinah bukan karena takut atau pun karena hujan.

Maka (Ibnu Abbas) radhiyallahu 'anhu ditanya, "Kenapa beliau melakukan hal tersebut ?". (Ibnu Abbas) menjawab, "Beliau tidak ingin memberatkan umat". Yaitu Beliau tidak ingin membebani umat perkara yang memberatkan mereka.

Berdasarkan hal ini, disaat mana meninggalkan jama' itu akan memberatkan atau menyulitkan umat, maka boleh untuk menjama' ..."

Beliau rahimahullah juga menyatakan :

"Dan ketahuilah, sebagaimana menjama' itu diperbolehkan saat ada hajat, demikian pula (diperbolehkan) saat (dikhawatirkan) terlewatkan kemaslahatan shalat berjama'ah. Apabila jama'ah akan berpisah dan tidak shalat berjamaah, maka boleh bagi mereka menjama'..."

🖥 Sumber: http://binothaimeen.net/content/7872

--------
🇲🇨 Versi Teks Arabic 🇸🇦

قال الشيخ ابن العثيمين رحمه الله:

فالجمع لا يقتصر سببه على السفر وحده، بل السفر سبب من أسباب الجمع، وإلا فهناك أسباب أخرى غير السفر يجمعها ماذكره ابن عباس رضي الله عنهما حين أخبر أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع في المدينة من غير خوف ولا مطر، فسئل رضي الله عنه لما صنع ذلك فقال: أراد ألا يحرج أمته. أي: أراد ألا يوقعها في الحرج. وعلى هذا فمتى كان في ترك الجمع حرج ومشقة فإنه يجوز الجمع....

ويقول أيضا:

واعلم أن الجمع كما يكون عند الحاجة إليه يكون أيضاً بفوات مصلحة الجماعة، فإذا كان هؤلاء الجماعة سيتفرقون ولا يصلون جماعة فإن لهم الجمع....

----------
📝 Alih Bahasa : Al Ustadz Syafi'i al Idrus hafizhahullah
📝 Forum Ahlussunnah Ngawi 📚
🔻🔻🔻🔻🔻🔻
🎯 Majmu'ah Ashhaabus Sunnah
🚀 ©hannel telegram : http://bit.ly/ashhabussunnah
➖➖➖➖➖➖

Sayyidul Istighfar

Penulis: Al-Ustadz Muhammad Ar Rifa’i

Termasuk dzikir yang utama dan doa yang barokah yang sepantasnya bagi setiap muslim untuk menjaganya dan membacanya disetiap pagi dan sore hari adalah yang telah datang dalam shahih Al Bukhari dari haditsu Syadad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam bahwasannya beliau bersabda :

سيد الاستغفار أن تقول

(Sayyidul Istighfar adalah engkau mengatakan) :

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَ أَنَا عَبْدُكَ وَ أَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَ وَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَ أَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

” Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.

من قالها من النهار موقنا بها فمات من يومه قبل أن يمسي فهو من أهل الجنة و من قالها من الليل و هو موقن بها فمات قبل أن يصبح فهو من أهل الجنة . ‌

Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum sore hari, maka dia termasuk penduduk surga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka ia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari – Fathul Baari 11/97)

Ini adalah doa yang agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu dikarenakan ia melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.

Sisi lebih dari keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :

– Nabi Shalallahu ‘alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma’buud (sesembahan) yang haq dan tiada sesembahan yang haq yang selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak dibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.

– Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

– Kemudian ia berlindung kepada Allah Subhanahu dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa.

– Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian-Nya yang tiada pernah berhenti.

– Dan ia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta’ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tiada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta’ala.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” (Al Imran : 135)

Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Karena itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling mencakup untuk kandungan maknanya yang mesti akan diampuni dosa-dosa.

Kemudian Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menghakhiri penyebutan doa tersebut dengan menjelaskan pahala yang besar dan ganjaran yang luar biasa yang akan didapat oleh orang yang menjaga doa tersebut setiap pagi dan sore hari. Maka Beliau Shalallahu ‘alahi wa Sallam mengatakan :

“Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum sore hari, maka dia termasuk penduduk surga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka ia termasuk penduduk surga.”

Hanyalah Seorang yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar nan utama ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Uluhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk surga.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kita memohon kepada Alloh Yang Maha Mulia berupa keutamaan dan anugerah-Nya.

(Lihat kitab Fiqhul Ad’iyyah wal adzkar II/17-20. As Syaikh Abdur Rozaq bin abdil Muhsin Al Badr. ) Diringkas oleh Muhammad Ar Rifa’i)

WA al I’tishom

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/06/23/sayyidul-istighfar/

Di antara keutamaan istighfar

ــ طوبى لمن وجد في صحيفته استغفارا كثيرا . ‌

“Berbahagialah bagi orang yang mendapati dalam catatan amalnya istighfar yang banyak” (HR. Al Baihaqi, Imam Ahmad dalm Az Zuhd dan Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami’ no. hadits 3930)

“Siapa yang suka agar catatan amalnya membuat ia senang maka perbanyaklah padanya istighfar.” ( Hadits dihasankan syaikh Al Albany, lihat Shahihul jami’ no. hadits 5955)

ــ يا معشر النساء ! تصدقن و أكثرن الاستغفار فإني رأيتكن أكثر أهل النار إنكن تكثرن اللعن و تكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل و دين أغلب لذي لب منكن أما نقصان العقل : فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل و تمكث الليالي ما تصلي و تفطر في رمضان فهذا نقصان الدين . ‌

“Wahai sekalian wanita ! bershadaqahlah kalian dan perbanyaklah istighfar karena aku telah melihat kalian adalah mayoritas penduduk neraka. Sesungguhnya kalian banyak melaknat dan mengkufuri suami. Tidaklah aku dapati yang kurang aqalnya dan agamanya mampu mengalahkan yang mempunyai akal daripada kalian. Adapun kurang aqal : maka persaksian dua wanita sebanding persaksian satu laki-laki maka yang demikian adalah kurangnya aqal. Dan dia tinggal menjalani beberapa malam tanpa sholat dan dia berbuka (tidak puasa) di bulan ramadhan maka ini adalah kurangnya agama.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan lainnya. dan Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami’ no. hadits 7980)

ــ إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول : أنى لي هذا ؟ فيقال : باستغفار ولدك لك . ‌

“Sesungguhnya ada seseorang yang diangkat derajatnya disurga, maka iapun berkata : Bagaimana ini bisa untukku? Maka dikatakan : disebabkan anakmu beristighfar (memohonkan ampun) untukmu. (HR. Ahmad, Al Baihaqi dan lainnya, Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami’ no. hadits 1617)

Allohul muwaffiq

WA al I’tishom

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/06/23/diantara-keutamaan-istighfar/

Rabu, 22 Juni 2016

SKETSA KEHIDUPAN DI BULAN SUCI RAMADHAN Sudahkah Kita…?

Bukan suatu hal yang aneh ketika mayoritas manusia senantiasa mencurahkan segala kemampuan untuk menggapai impian dunianya. Segala hal dilakukan demi meraih harapan secara total atau setidaknya mendekati. Sebut saja misalnya si A yang ingin lulus ujian dengan hasil memuaskan atau cum laude, tidak ada waktu dalam setiap harinya melainkan dia manfaatkan untuk belajar dan belajar. Bahkan agar lebih mantap ditambah dengan mengikuti les di bimbel-bimbel ternama. Semua yang menghalangi atau mengurangi pencapaian cita-cita tersebut akan dihindari bahkan ditinggalkan jauh-jauh, berharap kesempurnaan. Ada pula si B. Saat ini program utamanya adalah memiliki smartphone (android) terbaru dan tercanggih. Istilah malas atau lelah sudah tidak termaktub dalam kamus kehidupannya. Peras keringat, banting tulang siang dan malam adalah suatu hal biasa demi tercapainya keinginan tersebut. Tidak jauh beda dengan si C yang sedang ‘kesengsem’ suatu pekerjaan, jabatan atau pangkat tertentu. Dengan semangat membara segala usaha dijalankan bahkan terkadang lawan jadi kawan dan kawan jadi lawan.

Para pembaca rahimakumullah, inilah segelintir contoh dari beragam aktivitas dan cita-cita dunia yang ada pada sebagian orang. Bisa jadi dan tidak menutup kemungkinan -disadari atau tidak- kita pun menjadi salah satu ikon atau pemeran di dalamnya. Timbul sebuah pertanyaan, jika semangat mereka untuk meraih impian-impian dunia tersebut begitu besarnya, bagaimana dengan semangat untuk meraih keberhasilan yang hakiki kelak (akhirat)?

Bulan Ramadhan Bulan Mulia

Sebagai seorang muslim tentu sangat paham dan mengerti bahwa bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Predikat takwa adalah predikat terbesar dan teristimewa bagi seorang mukmin. Suatu hal yang mafhum dan ma’ruf bahwa keistimewaan dan impian dunia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan keistimewaan dan keutamaan serta kelebihan bulan ini. Tapi masalahnya sekarang, seberapa besar semangat dan cita-cita untuk meraih keistimewaan tersebut? Adakah sifat “gereget” kita untuk menggapai hasil maksimal di dalamnya?

Maka, sudahkah kita….

Berpuasa ramadhan lengkap sebulan penuh? Jika iya jawabannya, alhamdulillah. Namun puasa kita ini hanya sekedar ritualitas tahunan, ikutan-ikutan atau memang karena didasari iman? ini yang perlu dipertanyakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Sudahkah kita…….

Menjaga ibadah wajib lainnya tatkala kita berpuasa? Di antara ibadah wajib tersebut adalah shalat 5 waktu dan shalat berjamaah bagi kaum pria. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dari mereka yang hanya berpuasa Ramadhan tapi ibadah wajib lainnya ikut juga ‘dipuasakan’ (ditinggalkan). Padahal sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa seseorang tidak sah dan tidak bermanfaat jika dia tidak mengerjakan shalat wajib. (lihat Fatawa Ibnu ‘Utsaimin)

Sudahkah kita…….

Menjauhi segala hal yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa kita atau bahkan menghilangkan pahala puasa? Kenyataannya, memang sulit untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk semisal dusta, ghibah, adu domba, berucap kotor dan tidak pantas saat kita sedang berpuasa. Namun hendaknya kita harus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Karena Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah mengingatkan (artinya),

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dari dia untuk meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam mengingatkan pula (artinya),

“Puasa adalah tameng. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor (keji) dan janganlah bertengkar. Jika orang lain mencelanya atau menyakitinya maka katakanlah saya sedang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhuma berkata (artinya),

“Jika engkau sedang berpuasa maka puasakan pula pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari dusta dan perkara yang haram, janganlah mengganggu tetangga dan bersikaplah tenang. Jangan engkau jadikan hari puasamu sama dengan hari berbukamu (ketika tidak berpuasa).” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin).

Demikian pula sudahkah kita……

Mengamalkan penyempurna-penyempurna puasa kita atau selama ini kita masih kalah semangat saat berupaya meraih penyempurna-penyempurna manisnya dunia? Seberapa banyak amalan-amalan sunnah terkait puasa Ramadhan yang sudah kita kerjakan? Dimulai dari bersahur, tidak sedikit dari kita yang belum maksimal dalam mencontoh tata cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika bersahur. Ada yang sengaja tidak bersahur karena merasa tubuhnya kuat. Sejatinya sahur itu tidak hanya sekedar agar tubuh kita kuat dan tahan, tapi yang lebih penting dari itu adalah meneladani Nabi shallallahu alaihi wasallam yang juga bersahur. Bahkan beliau pernah bersabda (artinya),

“Bersahurlah kalian, walaupun hanya dengan seteguk air.” (Shahih at-Targhib dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma)

Dalam hadits yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan (artinya),

“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barokah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu).

Ada pula yang semangat sahurnya “berlebihan”. Tidak tanggung-tanggung, makan sahur di pertengahan malam jauh sebelum datang waktu shubuh. Akibatnya, tidak jarang terlewatkan shalat Shubuh tepat waktu apalagi berjamaah karena tidur lagi setelah makan sahur. Siapa sih yang kuat menahan kantuk dalam kondisi perut kenyang dan waktu shubuh masih lama datangnya? Bukankah begitu?

Perlu diketahui bersama bahwa di antara yang disunnahkan saat makan sahur adalah mengakhirkannya hingga menjelang waktu shalat Shubuh. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan dari shahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ia berkata,

“Kami makan sahur bersama Nabi kemudian beliau bangkit untuk melaksanakan shalat Shubuh. Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya (Zaid), “Berapa jarak antara adzan dengan sahur?” Zaid menjawab, “Kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.”(Muttafaqun ‘alaihi. Yakni ayat yang dibaca tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, dan membacanya tidak terlalu cepat dan tidak pula lambat. Lihat Fathul Bari)

Saat berbuka pula, banyak sunnah yang sering dilupakan. Menunda berbuka karena sibuk dengan kegiatan lain merupakan hal yang biasa. Akibatnya selain terlambat berbuka, akhirnya terburu-buru bahkan lupa untuk mengucapkan doa berbuka puasa atau mungkin juga karena tidak hafal.

Para pembaca rahimakumullah, menyegerakan berbuka merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda (artinya),

“Kaum muslimin akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka masih menyegerakan berbuka puasa.” (Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Sahl bin Sa’d shallallahu alaihi wasallam)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda (artinya),

“Umatku akan senantiasa di atas sunnahku selama mereka tidak menunda berbukanya sampai munculnya bintang-bintang.” (HR. Ibnu Hibban dari shahabat Sahl bin Sa’d shallallahu alaihi wasallam)

Di antara sunnah ketika berbuka adalah memulai berbuka dengan memakan ruthab (kurma setengah masak), kalau tidak mendapatkannya maka dengan tamr (kurma masak), kalau tidak ada maka dengan air. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata,

“Rasulullah dahulu berbuka sebelum shalat maghrib dengan beberapa ruthab, jika tidak mendapatinya maka dengan kurma yang sudah masak, jika tidak mendapatinya maka dengan meneguk air beberapa tegukan.” (HR. Abu Dawud). Beliau shallallahu alaihi wasallam lakukan hal itu seraya berdoa,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah pahalanya insya Allah.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma)

Penyempurna puasa yang berikutnya adalah bersedekah, qiyamul lail (shalat tarawih) dan membaca al-Qur`an. Sudahkah kita menjalankannya selama ini…..?

Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

“Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan saat Jibril menemuinya lalu membacakan (mengajarkan) padanya Al-Qur`an.” (HR. al-Bukhari)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),

“Barang siapa menegakkan Ramadhan (dengan shalat tarawih) karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”(Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Beliaupun pernah bersabda (artinya),

“Sesungguhnya apabila seseorang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (pahala shalat) satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud)

Para pembaca rahimakumullah, disamping itu semua, sudahkah kita…………. Benar-benar menjaga diri untuk bersih dari segala bentuk pelanggaran-pelanggaran syariat (baca;maksiat) saat kita berpuasa? Alangkah sedihnya tatkala tidak ada perubahan dan perbedaan pada diri kita saat di luar dan ketika berada di bulan Ramadhan. Yang lebih menyedihkan adanya sebagian orang yang menjadikan bulan mulia ini sebagai momen untuk “cuti” dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan di luar bulan Ramadhan. Namun, dibenaknya masih tersimpan niatan untuk mengulangi lagi perilaku buruk tersebut selepas Ramadhan. Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam majmu’ fatawa menyatakan

“Orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan dan di antara niatnya adalah akan mengulanginya lagi selepas bulan Ramadhan, maka dia terhitung orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu).”

Adapun orang-orang yang bertakwa di antara sifat mereka adalah,

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 135)

Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Kemudian dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan yang akan dilalui di masa mendatang.

Allahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah.

Buletin Al-Ilmu Edisi no. 35/VIII/XIV/1437 H

The post SKETSA KEHIDUPAN DI BULAN SUCI RAMADHAN Sudahkah Kita…? appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/23/sketsa-kehidupan-di-bulan-suci-ramadhan-sudahkah-kita/

Selasa, 21 Juni 2016

FATAWA SEPUTAR RAMADHAN

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh barokah bagi umat Islam. Keutamaan ini tidak diberikan kepada umat sebelum mereka. Agar kita bisa memperoleh barokah yang besar di bulan tersebut, maka hendaknya kita menjalani berbagai ibadah di bulan Ramadhan dengan ilmu. Berikut ini kami bawakan beberapa bimbingan ulama seputar ibadah di bulan Ramadhan.

Hukum Niat di Malam Hari

Apa hukum orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, apa yang harus dia lakukan?

Orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, wajib baginya untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa pada sisa hari itu, karena sudah masuk Ramadhan. Tidak boleh bagi yang mukim dan orang sehat untuk melakukan salah satu dari perkara yang membatalkan puasa dan wajib baginya mengganti hari tersebut karena dia belum berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh) maka tidak ada puasa baginya” (HR. Daruquthni dengan sanadnya dari ‘Amrah dari ‘Aisyah radhiyallahu anha. Daruquthni mengatakan semua perawinya terpercaya).

Ibnu Qudamah rahimahullah menukilkan dalam “Al Mughni” bahwa itu (kewajiban berniat di malam hari) pendapat seluruh ahli fiqih, dan yang dimaksud adalah puasa wajib sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia tadi. Adapun puasa sunnah maka boleh niat di siang hari dengan syarat belums melakukan sesuatu dari perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, karena telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan hal itu. (lihat Fatawa bin Baz : 15/251 )

Apa hukum berbuka bagi orang sakit dan musafir?

Barang siapa sakit atau musafir, maka boleh baginya berbuka/tidak berpuasa, bahkan mustahab (sunnah) dan dianjurkan dia berbuka, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 185)

dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhsoh-Nya (dispensasi hukum) dikerjakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan dikerjakan.” (HR. Ahmad)

Hal itu semua dengan syarat, sakit yang memberatkan baginya jika berpuasa. Adapun jika tidak memberatkan, maka tidak boleh berbuka karena hal itu tidak termasuk udzur. Adapun bagi musafir, maka berbuka adalah sunnah sebagaimana hal itu dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat. Akan tetapi jika seorang muslim mengetahui bahwa tidak berpuasanya dia ketika safar akan memberatkan dan membebani dirinya saat mengganti di masa yang akan datang dan dia khawatir puasa tersebut berat baginya, lalu dia tetap berpuasa dengan berbagai pertimbangan tersebut maka itu baik dan tidak mengapa baginya sama saja apakah kendaraannya nyaman atau tidak. (lihat Fatawa bin Baz: 15/ 234, 235)

Menelan Ludah

Apakah menelan ludah membatalkan puasa?

Ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan ulama, dan tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa dia membatalkan. Akan tetapi jika sengaja mengumpulkan ludah lalu menelannya, sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal itu membatalkan. Namun pendapat yang benar, tidak membatalkan karena dia tidak memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga tubuhnya. Ludah berasal dari rongga tubuh dan kembali kepadanya. Berdasarkan hal ini, menurut pendapat yang kuat, dahak juga tidak membatalkan walaupun sudah di mulut dan ditelan. Akan tetapi hendaknya seseorang tidak menelan dahaknya karena para ulama melarangnya dari sisi sebagai kotoran yang tidak pantas untuk ditelan. Adapun berkumur-kumur karena haus, apakah membatalkan? Jika airnya ditelan, tidak diragukan lagi bahwa hal itu membatalkan, namun jika tidak ditelan maka tidak membatalkan. (lihat Silsilah Liqo Al Bab al Maftuh Ibnu Utsaimin: 153)

Hukum Suntikan Obat Bius dan Membersihkan Gigi atau Menambal atau Mencabutnya

Apakah mencabut gigi atau menambalnya berpengaruh pada puasa dan apa hukum suntikan obat bius?

Semua yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut tidak berpengaruh pada puasa, puasanya sah bahkan hal itu merupakan perkara yang bisa ditoleransi. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap menjaga jangan sampai ada yang tertelan baik obat atau darah. Suntikan obat bius juga tidak berpengaruh pada puasanya karena tidak bisa disamakan dengan makan dan minum. Secara hukum asal puasanya tetap sah. (lihat Fatawa bin Baz 15: 259)

Donor Darah dan Transfusi Darah

Apa ketentuan darah yang keluar dari badan yang bisa membatalkan puasa? dan bagaimana bisa membatalkan puasa?

Darah yang bisa membatalkan puasa adalah darah yang keluar karena bekam, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya),

“Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya-red).” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan lainnya)

Mengeluarkan darah dengan sengaja sehingga keluar darah yang banyak yang menyebabkan pelakunya lemah seperti donor darah, maka dikiaskan pada bekam. Karena hal itu bisa membatalkan puasa sebagaimana bekam. Karena syariat Islam tidak membedakan sesuatu yang sama dan tidak menyamakan sesuatu yang berbeda. Adapun darah yang keluar tanpa sengaja seperti darah mimisan atau teriris tangannya ketika memotong daging atau menginjak kaca dan semisalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa walaupun keluar darah yang banyak. Demikian pula kalau keluar darah sedikit seperti darah yang dikeluarkan untuk tes darah juga tidak membatalkan puasa. (lihat Fatawa bin Baz:15/ 272)

Apa hukum transfusi darah bagi orang yang sakit gagal ginjal dalam keadaan dia berpuasa, apakah wajib baginya mengqadha atau tidak?

Wajib baginya mengqadha (mengganti puasanya) disebabkan darah bersih yang dimasukkan dalam tubuhnya, apalagi ada tambahan zat yang lain, maka ini juga sebagai pembatal lainnya. (lihat Fatawa bin Baz :15/274)

Haid dan Nifas

Jika seorang wanita haid di bulan Ramadhan atau di akhir masa nifasnya dan suci dari hal itu setelah fajar di salah satu hari di bulan Ramadhan, apakah wajib baginya berpuasa pada hari itu atau tidak? Apa yang harus dia lakukan jika dia mandi dan mulai berpuasa, namun setelah beberapa saat nampak baginya darah haid atau nifas. Apakah dia harus memutus puasanya ataukah hal itu tidak berpengaruh padanya?

Terkait dengan poin yang pertama, yaitu apabila seorang wanita suci dari haid atau nifasnya di pertengahan hari maka dia wajib mandi, shalat dan puasa pada sisa hari tersebut, kemudian mengganti puasa hari tersebut di hari yang lain.

Adapun poin yang kedua, yaitu jika darah haidnya sudah berhenti, kemudian mandi, setelah beberapa saat ternyata melihat cairan merah pudar atau kuning yang keluar, maka jangan dipedulikan, berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha: “Kami dulu sama sekali tidak mempedulikan adanya Kudroh (cairan merah pudar) dan Sufroh (cairan kuning) yang keluar setelah mandi haid” (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Maka jangan pedulikan hal itu.

Adapun terkait dengan nifas, jika darahnya berhenti sebelum 40 hari, dan mandi, kemudian ada sesuatu yang keluar lagi, maka itu termasuk nifas. Puasa dan shalatnya tidak sah selama nifasnya masih ada, karena masih di masa nifas. Adapun kalau sudah sempurna 40 hari, lalu mandi dan ternyata ada yang keluar lagi, maka jangan dipedulikan, kecuali jika bertepatan dengan masa kebiasaan haidnya, maka itu adalah haid.

Kesimpulannya, permasalahan ini perlu diperinci. Jika masa haidnya sudah sempurna, lalu mandi, kemudian melihat cairan kembali, maka jangan dipedulikan. Jika masa haidnya belum sempurna, lalu melihat tanda suci di masa haidnya dan mandi lalu keluar darah lagi, maka itu dianggap haid karena masih dalam masa kebiasaan haidnya. Begitu pula perincian dalam masalah nifas. (lihat Muntaqa Fatawa Al Fauzan)

Tidur Siang Hari, Begadang di Malam Hari

Sebagian orang begadang sampai fajar kemudian tidur setelah shalat Shubuh sampai masuk waktu dhuhur, kemudian shalat dan kembali tidur sampai ashar lalu tidur sampai waktu menjelang berbuka. Apa hukum Islam terkait cara yang semacam ini?

Tidak mengapa tidur di siang hari dan malam hari jika tidak sampai meninggalkan kewajiban dan tidak sampai melakukan perkara yang diharamkan. Dan disyariatkan bagi seorang muslim baik berpuasa atau tidak untuk tidak begadang dan hendaklah segera tidur setelah Allah subhanahu wata’ala mudahkan melaksanakan shalat malam, kemudian bangun untuk makan sahur jika di bulan Ramadhan karena sahur hukumnya sunnah mu’akkadah berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian karena sahur itu mengandung barokah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda (artinya),

“Perbedaaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) (lihat Fatawa bin Baz :15/318)

Mengqadha Puasa Orang Yang Sudah Meninggal

Apakah boleh mengqadha puasa orang yang sudah meninggal yang tidak sempat berpuasa ketika masih hidup karena udzur syar’i dalam keadaan dia sudah mengeluarkan kaffarah sebelum meninggal?

Barang siapa yang tidak berpuasa karena sakit atau safar kemudian udzur tersebut hilang, maka wajib baginya mengganti di hari yang lain jika memang memungkinkan menggantinya. Jika dia meninggal dan belum mengganti setelah Ramadhan yang lain tanpa udzur, maka wajib dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk memberi makan satu orang miskin setiap hari setengah sha’. Adapun jika udzurnya tersebut masih ada tidak ada beban baginya.

Jika sang mayit yang ditanyakan tadi menderita sakit menahun dan tidak mampu berpuasa baik langsung atau qadha’ dan telah memberi makan setiap harinya satu orang miskin, maka dia telah menunaikan kewajibannya sehingga tidak perlu lagi mengqadha’ puasanya. (Muntaqa Fatawa Al Fauzan: 222)

Pembaca, terkait cara membayar kaffarah (tebusan) bagi orang yang sudah tidak mampu melaksanakan ibadah puasa baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau karena usianya sudah lanjut, ada dua cara:

Pertama: Memberikan makanan siap saji kepada orang-orang miskin sejumlah hari yang ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu ketika beliau berusia lanjut.

Kedua: Membagikan makanan pokok seperti beras kepada satu orang miskin sebanyak 1 mud setiap harinya. (lihat Majmu’ fatawa ibnu Utsaimin 17/87)

Sehingga pembaca bisa memilih yang diyakininya, setengah sha’ atau satu mud ketika hendak membayar fidyah. Agar terhindar dari perbedaan pendapat tersebut pembaca bisa memberi makanan siap saji dalam satu hari satu porsi, sebagaimana shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu -ketika beliau berusia lanjut dan tidak mampu berpuasa- pernah mengundang 30 orang miskin, lalu menjamu mereka sampai kenyang.

Allahu A’lam Bishshawab

Penulis: Ustadz Abdul Aziz Sorong hafizhahullah

Al-Ilmu Edisi no. 34/VIII/XIV/1437 H

The post FATAWA SEPUTAR RAMADHAN appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/22/fatawa-seputar-ramadhan/

RAMADHAN, PENGHAMBAAN ATAU KEBIASAAN? –Jadikan Bulan Puasa Lebih Bermakna–

Pembaca, bagaimana kabar Anda hari ini? Kami berharap, Allah subhanahu wata’ala selalu menjaga Anda, keluarga Anda dan kita semua. Kami juga berharap Allah tetap menjadikan kita cinta terhadap ilmu agama, memberi kita istiqamah dalam beribadah hingga hari tua. Amin. Saya yakin, pada sebagian pembaca sudah tersedia buah kurma, menu buka puasa sebulan ke depan telah diagendakan, hidangan lebaran juga sudah direncanakan, atau bahkan baju baru lebaran telah ada di gantungan. Alhamdulillah.

Pembaca, hari-hari begitu cepat bergulir. Minggu berubah menjadi bulan. Bulan berganti menjadi tahun. Dan tahun-tahun itu, yang jumlahnya banyak, telah berlalu. Sekarang, kita telah berada di penghujung bulan Sya’ban (awal Ramadhan). Dan untuk kali ini, sudah keberapa kalinya kita memasuki bulan yang penuh barokah ini? Hitung saja dengan bantuan umur Anda masing-masing! Ternyata, memang sudah banyak.

Sudah Puasa! Sudah Takwa?

Kiranya, ayat 183 surah al-Baqarah sudah menjadi menu wajib para khatib di bulan Ramadhan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya),

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian semua berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada kaum sebelum kalian, agar kalian bertakwa!” (al-Baqarah: 183)

Pembahasan kita bukan pada tafsir ayat di atas. Namun, kita akan mencoba mengaplikasikan ayat di atas pada diri kita, orang-orang yang alhamdulillah sudah berpuasa. Hal ini bertujuan sebagai bentuk evaluasi dan muhasabah. Apakah tujuan dari puasa telah tercapai? Apakah setelah menahan makan dan minum, kita sudah menjadi pribadi yang bertakwa?

Pembaca, coba sekarang, Anda menanyakan kepada diri Anda, sudah berapa Ramadhan yang sudah Anda lewati? Satu kali, dua kali, tiga kali atau lebih dari itu? Nah, dengan melewati momen Ramadhan tersebut apa yang Anda rasakan?

Apakah tujuan utama puasa telah terealisasi? Apakah Anda sudah menjadi orang yang bertakwa? Apakah setelah melewati sekian Ramadhan itu, Anda telah menjadi hamba yang peduli terhadap sesama? Apakah dan apakah?

Jawabannya ada pada diri Anda masing-masing. Jawaban itulah nilai dari puasa Anda. Berhasil atau tidaknya puasa, tergantung pada jawaban tadi.

Realita

Realitanya, kenapa pada sebagian kita, begitu banyak kesempatan Ramadhan dilewati namun seolah tidak memberi arti. Bagi sebagian orang selesainya Ramadhan pertanda selesainya ibadah, berhentinya Ramadhan alamat berhentinya taat, berakhirnya Ramadhan simbol berakhirnya berbagai kebaikan. Allahulmusta’an.

Artinya, puasa tersebut belum optimal, atau bisa jadi belum berhasil. Kemungkinan lain, puasa tersebut tidak bernilai lagi tidak berpahala. Lebih buruk lagi, yang didapat hanyalah lapar dan haus (na’udzubillah mindzalik). Kenapa ya?

Untuk menjawab pertanyaan ini tentu agak susah. Jelasnya, jika terjadi hal yang demikian menunjukkan kualitas puasa kita masih di bawah standar. Senyatanya, puasa kita belum seperti yang diinginkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Bisa jadi, banyak kekurangan di sana-sini.

Berguru kepada Masa Lalu

Dari pengalaman masa lalu tersebut, mari berbenah. Ayo kita perbaiki Ramadhan ini, bisa jadi momen penuh barokah ini yang terakhir bagi kita. Semoga, kualitas ibadah puasa kita semakin bermakna.

Oleh karena itu, kami akan mengajak saudara pembaca untuk merenungi bimbingan dan nasihat ulama ketika menghadapi Ramadhan. Harapannya, dengan bimbingan tersebut nilai ibadah dalam puasa semakin terasa. Ramadhan tidak lagi sebatas kebiasaan, tapi lebih identik sebagai sebuah penghambaan dan pengabdian.

Bimbingan Ramadhan

Bimbingan kali ini bukan terkait hukum dan tata cara puasa Ramadhan. Akan tetapi, lebih menitikberatkan pada persiapan batin dalam bulan Ramadhan. Untuk hukum fikih Ramadhan, pembaca bisa merujuk pada edisi-edisi mendatang, insya Allah.

1. Sambut dengan bahagia

Di antara nasihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah kepada kaum muslimin di penghujung Sya’ban (awal Ramadhan), “Sambutlah bulan tersebut dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan.”

Kenapa kita harus bahagia? Tentu karena berbagai keutamaan yang Allah subhanahu wata’ala siapkan di bulan tersebut. Perasaan bahagia dan senang terhadap sesuatu itu juga akan melahirkan semangat dan tekad. Dengan demikian, ia akan menjalani bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal kebaikan.

Jangan sampai muncul perasaan sedih dan terpaksa. “Duh, lagi-lagi puasa! Lagi-lagi tidak boleh makan dan minum sepuasnya!” ungkapan-ungkapan ini tidak sepantasnya terlintas apalagi terucap dari seorang mukmin.

2. Bertekad kuat

Setelah seseorang merasa bahagia dengan datangnya Ramadhan, hendaknya sejak awal mula Ramadhan, ia sudah membulatkan tekad untuk menghidupkan Ramadhan. Berasal dari tekad inilah, terlahir berbagai amal shalih.

Bahkan, disebutkan dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab rahimahullah bahwa para salaf mempersiapkan diri mereka menghadapai Ramadhan sejak empat bulan sebelum datangnya bulan tersebut. Luar biasa bukan?

Lebih menakjubkan lagi, empat bulan berikutnya, mereka gunakan untuk melakukan koreksi, evaluasi dan interopeksi terhadap amalan mereka ketika Ramadhan. Bisakah kita seperti mereka?

Pembaca, untuk membangun tekad, Anda membutuhkan niat ikhlas. Dengan inilah amal seseorang akan mendapatkan balasan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu hanya tergantung pada niat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan keikhlasan, ibadah puasa tidak lagi sebatas kebiasaan. Karena ikhlas, dia berpuasa bukan karena merasa malu dengan temannya, atau terpaksa, ikut-ikutan. Dengan niat ikhlas pula, yang berpuasa pun akhirnya tidak sekedar mulut saja, tapi segenap anggota badan yang lain termasuk hati.

3. Berlomba dalam kebaikan

Anda yang ingin sukses di bulan Ramadhan, terapkan prinsip ini! Selalu berlomba dalam kebaikan. Setiap kali Anda melihat kawan bersedekah, ikutlah bersedekah. Bila ada kawan yang berhasil mengkhatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan, kenapa saya tidak? Dengan begitu Ramadhan dipenuhi dengan amal kebaikan.

Berlomba-lomba itu bukan dalam urusan dunia, akan tetapi kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam urusan akhirat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),

Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan” (al-Baqarah: 148)

Maka, jika ada kawan yang bisa mengkhatamkan al-Qur’an dua kali di bulan Ramadhan, ada teman yang selalu di shaf depan dalam shalat berjamaah, ada saudara yang bisa ibadah ini dan itu, saya pun harus bisa! Bukankah begitu? Barakallahufikum.

4. Bertaubat dari dosa

Sebenarnya, bertaubat dari dosa itu dituntut kapan saja, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hanya saja, ketika menjelang Ramadhan, taubat itu lebih dituntut. Kenapa? Agar kebiasaan dosa itu tidak terbawa ketika di bulan Ramadhan.

Jika sebuah kebiasaan buruk tidak ditinggalkan, dengan mudah kebiasaan buruk itu akan terulang kembali. Secara tidak sadar, kebiasaan buruk itu akan merusak ibadah puasa seorang hamba. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta perbuatan bodoh maka Allah tidak butuh terhadap amalannya dari menahan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1804)

Renungan Sisipan:

Makan dan minum di luar Ramadhan itu halal, di bulan Ramadhan ditinggalkan. Sedangkan dusta, di luar Ramadhan sudah haram, kenapa pada saat Ramadhan justru dikerjakan? Wajar, bila Allah subhanahu wata’ala tidak butuh terhadap puasanya.

Pembaca, perhatikanlah seruan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Bulan Ramadhan telah mendatangi kalian

يَا بَاغِيَ اْلخَيْرِ أَقْبِلْ يَا بَاغِيَ الشَرِّ أَقْصِرْ

“Wahai pencari kebaikan, sambutlah Ramadhan! Wahai pelaku kejelekan, hentikanlah!” (HR. at-Tirmidzi)

5. Amar ma’ruf nahi mungkar

Untuk menghidupkan Ramadhan prinsip ini juga tidak kalah penting. Mengingatkan keluarga, saudara, dan kawan agar terus berbuat baik dan menjauh dari maksiat hendaknya ditempuh.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri membangunkan keluarganya di bulan Ramadhan, terlebih di sepuluh hari terakhir. Aisyah radhiyallahu anha menuturkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila memasuki 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)

6. Bersungguh-sungguh

Bersungguh-sungguh akan menjadi sebab tercapainya tujuan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya),

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan benar-benar memberikan petunjuk kepada jalan-jalan Kami.” (QS. al-‘Ankabut: 69)

7. Bersabar

Bersungguh-sungguh belum cukup. Berapa banyak orang yang bersungguh-sungguh, ketika menemui jalan buntu, dia berhenti. Kadang ada rasa malas, kadang ada rasa bosan, sabar-lah solusinya. Sehingga butuh adanya kesabaran. Dengan kesabaran akan diraih hasil.

Jalan itu tidak mulus. Jika di lautan, pasti ada ombak menerjang. Jika di daratan, akan ada lubang dan tikungan. Jika di udara, maka ada awan tebal dan badai menghadang.

8. Tepat di atas syariat

Inilah prinsip yang paling urgen. Agar ibadah puasa diterima, Anda harus melandasinya dengan ilmu. Dengan menghadiri berbagai kajian, mendengar CD ceramah, membaca buku dan majalah, adalah di antara metode mencari ilmu.

Pembaca, tunggu apa lagi? Ramadhan sudah di depan mata. Lakukan yang terbaik untuk Ramadhan kali ini. Bisa jadi, ini adalah kesempatan terakhir yang Allah ta’ala berikan kepada kita. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy hafizhahullah

Sumber: Buletin Al-Ilmu Edisi no. 33/VIII/XIV/1437 H

The post RAMADHAN, PENGHAMBAAN ATAU KEBIASAAN? –Jadikan Bulan Puasa Lebih Bermakna– appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/21/ramadhan-penghambaan-atau-kebiasaan-jadikan-bulan-puasa-lebih-bermakna-2/

Jumat, 17 Juni 2016

hukum wanita keluar rumah dengan memakai pakaian yang pada saat dicuci menggunakan pewangi pakaian

〰〰〰〰〰〰〰
🔰TANYA JAWAB 🔰
〰〰〰〰〰〰〰

❓PERTANYAAN:
Afwan ustadz ana mau tanya: Bagaimana hukum wanita keluar rumah dengan memakai pakaian yang wangi sebab pada saat dicuci mengunakan pewangi pakaian seperti Molto? Jazakumullahu khairan.

✅ JAWABAN:
Jika keluar rumahnya itu akan melewati jalan yg bau semerbak wanginya akan tercium laki-laki yg bukan mahram, tidak diperbolehkan

Sebaiknya jika ingin mencuci menggunakan pewangi pakaian, dipisahkan antara pakaian laki-laki (yang bisa menggunakan pewangi) dengan pakaian wanita. Pakaian wanita jangan menggunakan pewangi, jika itu pakaian untuk keluar rumah. Termasuk pewangi saat menyetrika juga perlu memperhatikan pemisahan semacam itu.

Dalam hadits, dinyatakan:

أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا من ريحها فهي زانية

Wanita mana saja yang memakai wewangian, kemudian berjalan melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka dia adalah wanita pezina (H.R anNasaai, dihasankan Syaikh al-Albaniy)

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الأخرة

Wanita mana saja yg memakai bakhur (semacam wewangian), maka jangan ikut sholat Isya bersama kami (kaum lelaki di masjid)(H.R Muslim)

❓PERTANYAAN:
Pezina dalam hadist tersebut maksudnya dosanya semisal berzina atau wanita tersebut melakukan perbuatan yang mengarah pada perzinahan ataukah dihukumi sama dengan seorang wanita yang sedang  berzina selama dia berada diluar rumah ustadz?

✅JAWABAN:
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan atTirmidzi bahwa maksudnya ia seperti pezina yang membangkitkan syahwat para lelaki dengan semerbak harum yang disebarkannya. Sehingga kemudian para lelaki itu memandangnya, sehingga menyebabkan zina mata.

👆Dijawab oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman hafidzahullah. Dinukil dari Grup WA al-I'tishom

〰〰〰〰〰〰
📚🔰 Salafy Kendari || http://bit.ly/salafy-kendari

Rabu, 15 Juni 2016

Tentang ZODIAK, AKSI SULAP, CINCIN TUNANGAN, dan GELANG KESEHATAN

Some Actions which Conflict with Aqeedah & Tawheed

1 – Reading Star Signs

Shaykh Salih Alaa ash – Shaykh -hafidhullaah- said :

    ‘Whoever reads the page which contains star signs and he knows the star sign of when he was born, or he knows that star sign which is significant for him, and he reads the comments mentioned in that star sign then it is as if he has asked a soothsayer/fortune teller. So his prayer would not be accepted for forty days.

    If he attests to it and believes in that star sign then he has disbelieved in that which was revealed to Muhammad – sallAllaahu alayhi wa sallam- . . .’ (the Shaykh continues saying: ) ‘and if he brings home newspapers which contain these type of things then it is as if he brought a soothsayer / fortune teller into his house.’

[Tamheed Sharh Kitaab al Tawheed p. 349 ]

2 – Watching Magical Acrobatic Stunts & Circus Antics

Shaykh Salih Al-Fawzaan -hafidhullaah- said :

    ‘It is not permissible to use magic in the form of acrobatic stunts or circus antics or anything similar to that. Like the one who pulls a car with his hair, or a car is driven over him and does not harm him. . . . . all of this is magical imagery, so it is not allowed to perform it or to be happy with it, nor to attract your friends to do this in front of Muslims. Because it is clear evil, it is obligatory to reject and terminate it and to cleanse the Muslim lands of it . . . if those who go to see magic in the form of acrobatic stunts even though they are not pleased with going to see them, they have carried out something which is prohibited and they are sinful for it.

    If they are pleased with this and they know that this is done by magic then they have fallen into disbelief because of it.’

[Daroos fee sharh Nawaqid al Islaam p. 152-156]

3 – Wearing an Engagement Ring

This enters under the saying of the Messenger – sallAllaahu alayhi wa sallam:

    ‘Indeed incantations, amulets and Tiwalah (a form of magic) are Shirk.’

Collected by Ahmad and Abu Dawood.

Shaykh Muhammad Ibn Uthaymeen -rahimullaah – gave the example that an engagement ring is a Tiwalah and he explained:

    ‘If the people believe that it can benefit or harm, then with this intention it is from the minor Shirk, and even if this intention is not there – and this is highly unlikely that he does not have this intention – it is resemblance of the Christians since it is taken from them.’

[Al-Qawl al-Mufeed ala Kitaab al Tawheed 1 /228-229]

4 – Wearing Brass Bracelets to Battle Against Rheumatism

Shaykh AbdulAziz Ibn Baz – rahimullaah – said regarding these type of bracelets after having exhausted all the evidences:

    ‘The opinion which I hold in this issue is leaving these previously mentioned bracelets and not to use them; this is to block the path leading to Shirk, to terminate the aspect of any Fitnah with these bracelets and to incline to them, also that souls become attached to them.

    Also, in having the incentive in turning the Muslim with his heart to Allaah -Subhanahu- and to have trust in Him, and reliance on Him sufficing with the means which are in accordance with the Sharia’ and their allowance is well known with committing Shirk.’

[Majmoo’ Fatawa ash-Shaykh Ibn Baaz vol.1 p.207]

All Praise belongs to Allaah, may His peace and blessings be upon our final Prophet Muhammad, his family, his companions and all those who follow his guidance.

Source: https://followingthesunnah.wordpress.com