Cari Blog Ini

Kamis, 16 Oktober 2014

Tentang BERSEDEKAP SAAT I'TIDAL

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dari hadits Sahl ibnu Sa’d radhiallahu anhu, ia berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻳُﺆْﻣَﺮُﻭْﻥَ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻊَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟْﻴَﺪَ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺫِﺭَﺍﻋِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ
“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 740)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.
Mengapa demikian? Karena dimaklumi, saat rukuk kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Ketika sujud, kedua tangan diletakkan di atas tanah, sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Saat duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahhud, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan dua lutut, sesuai dengan perincian yang diterangkan dalam as-Sunnah. Masalah yang tersisa sekarang hanyalah saat berdiri, di manakah tangan diletakkan? Berdasar hadits di atas, maka tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (bersedekap), sama saja baik saat berdiri sebelum rukuk maupun setelah bangkit dari rukuk karena tidak ada dalil yang tsabit (sahih) dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang membedakan dua berdiri ini.
Dalam hadits Wa’il radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih disebutkan, saat berdiri shalat, Nabi shallallahu alaihi wasallam memegang dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)

###

asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, pernah ditanya tentang pendapat yang kuat terkait dengan peletakan kedua tangan pada saat berdiri i’tidal. Beliau rahimahullah menjawab, “Dalam masalah ini urusannya mudah karena tidak ada dalil yang sahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan irsal dan yang menunjukkan sedekap. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan yang ini bid’ah dan tidak bisa pula mengatakan yang itu sunnah. Akan tetapi, ini adalah masalah ijtihad. Siapa yang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu meletakkannya di atas dadanya setelah bangkit dari rukuk berarti ia telah mengambil keumuman dalil yang ada. Adapun yang melepas kedua tangannya (irsal) berarti ia juga telah mengambil dalil hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim yang kesimpulan maknanya menunjukkan Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan beliau yang kanan di atas tangan kiri beliau, tanpa ada penyebutan di atas dada. Kemudian dinyatakan, tatkala ingin rukuk, beliau melepas kedua tangan beliau dan tidak ada penyebutan beliau mengembalikan kedua tangan (ke posisi sedekap) setelah rukuk. Hadits yang lain dalam Musnad Ahmad menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata tentang rukuk, ‘hingga setiap anggota kembali kepada persendiannya’, atau ucapan yang semakna dengan ini.
Adapun saya sendiri memilih posisi irsal, melepas kedua tangan setelah rukuk tanpa menganggap posisi sedekap sebagai bid’ah dan tidak mengingkari orang yang mengamalkannya. Dalam masalah ijtihad yang di dalamnya tidak ada dalil, urusannya mudah. Wallahul musta’an.” (Ijabatus Sa’il ala Ahammil Masa’il, hlm. 500)

###

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan, masalah sedekap sebelum atau setelah rukuk adalah perkara sunnah dalam shalat, bukan wajib. Dengan demikian, apabila ada orang yang shalat tidak bersedekap sebelum atau setelah rukuk, shalatnya tetap sah. Hanya saja dia telah meninggalkan perkara yang afdal dalam shalat.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak pantas menjadikan perbedaan dalam masalah yang seperti ini sebagai sebab pertikaian, boikot, dan perpecahan. Bahkan, meskipun amalan tersebut dianggap wajib, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar.
Yang wajib dilakukan oleh seluruh kaum muslimin adalah mencurahkan seluruh upaya untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan, menerangkan al-haq dengan dalil, disertai semangat untuk membersihkan hati serta menyelamatkannya dari rasa dengki dan hasad terhadap sesama. Di samping itu, kaum muslimin juga wajib menjauhi sebab perpecahan dan saling boikot karena Allah mewajibkan semuanya untuk berpegang dengan tali-Nya dan tidak berpecah belah.
“Berpeganglah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺮْﺿﻰ ﻟَﻜُﻢْ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﻳَﻜْﺮَﻩُ ﻟَﻜُﻢْ ﺛَﻼَﺛًﺎ: ﻓَﻴَﺮْﺿَﻰ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭْﻩُ ﻭَﻻَ ﺗُﺸْﺮﻛِﻮُﺍْ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga hal dan membenci dari kalian tiga hal pula. Dia ridha untuk kalian agar kalian beribadah dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun, kalian berpegang dengan tali Allah semuanya, dan tidak berpecah belah.” (HR. Muslim no. 4456)
Ada beberapa kejadian di kalangan sebagian kaum muslimin —misalnya di Afrika— yang sampai bermusuhan serta saling mendiamkan karena masalah sedekap dan irsal ini. Peristiwa seperti ini jelas merupakan kemungkaran yang tidak boleh sampai terjadi. Yang semestinya, mereka saling menasihati dan berusaha saling memahami dalam mengetahui al-haq beserta dalilnya, dalam keadaan tetap menjaga rasa cinta, kasih sayang, dan ukhuwah imaniah di antara mereka. Dahulu, para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ulama setelah mereka juga pernah berselisih dalam masalah-masalah furu’. Namun, perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka berpecah belah dan saling boikot karena tujuan mereka adalah ingin sampai kepada al-haq dengan dalilnya. Ketika al-haq itu tampak dan jelas bagi mereka, mereka pun bersepakat di atasnya. Ketika al-haq itu tersembunyi bagi sebagian mereka, pihak yang satu tidak sampai menganggap saudaranya sesat sehingga tidak menyebabkannya memboikot saudaranya, memutus hubungan dengannya, dan tidak mau shalat di belakangnya.
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib bertakwa kepada Allah dan berjalan di atas jalan salaf yang saleh dalam berpegang dengan al-haq, menjaga ukhuwah imaniah, dan tidak saling memutus hubungan serta saling boikot karena masalah furu’ yang terkadang tersembunyi dalilnya bagi sebagian orang sehingga ijtihad yang dilakukannya membawanya menyelisihi saudaranya dalam masalah hukum.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/141—143)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar