Cari Blog Ini

Selasa, 23 September 2014

Tentang MENIRU DAN MENGIKUTI ORANG KAFIR

Tasyabbuh adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hal aqidah, ibadah, perayaan, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri, dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, atsar, dan pengalaman, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyariatkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473)

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
ﺃَﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻥِ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻥ ﺗَﺨْﺸَﻊَ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻟِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﺰَﻝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻞُ ﻓَﻄَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟْﺄَﻣَﺪُ ﻓَﻘَﺴَﺖْ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ۖ ﻭَﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِّﻨْﻬُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al- Hadid: 16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “ Kalimat: Dan jangan mereka seperti ahli kitab, ini adalah larangan yang bersifat mutlak dalam hal meniru mereka. Ayat ini lebih khusus menekankan larangan menyerupai mereka dalam hal kekerasan hati. Kerasnya hati adalah salah satu buah kemaksiatan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 81)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan,
ﻟَﺘَﺘَّﺒِﻌُﻦَّ ﺳَﻨَﻦَ ﻣَﻦْ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﺑِﺸِﺒْﺮٍ ﻭَﺫِﺭَﺍﻋًﺎ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﻮْ ﺳَﻠَﻜُﻮﺍ ﺟُﺤْﺮَ ﺿَﺐٍّ ﻟَﺴَﻠَﻜْﺘُﻤُﻮﻩُ ﻗُﻠْﻨَﺎ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﻦْ؟
“Sungguh, kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Kalaupun mereka menempuh jalur lubang dhab (binatang sejenis biawak), niscaya kalian akan menempuhnya.” Kami mengatakan, “Ya Rasulullah, apakah jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 4822 dari sahabat Abu Sa’id al- Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Di dalam riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻡُ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺄْﺧُﺬَ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺑِﺄَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻘُﺮُﻭﻥِ ﻗَﺒْﻠَﻬَﺎ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﺑِﺸِﺒْﺮٍ ﻭَﺫِﺭَﺍﻋًﺎ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉٍ. ﻓَﻘِﻴﻞَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻛَﻔَﺎﺭِﺱَ ﻭَﺍﻟﺮُّﻭﻡِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻭَﻣَﻦِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ؟
“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengambil langkah generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” Lalu dikatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah bangsa Persi dan Romawi?” Beliau bersabda, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 6774)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Berita ini menggambarkan sebuah kenyataan yang akan terjadi sekaligus sebagai celaan atas orang yang mengerjakannya. Beliau pun memberitakan apa yang akan dilakukan oleh manusia mendekati hari kiamat, berupa tanda-tanda kedatangannya berikut segala perkara yang diharamkan. Maka dari itu, diketahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya mencela umat ini apabila menyerupai Yahudi, Nasrani, Persi, dan Romawi. Inilah faedah yang dicari.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 44)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Penyebutan lafadz jengkal, hasta, dan liang dhabb, adalah sebagai kinayah tentang kuatnya penyerupaan umat ini terhadap Yahudi dan Nashara. Sedangkan penyerupaan di sini dalam hal kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran syar’i, bukan dalam hal kekafiran.” (Syarh Shahih Muslim 16/436)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika menerangkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu anhu (HR. At-Tirmidzi, no. 2180), “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian," beliau berkata:
"Perkataan ini bukanlah persetujuan dari Rasul, bahkan merupakan peringatan dari beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena sebagaimana dimaklumi, cara/jalan orang-orang sebelum kita (Yahudi dan Nashara) yang diikuti oleh umat ini adalah jalan yang sesat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/202)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Karena Al Qur’an dan As Sunnah telah menerangkan pula bahwasanya akan selalu ada pada umat ini sekelompok kecil yang berpegang teguh dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hingga hari kiamat, dan umat ini tidak akan bersatu padu (secara keseluruhan) di atas kesesatan. Maka dengan adanya larangan dari perbuatan tasyabbuh akan memperbanyak kelompok kecil yang selalu dibela oleh Allah ini, mengokohkan dan menambah keimanan mereka. Semoga Allah, Dzat Yang Maha Mengabulkan, menjadikan kita bagian dari mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/170-171)

Allah Subhanahu wata’ala telah melarang keras kaum muslimin meniru mereka, sebagaimana firman-Nya,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ {} ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻓَﺮَّﻗُﻮﺍ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢْ ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺷِﻴَﻌًﺎ ۖ ﻛُﻞُّ ﺣِﺰْﺏٍ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺪَﻳْﻬِﻢْ ﻓَﺮِﺣُﻮﻥَ
“Dan janganlah kalian seperti orang musyrik. Orang-orang yang telah memecah belah agama mereka sehingga mereka berkeping-keping dan setiap kelompok menyombongkan diri atas yang lain." (ar-Rum: 31—32)

Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berdoa agar tidak termasuk golongan mereka dalam banyak ayat. Di antaranya,
ﺍﻫْﺪِﻧَﺎ ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢَ {} ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤَﻐْﻀُﻮﺏِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻀَّﺎﻟِّﻴﻦَ
“Tunjukilah kami ke jalan Engkau yang lurus. Jalan orang-orang yang Engkau telah beri nikmat atas mereka dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan sesatkan.” (al-Fatihah: 6-7)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika membawakan hadits,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk dari mereka.”
Setelah menjelaskan kondisi para perawi haditsnya, beliau mengatakan,
“Hukum yang paling ringan (dalam meniru orang kafir) di dalam hadits ini adalah keharaman, kendatipun lahiriah haditsnya menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَﻮَﻟَّﻬُﻢ ﻣِّﻨﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ۗ
“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah: 51)
Ini semakna dengan ucapan Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
“Barang siapa tinggal di negeri kaum musyrikin dan melakukan hari ulang tahun mereka, pesta besar mereka, dan meniru mereka sampai meninggal dunia, dia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat.”
Terkadang, hal ini dibawa kepada hukum tasyabuh (meniru orang kafir) yang bersifat mutlak, yaitu tasyabuh (meniru orang kafir) yang menyebabkan seseorang kafir dan sebagiannya mengandung hukum haram. Bisa juga dibawa pada makna bahwa dia seperti mereka sebatas apa yang dia tiru. Jika yang dia tiru itu dalam hal kekafiran (dia menjadi kafir), dan jika maksiat, (ia telah bermaksiat). Jika dalam hal syiar kekufuran mereka atau syiar kemaksiatan mereka, hukumnya semisal itu.” (Lihat al-Iqtidha hlm. 82-83)

Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara zhahir antara umat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5.  Lebih dari itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyatakan:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia  termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)

Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/model, ataupun tingkah laku.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu (HR. Muslim no. 302), “Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian yang sedang haid) kecuali nikah (jima’),” beliau berkata:
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah syariatkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau shallallahu alaihi wasallam menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka (orang-orang Yahudi) berkomentar: ‘Orang ini (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/214-215, lihat pula 1/365)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)

Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyariatkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syariat mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/tuntunan yang berbeda dengan mereka, seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyariatkan dalam agama mereka namun kemudian di-mansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek dari menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek dari menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya.
(Diringkas dari Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/437-477)

Adapun memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/48 dengan beberapa tambahan)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan umat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupaan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki).” (Majmu’ Durus wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)

Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula 1/219-220, 226-227, dan 272).

Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi umat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah

Karena meniru mereka dalam berpakaian, berbicara dan lain sebagainya menunjukkan kecintaan terhadap yang ditiru. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.”
HR. Abu Dawud, Kitab Al Libas, Bab fi Libasu Asy Syahruh, 4031.
Oleh karena itu tidak diperbolehkan menyerupai kaum kafir dalam perkara yang merupakan ciri khas mereka seperti adat kebiasaannya, ibadahnya, kepribadian maupun kelakuannya, semisal mencukur jenggot dan memanjangkan kumis, atau berbicara dengan bahasa mereka kecuali jika sangat dibutuhkan. Demikian juga dalam cara (gaya, model) mereka berpakaian, makan, minum, dan lain-lainnya.

(Al Wala` wal Bara` Fil Islam lisy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

F.I.S Forum Ikhwah Salafiyyin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar