Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang PERANGAI YANG HARUS DIMILIKI KETIKA HENDAK MENEGAKKAN AMAR MARUF NAHI MUNGKAR

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan jika ia memiliki tiga perangai:
1. lemah lembut dalam mengajak dan melarang,
2. bersikap adil dalam mengajak dan melarang, serta
3. berilmu tentang apa yang diajak dan dilarangnya.” (al-Wara’, al-Imam Ahmad hlm. 166)

1. Lemah lembut dalam mengajak dan melarang

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, beliau berkisah:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seorang Arab badui datang. Ia lantas buang air kecil di salah satu sudut masjid. Orang-orang berusaha untuk menghalangi, namun Nabi shallallahu alaihi wasallam justru melarang mereka. Setelah ia selesai dari hajatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menyediakan seember air. Kemudian, air tersebut diguyurkan ke tempat (buang air kecil) tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284, 285)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,
“Pada umumnya, watak asli orang-orang Arab dari pedalaman (badui) adalah kaku dan jahil terhadap hukum-hukum Allah Azza wa Jalla. Apa yang ada di dalam hadits Anas radhiallahu anhu ini adalah salah satu contohnya. Seorang Arab badui masuk ke Masjid Nabi di kota Madinah. Saat itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat sedang berada di dalam masjid. Orang badui tersebut lalu berjalan menuju salah satu sudut masjid, kemudian duduk dan buang air kecil. Perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan besar oleh para sahabat. Mereka pun berteriak ingin menghalanginya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam malah melarang mereka, karena kelemah lembutan dan perhatian beliau terhadap orang jahil. Dengan hal ini, beliau sekaligus memberi pengajaran kepada umat agar mereka menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara hikmah dan lemah lembut. Bisa jadi, jika orang badui tersebut dilarang, ia akan bangkit berdiri (sebelum selesai hajatnya) dan benda najis justru akan mengenai pakaian dan badannya, serta tercecer pada beberapa tempat di dalam masjid. Bahkan, ia akan mengalami gangguan karena menghentikan hajatnya secara terpaksa.
Setelah menyelesaikan hajatnya dan hilanglah hal-hal yang dikhawatirkan di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintah para sahabat menghilangkan bekas kencingnya dengan membersihkan tempat tersebut. Beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan tempat itu diguyur dengan menggunakan seember air.
Al-Imam Muslim rahimahullah menambahkan riwayat, “Setelah itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada orang badui tersebut, ‘Sesungguhnya, masjid tidaklah pantas untuk membuang air atau kotoran. Masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang disabdakan beliau.
Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintah para sahabat untuk membiarkannya. Setelah itu, beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya, kalian diutus untuk memberi kemudahan. Kalian tidaklah diutus untuk menimbulkan kesusahan.” (Tanbihul Afham 1/87—88)

Asy-Syaikh Alu Bassam menerangkan alasan sikap lemah lembut Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap orang badui tersebut, yaitu agar nasihat dan pelajaran lebih mudah diterima saat beliau sampaikan. (Taisirul ‘Allam 1/88)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ وَيُعْطِي عَلَيْهِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahalembut. Ia mencintai kelembutan dalam setiap hal. Ia akan memberikan (kebaikan) pada kelembutan sesuatu yang tidak Ia berikan pada kekerasan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Bersikap adil dalam mengajak dan melarang

Saat menegur atau menyampaikan nasihat, pertimbangkanlah baik buruknya, maslahat dan mafsadahnya. Akankah memunculkan kebaikan, ataukah justru melahirkan kemungkaran yang lebih parah?
Ibnul Qayyim rahimahullah (I’lamul Muwaqqi’in 3/4) menjelaskan, “Sesungguhnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menetapkan syariat untuk umatnya dalam hal mengingkari kemungkaran, dengan tujuan munculnya kebaikan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Apabila konsekuensi dari mengingkari satu bentuk kemungkaran adalah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi dan lebih dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak diperkenankan untuk mengingkarinya meskipun Allah membencinya dan membenci pelakunya. Siapa saja yang memerhatikan berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam Islam, baik besar maupun kecil, ia pasti menemukan bahwa ajaran semacam ini telah diabaikan. Demikian juga kurangnya kesabaran dalam mengingkari kemungkaran sehingga ia berusaha menghilangkannya dengan tergesa-gesa. Akhirnya, usahanya justru menimbulkan kemungkaran yang jauh lebih parah. Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyaksikan kemungkaran terbesar di Makkah, namun beliau shallallahu alaihi wasallam tidak dapat mengubahnya. Bahkan, sekalipun Makkah telah dibukakan oleh Allah untuk beliau dan menjadi negeri Islam, ditambah keinginan kuat beliau untuk mengubah letak Ka’bah dengan mengembalikannya pada posisi fondasi Ibrahim. Akan tetapi, itu semua beliau shallallahu alaihi wasallam urungkan, padahal beliau mampu. Beliau shallallahu alaihi wasallam khawatir hal itu akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah, yaitu penolakan dari Quraisy, sementara mereka baru saja masuk ke dalam Islam dan baru beberapa saat terlepas dari kekafiran.”

3. Berilmu tentang apa yang diajak dan dilarangnya

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan peringatan yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Menjelaskan ayat di atas, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,
“Ini adalah penjelasan tentang cara menjalankan dakwah. Dakwah harus dilakukan dengan hikmah, yaitu dengan ilmu yang berupa firman Allah dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ilmu disebut hikmah karena ilmu akan menyingkirkan kebatilan dan membantu orang yang memilikinya untuk mengikuti kebenaran.
Dakwah dengan ilmu juga dilakukan bersamaan dengan mau’izhah hasanah (peringatan yang baik, dengan ayat tentang azab/kenikmatan surga) serta jidal (diskusi) dengan cara yang baik ketika dibutuhkan. Sebagian orang terkadang menerima dengan disampaikan kepadanya kebenaran beserta dalilnya, karena dia adalah orang yang mencari kebenaran. Ketika kebenaran mendatanginya, dia menerimanya. Orang yang seperti ini tidak memerlukan mau’izhah hasanah. Namun, ada orang yang tidak segera menerima kebenaran yang datang dengan dalil-dalilnya. Ada pula yang hatinya keras sehingga membutuhkan mau’izhah. Oleh karena itu, orang yang mengajak kepada Allah harus siap memberikan nasihat serta peringatan (untuk mengingatkan pahala dari Allah atau azab-Nya yang keras) ketika dibutuhkan. Misalnya, ketika mendakwahi orang-orang yang tidak tahu agama atau orang-orang yang lalai serta bermudah-mudahan hingga mereka mau menerima dengan yakin dan selanjutnya akan kokoh di atas kebenaran.
Di samping itu, orang-orang yang didakwahi terkadang memiliki syubhat (kesalahan/kerancuan pemahaman), sehingga dia akan membantah apa yang disampaikan kepadanya dan tidak akan menerima hingga hilang kerancuan berpikirnya.” (4/229)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar