Cari Blog Ini

Jumat, 17 Oktober 2014

Tentang DUDUK ISTIRAHAT DAN TATA CARA BANGKIT DARI SUJUD DI DALAM SHALAT

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ketika membahas tentang masalah ini, mereka mengatakan, "Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat kepala dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan ketiga serta sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan yang termasuk kewajiban shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) dalam shalat. Ulama berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk ini sunnah saja, atau bukan termasuk gerakan shalat sama sekali (sehingga tidak boleh diamalkan), atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya karena tubuh yang lemah karena usia, sakit, atau kegemukan." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448)

Pendapat pertama: duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu di atas kedua tangan

Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu berkata,
ﺃَﻵ ﺃُﺣَﺪِّﺛُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺻَﻼَﺓِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﻭَﻗْﺖِ ﺻَﻼَﺓٍ. ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﺠْﺪَﺓِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ ﻓِﻲ ﺃَﻭَّﻝِ ﺭَﻛْﻌَﺔٍ، ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻗَﺎﻋِﺪًﺍ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻡَ ﻓَﺎﻋْﺘَﻤَﺪَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ.
“Maukah aku gambarkan kepada kalian cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Lalu Malik shalat di luar waktu shalat. Tatkala ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua pada rakaat yang awal, ia duduk tegak. Kemudian baru bangkit dengan bertumpu (dengan kedua tangannya) di atas tanah. (HR. asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198, an-Nasa’i no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)

Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824) disebutkan Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu mencontohkan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada orang-orang. Ketika Ayyub, salah seorang perawi hadits ini, bertanya kepada Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan hadits ini dari Malik radhiallahu anhu tentang bagaimana cara shalat yang dicontohkan Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh kita ‘Amr ibnu Salamah.
ﻗﺎﻝ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺟﻠﺲ ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﺛﻢ ﻗﺎﻡ
Ayyub berkata, "Adapun syaikh tersebut maka dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas tanah, kemudian baru bangkit berdiri."

Adapun yang berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, maka anggapan seperti ini tidak boleh dipakai untuk menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh orang. Kalau memang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, bukan karena sunnah, bagaimana bisa hal tersebut tersembunyi bagi para sahabat yang mulia tersebut. Terlebih lagi, di antara mereka ada Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu, yang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠِّﻲ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

An-Nawawi berkata:
Yang lebih memperkuat hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu setelah ia shalat bersama beliau dan menghafal ilmu dari beliau selama dua puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,
ﺍﺫْﻫَﺒُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻴْﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﺮُﻭْﻫُﻢْ ﻭَﻋَﻠِّﻤُﻮْﻫُﻢْ ﻭَﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠِّﻲ
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian, perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Semua ini ada dalam Shahih al-Bukhari dari beberapa jalan. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan demikian kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan Nabi shallallahu alaihi wasallam duduk istirahat. Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan yang disunnahkan bagi setiap orang, niscaya Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)

Al-Lajnah ad-Daimah menjelaskan, "Duduk ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus). Abu Humaid radhiallahu anhu menjelaskan tata cara shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam di tengah-tengah sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448, Ketua: asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, dan Anggota: Abdullah bin Ghudayyan)

Dan dari Azraq ibnu Qais rahimahullah, ia berkata:
ﺭﺃﻳﺖ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻴﺪﻳﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻮﻟﺪﻩ ﻭﻟﺠﻠﺴﺎﺋﻪ ﻟﻌﻠﻪ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺒﺮ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻻ ﻭﻟﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻳﻜﻮﻥ
Aku melihat Ibnu Umar radhiallahu anhuma, apabila bangkit dari dua rakaat, beliau bertumpu dengan kedua tangannya di atas permukaan tanah. Maka aku tanyakan kepada anaknya dan para sahabatnya, "Apakah Ibnu Umar melakukannya karena tua?" Mereka menjawab, "Tidak, memang demikianlah yang biasa beliau lakukan.” (HR. al-Baihaqi 2/135, riwayat ini jayyid sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)
Dalam riwayat ath-Thabarani rahimahullah di dalam al-Ausath disebutkan"
ﻓﻘﻠﺖ : ﻣﺎ ﻫﺬﺍ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؟ . ﻗﺎﻝ : ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ , ﻳﻌﻨﻲ : ﻳﻌﺘﻤﺪ
Aku (Azraq) bertanya kepada Ibnu Umar, “Apa ini wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Umar radhiallahu anhuma menjawab, “(Aku melakukannya karena) aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan 'ajn [1] di dalam shalat.” Yakni bertumpu dengan kedua tangan.
Abu Ishaq al-Harabi dalam Gharibul Hadits meriwayatkan juga dari Azraq ibnu Qais, ia berkata:
ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ : ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﻔﻌﻠﻪ
Aku pernah melihat Ibnu Umar radhiallahu anhuma melakukan ‘ajn dalam shalat, yaitu bertumpu dengan kedua tangannya (di atas bumi) di saat bangkit. Aku pun bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukannya, maka ia menjawab, "Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya.” (Sanadnya hasan sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)

Pendapat kedua: langsung bangkit berdiri (tanpa duduk istirahat) dengan bertumpu pada kedua kaki

Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanif-nya, beliau membuat bab khusus yaitu “Bab orang-orang yang bangkit dengan bertumpu pada kedua kaki” serta “Bab perkataan seseorang: Apabila engkau mengangkat kepalamu dari sujud kedua pada rakaat pertama maka jangan duduk”:
1) Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid berkata, ”Adalah Abdullah (bin Mas’ud) apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.”
2) Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Yazid dari Yazid bin Ziyad bin Abi Al-Ja’d dari Ubaid bin Abi Al-Ja’d berkata, ”Adalah ‘Ali apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.”
3) Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari Ibnu Umar, bahwa, ”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki.”
4) Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Isa bin Maisarah dari Asy-Sya’bi berkata, ”Bahwasanya Umar dan Ali serta para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam mereka apabila berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kaki mereka.”
5) Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah dari Wahb bin Kisan, berkata, ”Aku melihat Abdullah bin Zubair apabila sujud pada sujud yang kedua ia bangkit sedemikian halnya dengan bertumpu pada kedua kaki.”
6) Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Usamah dan Umari dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwasanya ia berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kakinya.”
7) Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Abi Al-Mu’alla dari Ibrahim berkata, ”Adalah Ibnu Mas’ud pada rakaat pertama dan ketiga di dalam shalat ketika hendak bangkit tidak duduk terlebih dahulu.”
8) Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Muhammad bin Ajlan dari Nu’man bin Abi ‘Ayyas, berkata, ”Aku menjumpai lebih dari satu sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam, mereka apabila mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga berdiri secara langsung tanpa duduk terlebih dahulu.”
(Lihat Mushanif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332))
Mengenai riwayat-riwayat ini Syaikh Albani berkata, ”Faidah: Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanif-nya (1/157) meriwayatkan dari sebagian salaf di antaranya Ibnu Mas’ud, Ali, Ibnu Umar dan yang selainnya dengan sanad-sanad yang shahih bahwasanya mereka semua berdiri di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki mereka.” (Lihat Irwaul Ghalil (2/84))

Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra:
1) Dari Abdurahman bin Yazid bahwasanya dia melihat Abdullah bin Mas’ud bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.
2) Dari Khaitsamah bin Abdurrahman berkata, ”Aku melihat Abdullah bin Umar bangkit di dalam shalat dengan kedua kakinya.”
(Lihat As-Sunan Al-Kubra Ma’a Dzailihi (2/125))

Pendapat yang terpilih adalah bahwa duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu dengan kedua tangan di atas tanah adalah sunnah, namun bukan sunnah yang ditekankan (muakkadah) apalagi wajib. Sehingga boleh untuk mengamalkannya walaupun tidak ada kebutuhan untuk melakukannya seperti karena gemuk, usia tua, fisik yang lemah, atau karena sakit, namun semata-mata karena mencontoh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan boleh juga untuk meninggalkannya, yakni dengan langsung bangkit berdiri (tanpa duduk istirahat) dengan bertumpu pada kedua kaki seperti yang diamalkan oleh beberapa shahabat dan orang-orang setelahnya. Wallahu a'lam.

Footnote:

[1] Al-‘Ajn di dalam shalat, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya:
Pendapat pertama Al-‘Ajn yang bermakna Al-‘Ajz (lemah) dikarenakan usia.
Berkata Ibnu Rajab Al-Hanbali tentang makna Al-‘Ajn yang termaktub di dalam hadits, ”Berkata sebagian ulama, al-‘Ajin maknanya adalah seorang yang sudah tua renta yang bertelekan dengan kedua telapak tangannya tatkala berdiri, jadi bukan makna al-‘ajin disini bertelekan tangan sebagaimana seorang yang meremas adonan.” (Lihat Fathul Baari’ (7/293))
Berkata Imam Nawawi, "Maknanya adalah berdiri dengan bertelekan kedua telapak tangan sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang lemah, yaitu seorang yang tua renta, dan bukan bermakna seperti orang yang meremas adonan.” (Lihat Al-Majmu’ (3/421))
Berkata Ibnu Shalah, ”Apabila sifat tua renta disini dipetik dari kalimat ‘aajinul ‘ajiin (orang yang meremas adonan), maka penyerupaan tersebut diambil semata-mata karena kuatnya pensifatan dalam bertumpu dengan kedua tangan, bukan pensifatan bentuk mengepalkan tangan tatkala bangkit.“ (Lihat Al-Badru Al-Muniir (3/680))
Pendapat kedua Al-‘Ajn berarti menggenggam, mengepalkan tangan, meremas sebagaimana seorang yang meremas adonan.
Bekata Ibnu Al-Atsir, ”Maksudnya adalah bertumpu dengan kedua tangan saat berdiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan. (Lihat An- Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/188))
Berkata Abu Ishaq Al-Harbi, "Yang dimaksud yaitu bertumpu dengan meletakan kedua tangan di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan.” (Lihat Gharibul Hadits Al-Harabi (2/526))
Berkata Ibnu Al-Mandur, ”Maksudnya yaitu bertelekan dengan kedua tangannya tatkala bangkit sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan”. (Lihat Lisanul Arab (Hal. 2829))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar