Cari Blog Ini

Rabu, 01 Oktober 2014

Tentang MINTA IZIN ORANG TUA KETIKA HENDAK BERSAFAR DALAM RANGKA JIHAD, MENUNTUT ILMU, ATAU KEPERLUAN LAINNYA

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Pertanyaan: Saya punya keinginan untuk belajar di pondok pesantren tetapi orang tua melarang, apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Tatkala menuntut ilmu [1] merupakan jihad, bahkan lebih utama dari jihad fi sabilillah (berlaga di medan jihad), kita akan mengawali permasalahan dengan hadits Abdullah bin ‘Amr, ketika datang seorang lelaki menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk berjihad fi sabilillah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya.” Rasulullah pun mengatakan, “Pada kedua orang tuamulah engkau berjihad (bersungguh-sungguh berbakti).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 2528) disebutkan:
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ingin ikut berjihad, sementara kedua orang tuanya menangis. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Kembalilah engkau kepada keduanya, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”

Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama mengatakan bahwa seorang anak haram untuk berangkat jihad jika kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya melarangnya, dengan syarat kedua orang tuanya muslim. Karena birrul walidain (berbakti kepada keduanya) adalah fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap muslim yang tidak bisa diwakili orang lain), sedangkan jihad adalah fardhu kifayah (kewajiban bagi sebagian kaum muslimin, jika ada sebagian yang telah menunaikannya maka gugur kewajiban yang lain). Adapun jika jihad tersebut hukumnya fardhu ‘ain maka jihad didahulukan, karena mashlahatnya –yaitu untuk membela Islam dan kaum muslimin– lebih besar dibandingkan birrul walidain yang maslahatnya hanya untuk kedua orang tua. (Lihat Syarhu Muslim karya An-Nawawi (16/89), Fathul Bari (6/140-141), Nailul Authar (7/221), dan Subulus Salam (4/66))

Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari (6/141), “Hadits ini merupakan dalil haramnya melakukan safar tanpa izin orang tua, karena jihad saja demikian. Apalagi kalau hanya safar biasa. Lain halnya dengan safar dalam rangka menuntut ilmu yang fardhu ‘ain [2], maka hal ini boleh meskipun tanpa izin. Adapun safar untuk menuntut ilmu yang sifatnya fardhu kifayah [3] maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.”

Kita memandang bahwa pendapat terbaik dalam hal ini adalah fatwa guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumallah.

Syaikhuna Al-Wadi’i berkata, “Waspadalah, waspadalah! Jangan sampai kedua orang tuamu menghalangi engkau dari menuntut ilmu yang bermanfaat. Karena kebanyakan orang tua, kalbu mereka dipenuhi cinta dunia. Tinjauan mereka sangat sempit, karena terbatas hanya pada masa depan anak di dunia ini. Dalam Masa`il Ibnu Hani (jilid hal.164), dia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah –yaitu Al-Imam Ahmad– ditanya tentang seseorang yang pamit kepada orang tuanya untuk safar menuntut hadits dan (ilmu) yang bermanfaat baginya. Beliau menjawab, “Jika berangkat untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, saya memandang tidak mengapa seseorang melakukan hal itu meskipun tanpa izin orang tua.”
Saya bukannya mengajak anda untuk durhaka kepada orang tua dan memutuskan hubungan dengan keduanya, melainkan agar anda mengutamakan perkara yang lebih bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi kalau keduanya membutuhkan anda untuk mencarikan nafkah, atau untuk mengurusi mereka, maka tidak boleh menelantarkan mereka, berdasarkan hadits:
“Pada keduanyalah engkau berjihad.”
(An-Nushul Amin li Thalabatil ‘Ilmi wa Sa`iris Salafiyyin min Kalamil Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 60-61)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ketika ditanya tentang seseorang yang dihalangi oleh kedua orang tuanya untuk berangkat menuntut ilmu, beliau menjawab, “Jika ada tuntutan yang sifatnya darurat (terpaksa) untuk mendampingi keduanya, maka tinggal bersamanya afdhal (lebih utama), dan dia bisa menuntut ilmu bersamaan dengan mendampingi keduanya. Karena birrul walidain lebih diutamakan dibanding jihad fi sabilillah (yang hukumnya fardhu kifayah). Sedangkan menuntut ilmu merupakan jihad, berarti birrul walidain didahulukan jika orang tua membutuhkan keberadaan anaknya. Adapun jika keduanya tidak membutuhkan keberadaannya, dan dia akan lebih leluasa serta lebih maksimal dalam menuntut ilmu jika berangkat, tidak mengapa dia berangkat (meskipun tanpa seizin keduanya). Namun jangan sampai lupa hak orang tuanya, dengan pulang menjenguk keduanya dan terus berusaha meyakinkan mereka akan pentingnya menuntut ilmu, sampai mereka mengerti hal itu. Lain halnya jika seorang anak mengetahui bahwa orang tuanya membenci ilmu syar’i (ilmu agama). Orang tua yang seperti itu tidak memiliki hak untuk ditaati. Dan tidak semestinya seorang anak minta izin kepada mereka jika hendak berangkat menuntut ilmu, karena yang mendorong keduanya untuk menghalangi anaknya adalah kebencian dia terhadap ilmu syar’i.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 155)

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada para orang tua untuk mendukung dan membantu anak-anak mereka dalam menuntut ilmu, serta menyadari bahwa dengan itu mereka telah berpartisipasi untuk kejayaan agama ini dan kemaslahatan kaum muslimin. Dan itu lebih baik bagi mereka dibandingkan dunia dan seisinya.
Allahul muwaffiq ila sawa`is sabil.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

__________________________________________
Keterangan:

[1] Ilmu yang dibicarakan di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama), bukan ilmu dunia.

[2] Yaitu ilmu akidah dan tauhid, mempelajari hal-hal yang harus diimani, cara mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beribadah, serta hal apa saja yang merupakan pembatal-pembatal keislaman seseorang, seperti syirik dan lainnya. Demikian pula mempelajari ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Juga mempelajari hukum-hukum syariat yang diwajibkan bagi setiap orang, semisal shalat, dan yang terkait dengannya seperti wudhu dan lainnya.

[3] Yaitu ilmu yang tidak harus dipelajari oleh setiap orang, seperti ilmu nahwu-sharaf, ilmu ushul fiqih, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar