Cari Blog Ini

Jumat, 12 September 2014

Tentang SHALAT DI BELAKANG AHLI BID'AH

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bab “Imamatil Maftun wal Mubtadi’” (“Imam dari Seorang yang Terkena Fitnah dan Mubtadi’) lalu menyebutkan ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Shalatlah kalian (berjamaah dengannya) dan dia yang menanggung dosa kebid’ahannya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mubtadi’ adalah seorang yang meyakini suatu perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Menurut asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Mubtadi’ terbagi menjadi dua:
1. Mubtadi’ yang kebid’ahannya sampai membuat pelakunya kafir keluar dari Islam. Jika demikian, dalam keadaan apa pun, seseorang tidak boleh shalat di belakangnya meskipun orang-orang mengatakan bahwa dia muslim, karena bid’ahnya mukaffirah (sampai tingkatan kufur). Bagaimana mungkin shalat di belakang seorang yang diyakini bahwa dia adalah kafir, padahal orang kafir tidak sah shalatnya.
2. Mubtadi’ yang tidak sampai taraf kekafiran, meskipun bid’ahnya dipandang besar (berat).Seseorang boleh shalat di belakangnya (menjadi makmum). Hal ini selama tidak mengandung mafsadah di kemudian hari. Misalnya, manusia atau dia yang bermakmum terperdaya oleh ahli bid’ah tersebut. Terkadang, manusia mengira bahwa dia (imam tersebut) bukan mubtadi’ ketika mereka melihat ada si Fulan dan si Fulan shalat di belakangnya. Demikian pula seseorang yang shalat di belakangnya bisa jadi tertipu dan menganggap mubtadi’ itu berada di atas kebenaran.

(al-Fath 2/220, Syarh al- Bukhari Ibnu ‘Utsaimin 3/156)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم إمامة المبتدع؟
Apa hukum seorang mubtadi yang menjadi imam sholat?

Jawaban:
القاعدة في هذا: أنّ مَن صحَّت صلاته في نفسه صحت صلاته بغيره
Kaedah dalam permasalahan ini adalah:
Barang siapa yang sholatnya sah ketika dia sholat sendiri maka sah pula ketika dia menjadi imam bagi orang lain.
وها هنا يجب التفريق بين أمرين؛
أحدهما: صحة الصلاة
والآخر: بطلان الصلاة
Maka di sini perlu kita membedakan dua permasalahan:
Yang pertama: Sholat yang sah.
Yang kedua: Sholat yang tidak sah.
بناء على القاعدة المتقدمة إمامة الفاسق صحيحة، يعني الصلاة خلف المبتدع الذي لم تبلغ بدعته حد الكفر، وكذلك الفاسق الذي لم يكن فسقه كفرًا، أو استحلالًا للمفسقات كما قدّمنا، فالصلاة خلفه صحيحة
Atas dasar kaedah yang telah kita sebutkan maka diketahui bahwasannya keimaman seorang fasik itu sah, yaitu sholat di belakang seorang mubtadi yang kebidahannya tidak sampai pada tingkatan kufur itu sah, demikian juga seorang yang fasik dan belum sampai pada tingkatan kufur atau seseorang yang tidak menghalalkan kefasikan-kefasikan sebagaimana kita sebutkan, maka sholat di belakangnya sah.
فعلم من هذا أنّ مَن ركب مكفرًا فصلاته باطلة ولا تصح الصلاة خلفه، نعم
Maka dari sini kita ketahui, bahwa sholatnya seseorang yang melakukan kekufuran (setelah iqamatul hujjah) tidak sah, sehingga sholat di belakang dia sebagai makmum juga tidak sah.
إذا كان جاهلًا فإنه يعلم ويعرف فإن قبل فهو منّا ونحن منه، وإن أبى وعاند بعد بيان الحق له قامت عليه الحجة فليس منا ولسنا منه، نعم
Akan tetapi kalau dia seorang yang jahil, maka dia diajarkan dan diberitahu. Kalau dia menerima maka dia bagian dari kita (kaum muslimin), dan kalau dia menolak dan menentang setelah adanya penjelasan tentang kebenaran dan telah tegak hujjah, maka dia bukan bagian dari kita (kaum muslimin).
الأمر الآخر: إذا كان لنا اختيار تُرك لنا اختيار الإمام الذي يؤم المسلمين فيجب على مَن بيدهم الأمر والميانة على أخوانهم ألا يرضوا بفاسق يؤمهم إذا كان الاختيار لهم؛ أما إذا كان عين هذا الفاسق عين من قبل الجهة النائبة عن ولي الأمر، عين إمامًا لمسجدنا ونحن نرى عليه الفسق الظاهر فنحن نبلغ هذه الجهة ونبين لهم وعلينا أن نأتي بأكفأ منه، فإن قبلت هذه الجهة وأزاحته فهذا المطلوب، وإلا ما أرى بأس على من ترك الصلاة خلفه زجرًا، لكن لا يجعل هذا مدخلًا يحرض به ويشيع ويهيج الخاص والعام لانّ هذا أيضًا فيه ما فيه من النيل من ولي الأمر عبر الجهة النائبة عنه، وهي التي عيّنت هذا الفاسق بغير اختيارًا منا، والله أعلم
Perkara yang lain: Jika kita masih memiliki pilihan untuk memilih imam sholat bagi kaum muslimin, terutama pihak yang bertanggung jawab dalam perkara ini, maka hendaknya jangan dia memilih imam dari orang fasik. Adapun jika imam yang fasik ini ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi imam di masjid kita dan kita menyaksikan darinya kefasikan yang nampak, maka kita jelaskan perkaranya pada pihak yang diwakili pemerintah, dan kita mencari pengganti yang sepadan dan jika diterima masukan kita maka inilah yang diinginkan, adapun jika tidak maka aku berpendapat tidak mengapa bagi siapa yang meninggalkan sholat berjamaah di belakangnya sebagai bentuk teguran, akan tetapi jangan sampai dia menggunakan kesempatan ini untuk membuat provokasi dan keributan pada masyarakat umum, dikarenakan padanya terdapat sebuah pelanggaran terhadap kehormatan pemerintah melalui perwakilannya yang telah memilih imam yang fasik ini tanpa kehendak kita. Wallohu alam.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/47

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar