Iedul Fitri dan juga shaum Ramadhan (dan juga Iedul Adha) merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan, namun sangat disayangkan ketika syiar ini mulai ternodai oleh perselisihan dan perpecahan di antara kaum muslimin (yang ternyata dipelopori oleh ormas-ormas Islam sendiri) di dalam menentukan Iedul Fitri ataupun shaum Ramadhan (ataupun Idul Adha).
Padahal Nabi bersabda:
ﺍﻟﺼَﻮْﻡُ ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺼُﻮْﻣُﻮْﻥَ ﻭَﺍﻟْﻔِﻄْﺮُ ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﻔْﻄِﺮُﻭْﻥَ ﻭَﺍﻷَﺿْﺤَﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﻀَﺤُّﻮْﻥَ
“Shaum itu pada waktu bershaumnya kaum muslimin, berbuka pada saat berbukanya kaum muslimin, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)
Yakni bersama pemerintah kaum muslimin.
Terkait dengan hadits di atas, al-Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah berkata, “Yang pasti, penentuan urusan ini (berpuasa, berbuka, dan berhari raya) bukanlah kewenangan setiap orang. Tidak dibolehkan bagi mereka untuk menyendiri dalam pelaksanannya. Akan tetapi, hendaknya dikembalikan kepada pemerintah. Untuk itu, wajib bagi setiap orang untuk mengikuti apa yang telah diputuskan/ditetapkan pemerintah dan komunitas manusia yang bersamanya.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah)
Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata, “Telah sepakat para ulama dari kalangan ahli fikih, ahlul ‘ilmi, serta ahli ibadah dan yang dikenal kezuhudannya dari generasi pertama umat ini hingga waktu kita sekarang bahwa shalat Jum’at dan pelaksanan shalat hari raya (‘Idul Fitri dan Adha) serta yang menyangkut Mina, ‘Arafah, dan jihad, adalah bersama pemerintah, yang baik ataupun yang jahat.” (Syarhul Ibanah)
Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata,
ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻥ ﺗﺒﻘﻰ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻙ، ﻓﺈﻥ ﺻﺎﻣﻮﺍ ﻓﺼﻢ ﻣﻌﻬﻢ ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻣﻌﻬﻢ؛ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺗﺼﻮﻣﻮﻥ، ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ، ﻭﺍﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ
Wajib atasmu untuk berpegang bersama negerimu. Jika mereka berpuasa maka puasalah bersama mereka dan jika dia berbuka berbukalah bersama mereka; Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Berpuasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka pada hari mereka berbuka, dan berkurban pada hari mereka berkurban."
Beliau rahimahullah juga berkata,
ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻟﺪﻳﻚ
Yang nampak bagi kami dari hukum syari’ yang suci bahwasanya wajib atas kalian puasa bersama kaum muslimin ditempatmu.
(Majmu Fatawa asy-Syaikh Bin Baz)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
ﻓﻜﻞ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﻗﻠﻴﻢ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﻓﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻭﺍ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻣﻌﻬﻢ
Setiap manusia berpuasa bersama wilayahnya dan negeri yang dia.tinggal padanya jika mereka melihat hilal dan berbuka bersama mereka.
Beliau hafizhahullah juga berkata,
ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺼﻮﻡ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺟﻮﺩﻳﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻩ
Maka setiap muslim dia berpuasa dan berbuka bersama muslimin yang berada di negerinya.
(al-Muntaqo jilid 2 hal. 365)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media lainnya tentang penetapan masuknya awal bulan Hijriyyah, maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuk dan keluarnya bulan, baik bulan Ramadhan atau bulan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pengumuman dari pemerintah adalah hujah syar’i yang harus.diamalkan. Oleh sebab itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan awal bulan agar mereka semuanya berpuasa, dan pada waktu itu, masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk menjalankan ibadah puasa.” (Majalis Syahr Ramadhan)
Di samping itu kami juga mewasiatkan kepada pemerintah -semoga Allah merahmati mereka- agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan secara syar’i, yaitu dengan ru’yatul hilal dan tidak dengan ilmu hisab.
Rasulullah bersabda,
ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮُﻭﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻏُﺒِّﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺄَﻛْﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻌِﺪَّﺓَ ﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan (Ramadhan) menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑُﻮﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺧْﻄَﺆُﻭﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Mereka (pemerintah) memimpin shalat kalian. Jika mereka benar, (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, kebenarannya untuk kalian dan (kesalahannya) mereka yang menanggung.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
###
TERMASUK SUNNAH, BERUPAYA MELIHAT Hilal dan Mengembalikan Penentuannya Kepada Pemerintah
Dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata,
تَرَاءى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berupaya melihat hilal. Lalu aku beritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku berhasil melihatnya. Maka beliaupun berpuasa (berdasarkan) hilal tersebut, dan memerintahkan umat manusia untuk berpuasa berdasarkan hilal tersebut juga.” (HR. Abu Dawud 2342)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hadits tersebut, “Bahwa termasuk Sunnah: berupaya melihat Hilal. Dalilnya adalah ucapan Ibnu ‘Umar, “Orang-orang berupaya melihat hilal.”
Sunnah dari jenis yang manakah ini? Sunnah Iqrariyyah (yakni Nabi membiarkan dan menyetujui sebuah peristiwa atau perbuatan yang terjadi/dilakukan pada masanya). Apakah termasuk sunnah memerintahkan umat untuk berupaya melihat hilal, sehingga dikatakan kepada mereka, “Carilah hilal pada malam ini, barangsiapa yang melihatnya di antara kalian hendaknya dia bersaksi di hadapan Qadhi.” Jawabannya: Kita memerintahkan mereka dalam rangka mengingatkan mereka dengan Sunnah ini. Karena itu yang lebih utama. Tidak dikatakan kepada mereka, “Carilah (upayakanlah melihat) hilal.” Namun dikatakan, “Dulu para shahabat biasa melakukan upaya melihat hilal. Barangsiapa di antara kalian yang juga ingin mencari (berupaya melihat) hilal, maka lakukanlah pada malam ini atau itu.” Cara ini lebih dekat untuk menepati Sunnah.
Juga diambil faidah dari hadits ini, bahwa tidak diterima kecuali ru’yah dari:
- orang yang terpercaya pada penglihatannya, dan
- terpercaya pada ucapannya karena dia seorang yang amanah dan tajam pandangannya.
Aku katakan: seorang yang meru`yah itu haruslah seorang yang bisa dipercaya ucapannya, karena dia memiliki sifat amanah dalam menyampaikan (berita), dan karena pandangannya yang tajam sehingga bisa melihat hilal.
Yang bisa diambil faidah dari hadits ini pula, bahwa urusan hilal ini dikembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau seorang hakim (pemerintah). Karena sabda Nabi, “Maka beliaupun berpuasa (berdasarkan) hilal tersebut, dan MEMERINTAHkan umat manusia untuk berpuasa berdasarkan hilal tersebut juga.” Jadi permasalahan seperti ini (keputusan penentuan hilal) DIKEMBALIKAN KEPADA PEMERINTAH. Bukan kepada semua orang, masing-masing berpuasa atau beridul fitri sekehendaknya, dengan persaksian orang lain. Namun keputusan itu kembali kepada pemerintah yang sah.” [Fathul Dzi al-Jalal wa al-Ikram, syarh hadits no. 623 dengan ada perubahan susunan]
Hadits ini menunjukkan, bahwa untuk menetapkan ru`yah hilal Ramadhan, cukup dengan persaksian satu orang muslim yang adil (terpercaya). [Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Da`imah no. 256]
Majmuah Manhajul Anbiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar