Cari Blog Ini

Selasa, 28 Oktober 2014

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA GILA, TIDUR, PINGSAN, MABUK, DAN LAIN-LAIN YANG MENYEBABKAN HILANGNYA AKAL

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
1. Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
2. Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.

Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan, dan mabuk karena minum khamr, atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Sehingga bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, maka wajib baginya memperbarui thaharahnya. (Al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, Al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab.

Adapun Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan perkara tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan tidur. (Al-Muhalla, 1/212)

(Adapun dalam masalah tidur,) ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
1. Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah dan Humaid Al-A’raj.
2. Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muzani, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Ishaq dan satu pendapat yang gharib dari Imam Syafi’i. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Anas.
3. Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimanapun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan.
Demikian madzhab Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
4. Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat.
Demikian madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah.
5. Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau terlentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya.
Demikian madzhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari Asy-Syafi’i.
6. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud.
Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
7. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud.
Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
8. Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu.
Ini merupakan pendapat yang lemah dari Al-Imam Asy-Syafi’i.
(Syarah Shahih Muslim, 4/73)

Yang rajih dari pendapat yang ada menurut penulis adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan wudhu. Adapun tidur yang ringan/hanya sekedar terkantuk-kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan wudhu. [1] (Al-Mughni, 1/116)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para shahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas: “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)

Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan [2] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran). Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) shahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan/merebahkan tubuh mereka hingga mereka dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak. Dan juga seseorang yang baru tertidur bisa saja ia dibangunkan agar ia tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekedar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)nya. Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan: “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu [3], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara mutlak (membatalkan wudhu) juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam Al-Muhalla (1/213) dan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hal. 99-103 dan silahkan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛُﻦَّ ﺳَﻔْﺮًﺍ ﺃَﻻَّ ﺗَﻨْﺰِﻉَ ﺧِﻔَﺎﻓَﻨَﺎ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻭَﻟَﻴَﺎﻟِﻴَﻬُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻨَﺎﺑَﺔٍ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣِﻦْ ﻏَﺎﺋِﻂٍ ﻭَﺑَﻮْﻝٍ ﻭَﻧَﻮْﻡٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al- Jami’us Shahih, 1/538)

[3] Seperti kencing misalnya, banyak ataupun sedikitnya kencing tetaplah membatalkan wudhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar