Cari Blog Ini

Rabu, 08 Oktober 2014

Tentang LARANGAN MENJALIN JARI JEMARI KETIKA BERANGKAT SHALAT SAMPAI SELESAI SHALAT

Abdullah bin Shalih al Fauzan

Ini adalah adab ketika keluar menuju  masjid, yaitu perkara yang dilarang bagi orang yang mau shalat, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ bahwa Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺿﺄ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ ﺛﻢ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺟﻊ، ﻓﻼ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﻜﺬﺍ ﻭﺷﺒﻚ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺎﺑﻌﻪ
“Apabila di antara kalian berwudhu’ kemudian mendatangi masjid maka dia dalam keadaan (mendapat pahala) sholat sampai dia kembali, oleh karena itu janganlah melakukan begini di antara jari-jemarinya.” [Dikeluarkan oleh ad-Darimi (1/267) dan al-Hakim (1/206) dan beliau berkata: shohih atas syarat syaikhain dan ini disetujui adz-Dzahabi]

Dari Abu Tsumamah al-Hannath ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ bahwa Ka’a ibn ‘Ujroh ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ mendapatinya ketika hendak berangkat ke masjid, salah seorang dari keduanya mendapati temannya. Tsumamah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ berkata: Ia mendapati aku sedang menjalin jari-jemariku, maka dia melarangku dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda,
ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺿﺄ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﻭﺿﻮﺀﻩ ﺛﻢ ﺧﺮﺝ ﻋﺎﻣﺪﺍً ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻼ ﻳﺸﺒﻜﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ
“Apabila di antara kalian berwudhu’ lalu membaguskan wudhu-nya kemudian keluar menuju masjid maka janganlah dia menjalin kedua (jari-jemari) tangannya karena dia dalam keadaan shalat.” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 562 dan dishohihkan oleh al-Albani di dalam Shohih Abu Dawud (1/112)]

Hadits ini dan yang sebelumnya adalah dalil tentang larangan menjalin jari-jemari ketika berjalan menuju masjid untuk shalat, karena orang yang sedang keluar menuju masjid hukumnya seperti orang yang sedang shalat.

Telah berkata al-Khaththobi ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ :
“Menjalin jari-jemari adalah dengan memasukkan jari-jari tangannya satu dengan lainnya dengan terjalin. Seringnya dilakukan oleh sebagian manusia sekedar main-main, terkadang sekedar untuk membunyikan jari-jemarinya, dan terkadang ketika manusia duduk kemudian menjalin tangannya untuk mengikat kedua kakinya yang ditempelkan di perut ketika hendak istirahat yang terkadang bisa menyebabkan tidur, sehingga menjadi sebab batalnya thaharah (bersuci). Dikatakan kepada orang yang hendak keluar menuju shalat: janganlah kamu menjalin jari-jemarimu, karena semua yang telah kami sebutkan dari berbagai bentuk itu tidaklah sedikitpun sesuai dengan shalat dan tidak ada keserasian bagi keadaan orang yang sedang shalat.” [Ma’alimussunan (1/295)]

Telah diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ di dalam kisah Dzul Yadain di dalam masalah sujud sahwi dengan lafazh,
ﻓﻘﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺧﺸﺒﺔ ﻣﻌﺮﻭﺿﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻓﺎﺗﻜﺄ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻛﺄﻧﻪ ﻏﻀﺒﺎﻥ، ﻭﻭﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ، ﻭﺷﺒﻚ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺎﺑﻌﻪ
“Maka beliau (Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ) berdiri menuju kayu yang membentang di masjid sambil bersandar padanya seakan-akan beliau sedang marah dengan meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya dan menjalin jari-jemarinya.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari no. 468 dan Muslim no. 573]

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang sebelumnya karena menjalin jari-jemari di sini kejadiannya adalah setelah selesai shalat, dan hukumnya adalah hukum orang yang telah selesai dari shalat. Sehingga larangannya khusus mengenai orang shalat, karena termasuk dari perbuatan main-main dan tidak khusyu’, atau khusus kepada orang yang hendak menuju masjid sebagaimana yang telah lalu. [Lihat Fathul Bari (1/565) dan Ghidzaul Albab (2/391)]

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa sebagian orang yang sedang shalat memainkan jari-jemarinya dengan membunyikan sendi-sendi jarinya sampai keluar suaranya sebagaimana di terangkan oleh al Khaththabi ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ . Ini adalah main-main yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang sedang shalat, dan juga menjadi bukti bahwa shalatnya tidak khusyu’, sebab jika hatinya khusyu’ pasti akan khusyu’ dan tenang pula seluruh badannya.

Dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ berkata: Saya shalat di samping Ibnu ‘Abbas, lalu aku membunyikan jari-jariku. Setelah selesai shalat beliau berkata, ”Tidak ada Ibu bagimu. Kamu membunyikan jarimu dalam keadaan kamu shalat?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/344) dan disebutkan di dalam Irwa’ul Gholil (2/99) sanadnya hasan]

Diambil dari buku ”Menyambut Adzan, Adab dan Hukumnya”, dengan penerjemah al-Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqahar Al-Atsary, hal. 81-83 terbitan Hikmah Ahlus Sunnah Sleman Yogyakarta. Kitab aslinya berjudul “ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺣﻀﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ” karya Abdullah bin Shalih al Fauzan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar