Cari Blog Ini

Sabtu, 01 November 2014

Tentang SUCINYA DARAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat bahwa darah itu suci.

Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
“(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al-Anshari (seorang shahabat dari kalangan Anshar) yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (terputus sanadnya dari Al-Imam Al-Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Al-Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini. Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu alaihi wasallam akan menerangkannya. Karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-Nya sebagaimana hal ini jelas dan tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana paparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu’allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.”

Kemudian beliau berkata:
“Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi:
1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.
2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As-Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al-Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas‘ud radhiallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Abdurrazzaq dalam Al- Mushannaf 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jamul Kabir 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al-Baghawi dalam Al Ja‘diyaat 2/887/2503)
Uqbah meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy‘ari radhiallahu anhu: “Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya, lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air.” Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dha’if (lemah)."

Kemudian beliau melanjutkan:
"Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (dalam hal najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al-Anshari membatalkan pendapat ini."
(Lihat Tamamul Minnah hal. 51-52)

Sumber: Syariah Edisi 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar