Cari Blog Ini

Kamis, 02 Oktober 2014

Tentang MAHRAM

Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya.
Mereka dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Mahram karena nasab (keturunan)
2. Mahram karena penyusuan
3. Mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan)

Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas, baik sekandung, seayah atau seibu.
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas, baik sekandung, seayah atau seibu.
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
7. Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.

Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. [1]

Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut;
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak laki-laki istri dari suami lain), dan seterusnya ke bawah. [2]

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Akan tetapi, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), ar-radha’ah (penyusuan) tidak akan berlaku (yakni tidak menjadi mahram) kecuali terpenuhinya beberapa syarat;

1. Lima kali penyusuan atau lebih.
‘Aisyah radhiallahu anha berkata:
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan, kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i berkata:
“Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26)
Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (Al-Umm, 5/27)
Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya.

2. Penyusuan yang mencukupi dari rasa lapar (mengenyangkan).
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
Abu ‘Ubaid berkata:
“Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”
Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)
Al-Imam Al-Khaththabi berkata dalam Al-Ma‘alim:
“Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)

3. Anak susu berusia di bawah dua tahun.
Al-Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)
Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)

4. Berlangsungnya penyusuan sebelum anak disapih.
Diriwayatkan daru Ummu Salamah radhiallahu anha:
“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa no. 2150)
‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhuma pernah berkata:
“Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.”
Al-Imam Malik berkata:
“Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”

[2] Golongan 1, 2 dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekedar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun golongan 4 maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah. Dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar