Cari Blog Ini

Rabu, 22 Oktober 2014

Tentang KALIGRAFI

Ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat Al-Buhuts wal Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq ’Afifi:

Allah telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat (pelajaran) dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu tidaklah menambah bagi orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
Allah pun mengutus Nabi-Nya untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka mau berfikir.” (An-Nahl: 44)
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam.

Dari seluruh perjalanan hidup beliau shallallahu alaihi wasallam, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya. Sepeninggal beliau shallallahu alaihi wasallam, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan petunjuk beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam setelah mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai sebaik-baik generasi. Sama sekali tidak pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada lembaran, piringan ataupun pada kain untuk digantung sebagai hiasan di dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai peringatan. Padahal mereka adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling bersemangat terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para shahabat dan para imam salaf. Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.

Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

~~~

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:

Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih. Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an. Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi (yakni surat Al-Baqarah ayat 255) ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari (HR. Al-Bukhari no. 2311).

Sesungguhnya cara untuk bertabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya dengan sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Baqarah: 121)

Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya. Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata dalam prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan mereka yang ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya untuk membaca tulisan tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang membacanya namun tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya. Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan. Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an, terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia), bahkan terkadang ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik dan nyanyian yang haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan pelecehan terhadap Kitabullah karena digantungkan di atas kepala hadirin yang sedang tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah.

Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan kaligrafi yang ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu tidak pantas untuk dilakukan. Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar (tidak jelas) sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok. Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai tujuan diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah ia diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari seni lukis, ukir dan pahat. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 008

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan: 
يسأل سائل فيقول هل يجوز تعليق بعض آيات القرآن في البيت؟
Bolehkah menggantungkan sebagian ayat Al-Quran di rumah? 

Jawaban:
ما أنزل الله هذا الكتاب إلا ليتلى، وليبتعد بتلاوته، مع التدبر،والعمل بمحكمه، والإيمان بمتشابهه
Tidaklah Allah menurunkan kitab ini melainkan untuk dibaca dan membacanya dalam rangka ibadah, juga mentadabburinya kemudian mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelas) dan beriman terhadap ayat-ayat mutasyabih (samar).
واستعمال القرآن في غيرِ ذلك قد يكونُ فيهِ امتهانٌ له، وهذا امتهانٌ له، فلمعلقات سواء من القران أو غيرها واحد ولا عبرة فيها، العبرة بالنظر والنظر الذي يوصل إلى مراضي الله -سبحانه وتعالى- وما ذكرنا من التعبدِ للهِ، بتلاوةِ القرآن، وتدبر معانيه، والإيمانِ بمتشابهه والعملِ بمحكمه
Adapun penggunaan Al-Quran bukan pada perkara-perkara yang kita sebutkan, maka bisa jatuh pada tindakan perendahan terhadap Al-Quran.
Maka gantungan-gantungan yang dimaksud baik dari Al-Quran atau selainnya tidak memberikan faedah.
Akan tetapi yang berfaedah adalah ketika memperhatikan ayat-ayat Al-Quran tersebut dalam rangka mencapai keridoan Allah subhanahu wa taala dan sebagaimana yang kita sebutkan yaitu membaca, mentadabburi dan mengamalkan ayat muhkamnya serta beriman dengan yang mutasyabih.

Sumber: 
ar .alnahj .net/fatwa/119

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar