Cari Blog Ini

Rabu, 22 Oktober 2014

Tentang MERAYAKAN DAN MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRIYAH

Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahulloh:
“Bukan termasuk sunnah kita menjadikan ‘ied (hari raya) dengan masuknya tahun baru hijriyah atau (menjadikan kebiasaan) saling mengucapkan selamat.”
[Adh dhiyaul lami' 702]

Al Lajnah Ad Daimah mengeluarkan fatwa (No. 20795):
“Bahwasannya tidak boleh memberikan ucapan selamat tahun baru hijriyah, dikarenakan tidak disyari’atkan untuk memperingatinya.”

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan :

Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Al Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

24/1/1418 H

Jawab :

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat.

Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?”
Maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.”
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.”

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

###

asy-Syaikh ‘Abdul Qadir bin Muhammad al-Junaid

Berkata beliau hafizhahullah di dalam salah satu khutbah jumat beliau ketika menjelaskan tentang beberapa perkara haram yang dilakukan manusia menjelang atau tibanya tahun baru hijriyah:

Di antara perkara-perkara haram tersebut adalah perayaan di masjid-masjid, di rumah-rumah, di tempat-tempat peristirahatan (tempat wisata atau rekreasi), di jalan-jalan, atau tempat-tempat lainnya, dengan mengadakan peringatan Hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah.
Peringatan yang semacam ini tidaklah berjalan di atas sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hal tersebut menentang dan menyelisihi (bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena tidak pernah sekalipun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merayakannya, tidak pula mengajak, atau menghasung umat ini untuk merayakannya.
Peringatan tersebut juga tidak didasari bimbingan generasi Salafush Shalih yang hidup pada tiga abad utama, yang terdepan adalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, karena mereka sendiri tidak merayakannya, tidak pula mengajak umat yang hidup di zaman mereka ataupun setelah mereka untuk merayakannya.
Peringatan tersebut juga tidak berjalan di atas bimbingan para ulama madzhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad rahimahumullah tidak pula ulama-ulama Islam terdahulu selain mereka, tidak pula mengikuti mereka, karena mereka tidak pernah memperingatinya, mengajak, menghasung siapapun untuk merayakannya.
Para Ulama yang berilmu tentang nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menghukumi permasalahan sesuai dengan hakekatnya (yaitu peringatan tersebut adalah) bid’ah, dan bid’ah merupakan di antara perkara haram yang paling besar dan yang paling besar kejahatannya. Sebuah hadits yang telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperingatkan dari kebid’ahan dalam khutbah-khutbah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam syariat agama ini, dan semua bi’dah adalah sesat.”
Begitu pula dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah perpisahannya,
ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Waspadalah kalian dari perkara yang diada-adakan dalam agama karena perkara yang diada-adakan tersebut adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Sebuah riwayat yang telah sah dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
ﻭَﺇِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ , ﺃَﻟَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ , ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ , ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, ketahuilah bahwasannya perkara yang diada-adakan tersebut adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan tempatnya adalah di an-Naar.”
Tidak diragukan lagi bahwasannya semua hal yang tersifati dengan kejelekan, kesesatan, ancaman dengan an-Naar (nereka) merupakan perkara yang keliru, jelek, haram, dan mungkar.

Ketahuilah, mudah-mudahan Allah meluruskan kalian semua, bahwa peringatan semacam ini merupakan tasyabbuh (meniru) 2 kelompok manusia:
1. Orang-orang kafir –apapun agamanya– di mana adat yang berlaku bagi mereka memperingati kejadian-kejadian, peristiwa di hari-hari tertentu, dan perubahan keadaan.
2. Orang-orang sesat dan menyimpang semisal kelompok Bathiniyah, Syi’ah Rafidhah, dan yang setipe dengan mereka.
Merekalah pencetus pertama adanya berbagai perayaan dan peringatan (yang tidak ada bimbingan dalam agama) di negeri Muslimin.
Seorang yang sangat Faqih bermadzhab Syafi’i, sekaligus pakar sejarah yang berasa dari negeri Mesir, yang dikenal dengan al-Miqrizy menjelaskan dalam kitabnya “al-Khithath”:
Peringatan tahun baru Hijriyah merupakan salah satu dari serangkaian perayaan Daulah al-‘Ubaidiyah penganut agama Bathiniyah Isma’iliyah yang sejatinya adalah Syi’ah Rafidhah sekaligus Khawarij, yang berkuasa di negeri Maroko dan Mesir. Daulah ini melakukan berbagai kejahatan terhadap para ulama, para mu’adzin, para penduduk negeri tersebut yang tidak bisa digambarkan seperti pembunuhan, mutilasi, menawan orang-orang perempuan, menjarah harta, merusak milik orang lain, menghancurkan dan membakarnya. Bahkan di antara para pembesarnya ada yang mengklaim derajat Rububiyah (yakni mengaku sebagai Tuhan). Di antara para pembesar tersebut ada yang terang-terangan mencela para Nabi dan para shahabat, bahkan memerintahkan untuk menuliskan celaan-celaan terhadap para sahabat di pintu-pintu masjid. Adapula yang memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf dan masjid-masjid Ahlus Sunnah.
Bahkan dijelaskan oleh ahli sejarahnya kaum muslimin, yaitu Syamsuddin adz-Dzahabi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i rahimahullah di dalam kitab beliau “Siyar A’lamin Nubala” bahwasannya mereka membolak-balikkan Islam, menampakkan (aqidah) Rafidhah, menyembunyikan madzhab Isma’iliyah (salah satu sekte bathiniyah).
Dinukilkan dari al-Qadhi ‘Iyadh al-Maliki rahimahullah, menjelaskan keadaan mereka, “Para Ulama negeri al-Qairawan sepakat bahwasannya keadaan Bani ‘Ubaid adalah dengan keadaan orang-orang murtad dan orang-orang zindiq.”
Tidak ada keraguan lagi bahwa meniru dua kelompok di atas merupakan kejelekan, kerugian serta kebinasaan bagi pelakunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka (kaum tersebut).”
Seorang yang mencintai Sunnah dan mencintai Nabi umat ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, menghormati beliau dan para shahabatnya serta mengagungkannya, AKANKAH DIA RELA MENJADIKAN kaum tersebut yang demikian perbuatan dan sepak terjangnya, yang demikian sejarah kejahatannya, sebagai SURI TAULADANNYA dan PANUTANNYA dalam mengada-adakan acara tersebut?!
Kami, walhamdulillah, dalam peringatan semacam ini dan selainnya, senantiasa bersuri tauladan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in dan generasi awal umat ini. MAKA KAMI PUN MENINGGALKAN DAN MENJAUHINYA SEBAGAIMANA MEREKA MENJAUHINYA dan TIDAK MELAKUKANNYA, dengan harapan kami termasuk dari mereka. Kami tidak akan meniru orang-orang kafir, tidak pula meniru orang-orang sesat dan menyimpang dari kalangan al-Bathiniyah al-Isma’iliyah ar-Rafidhah al-Khorijiyah.
Bagi siapa saja yang memiliki akal dan pikiran yang bersih, perlu diketahui bahwa peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam TIDAKLAH TERJADI pada bulan Muharram, tidak pula di hari pertama bulan tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh ahli sejarah, peristiwa hijrah tersebut terjadi pada bulan Rabi’ al-Awwal. Adapun apa yang dilakukan di kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu hanya sebatas penentuan tahun Islamiyah dengan tahun Hijrah, yaitu menjadikan peristiwa sebagai tahun pertama, bukan menentukan hari Hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hari tersebut adalah hari pertama dalam setahun.

Sumber: ar[dot]miraath[dot]net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar