Apakah Ada Kewajiban Mandi dan Wudhu Setiap Kali Hendak Shalat bagi Wanita yang Istihadhah?
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut imam yang empat dan selain mereka, mandi setiap hendak shalat hukumnya mustahab, tidak wajib.
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud, al-Baihaqi, dan selain keduanya yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Ummu Habibah radhiyallahu 'anha untuk mandi setiap kali hendak shalat, tidak ada yang tsabit (sahih) sedikitpun. Al-Baihaqi dan orang-orang yang sebelumnya telah menerangkan kedhaifannya. Yang sahih dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya yang menyebutkan bahwa Ummu Habibah radhiyallahu 'anha mengalami istihadhah, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺫَﻟِﻚَ ﻋِﺮْﻕٌ، ﻓَﺎﻏْﺴِﻠِﻲ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠِّﻲ. ﻓَﻜَﺎﻧَﺖْ ﺗَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻋِﻨْﺪَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Darah istihadhah itu hanyalah darah urat, maka mandilah (seselesainya dari haidmu) kemudian kerjakanlah shalat.” Maka dari itu, Ummu Habibah mandi setiap kali hendak shalat.
Al-Imam asy-Syafi’i menerangkan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya memerintahkannya (mandi setelah selesai dari haid). Dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan perintah beliau kepada Ummu Habibah untuk mandi setiap kali hendak shalat. Tidaklah diragukan bahwa mandi Ummu Habibah (setiap kali hendak shalat) itu sifatnya tathawwu’ (sunnah), tidak diperintahkan kepadanya, dan hal itu merupakan kelapangan baginya.”
(al-Majmu’, 2/554)
Adapun berwudhu menurut jumhur ulama wajib dilakukan wanita mustahadhah setiap kali hendak mengerjakan shalat lima waktu. Demikian pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad. Adapun al-Imam Malik berpendapat bahwa wudhu setiap hendak shalat ini tidak wajib, karena menurut beliau darah istihadhah tidak membatalkan wudhu. Namun, kebanyakan ulama menyelisihi pendapat al-Imam Malik ini dengan berdalilkan hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan selainnya bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan wanita yang mustahadhah untuk berwudhu setiap kali shalat. (Majmu’atul Fatawa, 21/629)
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu 'anha yang mengadukan istihadhahnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
ﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲْ ﻟِﻜُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Berwudhulah setiap kali shalat.” (HR. at-Tirmidzi no. 125, disahihkan dalam Irwa’ul Ghalil no. 110)
Dalam riwayat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (no. 228) juga ada tambahan:
ﺛُﻢَّ ﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲْ ﻟِﻜُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Kemudian berwudhulah engkau untuk setiap shalat.”
Namun, kata al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali, yang benar tambahan ini dari ucapan Urwah ibnuz Zubair yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/448)
Tambahan ini diisyaratkan kelemahannya oleh al-Imam Muslim, karena itu beliau tidak membawakannya dalam Shahih-nya. Beliau mengatakan, “Dalam hadits Hammad ibn Zaid ada tambahan yang sengaja kami tinggalkan penyebutannya.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 3/243, ketika membawakan hadits no. 752)
Tambahan lafadz yang dimaksud oleh al-Imam Muslim, kata al-Qadhi ‘Iyadh, adalah:
ﺍﻏْﺴِﻠِﻲ ﻋَﻨْﻚِ ﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲ
“Cucilah darah darimu dan berwudhulah.”
Tambahan ini disebutkan oleh an-Nasa’i dan selainnya. Al-Imam Muslim tidak menyebutkannya karena tambahan ini termasuk lafadz yang Hammad bersendiri dalam menyebutkannya. An-Nasa’i mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun (dari perawi hadits ini) yang mengatakan ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲ dalam hadits ini selain Hammad.”
Abu Dawud dan selainnya telah menyebutkan tentang wudhu dari riwayat ‘Adi ibn Tsabit dan Hubaib ibn Abi Tsabit serta Ayyub ibn Abi Miskin. Abu Dawud mengatakan, “Semuanya dhaif/lemah.” (al-Ikmal, 2/176)
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan berwudhu setiap kali shalat mudhtharibah (goncang) dan mu’allalah (berpenyakit). (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/450)
Dalam masalah wudhu wanita mustahadhah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat sebagaimana mazhab al-Imam Malik, yaitu wanita mustahadhah dan orang-orang yang terus-menerus mengalami hadats semisalnya, tidak wajib berwudhu setiap kali shalat, tetapi mustahab saja, karena tidak ada dalil yang menunjukkan wudhunya batal. Alasan lainnya, wudhu tidak berfaedah bagi orang yang terus-menerus berhadats tersebut, karena hadatsnya tidak hilang, namun terus ada pada dirinya. Pendapat ini yang belakangan dipegang oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin. (Lihat catatan kaki asy-Syarhul Mumti’ 1/503, Dar Ibnil Jauzi, cet. I, Dzulqa’dah 1422 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar