al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah ini dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
• Duduk bersama para hadirin untuk mengingatkan tentang kematian dan hal-hal setelahnya, tidak dengan cara berdiri berceramah seperti orang berkhutbah. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
• Berdiri setelah penguburan untuk memberi ceramah layaknya penceramah/khatib di mimbar-mimbar dan masjid-masjid. Hal ini tidak disyariatkan dan tidak pernah dicontohkan sama sekali oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai bid’ah tercela. Berikut kami nukilkan beberapa fatwa ulama besar zaman ini.
1. Fatwa al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
(Ahkam al-Jana’iz hlm.198—202)
Boleh duduk di sisi kuburan saat pemakaman berlangsung dengan maksud mengingatkan para hadirin tentang kematian dan hal-hal yang akan dihadapi setelahnya di alam kubur. Dalilnya adalah hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ,فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: اسْتَعِيذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ -مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا-…. الْحَدِيْثَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada acara mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar. Kami sampai ke kuburan sementara lahadnya belum siap. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung. Di tangan beliau ada kayu untuk mencocok-cocok di tanah saat berpikir. Kemudian beliau mengangkat kepala dan bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari azab kubur—dua kali atau tiga kali’ …. dst.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Al-Hakim menyatakannya sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, dibenarkan oleh adz-Dzahabi dan al-Albani)
2. Fatwa al-Imam Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
(Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il 17/232—234)
Pendapat yang menyatakan tidak ada dalil dalam masalah ini adalah pendapat yang salah. Pendapat yang mengatakan disunnahkan berceramah di sisi kuburan juga tidak benar. Sebab, tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri di sisi kuburan atau di perkuburan saat ada jenazah yang dikuburkan lantas berceramah dan memberi wejangan seakan-akan khatib shalat jum’at. Kami tidak pernah mendengar bahwa hal itu ada dalilnya. Bahkan, hal itu adalah bid’ah yang bisa jadi pada waktu yang akan datang menyeret kepada hal yang lebih berbahaya.
Oleh karena itu, kami berpendapat tidak boleh seseorang berdiri berceramah di perkuburan bagaikan khatib yang berkhutbah karena hal itu bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berdiri berceramah seusai pemakaman atau saat menanti pemakaman. Kami juga tidak pernah mendapati hal semacam itu dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, sedangkan mereka lebih dekat kepada as- Sunnah daripada kita. Tidak pula hal itu kami ketahui pernah dilakukan oleh para al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Tidak pernah ada yang melakukan hal itu pada masa kekhalifahan Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk kaum salaf jika sesuai dengan kebenaran.
Adapun wejangan yang sifatnya penyampaian nasihat di majelis bersama hadirin (sambil duduk bersama), hal itu tidak mengapa. Sebab, telah tsabit (tetap/sahih) dalam kitab-kitab Sunan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar ke perkuburan Baqi’ (al-Gharqad) untuk mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar sedangkan lahadnya belum siap. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan para sahabat ikut duduk bersama beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka tentang keadaan yang akan dialami manusia setelah kematiannya dan pemakamannya, tidak dalam bentuk ceramah (khutbah). Telah tetap pula dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Shahih al-Bukhari dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ نَتَّكِلُ؟ قَالَ: لاَ، اعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah dituliskan tempat duduknya di dalam surga dan tempat duduknya di dalam neraka. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami bersandar dengan hal itu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak boleh. Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya.”
Alhasil, wejangan yang disampaikan dengan berdiri seperti berkhutbah ketika atau setelah pemakaman berlangsung bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun wejangan yang tidak bersifat khutbah/ceramah, seperti halnya seorang yang duduk dikitari oleh rekan-rekannya lantas ia berbicara dengan topik pembicaraan yang sesuai dengan keadaan, hal itu bagus demi mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Aku berpendapat bahwa kebiasaan berdiri memberi ceramah di sisi kuburan adalah menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sebab, hal itu tidak pernah diamalkan di masa hidup Nabi shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau adalah manusia yang paling menasihati hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala dan paling bersemangat/perhatian menyampaikan kebenaran. Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memberi wejangan sambil berdiri layaknya khatib yang berkhutbah. Hanyalah Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah menyampaikan nasihat (sambil duduk ketika menanti pemakaman).
Adapun menjadikan hal ini sebagai kebiasaan, setiap kali ada mayat yang dikuburkan lantas ada yang tampil berdiri memberi ceramah, hal ini mutlak bukan kebiasaan salaf. Hendaknya masalah ini dikembalikan kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya khawatir hal ini tergolong ekstrem (berdalam dalam lebih dari yang diinginkan). Sebab, pada hakikatnya kesempatan ini adalah waktu untuk khusyuk dan tenang (untuk merenung), bukan untuk menggugah perasaan. Tempat untuk berkhutbah adalah mimbar-mimbar dan masjid-masjid, sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak mungkin kita berdalil dengan sesuatu yang lebih khusus atas sesuatu yang lebih umum. Jika ada yang mengatakan, ‘Kami ingin menjadikan hal itu (yakni khutbah-khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di mimbar dan masjid) sebagai dasar masalah ini’; kami jawab, ‘Pendalilan itu tidak benar. Sebab, seandainya hal itu adalah dalil dalam masalah ini, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya semasa hidupnya. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya, berarti itulah yang menjadi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Fatwa al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
(Majmu’ al-Fatawa 13/209—210)
Tidak mengapa memberikan wejangan di sisi kuburan sebelum pemakaman dan hal itu tidak tergolong bid’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukannya sebagaimana disebutkan oleh hadits ‘Ali dan al-Bara’ bin ‘Azib.
Sungguh, telah tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah lebih dari satu kali memberi wejangan di perkuburan saat para sahabat menanti dilangsungkannya pemakaman. Dari situ diketahui bahwa memberi wejangan di sisi kuburan adalah hal yang disyariatkan. Hal itu telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam demi mengingatkan temtang kematian, surga, dan neraka, urusan-urusan akhirat lainnya, serta persiapan untuk berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi taufik.
[Pada kedua fatwa Ibnu Baz rahimahullah yang kami nukil ini terdapat penegasan bahwa wejangan itu dilakukan sebelum pemakaman (yakni saat menanti pemakaman). Namun, tidak ada sama sekali pada ucapan beliau yang mengatakan bahwa wejangan itu bersifat ceramah yang disampaikan sambil berdiri di hadapan jamaah yang hadir dan dilakukan seusai pemakaman. Wallahu a’lam.]
4. Terakhir, apa yang kami dapati secara pribadi ketika berguru di Darul Hadits Dammaj bersama Ayahanda tercinta, al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah. Kami tidak pernah menyaksikan praktik ceramah sambil berdiri seusai pemakaman yang sebagiannya dihadiri langsung oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah.
Ini yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagi kami dalam menjawab masalah yang banyak dipraktikkan oleh kaum muslimin ini seusai pemakaman jenazah. Wallahu a’lam.
Sumber: Asy Syariah Edisi 094
Tidak ada komentar:
Posting Komentar