Cari Blog Ini

Minggu, 21 September 2014

Tentang NASYID

Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah–. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.
Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.
Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus –dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)– sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah, seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di kaset. Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah. Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka! Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya. Al-Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan, sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya(3/317):
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia berkata:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)
Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk mengabaikannya.
Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Beliau rahimahullah ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid Islami dan di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian. Tanpa musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah hukumnya? Sebagai pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang dengannya dan mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah. Aku berharap dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”

Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh. Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya. Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk tangan dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara yang indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini tidak didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu. Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan ahli ilmu dan agama. Karena, di dalamnya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya. Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai nasihat kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu akan menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasihat-nasihat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan cara ini. Hal ini sangat berbahaya, bahkan dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud (tidak butuh) terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama dan imam.” (Diterjemahkan dari kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)

Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah

“Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dari ilmu dan amalannya.” (Iqamatud Dalil ‘Alal Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal. 6, dari situs sahab.net)

“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang, yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas. Namun para sahabat hanya mencukupkan melantunkan syair-syair tersebut dengan mengangkat suara. Tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara, seperti yang dilakukan para pelajar di zaman kita. Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kejahatan yang sesungguhnya adalah dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka, serta tidak dikenal pada zaman mereka. Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama secara berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan menamakannya dengan dzikir, padahal pada hakikatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan dzikir-Nya. Dan siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai pendahulu dan panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:
1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam, sekaligus pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik lagu. Tidak pula beliau mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
3. Menisbahkan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwa mereka telah menelantarkan salah satu perkara Islam dan tidak mengamalkannya.
4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam dan ia menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)

Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah, yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian. Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim serta ceramah-ceramah agama. Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang membuat orang bergoyang sebagai agama mereka. Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar