Cari Blog Ini

Jumat, 27 Mei 2016

Kematian Sebagai Peringatan

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Makna Kehidupan
Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan. Mereka hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Slogan-slogan mereka adalah memuaskan hawa nafsunya, “Yang Penting Puas”. Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana mereka dapat menikmati kehidupan, seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian, kemudian menguning dan mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan dan hisab.
Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?

أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ؟

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu ataukah mereka yang menciptakan? (ath-Thuur: 35)

Allah menciptakan kita, memberikan kepada kita kehidupan adalah untuk suatu tujuan dan tidak sia-sia:

أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia? (al-Qiyamah: 36)
Berkata Imam Syafi’i (ketika menafsirkan ayat ini): “Makna sia-sia adalah tanpa ada perintah, tanpa ada larangan.” (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir, jilid 4, cet. Maktabah Darus Salam, 1413 H hal. 478)
Jadi manusia hidup tidak sia-sia, mereka memiliki aturan, hukum-hukum, syariat, perintah dan larangan, tidak bebas begitu saja apa yang dia suka dia lakukan, apa yang dia tidak suka dia tinggalkan.

Hidup dan Mati Adalah Ujian
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah jalla jalaaluh menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk: 2)
Fudhail bin Iyadh berkata: “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah”. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam, Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, hal. 35)
Kita hidup di dunia adalah untuk diuji, siapa yang paling ikhlas amalannya hanya murni untuk Allah semata dan siapa yang paling sesuai dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu kita perlu memperhatikan apa makna kehidupan dan apa makna kematian?

Saudaraku-saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah turunkan kitab-kitabnya, Allah mengutus rasul-rasul-Nya adalah untuk misi ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ

Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56)
Sehingga hidup kita ini tidaklah sia-sia, melainkan kehidupan sementara yang sarat akan makna dan kelak akan ditanya tentang apa yang kita perbuat di dunia ini.

Kehidupan di dunia hanya sementara
Ingatlah, kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti kita akan memasuki alam kubur (alam barzakh) sampai datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, setelah itu kita menghadapi hari perhitungan (hisab). Dan kita akan menerima keputusan dari Allah, apakah kita akan bahagia dalam surga ataukah akan sengsara dalam neraka.

Kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan ini disebutkan dalam al-Qur`an dengan istilah خالدين فيها (kekal di dalamnya) atau dengan أبدا (selama-lamanya) atau dengan istilah لا ينقطع (tidak akan terputus).

Sehari dalam kehidupan akhirat adalah lima puluh ribu tahun kehidupan di dunia. Maka kita bisa lihat betapa pendeknya kehidupan manusia yang tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat. Berapa umur manusia yang terpanjang dan berapa yang sudah kita jalani? Itu pun kalau kita anggap umur yang terpanjang, sedangkan ajal kita tidak tahu, mungkin esok atau lusa.

Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupan yang panjang ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi.

وَابْتَغِ فِيْمَآ ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi… (al-Qashash: 77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Mereka lebih mementingkan kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَاْلأَخرَاةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (al-A’laa: 16-17)
Allah hanya meminta kepada kita dalam kehidupan yang pendek ini untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu. Kemudian Allah akan berikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang panjang yaitu kehidupan akhirat

Kematian adalah pasti
Alangkah bodohnya kalau kita lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa dimajukan dan dimundurkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

Tiap-tiap umat memiliki ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya. (al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Ali Imran: 185)
Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim (berserah diri).

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam. (Ali Imran: 102)
Dengan demikian berarti kita harus selalu meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita, sehingga ketika datang kematian kita dalam keadaan Islam.
Ibnu Katsir berkata: “Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam karena makna Islam adalah pasrah dan menyerah diri kepada Allah… yang tentunya mengandung setinggi-tingginya keterikatan, perendahan diri dan ketundukan”. (lihat Fathul Majid, Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaih hal 14) Yakni kita diperintahkan untuk pasrah dan menyerah kepada Allah. Diri kita dan seluruh anggota badan kita adalah milik Allah, maka serahkanlah kepada-Nya.
“Ya Allah kami hamba-Mu, milik-Mu, Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kami kepada-Mu, kami pasrah dan menyerah untuk diatur, dihukumi, diperintah dan dilarang. Kami taat, tunduk, patuh karena kami adalah milikmu.”

Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:

أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang patut disembah) kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui untuk-Mu dengan kenikmatan-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku terhadap-Mu, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. (HR. Bukhari, juz 7/150)
Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni.
Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut, kita sadar bahwa semua anggota badan kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan dan telinga kita harus dipakai pada apa yang dibolehkan oleh Allah karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.
Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah? Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota badan tersebut. Mereka (anggota badan tersebut) akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa mereka digunakan.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (al-Isra’: 36)

Kematian sebagai peringatan
Ayat-ayat dalam alQur`an yang menceritakan tentang kematian terlalu banyak. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan mereka tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan kebahagiaan di dalam surga. Sesungguhnya manusia yang paling bodoh adalah manusia yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:

مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ

Barangsiapa yang menginginkan pelindung, maka Allah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan teladan, maka Rasulullah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup, maka al-Qur`an cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya.
Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya.
Saat ini wahai kaum muslimin, kita masih mempunyai peluang dan kesempatan, maka sekarang juga kita harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk taat kepada rabb kita. Waktu ini bagaikan pedang, jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita. Sebagaimana dikatakan oleh para salaf:

اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ.

Waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak memutusnya (mengisinya) maka dia yang akan memutusmu (menghilangkan kesempatanmu).
Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌُ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.

Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan. (HR. Bukhari)
Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayang, kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan
tersebut untuk taat kepada Allah, hingga kesempatan itu hilang dengan datangnya kematian.

(Dikutip dari buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II, tgl 21 Shafar 1426 H, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/05/26/kematian-sebagai-peringatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar