Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang MENAHAN MARAH

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ﻭَﺳَﺎﺭِﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺟَﻨَّﺔٍ ﻋَﺮْﺿُﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ. ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟﻀَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺎﻇِﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﻐَﻴْﻆَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴﻦَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﻈَﻢَ ﻏَﻴْﻈًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﺎﺩِﺭٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻔِﺬَﻩُ ﺩَﻋَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﺀُﻭﺱِ ﺍﻟْﺨَﻠَﺎﺋِﻖِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺨَﻴِّﺮَﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺤُﻮﺭِ ﺍﻟْﻌِﻴﻦِ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan.” (HR. Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَة،ِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah yang dinamakan kuat itu adalah orang yang bisa membanting lawan, tetapi yang dikatakan kuat adalah orang yang bisa menahan diri tatkala marah.” (HR. Bukhari no. 6114)

Sahabat Nabi Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:
“Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata'ala selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah Subhanahu wata'ala.” (Diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari di dalam Sahih-nya:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ﺃَﻭْﺻِﻨِﻲ، ﻗَﺎﻝَ: ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ﻓَﺮَﺩَّﺩَ ﻣِﺮَﺍﺭﺍً، ﻗَﺎﻝَ: ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ‏
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam: “Berilah wasiat kepadaku.” Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam: “Janganlah engkau marah.” Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah.”

Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu berkata: “(Kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan adalah mencakup keburukan seluruhnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“(Kemarahan dapat mengakibatkan) perubahan zhahir dan batin, seperti perubahan warna (kulit wajah memerah), gemetar pada kaki dan tangan, kehilangan kendali dan perubahan diri, sehingga orang yang marah tersebut apabila ia menyadari keadaan dirinya ketika marah maka ia akan MALU karena KEJELEKAN RUPANYA dan perubahan dirinya, ini semuanya pada zhahir.
Adapun batin maka kejelekannya lebih parah daripada zhahir, karena kemarahan itu melahirkan kedongkolan di hati, hasad, merencanakan kejelekan dalam berbagai bentuknya, dan memang yang lebih jelek adalah keadaan batinnya, sebab perubahan zhahirnya adalah buah perubahan batinnya. Dan ini semuanya adalah pengaruh jelek kemarahan bagi tubuh.
Adapun pengaruh jeleknya bagi lisan, maka akan memunculkan cacian, ucapan keji yang malu diucapkan oleh seorang yang BERAKAL dan ia akan menyesalinya ketika kemarahannya telah mereda.
Dan juga nampak pengaruh jelek kemarahan dalam perbuatan, yaitu dengan memukul atau membunuh, namun apabila ia tidak dapat melakukannya karena orang yang ia marahi itu telah lari, maka ia akan menyakiti dirinya sendiri, yaitu dengan merobek pakaiannya, menampar pipinya, dan bisa jadi ia jatuh dalam keadaan kesurupan, bisa jadi pula ia jatuh pingsan, dan bisa pula ia memecahkan peralatan makan, bahkan memukul orang yang tidak bersalah.”
(Fathul Bari Libni Hajar 10/520)

‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata:
“Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu, kemarahan, dan ketamakan.”

Ja’far bin Muhammad berkata: 
“Kemarahan itu adalah kunci dari segala macam kejelekan.”

Dikatakan kepada Ibnul Mubarak: 
“Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak yang baik dalam satu kata!”
Beliau mengatakan: “Meninggalkan marah.”
(Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, hal. 372, 379)

Ibnul Qayyim berkata:
“Kemarahan itu membinasakan. Dia merusak akal sebagaimana khamr dapat menghilangkan kesadaran.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 155)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ﻭِﻟَﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔ
“Janganlah engkau marah, niscaya engkau mendapat surga.” (HR. Tabrani dan disahihkan oleh Munziri)

“Janganlah engkau marah,” menurut sebagian para Ulama mengandung 2 makna:
1. Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi orang yang mudah marah.
2. Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. Tahan diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah Subhanahu wata'ala.
(Disarikan dari penjelasan Syeikh Abdurrahman as-Saadi)

Al-Imam Mawardi Rahimahullah berkata:
“Sudah selayaknya orang yang memiliki akal yang lurus dan tekad yang kuat menghadapi kemarahan dengan sikap yang santun menghadapi keburukan yang ditimbulkannya dengan tekad yang kuat (kekokohan) dan menolaknya. Agar mendapatkan pengalaman yang berharga serta kebahagian dan kesudahan yang terpuji.” (Adabud Dunya wa Diin, 258)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻏَﻀِﺒْﺖَ ﻓَﺎﺳْﻜُﺖْ
“Jika engkau marah, diamlah.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, disahihkan Syaikh Albani)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat dua orang bertikai dan saling mencela, sehingga timbul kemarahan dari salah satunya. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan: “Aku sungguh tahu suatu kalimat yang bisa menghilangkan (perasaan marahnya): A’uudzu billaahi minasy syaithoonir rojiim.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rohimahulloh berkata:
“Tidak disyariatkan berkata kepada orang yang sedang marah: "Ingatlah Allah!" Atau: "Bersalawatlah atas Nabi!" Akan tetapi yang disunahkan adalah kamu menasihatinya untuk memohon perlindungan dari syaitan.” (Tsamarat at-Tadwin, 243)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻏَﻀِﺐَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﺎﺋِﻢٌ ﻓَﻠْﻴَﺠْﻠِﺲْ ﻓَﺈِﻥْ ﺫَﻫَﺐَ ﻋَﻨْﻪُ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐُ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻠْﻴَﻀْﻄَﺠِﻊْ
“Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring.” (HR. Abu Dawud)

###

Manusia manakah yang tidak pernah marah, hampir semua pernah mengalami hal ini.
Marah sendiri terbagi menjadi 2 jenis:
- Marah yang mahmud {terpuji} Contohnya : marah karena Alloh dan marah karena membela kebenaran.
- Marah yang madmum {tercela}
Contohnya : marah dalam perkara dunia.

Bagimanakah kiranya Jika marah yang madmum menimpa kita?
Ada beberapa obat yang bisa meredam dan mencegah emosi amarah kita dan di antara obatnya adalah:
- Berdoa Pada Allah
- Senantiasa berdzikir kepada Allah
- Mengingat terhadap dalil yang menghasung untuk menahan emosi dan amarah
- Taawudz kepada Allah dari godaan Syaithon
- Berpindah atau merubah anggota badan dari keadaan marah yang semula (contoh jika awal marah dalam keadaan berdiri kemudian berpindah duduk)
- Memberikan hak kepada badan untuk istirahat dan tidur, karena keadaan capek dan lelah bisa memancing kemarahan
- Menjauhi dari hal-hal yang bisa mendatangkan kemarahan.

Faedah Syarh Arbain Nawawi Ustadz Abul Hasan As Sidawy

Alih Bahasa : Ustadz Abu Hamzah Rifqi Hafizhahullah

Ashhabus Sunnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar