Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang PARA DAI YANG MENYERU KEPADA KESESATAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ
“Dialah yang telah menurunkan kepadamu Al-Kitab, diantaranya ada ayat-ayat yang muhkam (jelas dan gamblang) yang ayat-ayat itu merupakan isi pokok dari Al-Kitab, sedangkan sebagian ayat-ayat yang lain mutasyabihat (tidak bisa dipahami oleh semua orang). Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat kecondongan kepada kesesatan maka mereka suka mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat dengan tujuan untuk menyebarkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan hawa nafsu mereka).” (QS. Ali Imran: 7)
‘Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam membaca ayat ini, beliau bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (yang tidak jelas maksudnya) maka merekalah yang disebut oleh Allah subhanahu wata’ala, maka hati-hatilah.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4547 dan Muslim no. 2665)

Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu berkata:
Orang-orang (para shahabat) selalu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku selalu bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena aku khawatir kejelekan itu akan menimpaku.
Maka aku pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu tenggelam dalam kehidupan jahiliyyah dan kejelekan, kemudian Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan (Al-Islam) ini. Apakah setelah adanya kebaikan ini akan ada kejelekan?"
Beliau bersabda, "Ya."
Aku pun berkata, "Dan apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?"
Beliau bersabda, "Ya, namun padanya terdapat kesuraman (pergeseran dalam agama)."
Aku berkata, "Apa bentuk kesuraman itu?"
Beliau bersabda, "Adanya suatu kaum yang berprinsip dengan selain Sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengetahui apa yang datang dari mereka dan bisa mengingkari."
Aku pun berkata, "Apakah setelah adanya kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?"
Beliau bersabda, "Ya, munculnya sekelompok da’i yang berada di pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa menyambut ajakan mereka, niscaya mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam itu."
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apa nasehatmu jika aku mendapati kondisi seperti itu?"
Beliau bersabda, "Berpegang teguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka."
Aku berkata, "Bagaimana jika mereka (kaum muslimin) tidak mempunyai jamaah dan imam?"
Beliau bersabda, "Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu, walaupun engkau terpaksa harus menggigit akar pohon, sampai kematian mendatangimu dan engkau dalam keadaan seperti itu."
(HR. Al-Bukhari no. 7084 dan Muslim no. 1847, dengan lafadz Muslim)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Hati-hatilah kalian dari para dai yang menyeru kepada kesesatan. Mereka memburu para pemuda dan berusaha memutuskan hubungan para pemuda itu dengan keluarga dan masyarakatnya. Lantas mereka mencekoki para pemuda tersebut dengan berbagai pemikiran sesat. Akhirnya, Anda akan dapati seorang pemuda terpisah dari kedua orang tua dan keluarganya, lalu menjauh dari masjid-masjid kaum muslimin, shalat Jumat, dan shalat jamaah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dia, sampai terdengar berita bahwa dia terbunuh bersama perusuh atau ditangkap bersama mereka oleh aparat. Inilah buah yang akan dipetik apabila para pemuda tidak memedulikan dan mengikuti nasihat para ulama. Mereka tidak mau mengambil sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan untuk berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, penguasa mereka, berbakti dan membantu kedua orang tua, dan menjaga shalat Jumat dan shalat jamaah. Tatkala mereka tidak memerhatikan hal-hal ini, niscaya mereka akan jatuh ke tangan musuh mereka. Musuh-musuh itu akan mencari mereka, lalu mencekoki dengan doktrin-doktrin yang akan menghancurkan kehidupan mereka. Kalaupun sebagian mereka masih tersisa, akan susah sekali diobati karena pemikirannya sudah rusak dan sudah dicuci otak. Mereka layaknya orang yang terkena penyakit yang belum ada obatnya semacam kanker atau lainnya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 36)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻟًﺎ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali ambil dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak menyisakan lagi seorang alim pun di bumi, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu anhuma)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban radhiyallahu anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)

Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan, “Tidak merusak agama ini kecuali raja-raja, ulama yang jelek dan ahli ibadah yang jelek.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 204)

Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Tidak ada penyakit yang lebih membahayakan ilmu dan ahli ilmu daripada para penyusup. Mereka bukan ahli ilmu. Mereka adalah orang-orang jahil yang meyakini dirinya berilmu. Mereka adalah para perusak (dakwah) yang meyakini dirinya sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-Akhlaq was Siyar, hlm. 91)

Di antara jenis-jenis manusia yang harus diwaspadai ketika kita mengambil ilmu adalah:

1. Ashabur Ra`yi, yaitu orang-orang yang memahami agama dengan akal mereka.

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu mengatakan, “Jauhi oleh kalian Ashabur Ra‘yi, mereka adalah para musuh As-Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat dan menyesatkan.” (Al-Intishar Li Ahlil Hadits no. 21)

2. Al-Ashaghir

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satuya adalah dituntutnya ilmu dari Al-Ashaghir.” (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan dihasankannya)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu mengatakan, "Jika ilmu datang dari Al-Ashaghir maka mereka akan binasa." (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 616)

Abdullah bin Al-Mubarak ditanya tentang makna Al-Ashaghir, katanya: Yaitu orang yang berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri, yakni ahlul bid’ah. (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612)
Sebagian ulama yang lain mengatakan, yang dimaksud dengan Al-Ashaghir adalah yang tidak punya ilmu. (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 617)
Yang lain lagi mengatakan:
“Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya. Adapun yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat.” (Al-I’tisham, 2/682)

3. Ahlul Bid’ah

Al-Imam Malik mengatakan, “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang –di antaranya–: seorang ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 821)

Seseorang bisa dikatakan sebagai ahlul bid’ah jika ia menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunah wal Jamaah. (Al-Farqu Bainal Firaq hal. 14-15)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, bid’ah yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa` (ahlul bid’ah) adalah sebuah bid’ah yang telah masyhur di kalangan ahlul ilmi dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah seperti bid’ah Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan Murji‘ah. (Majmu’ Fatawa, 35/414 dari Mauqif Ahlissunnah, 1/119)

4. Ahli filsafat. Yakni orang-orang yang berusaha memahami perkara agama melalui teori filsafat yang berasal dari Yunani yang mereka namakan dengan Ushuluddin.

Adz-Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa ingin menggabungkan antara ilmu para Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ‘ilmu’ para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti menyelisihi mereka semua.” (Mizanul I’tidal, 3/144 dari Al-Intishar, hal. 97)

5. Orang-orang yang tidak ikhlas dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan dengan ilmunya.

Ibnu Qudamah berkata, “Ulama yang jelek adalah yang punya maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai kedudukan di sisi ahli dunia.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 35)

####

Asy-Syaikh Abu 'Ammar 'Abbas Al-Jaunah -hafidzahullah-

Allah Taala berfirman:
فاسألـــوا أهل الذكــر إن كنتم لا تعلمــون
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan ('Ulama), jika kamu tidak mengetahui. {QS. An-Nahl: 43}

Dan Allah Yang Maha Suci berfirman:
وإذا جــاءهم أمر من الأمــن أو الخوف أذاعــوا به ولو ردوه إلى الرســول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطـونه منهم
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). {QS. An-Nisaa: 83}

Al-Allaamah As-Sadi rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini:
وفي هــذا دليل لقــاعدة أدبية وهي أنــه إذا حصل بحث في أمر من الأمــور ينبغي أن يولي من هو أهــل لذلك ويجعل إلى أهلــه ولايتقــدم بين أيديهم فإنه أقــرب إلى الصــواب وأخرى إلى السلامــة من الخطــأ
Dalam hal ini terdapat pendalilan untuk satu kaedah adab yaitu: Apabila terjadi suatu pembahasan dalam suatu permasalahan sepantasnya untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang ahli dalam perkara tersebut. Dan tidak ada yang dikedepankan dari mereka ini SEBAB itu paling mendekati kebenaran dan paling berhati-hati untuk selamat dari kekeliruan (dalam memutuskan).

Bersikap zuhud (meninggalkan) terhadap ulama dengan tidak berpegang kepada pemahaman mereka dan melepaskan diri dengan mengambil pemahaman orang yang di bawah kedudukan mereka, hal ini adalah ASAL-MUASAL SETIAP FITNAH. Apabila kamu melihat kepada sumber permasalahan dalam gerakan-gerakan pemberontakan dan menentang penguasa yang dimulai oleh:
- Para pemberontak terhadap Utsman bin Affan radhiallahu anhu,
- Kemudian khowarij di zaman Ali ketika Ibnu Abbas mendebat mereka,
- Demikian pula peristiwa hurroh (penyerangan terhadap penduduk Madinah di zaman Yazid bin Muawiyah),
- Peristiwa di zaman ibnul Asyats dan ibnul Malhab,
- Fitnah perang saudara di Suriah dan Juhaiman,
- (Fitnah) di Aljazair,
- Al-Qaeda.
Kamu akan mendapati bahwa mereka semua sama dalam:
1- Zuhud (meninggalkan) dari perkataan bimbingan ulama.
2- Tidak bersandar dengan pemahaman para ulama.
Seandainya orang-orang mematuhi bimbingan ulama mereka dan tidak mengambil pendapat mereka sendiri yang jelek maka tidak akan terjadi fitnah (bencana) dan kerusakan. Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika menyebutkan tentang perkara-perkara yang membinasakan diantaranya, SESEORANG TERKAGUM-KAGUM KEPADA DIRINYA SENDIRI.

Dan lenyapnya landasan ini yaitu Bersama Pemahaman Ulama muncul karena beberapa sebab, di antaranya: Tidak mengetahui siapa ulama sejati. Dan kejahilan tentang ulama ini dikarenakan informasi gencar dari ahlul bidah yang menggambarkan seorang dai sebagai Allaamah (ulama besar) dan Imam. Mereka tuang kepadanya berbagai gelar hebat dan agung pada sisi yang terlihat dari banyaknya orang yang hadir (di majelisnya). Dan mereka mengambil kesempatan di saat pemberontakan, mereka memberontak dan membakar para pemuda dan orang awam untuk memberontak.
Dan dengan lisan hal dan ucapan, mereka ini ingin berkata (meremehkan):
- (Lihat) Di mana para ulama itu?!
- Siapa mereka (yang benar-benar ulama)?!
- BAHKAN mereka (para dai sesat) ini komandan umat!
Sehingga menjadikan orang-orang yang sok berilmu dan bukan ahli sebagai seorang syaikh, mengangkat mereka di barisan ulama, dan menjadikan mereka sebagai komandan dan pemimpin serta pemberian gelar-gelar besar atas mereka, INILAH termasuk sebab terbesar (terjadinya fitnah dan meninggalkan ulama sejati) dan larisnya pemikiran dan fatwa-fatwa mereka.

Dan termasuk sebab hilangnya landasan ini yaitu Bersama Pemahaman Ulama: CELAAN bertubi-tubi terhadap mereka (ulama) dengan:
- Tidak paham kondisi terkini atau
- Di bawah tekanan penguasa atau
- Bahwa mereka tidak memiliki keahlian dalam berperang atau politik
- dan semisalnya dari muslihat yang ditujukan kepada mereka di setiap waktu dan tempat.

Al-Allaamah Al-Albani rahimahullah berkata:
Ketika disebutkan kejelekan yang timbul dari memberontak terhadap penguasa, beliau berkata: Lebih jelek dari itu adalah memberontak kepada ulama dengan:
1- Mengabaikan hak-hak mereka.
2- Tidak bersandar kepada fatwa-fatwa mereka kecuali yang seseuaki dengan hawa nafsu para harokiyyin (aktivis).
3- Meremehkan kedudukan mereka dalam politik.
4- Menyifati mereka dengan ulama tempat wudhu.
Dan yang semisalnya dari julukan-julukan yang ahlul bidah menyematkan gelar jelek yang dihinakan kepada ulama salafi secara turun-temurun.
Dalam hal ini terkandung perlakuan sewenang-wenang terhadap syariat dengan menjatuhkan pengusung dan pemberi keterangannya (yaitu ulama). Dan Allah-lah pemenuh janji.

Tudingan terhadap ulama dengan julukan-julukan ini bukan terlahir di hari-hari ini saja bahkan sudah perkara yang lama yang ahlul bidah dan orang-orang yang menyimpang telah terbiasa dengannya.
Al-Imam Asy-Syathibi semoga Allah merahmatinya berkata:
Diriwayatkan dari Ismail bin Ulayyah, dia berkata:
Bercerita kepadaku al-Yusa, dia berkata:
Washil bin Atho tokoh mutazilah berbicara, maka Amru bin Ubaid menimpali: Tidakkah kalian mendengarnya?
ما كــلام الحسن وابن سيرين عندمـــا تسمعـــون إلا خرقــة حيض ملقــاه
Tidaklah ucapan al-Hasan (al-Bashri) dan Ibnu Sirin ketika kalian dengar kecuali hanya tentang PEMBALUT DARAH HAIDH yang dicampakkan!

Dan diriwayatkan bahwa salah seorang tokoh ahlul bidah ingin mengunggulkan ilmu kalam dari ilmu fikih, ia pun berkata:
إن علم الشــافعي وأبي حنيفــة جملته لايخـــرج عن سراويل امـــرأة
Sesungguhnya ilmu asy-Syafii dan Abu Hanifah seluruhnya tidak lepas dari celana dalam wanita.

Dan MEMAHAMI TEMPAT RUJUKAN ketika terjadi fitnah adalah urusan yang SANGAT PENTING, yang apabila tidak mengetahuinya akan menghasilkan KERUSAKAN YANG LUAS dengan munculnya:
من ليســوا أهــلا للفتوى ومن ليسوا على منهج السلــف في إلاعتقــاد والعمــل
Orang-orang yang bukan ahli dalam berfatwa, dan orang-orang yang tidak di atas manhaj dalam akidah dan amalan.
SEHINGGA hukum-hukum syari'at akan menjadi berubah (tidak sesuai), agama akan dirobohkan, dan hilang maslahat serta akan banyak terjadi fitnah/bencana.
Dan ini selaras dengan apa yang dikabarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إن الله لا يقبض العلمـــاء حتى إذا لم يبق عــالم إتخذ النـــاس رؤوسا جهـــالا فسئلوا فأفــتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
"Sungguh Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali cabut dari dada-dada manusia akan tetapi dicabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sampai ketika tidak tersisa seorang ulama, maka orang-orang mengambil pemimpin dari orang-orang yang bodoh, lalu ditanya (tentang suatu hal) maka mereka pun memberi fatwa tanpa dasar ilmu SEHINGGA mereka SESAT lagi MENYESATKAN."

Dan termasuk tanda-tanda terbesar dan paling nyata yang dikenali orang yang kuat ilmunya dari yang SOK BERILMU, terkhusus di zaman fitnah:
Orang yang JAHIL menonjolkan diri dan memposisikan dirinya untuk berfatwa tanpa musyawarah dengan ulama.
Ini adalah sikap berani terhadap agama Allah Yang Maha Agung. Sedangkan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi menyifati ulama yang kokoh ilmunya dengan sifat khosyah (rasa takut yang berdasar ilmu), khouf (rasa takut dari bahaya), dan waro (berhati-hati).
BERFATWA terhadap suatu bencana, seseorang yang memiliki rasa takut terhadap agamanya akan menolak (untuk berfatwa tentang) nya, dalam perkara-perkara kontemporer akan lebih besar (penolakannya untuk berfatwa).
Salafush shalih dari kalangan Shahabat dan yang selain mereka dahulu saling menyerahkan tanggung jawab berfatwa kepada orang lain.

Dan termasuk tanda-tanda mereka (yang mengaku-aku berilmu): MENYELISIHI ULAMA sewaktu terjadi fitnah dan permasalahan-permasalahan terkini yang terkadang ia mendebat, berbuat bodoh, menghina, dan membantah.

Juga termasuk ciri-ciri mereka: BANYAK BERBICARA tentang permasalahan terkini dan sering berdebat. Sedangkan hal ini adalah ciri-ciri ahlul bidah dan pengikut hawa nafsu.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata (dalam Bayaanu fadhli ilmis Salaf ala ilmil kholaf):
وقد فتن كثيــر من المتأخــرين بهذا أي كثرة كــلام الواحد منهم في المســائل والخصــام في مســائل الدين فهو والنقــاش
Dan telah tertimpa musibah mayoritas dari orang-orang sekarang dengan perkara ini yaitu banyaknya ucapan salah seorang mereka tentang berbagai permasalahan dan berbantah-bantahan serta berdebat di dalamnya.
وظنوا أن من كثر كلامــه وجدالــه وخصــامه في مســـائل الدين فهو أعلــم ممن ليس كذلك
Mereka berprasangka bahwa seseorang yang banyak berbicara, berdebat, dan berbantah-bantahan dalam urusan diin maka dia lah yang PALING BERILMU daripada yang tidak bersikap seperti itu.
INI KEBODOHAN SEMATA.
Lihatlah kepada pembesar-pembesar dan para ulama dari kalangan Shahabat semisal Abu Bakr,Umar, Ali, Utsman, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, bagaimana mereka dahulu? Ucapan mereka LEBIH SEDIKIT dari perkataan Ibnu Abbas namun mereka lebih berilmu darinya.
Demikian pula perkataan para Tabiin lebih banyak daripada ucapan para Shahabat sedangkan para Shahabat lebih berilmu dari mereka.
فليس العلــم بكثرة الروايــة أو كثرة المقـــال ولكنه نور يقذفــه في القلب يفهم به العبد الحق ويميز به بينه وبين الباطـــل ويعبر عن ذلك بعبــارات وجيزة محصلة للمقصـــود
BUKANLAH ILMU DENGAN BANYAKNYA PERIWAYATAN ATAU UCAPAN namun ia adalah ilmu yang Dia Allah lemparkan di dalam hati yang dengannya seorang hamba bisa memahami Al-Haq dan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dan mengungkapkan hal itu dengan ibarat-ibarat yang ringkas dan tercapai maksud.

Dan termasuk tanda-tanda mereka: TERBURU-BURU BERBICARA tentang suatu peristiwa sebelum jelas perkaranya dan belum diketahui hakikat serta isinya. Betapa sesuai tanda ini dengan firman Allah Taala:
وإذا جــاءهم أمر من الأمــن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرســول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونـــه منهم
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)" {QS. An-Nisaa: 83}
Asy-Syaikh As-Sadi berkata dalam tafsir ayat ini:
Terkandung padanya LARANGAN dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebar suatu perkara sejak ia mendengarnya, dan PERINTAH untuk mengamati sebelum berbicara. Juga untuk ia melihat apakah ada maslahat di dalamnya sehingga ia sampaikan kepada orang-orang atau tidak, sehingga ia menahan diri darinya?

Dan termasuk dari ciri-ciri mereka: Ridha dengan gelar-gelar besar seperti:
- Alim (ulama)
- Al-Allaamah
- Al-Muhaddits
- Al-Imam
Adapun yang masyhur dari orang yang ahli dalam kebaikan dan ilmu bahwa mereka memandang kecil diri mereka dan tidak melihat bahwa mereka telah sampai ke derajat yang mereka berhal untuk diberi gelar-gelar yang besar.
فــأوصي نفسي وإخـــواني بلـــزوم منهج العلمـــــاء المتخصصين فيما يحصل من الفتن والنــوازل فإنه من أعظم أسبـــاب النجــــاة من الفتن
Maka aku nasehatkan diriku dan saudara-saudaraku untuk senantiasa bersama manhaj para ulama yang spesialis dalam menghadapi apa yang terjadi dari berbagai fitnah dan permasalahan kontemporer KARENA itu di antara sebab terbesar untuk selamat dari fitnah. Sungguh kami telah sering melakukannya dan tidak ada yang kami lihat lebih baik dari metode ini.
Dan akhir seruan kami Segala pujian yang sempurna milik Allah Rabb alam semesta.

Malam Ahad, 24 Jumadil Ulaa 1436 H

Sumber: Majmu'ah Manhajul Anbiya

Alih Bahasa: Al Ustadz Abu Yahya (Solo) Al Maidaniy حفظــه الـله - [FBF 5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

###

Fadhilatu asy-Syaikh al-Allamah 'Ubaid bin 'Abdillah al-Jabiri –hafidzahullah wa ra'ah–

Beliau berkata:
“Di antara wasiat-wasiat Muhammad shallallahu alihi wa sallam yang dinukilkan secara benar/shahih dari beliau, bahwa beliau shallallahu alihi wa sallam bersabda:
"Seseorang di atas agama teman dekatnya, maka lihatlah siapa yang menjadi teman dekatnya."
Semakna (dengan wasiat Nabi ini) -dan saya mengira ini memetik dari wasiat Nabi- ialah ucapan Ibnu Sirin –rahimahullah–, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil/mempelajari agama kalian."
Hadits dan atsar tersebut sebagai peringatan atas wajibnya berwaspada dari dua jenis manusia yang menjadi BALA' dalam dakwah!
Jenis yang pertama;
ORANG-ORANG JAHIL (tidak berilmu) yang bermunculan di medan (dakwah), (dalam keadaan) mereka tidak memiliki ilmu tentang syariat Allah yang dengannya dia bisa memerintahkan (yang ma'ruf) dan melarang (dari yang munkar). Namun yang menjadi landasan mereka ialah kisah-kisah, hikayat, hadits-hadits palsu/dha'if, atau pendapat yang dibanggakan (dengan sombong) padahal bertentangan dengan dalil.
Jenis yang kedua;
PARA DA'I SESAT, AHLUL BID'AH, AHLUL AHWA', yang mengikrarkan kebid'ahan mereka, menetapkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip buatan diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki bukti/dasar (atas kaidah-kaidah dan prinsip buatan mereka itu), baik dari al-Kitab (al-Qur'an) maupun as-Sunnah.
Kedua kelompok tersebut sesat menyesatkan dan merusak.
Yang pertama; Kesesatannya karena kebodohan.
Yang kedua; Allah sesatkan di atas ilmu.
Alangkah bagusnya apa yang diucapkan oleh Sufyan ats-Tsauri atau yang lain –rahimahumullah–,
“Siapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah, maka padanya kemiripan dengan kaum Nashara. Siapa yang rusak dari kalangan orang yang punya ilmu, maka padanya kemiripan dengan kaum Yahudi.”

Faidah ini dikutip dari syarh beliau –hafizhahullah– terhadap risalah "Nawaqidhul Islam", pelajaran keempat.

Sumber:
ar .miraath .net/fawaid/7161

Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar