Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang MENJAGA KEHORMATAN SESAMA MUSLIM

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda pada saat Haji Wada’:
ﻓَﺈِﻥَّ ﺩِﻣَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻋْﺮَﺍﺿَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻛَﺤُﺮْﻣَﺔِ ﻳَﻮْﻣِﻜُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮِﻛُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺑَﻠَﺪِﻛُﻢْ ﻫَﺬَﺍ
"Sesungguhnya harta, darah, dan kehormatan kalian adalah haram (untuk dinodai) di antara kalian, sebagaimana haramnya (untuk dinodai) hari ini (hari Arafah), di bulan ini (bulan haram, Dzulhijjah), di negeri ini (tanah haram, Makkah)." (H.R Muslim)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala?” Mereka menjawab, “Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala adalah orang yang menghalalkan kehormatan/harga diri seorang muslim.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻤَّﺎ ﻋَﺮَﺝَ ﺑِﻲ ﺭَﺑِّﻲ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻣَﺮَﺭْﺕُ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻇْﻔَﺎﺭٌ ﻣِﻦْ ﻧُﺤَﺎﺱٍ ﻳَﺨْﻤُﺸُﻮﻥَ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢْ ﻭَﺻُﺪُﻭﺭَﻫُﻢْ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻣَﻦْ ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ ﻳَﺎ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻮﻥَ ﻟُﺤُﻮﻡَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻳَﻘَﻌُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﺮَﺍﺿِﻬِﻢْ
“Tatkala Rabbku memi’rajkanku (menaikkan ke langit), aku melewati beberapa kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dalam keadaan mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka dengan kukunya. Maka aku bertanya: ‘Siapakah mereka ini wahai Jibril?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (suka meng-ghibah) dan menjatuhkan kehormatan manusia’.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 533)

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apa itu ghibah?” Beliau menjawab, “Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku sebut itu memang ada pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau sebut itu ada pada dirinya, engkau telah mengghibah dia. Namun, jika yang engkau sebut itu tidak ada padanya, engkau telah berbuat buhtan (berdusta) terhadap dia.” (HR. at-Tirmidzi)

Dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﺳْﻜَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺩْﻏَﺔَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﻝِ
“Barangsiapa mencela seorang mu’min dengan hal-hal yang tidak ada padanya, maka Allah akan menenggelamkannya dalam peluh penghuni neraka.”
(Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 437)

Allah berfirman:
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Dalam perumpamaan ini, Allah menyerupakan tindakan merobek kehormatan saudara dengan mencabik-cabik dagingnya. Ketika seseorang mengumpat berarti dia merobek kehormatan saudaranya yang tidak berada di hadapannya. Dia bagai orang yang memotong-motong daging saudaranya di saat rohnya telah hilang karena mati. Tatkala orang yang diumpat tidak mampu membela dirinya, karena dia tidak di hadapannya untuk membalas celaannya, dia pun bagai mayat yang dipotong-potong dagingnya dan tidak mampu membela dirinya. Manakala konsekuensi dari sebuah persaudaraan adalah saling mengasihi, saling menyambung hubungan, dan saling menolong, tetapi orang yang mengumpat justru menggantungkan sebuah celaan dan tikaman pada ikatan persaudaraan itu, maka hal itu bagai memotong-motong daging saudaranya sendiri. Padahal persaudaraan menuntut untuk menjaga dan membela saudaranya. Ketika orang yang mengumpat menikmati kehormatan saudaranya, ia jadikan buah majelisnya dengan mengumpat dan mencelanya saat tidak di hadapannya, serta dia menghiasi dirinya dengan perbuatannya tersebut, dia disamakan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya (dan menikmatinya) setelah memotong-motongnya. Selain itu, ketika dia menyukai hal itu dan bangga dengannya, dia pun disamakan dengan orang yang menyukai memakan bangkai saudaranya. Bahkan, kesukaannya terhadap hal itu lebih dari sekadar memakannya, sebagaimana memakannya itu lebih dari sekadar mencabik-cabiknya.
(I’lamul Muwaqqi’in, 1/222—223, diterjemahkan oleh Qomar Suaidi)

###

Al-Ustadz Fathul Mujib

Ghibah (gosip) pada masa sekarang menjadi tren tersendiri bagi sebagian kalangan. Terlebih ketika yang menjadi bahan perbincangan adalah artis, akan sangat laris disimak oleh para pemuja dan para penggemarnya. Yang lebih aneh, para artis ini sangat bangga ketika aib mereka, seperti percekcokan dengan suami atau dengan pacar, bahkan perselingkuhan, disiarkan di media-media massa.

Ini kondisi yang sangat timpang bagi perkembangan dan kemajuan kaum muslimin di negeri ini. Entah ada tujuan apa di balik acara atau rubrik gosip yang dimuat di sekian banyak media massa. Yang pasti, perhatian sebagian muslimin terseret oleh arus ini. Akibatnya, mereka lebih bangga ketika membicarakan seorang artis secara mendetail di hadapan “jamaah” ngerumpinya. Sementara itu, perilaku senang bergosip ini bertabrakan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, serta janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada AllahSesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (al-Hujurat: 12)

Sedemikian buruknya gosip (ghibah) dalam penggambaran ayat yang mulia ini. Allah subhanahu wa ta’alamenyamakannya dengan memakan daging saudara yang sudah mati. Lalu, masihkah kaum muslimin akan terseret dan terbawa oleh tren gosip yang tengah berkembang itu? Apakah demikian itu yang dinamakan peradaban modern dan kemajuan manusia?

Ghibah dilarang untuk menjaga kehormatan kaum muslimin

Larangan ghibah yang termaktub dalam ayat di atas mengandung isyarat bahwa kehormatan manusia (muslim) sama seperti dagingnya. Ketika diharamkan memakan daging manusia, dilarang pula merusak kehormatannya. Pada yang demikian ini telah terdapat peringatan untuk menjauhi ghibah, dan hardikan serta celaan bagi pelaku ghibah. Sebab, manusia tentu memiliki tabiat enggan memakan daging sesama manusia. Lebih dari itu, syariat Islam pun telah mengharamkan daging manusia.
Oleh karena itu, ketika Anda tidak senang untuk memakan daging saudara Anda, jangan menyebutnya dengan keburukan ketika ia tidak ada. (Fathul Qadir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Demikianlah, Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki hamba-Nya agar menjaga kehormatan saudaranya seiman dan seagama. Terlebih lagi Allah subhanahu wa ta’ala telah melarangnya dari tajassus (mencari-cari aib dan ketergelinciran kaum muslimin). Allah berfirman,
وَ لَا تَجَسَّسُواْ
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.”
Allah juga telah melarang su’uzh zhan (buruk sangka),
ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
“Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”
Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk menjauhi sebagian prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap orang-orang yang dikenal berperilaku dan berkepribadian baik. (Fathul Qadir)

Pada ayat sebelumnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang perbuatan merendahkan dan menghina orang atau kaum lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,l
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka.” (al-Hujurat: 11)
Makna ayat ini bahwasanya Allah melarang kaum mukminin merendahkan kaum mukminin yang lain karena bisa jadi orang yang dihina lebih baik di sisi Allah daripada orang yang menghina.
Masih pada ayat yang sama Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
“Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri.”
Maksudnya, janganlah kalian saling mencela karena kalian ini bagaikan tubuh yang satu. Di samping itu, jika seorang mukmin mencela mukmin lainnya, pihak lain akan terpancing untuk ikut mencelanya. (Tafsir as-Sa’di dengan diringkas, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Kemudian, Allah melanjutkan bimbingan akhlak ini dengan firman-Nya,
وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١
“Dan janganlah kalian memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat: 11)
Maksudnya, janganlah seorang mukmin menggelari saudaranya seiman dengan gelar-gelar yang buruk. Misalnya, memanggil saudaranya seiman dengan panggilan “Wahai orang fasik”, “Wahai orang munafik”, atau mengatakan kepada orang yang baru masuk Islam, “Wahai Yahudi”, atau “Wahai Nasrani”, yaitu semua gelar yang mengeluarkan saudaranya dari lingkup Islam.
Demikian pula memanggil saudaranya seiman dengan sebutan binatang, seperti “Hai keledai”, “Hai anjing”, “Hai babi”, dan sebagainya. (Fathul Qadir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita dalam menjaga kehormatan saudara kita.

https://qonitah.com/ghibah-semua-terlarang-kecuali-yang-enam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar