Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang BERBICARA DAN BERFATWA TANPA ILMU

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻟًﺎ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali ambil dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak menyisakan lagi seorang alim pun di bumi, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu anhuma)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban radhiyallahu anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)

Al-Manaawiy berkata di dalam kitab Faidhul Qadir:
وهــذا تحذير من ترئيس الجهلــة وأن الفتوى هي الرئاســة الحقيقية وذم من يقدم عليهـــا بلا علـــم
Dan ini peringatan dari menjadikan pimpinan seorang yang jahil dan bahwa fatwa adalah kepemimpinan sejati serta tercelanya seseorang yang maju berfatwa tanpa ilmu.

Di dalam ad-Duraarus Saniyyah fil Ajwibaatin Najdiyyah (16/ 151):
ومن أعظــم الجــرائم: الفتوى بغير علــم، فكم ضل بهـــا من ضل، وهلك بهـــا من هلك، ولا سيما إذا كانت الفتوى معلنة على رؤوس الأشهــاد، وممن قد يغتر به بعض الناس؛ فإن الخطر عظيم، والعواقب وخيمة. وعلى المفتي بغير علم مثل آثام من تبعــه
Termasuk di antara kejahatan terbesar: BERFATWA TANPA ILMU. Seberapa banyak orang tersesat dan binasa dengan sebabnya, terlebih apabila fatwa itu diumumkan di khalayak manusia dan muncul dari orang-orang yang membuat sebagian orang TEPERDAYA dengan kedudukannya. Maka bahayanya besar dan jelek akibatnya. Dan atas mufti yang berfatwa tanpa ilmu SEMISAL dosa orang yang mengikutinya.

Ibnu Baththah ketika ditanya tentang suatu permasalahan beliau menjawab, dalam kitab Ibthaalul Hiyal (hal. 5):
“Dan aku mulai sebelum menjawab permasalahanmu dengan menyebut ciri-ciri seorang faqih (yang memiliki fikih/pemahaman luas tentang syariat Allah) yang boleh taklid dan berlindung kepadanya ketika terjadi kemelut, tunduk mematuhinya ketika datang permasalahan-permasalahan pelik dan menyelesaikan berbagai syubhat.
Kemudian aku lanjutkan dengan menjawab apa yang telah kamu tanyakan.
Sungguh aku melihat sebutan ini (gelar faqih) telah banyak orang yang dinamakan dengannya dari keumuman manusia. Dan tidaklah hal itu terjadi kecuali disebabkan pandangan-pandangan yang telah rabun, pemahaman-pemahaman yang sudah keruh dan terbelenggu dari makna fikih, apa dia (wujud fikih tersebut)? Dan faqih itu, siapa dia?
Maka mereka disandarkan dengan suatu nama tanpa ada makna dan suatu tempat memandang tanpa memiliki hakikat. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib ketika menyifati seorang yang terburu-buru berfatwa tanpa ilmu:
سمـــّاه الناس عالماً، ولم يَفنِ في العلـــم يوماً ســـالماً
ORANG-ORANG MENYEBUTNYA “SEORANG ULAMA” SEDANG IA BELUM MEMBERIKAN KESUNGGUHAN DALAM MENUNTUT ILMU SEHARI PUN.

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab I’lam Muwaqqi’in (1/38) berkata:
Sungguh, Allah telah mengharamkan seseorang berkata tanpa dasar ilmu, baik dalam hal berfatwa maupun menghukumi. Allah menjadikannya sebagai salah satu keharaman yang terbesar, bahkan meletakkannya pada peringkat tertinggi.
Allah berfirman:
"Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuknya, dan (mengharamkan) berbicara tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A’raf: 33)
Dalam ayat di atas, Allah membagi dosa menjadi empat tahapan. Allah memulai dari dosa yang lebih ringan, yaitu perbuatan keji. Setelahnya, Allah menyebutkan yang paling tinggi tingkat keharamannya, yaitu perbuatan dosa dan kezaliman. Peringkat ketiga lebih besar tingkat dosanya daripada kedua hal sebelumnya, yaitu syirik kepada Allah.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan menyebutkan hal keempat yang lebih keras tingkat keharamannya, yaitu berbicara tanpa ilmu. Hal ini mencakup berbicara tanpa ilmu pada nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, agama, dan syariat-Nya.
Tidak ada jenis keharaman di sisi Allah yang lebih besar dan lebih keras dosanya daripada berbicara tanpa dasar ilmu. Bahkan, hal ini adalah pangkal kesyirikan dan kekufuran. Di atasnya dibangun kebid’ahan dan berbagai kesesatan. Oleh karena itu, pangkal segala kebid’ahan yang menyesatkan di dalam agama adalah berbicara tanpa dasar ilmu.
Berdasarkan hal inilah, para pendahulu yang saleh dan para imam sangat keras mengingkarinya. Mereka menyeru di mana-mana untuk memperingatkan manusia darinya dengan peringatan yang keras.
Kerasnya pengingkaran mereka terhadap hal tersebut tidak seperti yang mereka lakukan dalam hal mengingkari perbuatan keji, kezaliman, dan permusuhan; karena kebid’ahan sangat berbahaya, menghancurkan agama, dan lebih dahsyat dalam memadamkan cahayanya.

asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah berkata:
Tidak ada larangan untuk memberikan faidah kepada manusia di dalam perkara yang sudah engkau ketahui. Adapun di dalam perkara yang tidak engkau ketahui, hukumnya HARAM bagimu untuk mengajarkannya. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Sunan Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani rahimahumallah,
ﻣﻦ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻐﻴﺮ ﺛﺒﺖ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺇﺛﻤﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻓﺘﺎﻩ
"Barangsiapa yang berfatwa tidak benar, hanya saja dosanya bagi yang memfatwakannya.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda tentang orang yang terluka kepalanya, ketika sebagian orang berfatwa kepadanya sehingga ia tewas, mereka memfatwakan mandi bagi orang yang terluka tersebut, kemudian ia mandi lalu ia meninggal, beliau bersabda,
ﻗﺘﻠﻮﻩ ﻗﺘﻠﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻻ ﺳﺄﻟﻮﺍ ﺇﺫ ﺟﻬﻠﻮﺍ ﺇﻧﻤﺎ ﺷﻔﺎﺀ ﺍﻟﻌﻲ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ
"Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya bila mereka tidak tahu? Hanya saja obatnya kebodohan itu bertanya.”

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan حَفِظَهُ اللهُ

Pertanyaan: 
ما أهمية الفتوى وإفتاء الناس فضيلة الشيخ وشروط الإفتاء في ذلك؟
Apakah urgensi dari fatwa dan memberikan fatwa wahai Fadhilatusy Syaikh serta syarat-syarat berfatwa dalam perkara tersebut?

Jawaban:
الفتوى أمرها عظيم لأنها إخبار عن الله جل وعلا أنه أحل كذا وحرم كذا فلذلك لا يجوز للإنسان أن يفتي إلا عند الحاجة إذا احتيج إليه كان عنده علم كان عنده علم يستطيع به أن يجيب السؤال عن علم فإنه يفتي وإن أحالها إلى غيره فهذا أحسن وأبرأ لذمته فالفتوى خطرها عظيم لأنها من القول على الله إن كان بعلم الحمد لله وإن كان بجهل فهو من القول على الله بغير علم وهو أشد المحرمات نعم
Fatwa perkaranya adalah besar karena merupakan pengkabaran dari Allah Jalla wa ‘Alla bahwa Dia menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Oleh karena itu seorang insan tidaklah diperkenankan berfatwa melainkan bila ada kebutuhan.
Apabila fatwa benar-benar diperlukan sedang ia memiliki ilmu, ia memiliki ilmu yang mampu untuk menjawab pertanyaan berdasarkan ilmu, maka ia berfatwa. Namun bila ia mengihalahkan kepada selain dirinya, maka ini lebih baik dan lebih membebaskan tanggungan. Sehingga fatwa bahayanya begitu besar karena termasuk berbicara tentang Allah. Apabila ia berfatwa dengan ilmu, maka segala puji hanya milik Allah. Namun bila ia jahil, maka itu termasuk berbicara tentang Allah dengan tanpa ilmu dan itu merupakan keharaman yang paling besar. Na’am.

Sumber:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/15826

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar