Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang MENUNTUT ILMU AGAMA

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbi tambahkanlah untukku ilmu.” [QS. Thaha: 114]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan pada keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ILMU SYAR’I. Yaitu ilmu yang memberikan faidah pengenalan terhadap apa yang wajib atas seorang mukallaf dalam urusan ibadah dan mu’amalahnya. Ilmu tentang Allah dan Shifat-Shifat-Nya, serta apa yang wajib untuk dilakukan terhadap-Nya berupa menegakkan perintah-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan. Perputaran itu semua terletak pada ILMU TAFSIR, ILMU HADITS, dan ILMU FIQH.”
[Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari Kitab al-'Ilmi, Bab Pertama]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam Kitabul ‘Ilmi (hlm. 13), “Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang al-bayyinah (penjelasan) dan al-huda (petunjuk) yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Sallam. Hal ini karena ilmu tersebutlah yang mendapatkan pujian dan sanjungan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab khusus tentang hal ini dalam kitab Shahih-nya karena kandungan mulia yang ada dalam ayat di atas. Beliau memberi judul bab tersebut dengan nama “Bab Ilmu sebelum berbicara dan beramal.”
Dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla memerintahkan dua hal penting kepada Nabi-Nya, yaitu berilmu kemudian beramal. Allah Azza wa Jalla mengawali perintah-Nya dengan ilmu:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah.”
Perintah tersebut disusul oleh perintah-Nya untuk beramal dalam firman-Nya:
“… dan mohonlah ampunan bagi dosamu.”
Hal ini menunjukkan bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amal dan ilmu adalah syarat untuk meluruskan perkataan dan amalan. Artinya, keduanya (perkataan dan amalan) tidak bermakna melainkan jika dilandasi oleh ilmu. Oleh karena itu, ilmu didahulukan daripada perkataan dan amalan, karena ilmu akan meluruskan niat dan niat akan meluruskan amalan. (Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, hlm. 15)

Allah berfirman:
“Dan tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi sebagian dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan untuk kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122)

Dalam ayat ini Allah menjadikan amalan menuntut ilmu sama tingkatannya dengan amalan jihad di jalan Allah dan bahkan lebih utama dari jihad. Dikarenakan seorang tidak akan bisa menegakkan jihad, shalat, zakat, puasa, haji, umroh, dan ibadah-ibadah yang lainnya secara benar kecuali dengan ilmu. Maka ilmu merupakan pokok segala sesuatu, oleh karena itulah Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan maka Allah akan fahamkan ia tentang agama.”
(Syarh Riyadhus Shalihin lil ‘Utsaimin juz 2, hlm. 1470)

Datang seorang laki-laki kepada Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian laki-laki tersebut kembali bertanya, “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Laki-laki tersebut berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amalan apakah yang paling utama namun engkau menjawab ilmu.” Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, “Celaka kamu, sesungguhnya berilmu tentang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal, sedangkan kebodohan tentang Allah maka tidak akan memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal.” (Syarh Shahih al-Bukhari  li Ibni Bathal juz 1, hlm. 133)

Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69)

Asy-Syaikh As-Sa'di berkata dalam Tafsir-nya:
دل هذا، على : أن أحرى الناس بموافقة الصواب أهل الجهاد، و على أن من أحسن فيما أمر به أعانه اللّه ويسر له أسباب الهداية، و على أن من جد واجتهد في طلب العلم الشرعي، فإنه يحصل له من الهداية والمعونة على تحصيل مطلوبه أمور إلهية، خارجة عن مدرك اجتهاده، وتيسر له أمر العلم، فإن طلب العلم الشرعي من الجهاد في سبيل اللّه، بل هو أحد نَوْعَي الجهاد، الذي لا يقوم به إلا خواص الخلق، وهو الجهاد بالقول واللسان، للكفار والمنافقين، والجهاد على تعليم أمور الدين، وعلى رد نزاع المخالفين للحق، ولو كانوا من المسلمين
"Ini menunjukkan:
- bahwa orang yang paling pantas untuk (diberi taufiq) mencocoki kebenaran adalah ahlul jihad,
- bahwa siapa saja yang berbuat ihsan dalam hal yang diperintahkan maka Allah akan menolongnya dan Allah akan mudahan baginya sebab-sebab mendapatkan hidayah,
- bahwa siapa saja yang bersungguh sungguh dan bersemangat dalam THOLABUL ILMI SYAR’I maka akan sampai kepadanya al hidayah (petunjuk) dan al ma’unah (pertolongan) untuk mendapatkan apa yang diinginkan, demikian ini adalah urusan dan kuasa Allah, di luar jangkauan kesungguhannya. Dan Allah akan mudahkan baginya perkara ilmu, karena THOLABUL ILMI SYAR’I adalah termasuk jihad fiisabilillah, bahkan salah satu dari dua macam jihad yang tidak akan bisa menegakkannya kecuali orang orang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan menghadapi orang kafir dan munafik, dan mengajarkan perkara-perkara agama serta membantah penyimpangannya orang-orang yang menyelisihi al haq walaupun mereka dari kalangan orang islam."

Al-Allamah Ibnu Utsaimin berkata: "Sesungguhnya dalam upayamu menyebarkan ilmu, berarti menyebarkan agama Allah. Dengan itu kamu menjadi termasuk MUJAHIDIN FI SABILILLAH. Karena kamu telah membuka hati hati (para manusia) dengan ILMU. Sebagaimana para mujahidin membuka negeri-negeri dengan senjata dan iman." (Syarh Doa Qunut Witir, hlm. 12)

Allah berfirman:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah: 11)

Allah berfirman:
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah no. 220 dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻳُﻔَﻘِّﻬْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ
“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk mendapatkan kebaikan, Allah faqihkan di dalam Agama.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 69, 2884, 6768 dan Muslim no. 1718, 1721 dari shahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻠَﻚَ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﻳَﻠْﺘَﻤِﺲُ ﻓِﻴﻪِ ﻋِﻠْﻤًﺎ، ﺳَﻬَّﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﺑِﻪِ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” [HR. Al-Imam Muslim no. 4867 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀَ ﻭَﺭَﺛَﺔُ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀَ ﻟَﻢْ ﻳُﻮَﺭِّﺛُﻮﺍ ﺩِﻳﻨَﺎﺭًﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺩِﺭْﻫَﻤًﺎ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻭَﺭَّﺛُﻮﺍ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ، ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﻪِ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﺤَﻆٍّ ﻭَﺍﻓِﺮ
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Dan barangsiapa mengambil warisan tersebut berarti dia telah mengambil bagiannya yang terbanyak.” [HR. Al-Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi dari shahabat Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia maka akan terputus darinya amalannya kecuali 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 4843)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ
“Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampunan baginya oleh para penduduk langit dan penduduk bumi bahkan hewan yang hidup di air.” (HR. at-Tirmidzi no. 2606 dan Abu Dawud no. 3157)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada 2 golongan: orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa harta yang kemudian dibelanjakan di jalan kebenaran, dan orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa ilmu yang kemudian diamalkan dan diajarkan kepada yang lainnya.” (HR. al-Bukhari no. 71)

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu. Karena mencarinya adalah ibadah, mempelajarinya karena Allah merupakan amal kebaikan, mencurahkannya bagi pemilik ilmu adalah taqarrub, mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak berilmu adalah shadaqah, membahasnya adalah jihad, dan mengingat-ingatnya adalah tasbih.”
[ad-Dailami 2238, Tadzkirah as-Sami' 35, Majmu' al-Fatawa IV/42 ]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Berkata al-Baihaqi rahimahullah: “Tidaklah ada derajat setelah kenabian yang lebih utama dari derajat ilmu.” [al-Madkhal: 378]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, sebelum ilmu itu diangkat. Diangkatnya ilmu tersebut adalah dengan perginya (wafatnya) para ‘ulama. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, karena kalian tidak tahu kapan dia butuh terhadap ilmu yang ada padanya. Kalian akan dapati orang-orang yang mengira sedang mengajak (berdakwah) kepada Kitabullah (al-Qur`an), padahal dia telah mencampakkan al-Qur`an tersebut ke belakang punggung mereka. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu.“
[ad-Darimi (143), Ibnu Wadhdhah (23), al-Ibanah I/324, al-Lalikai I/87]

Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، و رفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، و إن أحدا لم يولد عالما، و إنما العلم بالتعلم
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan ilmu sebelum ilmu itu terangkat (hilang), dan terangkatnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti ulama, karena keutamaan mereka (para ulama’). Sungguh seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan ‘alim (berilmu) dan sesungguhnya ilmu hanya bisa dicapai dengan belajar.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jami’ 1/152 dan lihatlah pada kitab Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 142)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya yang paling pantas diberikan untuknya hari-hari yang istimewa, dan sesuatu tertinggi yang perlu dikhususkan dengan perhatian/semangat yang lebih adalah MENYIBUKKAN DIRI dengan ilmu-ilmu syar’iyyah yang diterima dari manusia terbaik (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidak ada seorang berakalpun yang meragukan bahwa poros ilmu-ilmu syar’i tersebut adalah pada Kitabullah (al-Qur`an) yang diikuti dan Sunnah Nabi-Nya. Adapun ilmu-ilmu lainnya, bisa jadi merupakan alat/sarana yang membantu untuk bisa memahami al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang harus dicari/dipelajari. Atau sesuatu yang sangat bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang merugikan dan harus dihilangkan.”
[Muqaddimah Hadyu as-Sari]

Betapa indahnya perkataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
ﻛﻞُّ ﺍﻟﻌُﻠُﻮﻡِ ﺳِﻮﻯ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺸْﻐَﻠَﺔٌ ... ... ... ﺇﻻَّ ﺍﻟﺤَﺪﻳﺚ ﻭَﻋِﻠْﻢِ ﺍﻟﻔِﻘْﻪِ ﻓﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ
ﺍﻟﻌﻠﻢُ ﻣﺎ ﻛﺎﻥَ ﻓﻴﻪ: ﻗﺎﻝَ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ... ... ... ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮﻯ ﺫَﺍﻙَ ﻭَﺳْﻮَﺍﺱُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ
“Setiap ilmu selain al-Quran hanya menyibukkan saja (sia-sia)…
kecuali ilmu hadits dan ilmu fiqh dalam agama…
Ilmu yang padanya; berkata (perawi) Haddatsana (telah menyampaikan hadits kepada kami)…
Adapun selain itu maka itu hanyalah keragu-raguan dari syaithan.”

###

Fadhilatu al-Allamah al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir as-Sadi semoga Allah merahmati beliau

Beliau berkata:
فيا أيها المعرضون عن طلب العلم ! ما هو عُذركم عند الله ، وأنتم في العافية تتمتعون !؟ وماذا يمنعكم منه وأنتم في أرزاق ربكم ترتعون !؟ أترضون لأنفسكم أن تكونوا كالبهائم السائمة !؟ أتختارون الهوى على الهدى والقلوب منكم ساهية هائمة !؟ أتسلكون طرق الجهل وهي الطرق الواهية ، وتَدَعُون سُبُل الهدى وهي السُّبُل الواضحة النافعة !؟
Wahai orang-orang yang berpaling dari menuntut ilmu! Apa udzur (alasan) kalian di sisi Allah, sedangkan kalian dalam keadaan  sehat walafiat dan bersenang-senang!?
Apa yang menghalangi kalian darinya (dari menuntut ilmu agama), padahal kalian dalam keadaan diberi rizki oleh Rabb kalian (sehingga) kalian bisa menggembala (binatang ternak kalian)!?
Apakah kalian rela atas diri-diri kalian untuk (disamakan) menjadi seperti binatang ternak yang digembalakan bebas!?
Apakah kalian lebih memilih hawa nafsu daripada petunjuk, padahal hati-hati kalian dalam keadaan lalai dan bingung!?
Apakah kalian hendak menempuh jalan-jalan kebodohan, padahal itu adalah jalan yang lemah, sedangkan kalian meletakkan jalan-jalan petunjuk, padahal itu adalah jalan yang terang lagi bermanfaat!?
أترضى إذا قيل لك : مَن رَبُّكَ وما دينك ومَن نبيك لم تحر الجواب !؟ وإذا قيل : كيف تصلي وتتعبد أجبت بغير الصواب !؟ وكيف تبيع وتشتري وتعامل وأنت لم تعرف الحلال من الحرام !؟ أمَا والله إنها حالةٌ لا يرضاها إلا أشباه الأنعام
Apakah engkau rela jika dikatakan kepadamu: Siapa Rabbmu, apa agamamu, dan siapa Nabimu, engkau tidak mampu menjawab!?
Dan jika dikatakan: Bagaimana tata cara sholat dan beribadah, engkau menjawab dengan jawaban yang tidak benar!?
Juga bagaimana engkau akan berjual-beli dan bermuamalah, sedangkan engkau tidak mengerti yang halal dari yang haram!?
Demi Allah, sesungguhnya tidak akan ada yang rela dengan keadaan ini melainkan hanya orang-orang yang serupa dengan binatang ternak.
فكونوا رحمكم الله متعلمين ، فإن لم تفعلوا فاحضروا مجالس العلم مستمعين ومستفيدين ، واسألوا أهل العلم مسترشدين متبصرين ، فإن لم تفعلوا وأعرضتم عن العلم بالكلية فقد هلكتم وكنتم من الخاسرين
Maka -semoga Allah merahmati kalian- hendaknya kalian menjadi orang-orang yang mempelajari ilmu, jika kalian tidak mampu melakukannya, maka hadirlah di majelis ilmu sebagai mustami (orang yang menyimak) dan mengambil faidah darinya, serta bertanyalah kepada ahli ilmu agar kalian memperoleh petunjuk dan keterangan yang jelas.
Namun, jika kalian tidak mau melakukannya dan berpaling dari ilmu secara keseluruhan, maka sungguh kalian telah binasa dan termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.
أما علمتم : أنَّ الاشتغال بالعلم مِن أَجَّلِ العبادات ، وأفضل الطاعات والقربات ، ومُوجِبٌ لِرِضَى رَب الأرض والسماوات . ومجلس علم تَجلِسُهُ خيرٌ لك مِن الدنيا وما فيها ، وفائدة تستفيدها وتنتفع بها لا شيء يزنها ويساويها !؟ فاتقوا الله عباد الله ، واشتغلوا بما خلقتم له من معرفة الله وعبادته
Tidakkah kalian telah mengetahui, bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah termasuk dari ibadah yang paling mulia, termasuk dari ketaatan dan bentuk pendekatan diri (kepada Allah) yang paling afdhol, serta akan beroleh keridhoan Rabb bumi dan langit (Allah), sedangkan majelis ilmu, engkau duduk di sana lebih baik daripada dunia dan seisinya, serta faidah yang engkau petik darinya dan kemanfaatan yang engkau peroleh dengannya, tidak ada suatu apapun yang dapat mengimbangi dan menyamainya!?
Maka bertakwalah wahai hamba Allah, sibukkanlah diri kalian dengan apa-apa yang menjadi tujuan penciptaan kalian dari mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya.
وسَلُوا ربكم أن يُمدكم بتوفيقه ولطفه وإعانته . أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
Serta mintalah kepada Rabb kalian agar Allah memberikan taufik, perlindungan, dan penjagaan-Nya kepada kalian.
Allah berfirman: Ataukah orang yang beribadah di waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, ia takut akan akhirat dan mengharap rahmat dari Rabbnya. Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu? Hanyalah orang-orang yang berakal yang mau mengingat.

Sumber:
Kitab al-Fawakihusy Syahiyyah fil Khuthobil Minbariyyah (no. 66)

Pengirim artikel:
Yang mencintai kalian, Abu Bakr bin Yusuf asy-Syarif

ajurry .com/vb/showthread .php?t=42232goto=newpost

Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy Indonesia

Forum Salafy Indonesia

###

Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala

Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau [1] mengatakan:

Ilmu Syar’i adalah:
- Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi;
- Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih;
- Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’);
- Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi).

Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.”

Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan dipahamkan tentang urusan agamanya.”

Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad,
” لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَلَّا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنْكَ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ
“Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.”

Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah.

Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, di mana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orang-orang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (Maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum.

Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul As-Sittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala.

Admin Warisan Salaf

Sumber: warisansalaf .com

Footnote:
[1] Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul).

###

Asy Syaikh Zaid bin Muhammad al Madkhaly حفظه الله

Pertanyaan:
ما هي نصيحتكم للشاب الملتزم حديثاً؟ وما هي الكتب التي تنصحون بقراءتها؟ وهل هناك جدول مقترح منكم بشأن تدريسه؟
Apa nasehat anda bagi para pemuda yang berpegang teguh dengan syariat Islam di masa sekarang ini? Buku-buku apa yang anda nasehatkan untuk membacanya? Dan adakah di sana jadwal yang anda sarankan terkait kondisi pengajarannya?

Jawaban:
أولاً: الشاب الملتزم يحمد الله عز وجل على توفيقه له بالالتزام بشريعة الإسلام التي على رأسها إقامة الفرائض واجتناب المحرَّمات والوقوف عند حدود الله
Pertama: Pemuda yang berpegang teguh dengan syariat Allah sudah seharusnya memuji Allah Azza wa Jalla atas limpahan taufik-Nya berpegang teguh dengan syariat Islam yang pokok utamanya adalah menegakkan berbagai kewajiban, menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan berhenti di atas batasan-batasan yang telah Allah gariskan.
ثانياً: إنه لا يستغني عن العلماء، علماء الشرع السائرين على نهج السلف عقيدة وشريعة، لا يستغني، لأن العالم هو الذي يوجِّه ويقتدي به التلميذ، وهذه سُنَّة السلف لا بد من الطلب على أشياخ حتى لا ينفرد بنفسه، فيجهل بعض الأمور أو يعرفها على غير معناها. وفي الحكمة قالوا: مَنْ دخل في العلم وحده خرج وحده. أي من دخل في العلم بدون شيخ، خرج بدون علم
Kedua: Ia selalu butuh terhadap para ulama, ulama syari yang berjalan di atas manhaj salaf baik secara akidah (keyakinan)  maupun syariat. Ia selalu butuh kepada mereka. Karena seorang alim, dialah yang akan membimbing dan menjadi panutan bagi para pelajar. Dan ini merupakan sunnah salaf. Harus menuntut ilmu kepada para syaikh (ulama) supaya tidak menyendiri dengan dirinya sehingga menjadi jahil pada sebagian perkara atau mengetahuinya namun tidak sesuai dengan makna yang diinginkan. Dalam sebuah kata-kata hikmah, mereka mengatakan:
من دخل ف العلم وحده خرج وحده
Barang siapa masuk ke dalam ilmu sendirian, niscaya ia akan keluar sendirian.
Yaitu siapa saja masuk ke dalam ilmu (sendirian) tanpa seorang guru, maka ia akan keluar (sendirian) tanpa ilmu.
وثالثاً: الكتب تؤخذ بالتدرج بحسب مستوى طالب العلم، فهذا طالب مبتدئ يحتاج إلى المختصرات في الفنون الشرعية واللغوية والوسائل، وهذا طالب متوسط يحتاج إلى فنون، وطالب قوي في معلوماته يحتاج أن يترقى من المختصرات إلى المطولات وإلى الشروح، وهكذا الطريق في سير طلب العلم. نعم
Ketiga: Kitab-kitab itu dipelajari secara bertahap sesuai dengan tingkatan sang penuntut ilmu. Ini pelajar yang baru, butuh kepada kitab-kitab yang ringkas di bidang-bidang syariyyah, bahasa, dan ilmu-ilmu alat. Ini pelajar mutawasith (menengah), butuh kepada berbagai bidang keilmuan. Dan penuntut ilmu yang kuat pengetahuannya, butuh naik tingkatan dari yang mukhtashar (ringkas) kepada yang muthawwalat (meluas) dan syarah (penjelasan-penhelasan). Demikian jalan dalam menuntut ilmu. Naam.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=134548#entry656318

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Pertanyaan: Apakah dalam belajar kita hanya mencukupkan diri dengan mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), tidak belajar ilmu dunia?

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menjawab:

“Ilmu yang wajib untuk kita pelajari dan kita dahulukan adalah ilmu syar’i. Ilmu inilah yang Allah 'Azza wa Jalla wajibkan atas anda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.”
Bila anda ingin mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pelajari ilmunya sebelum anda mempelajari kimia, fisika, dan selainnya. Bila ingin berhaji, anda harus mengetahui bagaimana manasik haji yang ditunaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam masalah akidah dan pembayaran zakat. Bila ingin melakukan transaksi jual beli, semestinya anda pelajari hukum jual beli sebelum anda mempelajari kimia, fisika dan selainnya. Setelah anda pelajari perkara yang memberikan manfaat kepada anda dan anda mengenal akidah yang benar, tidak apa-apa bagi anda mempelajari ilmu yang mubah yang anda inginkan.

Akan tetapi bila anda diberi taufiq, dikokohkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dan dijadikan anda cinta terhadap ilmu yang bermanfaat, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka teruslah mempelajarinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya maka Allah faqihkan (pahamkan) dia dalam agama.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Berpalinglah engkau dari orang yang enggan berzikir kepada Kami dan ia tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia. Yang demikian itu merupakan kadar ilmu yang mereka capai.” (An-Najm: 29-30)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sementara mereka lalai dari akhirat.” (Ar-Rum: 7)

Bila seseorang telah mempelajari ilmu yang wajib baginya, kemudian setelah itu ia ingin belajar kedokteran, teknik, atau ilmu lainnya maka tidak mengapa. Kita sedikitpun tidak mengharamkan atas manusia apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan untuk mereka. Akan tetapi sepantasnya ia mengetahui bahwa kaum muslimin lebih butuh kepada orang yang dapat mengajari mereka agama yang murni sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih butuh kepada orang yang alim tentang agama ini daripada kebutuhan mereka terhadap ahli teknik, dokter, pilot, dan sebagainya. Dengan keberadaan ulama, kaum muslimin diajari tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang apa yang sepantasnya dilakukan oleh seorang dokter, dan seterusnya. Sebaliknya jika tidak ada yang mengajarkan kebenaran (agama) kepada kaum muslimin, mereka tidak dapat membedakan mana orang yang alim dan mana ahli nujum. Mereka tidak tahu apa yang sepantasnya dilakukan oleh ahli teknik. Mereka tidak dapat membedakan antara komunis dengan seorang muslim.

Dengan demikian, wahai saudaraku, rakyat yang bodoh ini butuh kepada ulama untuk menerangkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka dan mengajari mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”

[Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 300-301]

###

Samahatusy Syaikh al-Walid al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz

Telah didapati dalil-dalil tentang pahala yang akan diperoleh orang yang membaca Al-Qur’anul Karim. Yang jadi pertanyaan kami, adakah pahala yang didapatkan dalam membaca hadits-hadits Nabi? Berilah kami jawaban, barakallahu fikum.

Jawab: 

“Ya, membaca ilmu syar’i seluruhnya ada pahalanya. Mempelajari ilmu dan menuntut ilmu termasuk jalan Al-Qur’an dan termasuk jalan As-Sunnah, sehingga mengandung pahala yang besar. Ilmu itu diambil dari Al-Qur’an dan dari As-Sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Utsman ibnu Affan)
Terdapat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
اقْرَؤُوْ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu anhu)
Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ –وَادِي فِي الْمَدِيْنَةِ– أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِي مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، نُحِبُّ ذلِكَ. قَالَ: أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ
“Siapa di antara kalian suka pergi setiap pagi harinya ke Buthhan —sebuah wadi/lembah yang ada di Madinah— atau ke Aqiq lalu ia pulang dari tempat itu membawa dua unta betina yang besar tanpa melakukan dosa dan memutus hubungan rahim?” Kami menjawab, “Wahai Rasulullah, kami menyukai hal tersebut.” Beliau bersabda, “Tidakkah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu di sana ia mempelajari atau membaca dua ayat dari Kitabullah, itu lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga ayat lebih baik daripada tiga unta, empat ayat lebih baik daripada empat unta. Dan lebih baik daripada hitungan/jumlah yang sama dari unta.” (HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Uqbah bin Amir)
Atau sebagaimana disabdakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini menunjukkan keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an. Dalam hadits Ibnu Mas’ud  disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَة، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka ia akan beroleh satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali kebaikan.” *) (HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, disahihkan al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir)
Demikian pula ketika seorang mukmin mempelajari As-Sunnah. Ia membaca hadits-hadits dan mengajarkannya, ia akan mendapatkan pahala yang besar, karena yang dilakukannya termasuk mempelajari ilmu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Ini menunjukkan, mempelajari ilmu dan menghafal hadits-hadits serta mengingat-ingatnya/mengulang-ulanginya termasuk sebab masuknya seseorang ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Demikian pula ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّقْهُ فِي الدِّيْنِ
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya niscaya Allah akan pahamkan (faqihkan) ia tentang agama ini.” (Muttafaqun alaihi)
Tafaqquh fid din (memahami agama) termasuk jalan Al-Qur’an dan termasuk jalan As-Sunnah. Tafaqquh dalam As-Sunnah termasuk tanda bahwa Allah Subhanahu wa Taala menginginkan kebaikan pada si hamba, sebagaimana tafaqquh dalam Al-Qur’an merupakan tanda akan hal tersebut. Dalil-dalil tentang hal ini banyak, walhamdulillah. 
(Fatawa Nurun ‘alad Darb, al-Aqidah, hlm. 11—12)

*) Kelengkapan haditsnya:
لاَ أَقُوْلُ : {الم} حَرْفٌ، وَلكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Aku tidaklah mengatakan alim laam miim itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”

Sumber: Asy Syariah Edisi 064

###

Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri hafizhahullah

Beliau hafizhahullah berkata:
فعلى طالِبِ العلم أنْ يجمعَ بين الأمريْن، بل يجمع بين ثلاثةِ أُمور وهي السُّبل لتحصيل العلم، والثلاثةُ أُمور هي: القراءة، والحفظ، والاستِماع
Wajib atas Penuntut Ilmu Syari untuk memenuhi dua hal, atau bahkan tiga perkara yang merupakan jalan untuk mendapatkan Ilmu.
Tiga perkara tersebut adalah:
1. Membaca,
2. Menghafal,
3. Mendengar.
القراءة: فيكُون له نصيبٍ مِن قراءة الكُتب، وتلخيصها، ودراستِها، لا بُدَّ أنْ يكون لطالبِ العلم وِردٌ يوميٌّ في القراءة، ويختار ما يُناسبه، ويُناسبُ مُستواه العلميِّ، فلا ينتقل إلى أرفع مِن مُستواه فتحدُثُ عنده الإشكالات على ما سيأتي بيانه إنْ شاء الله، فأوَّلا القراءة
MEMBACA
Hendaknya dia menyediakan waktu untuk membaca kitab-kitab (para ulama). Juga meringkasnya, dan mempelajarinya.
Wajib baginya untuk menyediakan jadwal harian untuk membaca dan memilih kitab yang sesuai dengan kemampuan ilmiyahnya. Janganlah dia beranjak ke kitab dengan tingkatan yang lebih tinggi, sehingga ia mengalami berbagai masalah yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah.
وكذلك لا بُدَّ أنْ يكون له نصيب مِن الحفظ: وأوَّله كتاب الله سُبحانه وتعالى، لا بُدَّ لطالب العلم أنْ يجتهد في حفظ كلام الله عزَّ وجلَّ، وأنْ يكون له صِلةٌ مع القُرآن، ووِردٌ مع كتاب الله عزَّ وجلَّ حتَّى لا يدخُل في قول الله عزَّ وجلَّ: وَقَالَ الرَّسُول يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآن مَهْجُورًا [الفرقان: 30]، وكذلك يحفظ ما يتيسَّر مِن المتون على التَّدرُّج في الفنون
MENGHAFAL
Begitupula ia juga harus menyediakan jadwal untuk menghafal.
Pertama kali yang harus dia hafal adalah Kitabullah Subhanahu wa Taala. Dia harus bersungguh-sungguh menghafalkan Kalamullah Azza wa Jalla (Al-Quran). Dia harus selalu memiliki hubungan dengan Al-Quran dan punya jadwal untuk membacanya sehingga ia tidak termasuk dalam firman Allah:
(Artinya:) Rasul shalallahu alaihi wa sallam berkata: Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sebagai sesuatu yang ditinggalkan. [Surat Al-Furqan: 30]
Begitupula ia menghafalkan matan-matan ilmiah di berbagai bidang studi yang mudah baginya dan secara berurutan.
وكذلك الأمر الثَّالث: وهو الاستِماع، لا يكُن شيخك فقط الكتاب، وهذا واقعٌ مُشاهَدٌ، نجدُ كثيرًا مِمَّن كان عصامِيَّا ـ كما يُقال ـ لا يحرص على حُضور دُروس أهل العلم، ولا ثَنْيِ الرُّكب عندهم، ولا التَّعلُّم مِن شيوخ السُّنَّة؛ تجده في نهاية الأمر تحدثُ عنده الضَّلالات والبدع والانحرافات وهو لا يشعر، ويظنُّها حقًّا
MENDENGARKAN
Janganlah yang menjadi syaikhmu (gurumu) adalah kitab saja. Ini adalah realita nyata yang dijumpai. Hal ini banyak kita dapatkan pada orang otodidak (belajar sendiri tanpa guru) katanya ternyata tidak semangat menghadiri durus (pelajaran-pelajaran) yang disampaikan oleh para Ulama, tidak pula duduk di hadapan mereka, tidak pula belajar dari Para Masyaikh Sunnah.
Kau dapati hasil akhirnya bermunculan darinya berbagai kesesatan, kebidahan, penyimpangan dalam keadaan ia tidak menyadari, bahkan menyangkanya sebagai Al-Haq.
فهذا هو الأصل، لذلك جاء عن مالك رحمه الله تعالى أنَّه قال: لا يُؤخذ العلم مِن ثلاث، وذكر مِنهم قال: ومَن لم يُعرف بالرِّحلة في طلب الحديث
Inilah prinsipnya. Maka dari itu, terdapat atsar dari Al-Imam Malik rahimahullah: "Ilmu tidaklah diambil dari 3 golongan."
Di antaranya beliau sebutkan: "Orang-orang yang tidak dikenal pernah rihlah (bepergian) untuk belajar hadits."
ما معنى الرِّحلة في طلب الحديث؟ معناها لِقاءُ أهل العلم، والدِّراسة عليهم
Apa maksudnya RIHLAH fii thalabil hadits? Maknanya adalah : BERJUMPA dengan para Ulama dan BELAJAR LANGSUNG di bawah bimbingan mereka.
وهذا الأمر يا إخوة مثلُ ما قُلنا تيسَّر في زماننا هذا أكثر مِمَّا هو مُتيسِّرٌ فيما مضى، الإمام أحمد رحمه الله تعالى كما هو معلومٌ أنَّه مِن أهل بغداد مِن العراق، رحل إلى الفضل بن دُكيْن في اليمن ومعه يحيى بن معين، فرحلُوا وكان الموسم موسم حجٍّ، فقالوا نذهب إلى الحرميْن فنحُجُّ، ونلتقي بعُلماء الحرم، ثُمَّ نرحل إلى اليمن
Hal ini, wahai saudara-saudaraku seperti yang aku jelaskan, kemudahan di zaman kita sekarang lebih banyak daripada kemudahan di masa lalu. Al-Imam Ahmad rahimahullah -sebagaimana kita diketahui- termasuk penduduk kota Baghdad, Irak. Beliau pergi (rihlah) ke Yaman belajar kepada Al-Fadhl bin Dukain bersama Al-Imam Yahya bin Main rahimahullah. Mereka berangkat, dan ketika itu sedang musim haji. Mereka berkata: "Kita akan pergi ke Negeri Haramain, lalu berhaji. Kita akan menemui para Ulama Negeri Haram (untuk menimba ilmu kepada mereka), kemudian kita akan melanjutkan pergi ke Yaman."
انظر إلى الرِّحلة! طويلةٍ، يجلِسون أشهر، بل يتجاوزون السَّنة، رحلوا إلى اليمن، فيسَّر اللهُ عزَّ وجلَّ لهم الفضل حاجًّا تلك السَّنة، فقال يحيى: يسَّر اللهُ عزَّ وجلَّ عنَّا تلك الرِّحلة، فنأخذ العلمَ مِنه هُنا، قال الإمام أحمد ـ وهذه الهِمَّة والعزيمة على الرِّحلة ـ، قال: لا أقطع نيَّة نويتُها لله، بل نرحلُ إلى اليمن معه، فرحلُوا إلى اليمن معه رحمه الله
Perhatikanlah rihlah tersebut. Perjalanan yang panjang. Mereka duduk (di hadapan syaikh yang menjadi tujuan rihlahnya) berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mereka rihlah ke Yaman.
Allah Azza wa Jalla memberi kemudahan Al-Fadhl pula berhaji pada tahun tersebut. Al-Imam Yahya rahimahullah berkata: "Allah memudahkan untuk kita rihlah tersebut. Kalau begitu kita mengambil ilmu darinya (Fadhl bin Dukain) di sini saja."
Maka Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan ini menunjukkan pada tekad dan keinginan yang bulat untuk rihlah: "Aku tidak akan memutuskan niatku yang telah aku niatkan untuk Allah. Kita akan tetap melanjutkan rihlah ke Yaman bersamanya (Fadhl bin Dukain)."
Mereka pun akhirnya rihlah ke Yaman bersama Al-Fadhl bin Dukain rahimahullah.
والأمثلة على ذلك كثيرة، في عصرنا هذا الإذاعات، العُلماء موجودون تسمع لهم إنْ لم يتيسَّر لك، مع الحرص الشَّديد لطالب العلم على لقاء أهل العلم، خُصوصًا مع قِلَّتهم في هذا الزَّمان الَّذين عُرِفوا بالعقيدة الصَّافية والمنهج السَّلفيِّ، فتحرص على لِقائهم، والرِّحلة لهم، إنْ لم يتيسَّر ذلك فإذاعات أهل السُّنَّة وأشرطتهم مُتيسِّرة، تسمع، وتقرأ لكُتبهم، وشُروحهم، أنْ يكون لك ارتِباط بأهل العلم
Contoh yang semisal ini banyak.
Di masa kita sekarang ada berbagai radio. Para Ulama ada. Dengarkan (siaran muhadharahnya) jika kau belum bisa berjumpa langsung dengan mereka. Dengan tetap diiringi semangat yang tinggi untuk berjumpa dan belajar di bawah bimbingan mereka. Terkhusus sedikitnya jumlah mereka di zaman ini yang diketahui berakidah bersih dan bermanhaj dengan Manhaj Salafus Shalih.
Bersemangatlah untuk berjumpa dan pergi belajar (rihlah) kepada mereka.
Jika hal tersebut belum bisa engkau lakukan, maka radio-radio Ahlussunnah (yang menyiarkan pelajaran-pelajaran para Ulama) dan rekaman-rekaman mereka begitu mudah didapat.
Dengarkanlah dan bacalah kitab-kitab mereka beserta syarahnya. JALINLAH HUBUNGAN DENGAN AHLUL ILMI.
فإذًا الاعتِماد على الكُتب دون الرُّجوع إلى أهل العلم مِن العوائق الَّتي لا تجعل طالبَ العلم يصِلُ إلى مرتبة العُلماء، يقول سُليمان بن موسى الفقيه رحمه اللهُ تعالى: كانوا يقولون لا تأخذ القُرآن عن المُصحَفيِّين، ولا العلم عن الصُّحُفيِّين، وأيضًا قالوا: لا يُؤخذ القُرآن عن مُصحَفيِّ، ولا العلم عن صُحُفيٍّ
Maka, bersandar semata kepada kitab, tanpa merujuk kepada Para Ulama, termasuk rintangan yang menghalangi seorang Penuntut Ilmu untuk sampai kepada tingkatan Ulama.
Sulaiman bin Musa Al-Faqih rahimahullah berkata: "Dahulu mereka (Salaf) berkata: Jangan kalian mengambil Al-Quran (mempelajari) dari Mushafiyyin, jangan pula mengambil ilmu dari Suhufy."
المُصحَفيُّ: معناه الَّذي تعلَّم القُرآن دون الرُّجوع إلى القُرَّاء، والاستِماع لهم، فهذا تجد عنده أخطاءً في القِراءة الَّذي تعلَّم القِراءة مِن المُصحف
Al-Mushafiy: maknanya adalah orang yang mempelajari Al-Quran tanpa merujuk kepada Al-Qurra (orang yang berilmu tentang Al-Quran), juga tidak mendengarkan darinya. Engkau akan mendapati beragam kesalahan pada orang-orang yang belajar Al-Quran hanya dari mushaf.
وكذلك الَّذي تعلَّم العلم مِن الصُّحفي، الصُّحف المقصود بها الأوراق يعني الكُتب، دون الرُّجوع إلى العُلماء
Demikian juga orang yang belajar dari Suhufy. Suhuf yang dimaksud adalah kumpulan kertas yaitu kitab-kitab, tanpa merujuk kepada Para Ulama.
فهؤلاء لا يُؤخذ العلم عنهم، فينبغي على طالب العلم أنْ يحرص على هذا الباب.
Tidaklah diambil ilmu dari mereka. Seyogyanya bagi Penuntut Ilmu untuk bersemangat dalam bab ini.

Sumber:
www .ajurry .com/vb/showthread .php?t=42839

Daurah Nasional Asy-Syariah ke-11

###

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata,
"... Seseorang tidak boleh menjadi muridnya para kitab, sebagaimana fenomena ini telah terjadi di masa sekarang.
Karena orang yang belajarnya hanya lewat kitab-kitab akan sangat membahayakan.
Akan banyak menimbulkan dampak kerusakan.
Orang yang sok tahu itu lebih berbahaya dibanding orang bodoh.
Karena orang bodoh akan sadar bahwa dirinya itu bodoh dan tentunya dia akan menahan diri pada batas kadarnya.
Akan tetapi orang yang sok tahu akan menganggap dirinya sebagai orang yang punya ilmu.
Sampai akhirnya dia pun akan menghalalkan sesuatu apa yang Allah haramkan dan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan.
Orang yang sok tahu ini pun juga akan berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Permasalahan ini sangat berbahaya!"
(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 70, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

###

Al Allamah al Fadhil Abdullah al Bukhary hafizhahullah

Tahukah Anda, Ada Orang Awam di antara Para Penuntut Ilmu?
أولا تعلمون هذا؟ ولو انتسب إلى طلب العلم فليس كل من انتسب إلى طلب العلم هو من أهله، ولذلك هم درجات متفاوتون ولاترتفع عنك العامية بكونك لك سنة ولاسنتين ولاعشرة ولاعشرين في الطلب أبدا لا ترتفع بهذا. إنما ترتفع العامية عنك بسلوكك سبيل العلماء في الأخذ والتلقي والعمل والإستدلال والسير على هذا السنن وأن تعرف قدر نفسك بهذا نقول ترتفع عنك العامية شيئا فشيئا وماتواضع عبد لله إلا رفعه الله وكلما ازداد المرء علما ازداد لله تواضعا فإذا مارأيت العكس علمت أنك لازلت في الأسفل ماارتفعت بعد. نسأل الله السلامة والعافية
Tidakkah Anda mengetahui hal ini? Meskipun seseorang menisbatkan diri kepada thalabul ilm (sebagai seorang penuntut ilmu syar’i), namun tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada thalabul ilm berhak terhadapnya. Oleh karena itu mereka bertingkat-tingkat, berbeda-beda keadaannya. Tingkatan ‘awam’ tidak akan terangkat selamanya dari diri Anda hanya dengan menempuh satu atau dua atau sepuluh dua puluh tahun menuntut ilmu. Label ‘awam’ ini tidak akan terangkat dengan lama belajar seseorang. Label ini hanya akan terangkat dari diri Anda bila Anda mengambil metode para ulama di dalam mengambil ilmu, talaqqi, beramal, mengambil dalil, menempuh jalan ini, dan dengan Anda mengetahui kadar diri Anda. Dengan ini kami katakan, keawaman baru akan terangkat dari diri Anda, sedikit demi sedikit.
Dan tidaklah seorang hamba Allah bersikap tawadhu’ melainkan pasti Allah akan mengangkatnya. Setiap kali bertambah ilmu seseorang, bertambah pula tawadhu’nya karena Allah. Jadi ketika Anda melihat keadaan yang sebaliknya (pada diri Anda), Anda mengetahui bahwa Anda terus berada pada derajat terendah dan tidak akan terangkat setelahnya. Kita memohon keselamatan dan ampunan kepada Allah.

Miratsul Anbiya, petikan dari an-Nashihah bit-Tatsabbut fi Naqlil Akhbar wa ‘Adamit Tashaddur fin-Nawazil wal-Masail al-Kibar

Sumber:
m-noor .com/showthread .php?p=39856

Alih bahasa:
BBM Qonitah Menyapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar