Cari Blog Ini

Minggu, 28 September 2014

Tentang SANDIWARA DI PANGGUNG (SEPERTI KETOPRAK DAN PENTAS LAWAK), DI MEDIA CETAK (SEPERTI CERPEN, KOMIK, NOVEL), DAN DI MEDIA ELEKTRONIK (SEPERTI FILM DAN SINETRON)

Tanya: Bagaimana hukumnya sandiwara?

Jawab:
Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:

Pertama:
Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,’Telah bersabda Rasulullah, “Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. Tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. Tentang badannya untuk apa dia kerahkan.” [Dikeluarkan Imam At-Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya]

Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Celaka bagi orang-orang yang berbicara (mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.” [Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315)]

Mengiringi hadits ini Syaikhul Islam berkata, "Dan sungguh Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda.” Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar’i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu." [Majmu Fatawa (32/256)]

(Dinukil dari Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah hal 84-93, Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar