Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦُ ﺍﻟْﻘَﻮِﻱُّ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦِ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴﻒِ، ﻭَﻓِﻲ ﻛُﻞٍّ ﺧَﻴْﺮٌ، ﺍﺣْﺮِﺹْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻚَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻌِﻦْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌْﺠَﺰْ، ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻚَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ : ﻟَﻮْ ﺃَﻧِّﻲ ﻓَﻌَﻠْﺖُ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ؛ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻗُﻞْ: ﻗَﺪَﺭُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﻓَﻌَﻞَ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﻟَﻮْ ﺗَﻔْﺘَﺢُ ﻋَﻤَﻞَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala daripada mukmin yang lemah, masing-masing memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam mencapai sesuatu yang bermanfaat bagimu [1], mintalah pertolongan kepada Allah [2], dan janganlah kamu merasa lemah. Jika menimpamu satu perkara, janganlah kamu berkata, ‘Kalau saja yang aku lakukan tadi begini, pasti yang akan terjadi begini dan begitu’, tetapi ucapkanlah, ‘Qadarullah wa masya’a fa’al’ (Telah ditakdirkan Allah, apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki, Dia pasti melakukannya). Karena ucapan 'kalau saja' (berandai-andai) akan membuka amalan setan.” (Muttafaq alaih)
Catatan Kaki:
[1] Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Ia akan bersungguh-sungguh melakukan amalan saleh yang akan mengantarkan dirinya menuju akhirat. Sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemaksiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa. Jika pemilik ladang mengetahui bahwa hasil kerjanya tidak akan berhasil melainkan dengan menanam dan mengairinya disertai dengan pengawasan ketat, ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh melakukan segala cara untuk menumbuhkan tanamannya, memaksimalkannya, dan mencegah hama penyakit. Jika pelaku produksi mengetahui bahwa hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan bersungguh-sungguh. Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya, tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan. (ar-Riyadh an-Nadhirah, as-Sa’di, hlm. 125—126)
[2] Soal: Sesuatu yang dimohon dalam doa, jika memang telah ditakdirkan untuk terjadi, pasti terjadi. Sama saja, apakah si hamba berdoa ataukah tidak. Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak terjadi, tidak akan mungkin akan terjadi, baik si hamba memohon maupun tidak.
Jawab:
Sekelompok orang memandang benar pernyataan di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Mereka sendiri, dengan kejahilan dan kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?” “Jika memang telah ditakdirkan engkau memiliki anak, pasti terjadi baik engkau berhubungan badan dengan istri maupun tidak. Jika memang sudah ditakdirkan engkau tidak memiliki anak, pasti tidak akan terjadi. Lalu, apa guna menikah?” Demikian juga hal-hal yang lain. Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Ada kelompok lain, sedikit lebih pandai daripada kelompok pertama. Mereka berpendapat, “Berdoa adalah ibadah murni. Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala bagi hamba yang mau berdoa. Berdoa tidak memiliki pengaruh terhadap apa yang diminta, dari sisi mana pun.” Menurut mereka, berdoa atau tidak adalah sama saja, tidak akan memberikan pengaruh terhadap apa yang diminta. Hubungan doa dan terjadinya keinginan, menurut mereka, sama dengan hubungan diam dengan terjadinya keinginan.
Ada kelompok lain yang berpendapat, “Doa hanyalah murni pertanda, yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai tanda terpenuhinya keinginan. Barang siapa diberi taufik untuk berdoa, hal itu sebagai tanda bahwa keinginannya telah terpenuhi.” Sama halnya dengan awan hitam pekat di musim penghujan yang menjadi tanda bahwa hujan akan turun. Dengan demikian, ketaatan hanyalah pertanda adanya pahala, bukan sebab. Kekufuran dan maksiat hanyalah pertanda siksa, bukan sebab. Masih menurut kelompok ini, tindakan memecahkan bukanlah “sebab” pecah, tindakan membakar bukan juga “sebab” kebakaran, dan melakukan perbuatan membunuh bukanlah “sebab” kematian. Hanya sebatas pertanda saja. Pendapat semacam ini berseberangan dengan akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan mereka.
Yang benar, sesuatu yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga memiliki “sebab-sebab” yang juga ditakdirkan. Berdoa termasuk “sebab” sehingga segala sesuatu tidak hanya ditakdirkan tanpa adanya “sebab”. Akan tetapi, ia ditakdirkan beserta “sebabnya”. Pada saat si hamba melaksanakan “sebab”, apa yang ditakdirkan akan terjadi. Namun, jika ia tidak melaksanakan “sebab”, yang ditakdirkan pun tidak terjadi. Hal ini sama dengan kenyang yang ditakdirkan terjadi dengan sebab makan, puas dari dahaga dengan sebab minum, memiliki anak dengan sebab berhubungan badan, menuai panen dengan sebab menanam benih, dan matinya hewan dengan sebab disembelih. Demikian juga, masuk ke dalam surga ditakdirkan dengan melakukan amalan saleh, dan masuk ke dalam neraka dengan sebab melakukan kejahatan.
Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum. Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.” Tidak ada “sebab” lain yang melebihi manfaat doa. Tidak pula ada “sebab” lain yang melebihi doa dalam hal mewujudkan keinginan. Oleh karena itu, para sahabat —sebagai generasi yang paling mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta generasi yang paling mengerti tentang agama— sangat kuat mewujudkan doa sebagai “sebab”, syarat-syarat dan adabnya, jika dibandingkan dengan orang lain. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu selalu memohon pertolongan dengan berdoa ketika menghadapi musuh. Doa merupakan bala tentaranya yang terbesar. Beliau Radhiyallahu ‘anhu sering mengingatkan pasukannya, “Sesungguhnya kalian tidak memperoleh kemenangan dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi, kalian mendapat kemenangan hanyalah dengan pertolongan dari langit.” Beliau juga sering menyampaikan, “Sesungguhnya aku tidak meragukan tentang dikabulkannya doa, namun aku khawatir hilangnya keinginan untuk berdoa. Apabila kalian mendapatkan kemudahan untuk berdoa, sesungguhnya dikabulkannya doa selalu mengiringi doa.” Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
(ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 22—24)
Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah catatan takdir manusia yang telah ada sebelum ia diciptakan?”
Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, doa dapat memberikan pengaruh untuk mengubah catatan takdirnya. Namun, perubahan itu pun telah tercatat juga sebagai takdir dengan sebab doa. Jangan mengira, jika Anda berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala berarti Anda telah meminta sesuatu yang tidak tercatat sebagai takdir. Doa juga telah tercatat sebagai takdir. Demikian juga hasil dari doa tersebut telah tercatat sebagai takdir. Oleh sebab itu, kita menyaksikan ada orang yang membacakan doa untuk orang sakit, kemudian sembuh. Kisah pasukan perang yang ditugaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dalil akan hal ini. Mereka singgah untuk bertamu di sebuah kampung, namun mereka tidak dijamu sebagai tamu. Lalu, ditakdirkan kepala kampung tersebut digigit oleh ular berbisa. Kemudian mereka memohon orang yang dapat membacakan doa untuk si kepala kampung. Akan tetapi, para sahabat mengajukan syarat, yaitu upah untuk melakukannya. Mereka lalu menyerahkan sekawanan kambing. Salah seorang sahabat lantas berangkat untuk membacakan al-Fatihah. Setelah itu, si sakit langsung berdiri seolah-olah ia baru saja lepas dari ikatan. Maksudnya, seperti seekor unta yang terlepas tali kekangnya. Benar, bacaan sahabat tersebut memiliki pengaruh untuk kesembuhan si sakit. Kesimpulannya, doa memang memiliki pengaruh, namun tidak mengubah takdir. Perubahan tersebut pun termasuk bagian dari takdir, yang terjadi dengan sebuah “sebab” yang juga telah ditakdirkan. Demikian juga seluruh “sebab”, ia memiliki pengaruh pada “akibat” dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, “sebab” adalah takdir yang tercatat, “akibat” pun takdir yang tercatat.
(Fatawa Aqidah, Fahd bin Nashir, hlm. 234)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar